Institusi: Centre for Strategic and International Studies (CSIS)

  • RI Bisa Untung Besar dari IEU-CEPA, Asal Aturan Asal Bahan Baku Fleksibel

    RI Bisa Untung Besar dari IEU-CEPA, Asal Aturan Asal Bahan Baku Fleksibel

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dan Uni Eropa mencapai perjanjian perdagangan melalui Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IEU-CEPA. Indonesia dinilai bisa untung banyak dari kesepakatan itu apabila ada fleksibilitas dalam aturan asal bahan baku.

    Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Riandy Laksono menilai tercapainya kesepakatan IEU-CEPA menjadi kabar positif, terutama bagi sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki.

    Dia menjelaskan pasar Uni Eropa merupakan salah satu yang terbesar di dunia untuk produk tekstil dan alas kaki. Hanya saja, selama ini, negara-negara Afrika lebih dominan sebagai mitra dagang utama kawasan tersebut karena mendapat akses preferensial.

    “IEU-CEPA akan membantu levelling the playing field [menyetarakan kondisi persaingan] dengan negara-negara yang selama ini sudah mendapatkan akses khusus ke Uni Eropa seperti negara-negara Afrika,” ujar Riandy kepada Bisnis Senin (14/7/2025).

    Dia pun menyoroti pentingnya fleksibilitas aspek rules of origin (ROO) atau aturan asal barang dalam implementasi IEU-CEPA. Dalam kasus ini, ROO akan menentukan apakah produk Indonesia layak mendapatkan tarif rendah atau bahkan 0% di Eropa.

    Menurutnya, perlu ada fleksibilitas dalam pengakuan asal bahan baku agar industri domestik bisa tetap kompetitif.

    Masalahnya, bahan baku untuk tekstil dan alas kaki produk Indonesia selama ini banyak bergantung dari pasokan negara kawasan Asean fan China. Misalnya, catat Riandy, impor bahan baku Indonesia dari China mencapai 25%.

    Dia mengaku mendengar bahwa ROO untuk tekstil akan mengizinkan kumulasional bahan baku dari negara yang juga memiliki perjanjian dagang bebas dengan Uni Eropa.

    “Jadi ini berita bagus buat kita, karena artinya semakin fleksibel dalam sourcing [mencari sumber] bahan baku,” kata Riandy.

    Selain manfaat dagang, Riandy menilai IEU-CEPA juga membuka peluang penting dalam diversifikasi sumber investasi asing langsung (FDI). Dia menggarisbawahi pentingnya peran Eropa dalam investasi hijau. 

    Oleh sebab itu, Riandy mendorong agar pemerintah bisa menarik investasi Uni Eropa terutama untuk memperkuat agenda transisi ke energi hijau.

    “Ini utamanya sangat relevan buat investasi di hilirisasi nikel. Saat ini pangsa terbesar nikel olahan kita adalah China. Investasi dari Uni Eropa akan membantu mendorong nikel kita lebih punya standar hijau dan diterima di negara-negara maju,” tutupnya.

    Pasar Besar Uni Eropa

    Secara historis, hubungan dagang Indonesia dengan negara-negara Eropa memang tidak terlalu signifikan. Berdasarkan data Harvard Growth Lab, nilai ekspor produk asal Indonesia ke Eropa tak pernah melebihi US$29 miliar atau sekitar Rp469,8 triliun (asumsi kurs Rp16.200 per dolar AS) sejak 1995.

    Data terbaru pada 2023 misalnya, nilai ekspor ke Eropa hanya sebesar US$24,3 miliar atau setara 8,46% dari total nilai ekspor Indonesia secara global (US$287 miliar). Sebagai perbandingan, nilai ekspor ke Asia mencapai US$188 miliar atau 65,5% dari total nilai ekspor Indonesia secara global.

    Padahal, Uni Eropa merupakan wilayah pengimpor produk-produk yang banyak diproduksi di Indonesia. Contoh nyata adalah tekstil dan agrikultur.

    Dua sektor itu kini terancam tarif impor 32% yang diterapkan AS untuk produk asal Indonesia. Masalahnya, sejak 1995, sektor tekstil dan agrikultur selalu berkontribusi lebih dari 50% dari nilai total barang ekspor Indonesia ke AS (pengecualian pada krisis finansial Asia 1997 dan 1998).

    Ancaman tarif tinggi Presiden AS Donald Trump memaksa eksportir produk tekstil dan agrikultur asal Indonesia mencari pasar baru. Tak berlebih rasanya menyebut Eropa sebagai wilayah paling strategis sebagai pasar ekspor baru itu.

