Institusi: Dewan Pers

  • Dewan Pers Bakal Periksa Direktur Jak TV Soal Kasus Perintangan Kejagung

    Dewan Pers Bakal Periksa Direktur Jak TV Soal Kasus Perintangan Kejagung

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Pers bakal memeriksa Direktur Pemberitaan Jak TV nonaktif, Tian Bahtiar terkait kasus dugaan perintangan sejumlah kasus di Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pemeriksaan itu dilakukan untuk mengklarifikasi Tian terkait dugaan pelanggaran kode etik.

    “Pasti [Tian Bahtiar diperiksa], prosesnya akan menghadirkan para pihak ya,” ujarnya di Dewan Pers, Kamis (24/4/2025).

    Dia menambahkan, rencana pemeriksaan itu telah disampaikan ke Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar agar bisa diteruskan ke Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin.

    “Jadi mohon juga dipertimbangkan pengalihan penahanan untuk mempermudah bagi kami melakukan pemeriksaan, karena kami juga akan menghadirkan pihak untuk kita dalami,” tutur Ninik.

    Adapun, untuk saat ini Dewan Pers telah menerima 10 bundel dokumen terkait dengan kasus perintangan tersebut dari penyidik Jampidsus Kejagung.

    Nantinya, dokumen itu akan dianalisis serta diklarifikasi dengan pihak terkait untuk menentukan apakah perilaku Tian telah melanggar kode etik jurnalistik atau tidak.

    “Nah, kewenangan etik itu terkait dengan konten berita maupun terkait dengan perilaku wartawan. Apakah bisa dipidana atau tidak dipidana dari perilaku itu? Kalau ada yang sifatnya tindak pidana tidak menutup kemungkinan, bisa,” pungkasnya.

  • Kejagung Serahkan 10 Bundel Dokumen yang Jerat Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar ke Dewan Pers – Halaman all

    Kejagung Serahkan 10 Bundel Dokumen yang Jerat Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar ke Dewan Pers – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menyerahkan dokumen terkait kasus perintangan penyidikan sejumlah perkara korupsi yang menjerat Direktur Pemberitaan JakTV non-aktif, Tian Bahtiar (TB) ke Dewan Pers.

    Penyerahan dokumen ini bentuk tindak lanjut dari koordinasi antara kedua lembaga setelah penetapan tersangka Tian Bahtiar.

    “Hari ini tentu Puspenkum meneruskan berbagai dokumen yang diminta oleh Dewan Pers dan pada hari ini Puspenkum setelah menerima dari penyidik, kami teruskan ke Dewan Pers,” kata Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Kamis (24/4/2025).

    Meski begitu, Harli enggan menyampaikan isi dokumen yang diserahkan kepada pihak Dewan Pers.

    Dia hanya menyebut dokumen itu berjumlah 10 bundel.

    Dalam hal ini, Harli menegaskan jika permasalahan yang menyeret Tian bukan atas nama media, melainkan perbuatan pemufakatan jahat personal dengan tersangka lainnya.

    “Saya mau sampaikan begini supaya ada penegasan. Berkali-kali saya sampaikan bahwa terkait dengan apa yang sedang dikerjakan oleh penyidik terhadap yang bersangkutan itu lebih kepada perbuatan personal. Itu, perbuatan personal. Bahwa media itu hanya sebagai alat karena dia ketepatan berprofesi di media,” ungkapnya.

    Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan saat ini pihaknya akan melakukan pendalaman terlebih dahulu terkait dokumen yang diserahkan.

    Nantinya, tindak lanjutnya akan diputuskan apakah dalam hal ini kasus yang menjerat Tian masuk kategori karya jurnalistik atau pidana.

    “Beri kami waktu untuk melihat terlebih dahulu, karena kami yakin pihak kejaksaan Agung, kalau memang ini terkait karya jurnalistik dan hak dan kewajiban bagi para pihak yang nanti kami lihat memerlukan tindak lanjutnya, pihak Kejaksaan Agung pasti tidak keberatan,” tuturnya.

    Diketahui, advokat Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS), dan Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (TB) ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan atau obstruction of justice.

    Kejaksaan Agung menyebut advokat Marcella Santoso dan Junaedi Saibih membiayai demonstrasi untuk menggagalkan penyidikan sejumlah kasus.

    Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan, upaya penggagalan tersebut diduga mereka lakukan dalam penyidikan kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015-2022.

    Tak hanya kasus itu, mereka juga disebut terlibat merintangi penyidikan perkara importasi gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan Tom Lembong.

    “Tersangka MS dan JS membiayai demonstrasi-demonstrasi dalam upaya untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara a quo di persidangan,” kata Qohar, dalam konferensi pers, Selasa (22/4/2025).

    Kemudian, dia juga menyebut, Marcella dan Junaedi membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast, dan talk show mengenai kasus-kasus tersebut di beberapa media online.

    Kegiatan-kegiatan itu diduga untuk menarasikan secara negatif dalam pemberitaan untuk mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan.

    “Kemudian diliput oleh tersangka TB dan menyiarkannya melalui JakTV dan akun-akun official JakTV, termasuk di media Tik Tok dan YouTube,” jelasnya.

    Konten-konten negatif tersebut, menurut Qohar, merupakan pesanan langsung dari Marcella dan Junaedi kepada Tian Bahtiar.

    “Tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya, yaitu MS dan JS. Kemudian membuat metodologi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan,” ucapnya.