    Dari tahun ke tahun, Eropa merupakan wilayah pengimpor produk tekstil dan agrikultur terbesar secara global.

    Pada 2023 misalnya, Eropa mengimpor produk tekstil sekitar US$521 miliar atau setara 40% dari total nilai impor global sebesar US$1,3 triliun. Eropa turut mengimpor produk agrikultur sekitar US$969 miliar atau setara 38,76% dari total nilai impor global sebesar US$2,5 triliun.

    Sementara pada 2023, nilai ekspor produk tekstil Indonesia ke Eropa senilai US$3,49 miliar. Jumlah itu hanya setara 0,66% dari total nilai impor produk tekstil Eropa secara global (US$521 miliar) dan 17,48% dari total nilai ekspor produk tekstil Indonesia secara global (US$20 miliar).

    Artinya, peluang membuka pasar ekspor produk tekstil dan agrikultur asal Indonesia ke Eropa sangat besar, terlebih usai tercapai perjanjian IEU-CEPA.

    Adapun, Presiden Prabowo Subianto menemui Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen di Brussel, Belgia pada Minggu (13/7/2025) waktu setempat. Pada pertemuan tersebut, kedua pimpinan negara resmi merampungkan negosiasi dan menyepakati Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement atau IEU-CEPA.

    Perjanjian kemitraan ekonomi secara menyeluruh antara kedua negara itu memakan waktu selama satu dekade dalam rangka negosiasi dan akhirnya baru disepakati melalui perundingan panjang.

    Dalam keterangan pers bersama di Brussel, Prabowo berterima kasih kepada Presiden von der Leyen yang telah menerimanya pada Minggu siang ini. Dia menyampaikan bahwa pertemuan itu menunjukkan kedua negara memiliki hubungan baik.

    Prabowo lalu mengumumkan bahwa pada hari ini kedua negara juga telah mencapai kesepakatan pada IEU-CEPA, yang dinilainya merupakan suatu terobosan.

    “Setelah 10 tahun negosiasi, kami telah menyelesaikan kesepakatan terhadap Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif, yang pada dasarnya adalah perjanjian perdagangan bebas,” ujarnya kepada awak media, dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden, Minggu (13/7/2025).

  • MPR ingatkan amanat konstitusi dalam sikapi konflik antarnegara

    MPR ingatkan amanat konstitusi dalam sikapi konflik antarnegara

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 dalam menyikapi konflik antarnegara yang sedang berkecamuk saat ini.

    “Dalam menyikapi sejumlah konflik yang terjadi saat ini, konstitusi kita telah mengamanatkan agar pemerintah Indonesia harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

    Hal itu disampaikannya saat memberikan sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema “Senjata Nuklir atau Pergantian Rezim? Perkembangan Perang Israel-Iran” yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.

    Dia mengingatkan amanat konstitusi UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta ikut mewujudkan perdamaian dunia harus mampu direalisasikan dalam menyikapi konflik yang terjadi antarnegara di dunia.

    “UUD 1945 juga menekankan bahwa sebagai bagian dari tujuan bernegara Indonesia harus ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” ujarnya.

    Dia pun menilai situasi geopolitik dalam beberapa bulan terakhir berdampak signifikan pada berbagai bidang kehidupan.

    “Dampak tersebut secara langsung maupun tidak langsung juga berdampak pada sejumlah sektor seperti ekonomi dan politik di Indonesia,” ucapnya.

    Untuk itu, dia berharap para pemangku kebijakan di Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyikapi sejumlah konflik di dunia, dengan tetap mengedepankan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.

    Sementara itu, pengamat militer Jaleswary Pramodhawardani berpendapat serangan Israel ke Iran pada 13 Juni lalu bukanlah insiden biasa, melainkan menggeser dinamika kawasan global secara fundamental dengan terlibatnya Amerika dalam konflik Israel-Iran.

    Menurut dia, dalam waktu dekat eskalasi konflik di kawasan itu akan berdampak pada ekonomi global dalam bentuk disrupsi pada perdagangan minyak dunia, serta diperkirakan akan mengarah pada meluasnya perang di kawasan.

    “Indonesia harus mampu menyiapkan langkah strategis untuk merespons dampak disrupsi ekonomi tersebut,” ujarnya.

    Untuk itu, dia mendorong adanya upaya dialog dan de-eskalasi konflik tersebut melalui berbagai saluran diplomatik, baik multilateral dan bilateral.

    “Segera desain strategi cepat jangka pendek untuk merespons dampak negatif konflik Iran-Israel,” katanya.

    Adapun peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pieter Pandie memandang perkembangan konflik Israel-Iran yang terjadi saat ini masih terlalu dini untuk bisa diperkirakan kondisi akhirnya.