  • Dewan Pers Akan Periksa Direktur Jak TV untuk Usut Pelanggaran Etik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 April 2025

    Dewan Pers Akan Periksa Direktur Jak TV untuk Usut Pelanggaran Etik Nasional 24 April 2025

    Dewan Pers Akan Periksa Direktur Jak TV untuk Usut Pelanggaran Etik
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Dewan Pers
    akan memeriksa Direktur Pemberitaan nonaktif  Jak TV Tian Bahtiar untuk mengusut dugaan pelanggaran etik jurnalistik di balik pemberitaannya yang dianggap merintangi penyidikan oleh
    Kejaksaan Agung
    .
    “Kami juga akan menghadirkan pihak untuk kita dalami dan kita dengarkan dari para pihak yang dalam pemberitaan itu disebutkan,” ujar Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (24/4/2025).
    Ninik pun meminta Kejaksaan Agung untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap Tian.
    Sebab, saat ini Tian ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Kejaksaan Agung sejak ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (22/4/2025).
    “Karena pemeriksaan berkas di Dewan Pers juga perlu menghadirkan pihak,  jadi mohon juga dipertimbangkan pengalihan penahanan untuk mempermudah bagi kami melakukan pemeriksaan,” kata Ninik lagi.
    Pada hari ini, Dewan Pers juga sudah menerima dokumen terkait kasus yang menjerat Tian Bahtiar, tetapi Ninik belum mengetahui isinya.
    Ninik juga memastikan bahwa Dewan Pers hanya menilai ada atau tidaknya pelanggaran etik jurnalistik dalam berita-berita buatan Tian yang dianggap merintangi penyidikan oleh Kejaksaan Agung.
    Ia menekankan, proses pidana tetap menjadi kewenangan Kejaksaan Agung.
    Kami bekerja sesuai dengan tupoksi masing-masing. Kami enggak punya kewenangan menetapkan tersangka, menjadikan orang menjadi tidak tersangka itu kewenangan di sini (Kejagung),” kata Ninik.
    Sebelumnya, Ninik mengungkapkan bahwa Dewan Pers akan mengusut dugaan pelangaran etik Tian Bahtiar dan menghormati langkah Kejagung yang menetapkan Tian sebagai tersangka perintangan penyidikan.
    “Pertama, soal pemberitaannya apakah ada pelanggaran terhadap kode etik pasal 3, misalnya
    cover both sides
    atau tidak ada proses uji akurasi dan lain-lain,” kata Ninik di Gedung Kejagung, Selasa (22/4/2025).
    “Yang kedua adalah menilai perilaku dari wartawan. Apakah ada tindakan-tindakan yang melanggar kode etik sebagai wartawan, di dalam menjalankan tugasnya, dalam menjalankan profesionalisme kerjanya, karena pers itu memerlukan dua hal yang harus berjalan seiring,” kata dia melanjutkan.
    Dalam perkara ini, Tian diduga menerima Rp 478.500.000 dari dua advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, untuk memuat berita-berita yang memojokkan penanganan perkara oleh Kejagung.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Serahkan 10 Bundel Dokumen Kasus Perintangan Penyidikan ke Dewan Pers

    Kejagung Serahkan 10 Bundel Dokumen Kasus Perintangan Penyidikan ke Dewan Pers

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menyerahkan 10 bundel dokumen terkait perkara dugaan perintangan yang menyeret Direktur Pemberitaan JakTV non-aktif Tian Bahtiar ke Dewan Pers.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum atau Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar mengatakan penyerahan dokumen itu merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya antara Jaksa Agung ST Burhanuddin dan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.

    “Puspenkum meneruskan berbagai dokumen yang diminta oleh Dewan Pers dan pada hari ini Puspenkum setelah menerima dari penyidik, kami teruskan ke Dewan Pers,” ujarnya di Dewan Pers, Kamis (24/4/2025).

    Harli tidak menjelaskan secara eksplisit bentuk dokumen yang diserahkan kepada Dewan Pers. Dia hanya menekankan bahwa itu terkait dengan kasus perintangan.

    Adapun, dokumen perkara dugaan perintangan itu yang diserahkan dari penyidik Jampidsus Kejagung ke Dewan Pers mencapai 10 bundel.

    “Ada beberapa bundel. Mungkin ada 10 bundel,” pungkas Harli.

    Dewan Pers Mendalami

    Sebelumnya, Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan pendalaman terkait dengan pemberitaan yang dianggap merintangi penyidikan oleh Kejagung.

    Nantinya, pemberitaan itu bakal dinilai apakah melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. Selain itu, Dewan Pers juga akan mengklarifikasi sejumlah pihak terkait untuk membuat terang perkara ini.

    “Jadi kami akan mengumpulkan berita-berita yang selama ini digunakan menurut kejaksaan tadi digunakan untuk melakukan rekayasa permufakatan jahat,” ujar Ninik di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

  • Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 April 2025

    Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu Nasional 23 April 2025

    Direktur JAK TV Dijerat Pasal Perintangan Penyidikan, Kejagung Harus Buktikan Penegakan Hukum Terganggu
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM) Zaenur Rohman menyebut Kejaksaan Agung (
    Kejagung
    ) harus memiliki bukti yang bisa menunjukkan adanya gangguan terhadap proses penegakan hukum karena menggunakan Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk menjerat Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB).
    Sebab, dalam pandangannya, pengunaan
    Pasal 21 UU Tipikor
    tentang
    perintangan penyidikan
    atau
    obstruction of justice
    , kurang tepat.
    “Yang menjadi perdebatan adalah apakah ketika seorang tersangka itu berusaha untuk memengaruhi pendapat publik dengan melakukan upaya-upaya untuk menyebarkan informasi kasus yang sedang dialaminya, itu kemudian bisa berujung pada
    obstruction of justice
    ? Saya lihat belum tentu,” kata Zaenur kepada
    Kompas.com
    , Rabu (23/4/2025).
    Bahkan, menurut Zaenur, belum tentu Pasal 21 UU Tipikor tepat dipakai jika ada tersangka menggunakan uangnya untuk membuat media memuat berita dengan tujuan menguntungkan dirinya dan mendeskriditkan proses penegakan hukum.
    Pasalnya, Zaenur mengatakan, perbuatan bisa dikatakan
    obstruction of justice
    jika disengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan proses penegakan hukum di tahap penyidikan, penuntutan hingga persidangan.
    “Saya masih bertanya-tanya, apakah kalau sebuah berita negatif itu bisa berdampak misalnya, pada gagalnya atau terganggungnya, atau tercegahnya upaya penyidikan itu hingga tuntas? Saya melihat ini masih
    debatable
    ya. Saya melihat ini kok agak jauh ketika yang seperti ini kemudian dijerat menggunakan (pasal)
    obstruction of justice
    ,” ujarnya.
    Zanur lantas mencontohkan kasus yang mungkin bisa dijerat dengan Pasal 21 UU Tipikor, yakni jika seorang tersangka membayar media atau jurnalis untuk terus menerus menyudutkan seorang saksi. Padahal, sanksi itu merupakan saksi yang memberatkan untuk tersangka.
    Kemudian, akibat pemberitaan masif tersebut, saksi yang memberatkan itu menjadi enggan bahkan takut untuk memberikan kesaksian.
    “Sehingga, saksi itu menjadi tidak kooperatif dan kemudian penyidik mengalami hambatan karena saksinya dibunuh karakternya oleh media dengan sedemikian rupa hasil bayaran oleh tersangka. Menurut saya, mungkin itu bisa masuk pada
    obstruction of justice
    ,” katanya.
    “Untuk kasus ini, saya katakan, kecuali kejaksaan punya bukti yang menunjukkan adanya gangguan terhadap aspek penegakan hukumnya melalui jalur pemberitaan,” ujar Zaenur.
    “Seharusnya kan yang menjadi poin
    obstruction of justice
     adalah merusak alat bukti, kemudian membantu melarikan diri, membantu merusak alat bukti. Tapi, kalau membangun opini media dengan cara membeli awak media atau pejabat media, menurut saya itu belum tentu merupakan
    obstruction of justice
    ,” katanya lagi.
    Menurut Zaenur, penting bagi Kejagung memperlihatkan bukti tersebut karena bukan hanya mengacam kebebasan pers tetapi juga kebebasan berpendapat.
    “Nanti bagaimana dengan kritik yang bersifat murni terhadap penegakan hukum. Bagaimana dengan gugatan-gugatan para pakar, para ahli, atau LSM terhadap proses penegakan hukum yang misalnya dipertanyakan. Berisiko kalau Pasal 21 itu tidak digunakan dengan ketat,” ujarnya.
    Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, ”
    Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
    ”.
    Sebagaimana diberitakan, Direktur Pemberitaan JAK TV, Tian Bahtiar (TB) disangkakan dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana diubah undang-undang nomor 21 tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar menyebut, Tian diduga membuat berita-berita berdasarkan pesanan dari Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS) selaku advokat para tersangka maupun terdakwa kasus-kasus yang diusut oleh Kejagung.
    “Tersangka MS dan JS mengorder tersangka TB untuk membuat berita-berita negatif dan konten-konten negatif yang menyudutkan Kejaksaan terkait dengan penanganan perkara
    a quo
    , baik di penyidikan, penuntutan, maupun di persidangan,” ujar Qohar di Kantor Kejagung, Selasa (22/4/2025) dini hari.
    Untuk hal itu, Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 yang masuk kantong pribadi setelah memuat konten-konten negatif terkait Kejagung. Perbuatan Tian itu dilakukan tanpa sepengetahuan jajaran JAK TV.
    “Sementara yang saat ini prosesnya sedang berlangsung di pengadilan dengan biaya sebesar Rp 478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” kata Qohar.
    Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar dalam pernyataan terbarunya menegaskan bahwa perbuatan pidana yang disangkakan kepada Direktur Pemberitaan JAKTV, Tian Bahtiar, murni merupakan tindakan pribadi yang tidak berkaitan dengan aktivitas jurnalistik maupun institusi media tempatnya bekerja.
    “Perbuatan yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan itu adalah perbuatan personal, yang tidak terkait dengan media. Itu tegas,” ujar Harli di Kejagung Jakarta, Selasa.
    Harli juga menegaskan bahwa yang menjadi perhatian Kejagung bukan soal pemberitaan, melainkan tindakan permufakatan jahat untuk merintangi proses hukum yang sedang berjalan.
    “Yang dipersoalkan oleh Kejaksaan bukan soal pemberitaan, karena kita tidak anti kritik,” kata Harli.
    “Tetapi yang dipersoalkan adalah tindak pidana permupatatan jahatnya antar pihak-pihak ini, sehingga melakukan perintangan terhadap proses hukum yang sedang berjalan,” ujarnya lagi.
    Lebih lanjut, Harli memastikan bahwa Kejagung menghormati otoritas Dewan Pers dalam menilai dan menangani persoalan etik atau dugaan pelanggaran dalam karya jurnalistik.
    “Ada rekayasa disitu, dan setelah mendapat penjelasan-penjelasan itu tentu terkait dengan penegakan hukum, Dewan Pers sangat menghormati itu,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Aktivis PWI Joglosemar Desak Konflik Internal Segera Diakhiri

    Aktivis PWI Joglosemar Desak Konflik Internal Segera Diakhiri

    Surakarta (beritajatim.com) – Menyikapi persoalan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang tak kunjung selesai hingga lebih dari setahun, sejumlah aktivis PWI di Kawasan Joglosemar yang meliputi wilayah DI Yogyakarta, Surakarta, dan Jawa Tengah menyampaikan sikap keprihatinan.

    Menurut mereka, perlu dilakukan langkah-langkah penyelamatan organisasi dengan mengedepankan pemahaman bersama, sikap kenegarawanan, jiwa kekeluargaan, dan rasa kecintaan tinggi dalam pertemanan sebagai sebuah pijakan.

    Pertemuan berlangsung di Sekretariat PWI Surakarta, di Kompleks Monumen Pers Nasional di Solo.

    Dalam pertemuan informal antara tokoh pers Yogyakarta Sihono HT dan Amir Machmud NS dari Semarang, serta aktivis PWI Jateng Setiawan Hendra Kelana dan aktivis PWI Surakarta Anas Syahirul selaku tuan rumah belum lama ini, disimpulkan bahwa disadari atau tidak, persoalan yang tak kunjung selesai di tubuh organisasi kewartawanan paling tua dan terbanyak anggotanya ini telah menimbulkan kerugian besar, baik materiil maupun nonmateriil.

    Kerugian ini tidak hanya dirasakan di pusat, yang saat ini sedang berpersoalan, namun dampaknya sangat luas hingga kepengurusan di daerah, bahkan secara individu pada anggota dan calon anggota.

    Sejumlah fakta ditemukan sepanjang konflik berlangsung di tubuh PWI tak kunjung bisa diselesaikan tersebut:

    Pertama, tidak bisa dipungkiri tingkat kepercayaan banyak mitra menurun karena kemelut berkepanjangan ini. Ada kebingungan dan akhirnya mitra-mitra PWI mengambil sikap pasif atau wait and see hingga masalah di PWI selesai. Mereka memilih undur diri untuk tidak bermitra dengan PWI terlebih dulu sampai masalah di organisasi wartawan terbesar ini usai.

    Kedua, tidak diperbolehkannya PWI menyelenggarakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) oleh Dewan Pers membawa kerugian besar dan menghambat proses kaderisasi wartawan di organisasi ini. Program unggulan UKW menjadi mandeg di daerah, banyak calon anggota PWI yang kemudian beralih ke lembaga uji lain.

    Jika dikalkulasi PWI memiliki 38 pengurus provinsi dan 1 PWI istimewa di Surakarta, kemudian masing-masing minimal menggelar sekali UKW mandiri, maka ada potensi kita kehilangan 39 penyelenggaraan UKW mandiri dalam setahun.

    Jika diperkirakan setiap UKW diikuti 24 peserta, maka bisa dihitung berapa banyak PWI kehilangan calon anggota bagi mereka yang mengikuti UKW level muda. Dalam berbagai UKW yang digelar, level muda lebih banyak diikuti dibandingkan dengan madya dan utama.

    Ketiga, setidak-tidaknya dua kementerian pernah menjembatani penyelesaian konflik di tubuh PWI sebagai bukti kecintaan dan perhatian besar pemerintah pada organisasi ini, yakni Kementerian Hukum serta Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Dalam pertemuan dengan dua kubu PWI, Jumat 11 November 2024, Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria menyatakan kesiapan untuk memfasilitasi Kongres Dipercepat pada 10 Desember 2024, namun hingga sekarang tawaran itu belum terealisasi. Tentu salah satu penyebabnya adalah kesepakatan tentang siapa yang berhak menjadi peserta Kongres Dipercepat, karena beberapa PWI di daerah sudah telanjur pecah menjadi dua kubu.

    Keempat, puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2025 di dua lokasi berbeda, yakni Kalimantan Selatan dan Riau membuat kebingungan di mata anggota dan mitra PWI daerah. Bukan cuma bingung akan hadir di undangan yang mana, namun logo HPN mana yang akan dipasang untuk melengkapi ucapan HPN di spanduk, baliho, atau media lainnya. Akhirnya ada yang memilih tanpa menyertakan logo HPN pada ucapan di spanduk, baliho, atau media lainnya. Sebagai contoh, banyak instansi baik pemerintah kabupaten/kota di Jateng dan Soloraya yang memasang logo HPN dan tema yang saling beda karena ketidaktahuan.

    Kelima, minat wartawan untuk bergabung ke PWI menjadi turun, karena belum ada kepastian kapan konflik ini akan berakhir. Akibatnya mereka menjadi lebih tertarik ke organisasi lain.

    Keenam, masih banyak lagi persoalan di daerah yang tidak mungkin diungkap, namun semuanya bersumber dari konflik yang terjadi di tubuh PWI.

    Ketujuh, banyak isu terkait pers yang tidak terkawal dengan baik lantaran kedua kubu disibukkan dengan konflik ini. Mulai dari pemilihan anggota Dewan Pers di mana wakil PWI tidak masuk di dalamnya. Padahal PWI merupakan organisasi dengan jumlah anggota terbanyak. Lalu advokasi kasus-kasus kekerasan kepada pekerja pers kurang optimal, tidak dilibatkannya PWI dalam proses-proses penyusunan regulasi negara.

    Untuk itu, dilandasi kecintaan pada organisasi dan hubungan persaudaraan pada semua anggota dan pengurus PWI di pelosok negeri ini, keempat aktivis pers Joglosemar yang juga pimpinan PWI di wilayah DIY, Surakarta, dan Jawa Tengah itu meminta agar konflik ini segera diakhiri secara baik dengan sejumlah alternatif cara, antara lain:

    1. Mengajak semua pihak melakukan penjajakan rekonsiliasi antar kedua pihak, baik yang di pusat maupun daerah dengan jiwa kekeluargaan, sikap kenegarawanan, meluruhkan ego, serta mendasarkan pada kecintaan dalam persahabatan dan kecintaan organisasi.

    2. Melakukan penyelesaian dengan cara selain Kongres Dipercepat yang dirasa lebih efektif dengan mengedepankan pemahaman bersama, sikap kenegarawanan, jiwa kekeluargaan, meluruhkan ego dan rasa kecintaan tinggi dalam pertemanan.