    Menurut dia, kondisi gencatan senjata pada konflik Israel-Iran saat ini pun masih berpotensi diabaikan oleh keduabelah pihak.

    “Jadi, masih sulit untuk memperkirakan konflik ini akan berakhir,” ujar dia.

    Forum diskusi tersebut turut diisi pula oleh mantan Duta Besar RI untuk Iran, Dian Wirengjurit, hingga Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • CSIS Ungkap Masih Banyak Tantangan untuk Industri Hijau RI

    CSIS Ungkap Masih Banyak Tantangan untuk Industri Hijau RI

    JAKARTA – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut bahwa transisi Indonesia menuju industri hijau masih menghadapi sejumlah tantangan kebijakan, baik dari sisi pasokan, permintaan, maupun kebijakan pendukung.

    Dari sisi pasokan, Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang dirilis CSIS di Jakarta, dikutip Antara, Sabtu, 21 Juni, menemukan bahwa meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas fiskal dan non-fiskal bagi pelaku usaha, sebagai besar insentif tersebut masih bersifat umum dan belum secara spesifik diarahkan untuk mendorong transisi hijau.

    Selain itu, sertifikasi industri hijau, yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 39 Tahun 2018, masih bersifat sukarela.

    “Sertifikasi ini juga belum terintegrasi dengan skema insentif fiskal maupun dijadikan prasyarat untuk mengakses pasar tertentu,” demikian laporan tersebut.

    Dari sisi permintaan, laporan tersebut menyebut bahwa meskipun kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan telah dituangkan dalam beberapa dokumen perencanaan, implementasinya masih sangat terbatas.

    Indonesia juga saat ini belum memiliki sistem pelabelan karbon untuk produk-produk industri. Menurut laporan CSIS, sistem ini seharusnya dapat memberikan sinyal pasar yang kuat dan insentif tambahan bagi pelaku industri yang telah melakukan efisiensi emisi.

    “Belum tersedianya strategi perdagangan hijau dan dukungan konkret untuk membantu industri beradaptasi terhadap standar ekspor yang semakin ketat juga menunjukkan perlunya penguatan kebijakan dari sisi permintaan industri hijau,” tambah laporan tersebut.

    Pada aspek kebijakan pendukung, CSIS mencatat beberapa inisiatif penting yang sedang berjalan. Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2.0 telah mulai memasukkan sektor industri dalam kategorisasi aktivitas ekonomi hijau.

    TKBI adalah sistem klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.

    Namun, CSIS menilai TKBI ini belum menyediakan indikator teknis yang cukup rinci untuk setiap subsektor industri, sehingga sulit digunakan sebagai acuan pemberian insentif pembiayaan hijau yang lebih terarah.

    CSIS merekomendasikan beberapa kebijakan kunci untuk mempercepat transisi industri hijau di Indonesia. Ini mencakup penguatan kebijakan terintegrasi, penyelarasan standar dan sertifikasi industri hijau, pengembangan permintaan untuk produk hijau, dan reformasi kebijakan energi untuk mendukung inisiatif ini.

    Menurut CSIS, transisi ini sangat penting karena permintaan dari sektor publik dan swasta di negara-negara maju terhadap produk dan jasa industri hijau terus meningkat, menjadikannya faktor penentu akses pasar dan investasi.

  • GRP dorong sinergi kebijakan dan Industri perkuat daya saing nasional

    GRP dorong sinergi kebijakan dan Industri perkuat daya saing nasional

    Jakarta (ANTARA) – PT Gunung Raja Paksi Tbk (GRP), produsen baja terintegrasi di Indonesia mendorong sinergi antara pemerintah selaku penyusun kebijakan dengan industri guna memperkuat daya saing nasional.

    Presiden Direktur GRP, Fedaus menyatakan membangun daya saing nasional tidak bisa dilakukan secara terpisah, sebaliknya diperlukan pendekatan yang lebih terintegrasi antara pemerintah, pelaku industri, dan institusi riset agar kebijakan industri responsif serta progresif.

    “Sinergi antara kebijakan dan pelaku industri adalah kunci. Kebijakan yang tepat sasaran harus lahir dari pemahaman menyeluruh terhadap realita industri di lapangan,” katanya dalam peluncuran Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang diselenggarakan Centre for Strategic and International Studies (CSIS), di Jakarta, Jumat.
    .
    Sebaliknya, lanjut dia, industri juga harus mampu beradaptasi dan berinovasi dalam kerangka kebijakan yang semakin menekankan keberlanjutan dan daya saing global.