    3. Merealisasikan usulan Kementerian Komdigi, yakni menggelar Kongres Dipercepat dalam waktu dekat.

    4. Sebagai tempat lahirnya PWI, Surakarta bisa menjadi alternatif tempat bagi berlangsungnya rekonsiliasi nasional di tubuh PWI. [beq]

  • Dari Suap Ronald Tannur, Skandal Konglomerat CPO hingga Kasus Framing Berita

    Dari Suap Ronald Tannur, Skandal Konglomerat CPO hingga Kasus Framing Berita

    Bisnis.com, JAKARTA — Rentetan kasus hukum dari penyuapan hingga perintangan terkuak saat penemuan barang bukti yang berkaitan dengan pengacara sekaligus tersangka Marcella Santoso (MS).

    Mulanya, dari penggeledahan perkara suap vonis bebas Ronald Tannur nama Marcella disinggung dari barang bukti yang ditemukan oleh penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Setelah itu, penyidikan berkembang hingga akhirnya diperoleh tersangka dugaan suap perkara ekspor crude palm oil (CPO) tiga grup korporasi.

    Awalnya, Kejagung menetapkan empat tersangka mulai dari Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Panitera PN Jakarta Utara Wahyu Gunawan (WG) dan dua advokat Marcella serta Ariyanto (AR).

    Selanjutnya, kejagung juga mendapatkan bukti yang cukup untuk menetapkan tiga hakim yakni Djuyamto (DJU), Agam Syarif Baharudin (ASB), dan Ali Muhtarom (AM). Selain itu, Kepala Legal Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY).

    Dirdik Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan ketujuh tersangka ini memiliki keterkaitan untuk mengatur vonis pada perkara suap CPO.

    Misalnya, Syafei berperan sebagai penyedia uang suap agar kasus minyak goreng korporasi itu bisa divonis lepas atau onstlag.

    Mulanya, Syafei hanya menyediakan Rp20 miliar. Uang tersebut kemudian dikondisikan melalui Marcella dan Ariyanto ke Wahyu.

    Kemudian, Wahyu yang merupakan perantara uang suap itu melaporkan permintaan Syafei ke Arif Nuryanta dan meminta uang itu dikalikan tiga atau menjadi Rp60 miliar.

    Singkatnya, uang itu diterima Arif dan kemudian diduga didistribusikan kepada tiga hakim mulai dari Djuyamto, Agam dan Ali Muhtarom sebesar Rp22,5 miliar.

    Dari uang tersebut juga, Wahyu Gunawan selaku Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara mendapatkan jatah USD50.000 atas jasanya sebagai perantara.

    Adapun, majelis hakim yang dipimpin Djuyamto itu kemudian mengetok vonis lepas terhadap Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group.

    Setelah dinyatakan vonis lepas, maka tiga group korporasi itu telah dibebaskan dari tuntutan pembayaran denda dan uang pengganti sebesar Rp17,7 triliun.

    Kasus Perintangan Terkuak

    Tak lama dari pengungkapan kasus suap itu, Kejagung kembali mengumumkan perkara baru. Kali ini, soal perintangan penyidikan yang menyeret Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB).

    Lagi-lagi kasus tersebut terkuak saat kejagung menemukan barang bukti yang berkaitan dengan Marcella. Salah satu barang bukti yang dimaksud yakni terkait laporan realisasi pemberitaan dari Tian Bahtiar kepada Marcella.

    Dalam perkara ini, Marcella juga kembali menjadi tersangka. Selain Marcella dan Tian, dosen sekaligus advokat Junaidi Saibih (JS) juga turut menjadi tersangka.

    Kemudian, ketiga tersangka itu memiliki perannya masing-masing. Misalnya, Marcella bertanggung jawab atas hal-hal yang berkaitan dengan pengadilan.

    Selanjutnya, Junaidi berkaitan dengan rencana framing dengan mengundang narasumber yang beropini untuk menguntungkan kubu penasihat hukum.

    Sementara itu, Tian berperan untuk menyebarluaskan framing untuk membuat opini publik menjadi negatif sehingga dianggap telah menyudutkan kinerja korps Adhyaksa.

    Adapun, framing atau narasi negatif itu dituangkan dengan skema pembuatan podcast, acara TV, forum diskusi hingga melalui pembiayaan aksi demonstrasi. Bahan dari skema itu kemudian disebarluaskan ke media massa.

    Sementara itu, Kapuspenkum Kejagung RI Harli Siregar mencatat bahwa atas kerja sama tersebut, Tian Bahtiar telah mengantongi total Rp478,5 juta dari Marcella dan Junaidi.

    “Baik dalam penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di persidangan sementara berlangsung dengan biaya sebesar Rp478,5 juta yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan Tersangka JS kepada Tersangka TB,” ujar Harli dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025).

    Respons Dewan Pers

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pihaknya telah membahas persoalan yang menyeret Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar dengan pihak Kejagung.

    Dari hasil diskusi itu, Dewan Pers menyatakan bahwa pihaknya bakal menyerahkan penanganan perkara tersebut ke Kejagung apabila telah ditemukan bukti yang cukup.

    “Saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung disaksikan langsung oleh Pak Kapuspen dan Anggota Dewan Pers sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan,” ujarnya di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

    Dia menjelaskan sejatinya Dewan Pers memiliki kewenangan untuk menilai karya pemberitaan sebagai karya jurnalistik atau bukan, termasuk dalam penanganan perkara jurnalistik yang menyimpang.

    Salah satu praktik jurnalistik yang melanggar kode etik yaitu perilaku pekerja pers yang terindikasi suap. Adapun, perilaku menyimpang itu masuk ke Pasal 6 dan Pasal 8 dalam kode etik jurnalistik.

    “Jurnalis kalau ada indikasi tindakan-tindakan yang berupa suap atau penyalahgunaan profesinya, ada pengaturan di dalam kode etik dan itu masuk ranah wilayah etik di pasal 6 dan pasal 8,” imbuhnya.

    Dalam hal ini, Ninik menjelaskan bahwa pihaknya akan menilai apakah produk jurnalistik itu ditemukan pelanggaran atau tidak melalui proses uji akurasi.

    Kemudian, Dewan Pers juga menilai perilaku wartawan maupun perusahaan media yang terkait dengan kinerjanya, apakah sudah memenuhi profesionalisme atau justru melanggar kode etik.

    “Nah itulah kami ketika duduk bersama dan menyepakati ada ranah yang dilakukan oleh Kejaksaan tetapi juga ada ranah yang dilakukan oleh Dewan Pers,” pungkas Ninik.

  • 6
                    
                        Kejagung Dinilai Kebablasan, Tersangkakan Direktur Jak TV Tanpa Mekanisme UU Pers
                        Nasional

    6 Kejagung Dinilai Kebablasan, Tersangkakan Direktur Jak TV Tanpa Mekanisme UU Pers Nasional

    Kejagung Dinilai Kebablasan, Tersangkakan Direktur Jak TV Tanpa Mekanisme UU Pers
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pakar hukum pidana pada Universitas Trisakti
    Abdul Fickar Hadjar
    menilai,
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) kebablasan karena menetapkan Direktur JAK TV Tian Bahtiar sebagai tersangka tanpa menempuh jalur yang diatur Undang-Undang Dewan Pers.
    Fickar mengatakan, sebelum menetapkan Tian sebagai tersangka karena pemberitaan yang dianggap negatif dan merintangi penyidikan, Kejagung semestinya memberikan
    hak jawab
    sebagaimana diatur UU Pers.
    “Menurut saya ini bablas, nih. Belum ada mekanisme Undang-undang Pers itu dilakukan, Kejaksaan sudah langsung mempidanakan. Ini yang menurut saya agak kebablasan,” kata Fickar dalam program
    Obrolan Neswroom Kompas.com
    , Selasa (22/4/2025).

    Fickar menjelaskan, profesi tertentu seperti pers memiliki aturan mainnya tersendiri yang tercantum dalam UU Pers.
    Ketika pers dianggap melakukan satu tindakan yang merugikan orang lain, baik secara perdata maupun secara pidana melalui pemberitaannya, maka orang tersebut bisa meminta hak jawab kepada redaksi media sebelum menempuh jalur pidana.
    “Dalam pers itu ada Undang-undang Pers. Yang mestinya digunakan oleh semua pihak, siapapun, yang merasa disudutkan, yang merasa dijelek-jelekan oleh pers, pers itu harus memberikan kesempatan untuk pihak yang merasa dirugikan mengajukan jawaban. Itu mestinya mekanismenya seperti itu,” ujar dia.
    Fickar menyebutkan, jalur hukum baru dapat ditempuh setelah masalah tersebut ditangani oleh Dewan Pers.
    Namun, dalam kasus ini, Kejagung pun belum menggunakan hak jawabnya sehingga ia menilai aparat kebablasan.
    Fickar berpandangan, penetapan Tian sebagai tersangka dapat dianggap tidak sah karena Kejagung tidak mengikuti prosedur yang diatur dalam UU Pers.
    “Jadi menurut saya ini tidak sahnya penetapan tersangka karena ada prosedur yang tidak diikuti. Kalau keberatan terhadap pemberitaan, kalau keberatan terhadap penyiaran, dan sebagainya, itu ada mekanismenya sendiri. Ada hak jawab, ada hak untuk melakukan counter, dan sebagainya,” kata dia.
    Diberitakan sebelumnya, Kejagung menetapkan Tian dan dua advokat, Marcella Santoso dan Junaedi Saibih, sebagai tersangka  perintangan penyidikan kasus korupsi PT Timah Tbk, importasi gula di Kementerian Perdagangan, dan ekspor CPO.
    Kejagung menilai ada permufakatan jahat antara ketiganya dengan membangun opini publik lewat berita-berita negatif yang menyudutkan Kejagung.
     
    Menurut Kejagung, berita-berita itu dibuat oleh Tian atas permintaan Marcella dan Junaedi dengan bayaran Rp 478.500.000 yang masuk ke kantong pribadi Tian.
    Modusnya, Marcella dan Junaedi menggelar seminar, talkshow, hingga demonstrasi dengan narasi negatif tekait penanganan perkara oleh Kejagung, lalu diliput dan dipublikasikan oleh Tian.
    Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan menyatakan, proses hukum terhadap Tian menyalahi prosedur karena persoalan mengenai karya-karya jurnalistik semestinya menjadi kewenangan Dewan Pers.
    “Kasus TB (Tian Bahtiar) terkait dengan karya-karya jurnalis. Yang bisa menentukan bahwa karya-karya jurnalis ini adalah negatif, bermasalah, ada konspirasi, ada fitnah, buruk, itu adalah wilayahnya Dewan Pers,” kata Herik saat dihubungi, Selasa (22/4/2025).
    “Jadi, ini adalah kesalahan prosedur yang dilakukan,” imbuh dia.
    Di sisi lain, Komisi Kejaksaan menilai penetapan Tian sebagai tersangka oleh Kejagung didasari adanya pemufakatan jahat yang dibuat bersama seorang pengacara untuk menghalangi jalannya penyidikan sejak awal.
    Terlebih, penyidik menemukan adanya aliran dana ke kantong pribadi petinggi JAK TV tersebut.
    Komjak menyebut penetapan tersangka terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV itu bukan didasari oleh konten pemberitaan negatif yang diduga diolah oleh Tian Bahtiar.
    “Kalau kritik dijadikan skenario hukum berdasarkan pesanan, itu yang menjadi persoalan,” ucap Ketua Komjak Pujiyono.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Direktur Jak TV Tersangka, IJTI Soroti Pemberitaan Negatif jadi Perintangan

    Direktur Jak TV Tersangka, IJTI Soroti Pemberitaan Negatif jadi Perintangan

    Bisnis.com, JAKARTA — Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) angkat bicara terkait dengan penetapan tersangka Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). 