    Dalam sesi diskusi panel bertema “Mencapai Resiliensi dan Keberlanjutan di Tengah Ketidakpastian” itu Fedaus menegaskan bahwa posisi industri baja sangat strategis bagi keberlangsungan sektor industri lain.

    Ia menyebut baja sebagai “Mother of Industry”, istilah yang menggambarkan peran baja sebagai fondasi utama dari hampir seluruh aspek pembangunan nasional.

    Oleh karena itu, tambahnya, transformasi industri baja sebagai bagian dari strategi jangka panjang menghadapi perubahan global dan transisi ekonomi rendah karbon merupakan hal yang penting dilakukan.

    GRP, menurut dia menekankan bahwa dekarbonisasi bukan sekadar tanggung jawab perusahaan individu. Lebih dari itu, dekarbonisasi juga merupakan agenda kolektif untuk menjadikan industri baja Indonesia lebih kompetitif secara internasional.

    Terkait dekarbonisasi itu pula, GRP telah menjalankan berbagai langkah nyata. Mulai penyusunan Net Zero Roadmap hingga pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap berkapasitas 9,3 MWp.

    Upaya ini diperkuat melalui peningkatan tata kelola dan pelaporan tahunan terkait keberlanjutan, seperti perolehan skor CDP Climate Change B- pada 2024, serta penguatan daya saing produk melalui sertifikasi Environmental Product Declaration (EPD).

    “Kami melihat dekarbonisasi sebagai bagian dari strategi industri, bukan sekadar kewajiban lingkungan. Dunia akan semakin selektif terhadap produk dengan jejak karbon rendah. Jika industri baja nasional ingin tetap bersaing, kita harus memulai dari sekarang, bersama-sama,” katanya.

    Menyinggung partisipasi GRP dalam forum CSIS, Fedaus menjelaskan hal itu merupakan bagian dari komitmen perusahaan untuk terlibat aktif dalam pembentukan arah kebijakan industri nasional yang tangguh, adaptif, dan relevan terhadap tantangan global, serta menjawab kebutuhan keberlanjutan masa depan secara kolaboratif.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • CSIS ungkap tantangan kebijakan industri hijau di Indonesia

    CSIS ungkap tantangan kebijakan industri hijau di Indonesia

    Jakarta (ANTARA) – Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut bahwa transisi Indonesia menuju industri hijau masih menghadapi sejumlah tantangan kebijakan, baik dari sisi pasokan, permintaan, maupun kebijakan pendukung.

    Dari sisi pasokan, Laporan Perdagangan dan Investasi Berkelanjutan Indonesia 2025 yang dirilis CSIS di Jakarta, Jumat, menemukan bahwa meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai fasilitas fiskal dan non-fiskal bagi pelaku usaha, sebagai besar insentif tersebut masih bersifat umum dan belum secara spesifik diarahkan untuk mendorong transisi hijau.

    Selain itu, sertifikasi industri hijau, yang diatur melalui Peraturan Menteri Perindustrian No. 39 Tahun 2018, masih bersifat sukarela.

    “Sertifikasi ini juga belum terintegrasi dengan skema insentif fiskal maupun dijadikan prasyarat untuk mengakses pasar tertentu,” demikian laporan tersebut.

    Dari sisi permintaan, laporan tersebut menyebut bahwa meskipun kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang berkelanjutan telah dituangkan dalam beberapa dokumen perencanaan, implementasinya masih sangat terbatas.

    Indonesia juga saat ini belum memiliki sistem pelabelan karbon untuk produk-produk industri. Menurut laporan CSIS, sistem ini seharusnya dapat memberikan sinyal pasar yang kuat dan insentif tambahan bagi pelaku industri yang telah melakukan efisiensi emisi.

    “Belum tersedianya strategi perdagangan hijau dan dukungan konkret untuk membantu industri beradaptasi terhadap standar ekspor yang semakin ketat juga menunjukkan perlunya penguatan kebijakan dari sisi permintaan industri hijau,” tambah laporan tersebut.

    Pada aspek kebijakan pendukung, CSIS mencatat beberapa inisiatif penting yang sedang berjalan. Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) versi 2.0 telah mulai memasukkan sektor industri dalam kategorisasi aktivitas ekonomi hijau.

    TKBI adalah sistem klasifikasi aktivitas ekonomi yang mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia, dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial.

    Namun, CSIS menilai TKBI ini belum menyediakan indikator teknis yang cukup rinci untuk setiap subsektor industri, sehingga sulit digunakan sebagai acuan pemberian insentif pembiayaan hijau yang lebih terarah.