    Dalam siaran persnya, IJTI mempertanyakan soal penetapan tersangka insan pers karena pemberitaan atau konten jurnalistik yang memuat berita negatif dan dianggap merintangi penyidikan.

    “Menyampaikan informasi yang bersifat kritis merupakan bagian dari kerja pers dan fungsi kontrol sosial yang dijamin oleh undang-undang,” ujar pengurus IJTI dalam keterangan tertulis, Rabu (23/4/2025).

    Dia menambahkan langkah penetapan tersangka ini bisa menjadi preseden berbahaya yang bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk menjerat jurnalis yang bersikap kritis.

    Oleh sebab itu, pengurut IJTI khawatir bahwa langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menetapkan tersangka terhadap Tian Bahtiar bisa mengancam kemerdekaan pers.

    “Sesuai UU Pers, setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana,” imbuhnya.

    Namun demikian, IJTI juga siap mendukung pemberantasan setiap jenis korupsi termasuk dengan perkara perintangan penyidikan tersebut jika memang masuk ranah pidana.

    “IJTI menegaskan dukungannya terhadap pengungkapan dugaan aliran dana suap dalam perkara ini sebagai bagian dari proses hukum pidana,” pungkas pengurus IJTI.

    Di lain sisi, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu menyatakan bahwa pihaknya akan mengklarifikasi IJTI terkait dengan status keanggotaan Tian Bahtiar dalam organisasi jurnalis TV tersebut.

    “Posisi direktur itu mensyaratkan harus memiliki kartu utama. Kedua, yang bersangkutan menjadi anggota dari Ikatan Jurnalistik di Indonesia. Nanti kami akan cek ulang apakah pemenuhan syarat itu kami juga akan mengundang IJTI yang menjelaskan kepada kami permasalahan keanggotaan,” ujar Ninik di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

  • Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar Ditetapkan Tersangka Kejagung, IJTI: Preseden Berbahaya – Halaman all

    Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar Ditetapkan Tersangka Kejagung, IJTI: Preseden Berbahaya – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar ditetapkan sebagai tersangka kasus perintangan penyidikan atas kasus-kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

    Tian Bahtiar diduga kuat menjadi aktor intelektual di balik upaya sistematis untuk merusak citra Kejagung, atas pesanan dua advokat tersangka, yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS).

    Konten-konten yang menyebar di media sosial dan sejumlah media online tersebut diketahui berisi narasi menyesatkan mengenai penanganan perkara korupsi oleh Kejagung, khususnya dalam kasus korupsi PT Timah dan ekspor crude palm oil (CPO).

    Mengenai hal ini, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mempertanyakan penetapan tersangka Tian Bahtiar tersebut.

    Menurut Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, jika yang menjadi dasar penetapan tersangka Tian adalah produk pemberitaan, Kejagung mestinya berkoordinasi terlebih dulu dengan Dewan Pers. 

    Pasalnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, penilaian atas suatu karya jurnalistik, termasuk potensi pelanggarannya, merupakan kewenangan Dewan Pers. 

    IJTI pun khawatir langkah yang diambil Kejagung tersebut akan menjadi preseden berbahaya yang bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menjerat jurnalis atau media yang bersikap kritis terhadap kekuasaan

    “Ini akan menciptakan iklim ketakutan dan menghambat kemerdekaan pers,” kata Herik dalam keterangan tertulis, Selasa (22/4/2025), dilansir Kompas.com.

    Herik lantas mengingatkan, berdasarkan Undang-Undang tentang Pers, setiap persoalan atau sengketa yang berkaitan dengan pemberitaan wajib lebih dulu diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan langsung menggunakan proses pidana. 

    Menurut Herik, pendekatan represif terhadap kerja jurnalistik itu berpotensi mengancam kemerdekaan pers dan mencederai demokrasi. 

    Meski demikian, IJTI mendukung pengusutan perkara pidana yang tengah terjadi, asalkan pengusutan ini dilakukan secara transparan dan akuntabel. 

    “IJTI mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi di segala lini, termasuk langkah-langkah yang sedang dilakukan Kejaksaan Agung dalam mengungkap dugaan suap senilai lebih dari Rp 478 juta yang disebut mengalir ke pihak terkait,” ujarnya. 

    “Namun, jika penetapan tersangka terhadap insan pers semata-mata karena pemberitaan yang dianggap ‘menghalangi penyidikan’, maka kami menilai perlu ada penjelasan dan klarifikasi lebih lanjut dari Kejaksaan, serta koordinasi yang semestinya dengan Dewan Pers,” imbuh Herik.

    Dewan Pers Akan Periksa Dugaan Pelanggaran Etik Tian Bahtiar

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan pihaknya akan memeriksa dugaan pelanggaran etik Tian Bahtiar atas berita-berita yang dimuat, apakah memenuhi kaidah jurnalistik atau tidak.

    “Pertama, soal pemberitaannya apakah ada pelanggaran terhadap kode etik pasal 3, misalnya cover both sides atau tidak ada proses uji akurasi dan lain-lain,” jelas Ninik di Kejagung, Selasa (22/4/2025).

    Selain itu, kata Ninik, Dewan Pers juga akan mengecek soal dugaan pelanggaran etik atas perilaku Tian Bahtiar dalam menjalankan tugasnya sebagai jurnalis yang profesional.

    “Yang kedua adalah menilai perilaku dari wartawan, apakah ada tindakan-tindakan yang melanggar kode etik sebagai wartawan, di dalam menjalankan tugasnya, dalam menjalankan profesionalisme kerjanya, karena pers itu memerlukan dua hal yang harus berjalan seiring,” kata Ninik.

    Untuk itu, Dewan Pers akan mengumpulkan berita-berita yang dianggap Kejagung dibuat atas rekayasa atau permufakatan jahat. 

    Kemudian, berita-berita tersebut akan dinilai sesuai kode etik jurnalistik yang berlaku.

    Selanjutnya, Dewan Pers akan meminta keterangan langsung dari para pihak.

    “Berita-berita itulah yang nanti akan kami nilai apakah secara substansial atau secara prosedural itu menggunakan parameter kode etik jurnalistik atau bukan,” kata Ninik. 

    “Kami ingin memastikan terlebih dahulu. Jadi, dalam konteks pemeriksaan itu, bisa jadi nanti kami memanggil para pihak,” ujar Ninik. 

    Terkait penanganan kasus ini, Ninik mengatakan, Dewan Pers dan Kejagung akan menindaklanjuti sesuai dengan tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) masing-masing.

    “Terkait dengan proses penanganan perkara yang tadi pagi banyak diberitakan oleh media, Dewan Pers tentu meminta kita masing-masing lembaga ya,” kata Ninik.

    Ninik mengatakan, pihaknya akan mendukung semua proses hukum yang berlaku dan tak akan ikut campur selagi ada bukti yang akurat.

    “Kalau memang ada bukti-bukti yang cukup bahwa kasus tersebut terkait dengan tindak pidana, maka ini adalah kewenangan penuh dari Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti prosesnya,” ungkap.

    “Dewan Pers tentu tidak ingin menjadi lembaga yang cawe-cawe terhadap proses hukum,” sambungnya.

    Namun, Ninik menegaskan, pihaknya tetap akan menindaklanjuti kasus ini karena masuk dalam ranah etik jurnalistik.

    “Tetapi terkait dengan pemberitaan untuk menilai apakah sebuah karya pemberitaan itu masuk kategori karya jurnalistik atau bukan, ini adalah kewenangan etik dan yang melakukan penilaian adalah Dewan Pers, sebagaimana yang ditunjuk di dalam Undang-undang 40 tahun 1999,” tuturnya.

    Untuk itu, Ninik mengatakan telah bersepakat dengan Jaksa Agung akan bertindak sesuai tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

    “Untuk ini, maka saya selaku Ketua Dewan Pers dan juga Pak Jaksa Agung sepakat untuk saling menghormati proses yang sedang dijalankan dan masing-masing menjalankan tugasnya, sebagaimana mandat yang diberikan oleh Undang-undang kepada kami,” katanya.

    Peran Tian Bahtiar di Balik Konten Negatif yang Hancurkan Reputasi Kejagung

    Tian diduga kuat menjadi aktor intelektual di balik upaya sistematis untuk merusak citra Kejagung, atas pesanan dua advokat tersangka, yakni Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS).

    Konten-konten yang menyebar di media sosial dan sejumlah media online tersebut diketahui berisi narasi menyesatkan mengenai penanganan perkara korupsi oleh Kejagung, khususnya dalam kasus korupsi PT Timah dan ekspor crude palm oil (CPO).

    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar mengatakan, Tian Bahtiar menjalankan aksinya dengan menyusun narasi-narasi yang memutarbalikkan fakta.

    Terutama terkait angka kerugian negara, yang disebutnya tidak benar dan menyesatkan.

    Sebagai imbalan atas pembuatan konten tersebut, Tian Bahtiar menerima dana sebesar Rp478.500.000.

    Uang tersebut dibayarkan langsung oleh Marcella Santoso dan Junaedi Saibih.

    “Rp478.500.000 yang dibayarkan oleh Tersangka MS dan JS kepada TB,” kata Qohar dalam konferensi pers yang digelar di Kejaksaan Agung, Selasa.

    Pihak Kejagung juga menegaskan, tindakan Tian Bahtiar itu dilakukan secara pribadi, tanpa sepengetahuan pihak manajemen Jak TV.

    Bahkan, tidak ada kontrak kerja sama resmi antara media tersebut dengan pihak advokat ataupun klien terkait.

    “Jadi Jak TV ini mendapat uang itu secara pribadi. Bukan atas nama sebagai direktur ya Jak TV,” ucap Qohar.

    Sementara itu, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyebut Tian Bahkan tidak hanya menyebarkan konten di media sosial saja.

    Disebutkan, dia juga terlibat dalam kegiatan lain yang bertujuan untuk membentuk opini negatif terhadap Kejaksaan Agung.

    “Bertugas untuk membentuk opini publik,” ujar Harli.

    Harli menjelaskan, strategi yang digunakan termasuk mendanai demonstrasi, menyelenggarakan seminar, mengarahkan program televisi, hingga membuat konten-konten media sosial yang merugikan citra institusi penegak hukum tersebut.

    Adapun, konten-konten negatif itu dipublikasikan oleh Tian Bahtiar ke beberapa medium, baik itu media sosial maupun media online yang terafiliasi dengan Jak TV.

    Namun, Tian Bahtiar sendiri membantah telah menitipkan berita ke media mana pun.

    “Nggak ada, kita sama-sama satu profesi,” ujar Tian Bahtiar saat digiring ke mobil tahanan di Kejagung.

    (Tribunnews.com/Rifqah/Glery Lazuardi/Abdi Ryanda) (Kompas.com)