    CSIS merekomendasikan beberapa kebijakan kunci untuk mempercepat transisi industri hijau di Indonesia. Ini mencakup penguatan kebijakan terintegrasi, penyelarasan standar dan sertifikasi industri hijau, pengembangan permintaan untuk produk hijau, dan reformasi kebijakan energi untuk mendukung inisiatif ini.

    Menurut CSIS, transisi ini sangat penting karena permintaan dari sektor publik dan swasta di negara-negara maju terhadap produk dan jasa industri hijau terus meningkat, menjadikannya faktor penentu akses pasar dan investasi.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • CSIS: Dulu Ekonomi RI Disebut Komodo, Kini Berpotensi Jadi Cicak

    CSIS: Dulu Ekonomi RI Disebut Komodo, Kini Berpotensi Jadi Cicak

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketahanan ekonomi Indonesia dari efek perlambatan ekonomi global kini terlihat makin melemah, menurut pandangan Center Centre for strategic and international Studies (CSIS).

    Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, semakin melemahnya ketahanan ekonomi Indonesia kini terlihat dari pergerakan kurs rupiah yang melemah terhadap dolar AS. Padahal, indeks dolar cenderung tengah tertekan efek kebijakan perang dagang Presiden AS Donald Trump.

    “Dulu-dulu ketika ada terjadi shock di tingkatan dunia, perekonomian Indonesia sering disebut cukup resilient. Bahkan The Economist tahun 2011 atau 2012 menyebut Indonesia itu sebagai The Komodo Economy,” kata Yose saat konferensi pers “Setengah Tahun Pemerintahan Prabowo”, Rabu (7/5/20240

    “Julukan itu karena kulitnya tebal seperti Komodo Dragon. Tetapi apakah sekarang ini kita masih akan bisa menjadi komodo ekonomi? Mudah-mudahan tidak menjadi cicak ekonomi,” tegasnya.

    Sejak Trump mengumumkan pengenaan tarif resiprokal yang tinggi kepada negara-negara mitra dagang utamanya, Yose menegaskan, kondisi rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Padahal, indeks dolar juga terus melemah seusai periode yang Trump sebut sebagai Liberation Day.

    Kurs rupiah saat itu sudah tembus di level atas Rp 16.800 dan bahkan sudah menyentuh level Rp 16.900 per 9 April 2025. Sementara itu indeks dolar terus menurun ke level bawah 99.

    “Ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan karena kita akan menjadi negara mata uang kita akan melemah sendiri dibandingkan dengan seluruh mata uang lainnya,” tegas Yose.

    Di sisi lain, ia mengatakan aliran modal asing tercatat terus keluar dari pasar keuangan domestik. Berdasarkan catatan BI, sepanjang tahun ini, dari awal tahun sampai dengan data setelmen hingga 30 April 2025, non residen tercatat jual neto sebesar Rp 49,56 triliun di pasar saham, Rp 12,05 triliun di SRBI, serta beli neto sebesar Rp 23,01 triliun di pasar SBN.

    Yose berpendapat, mengkhawatirkannya ketahanan ekonomi domestik ini dipicu oleh permasalahan yang selama ini terbilang menjadi tameng saat masa krisis, namun kini malah melemah, yaitu masalah transparansi fiskal, dan isu tidak independennya kebijakan moneter.

    Diperburuk dengan permasalahan yang selama krisis selalu menjadi masalah, yakni sektor riil atau iklim bisnis yang masih tersandung inefisiensi, serta ketenagakerjaan maupun daya beli yang kini makin tertekan.

    “Kita bisa lihat bagaimana fiskal kita mulai sedikit demi sedikit digerogoti, kemudian dari sisi monetary, bahkan independensi dari bank sentral sudah mulai dipertanyakan di situ. Dan ini tentunya akan membuat kepercayaan kepada perekonomian Indonesia juga akan semakin berkurang,” tegas Yose.

    Makanya, ia berpendapat, ke depannya pertumbuhan ekonomi akan semakin tertekan. Laju pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 yang telah ke posisi 4,87 menjadi awal tak akan lagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang selama satu dekade terakhir terus stagnan di kisaran 5%.

    “Kita tidak lagi bisa mengandalkan pasar ekspor kita. Pasar ekspor yang akan semakin mengecil dan juga tentunya ini berimbas juga kepada government revenue, kepada pendapatan pemerintah,” tuturnya.

    (arj/mij)

  • Pendiri CSIS nilai Prabowo pemimpin tepat untuk masa sulit dan kompleks

    Pendiri CSIS nilai Prabowo pemimpin tepat untuk masa sulit dan kompleks

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Pendiri CSIS nilai Prabowo pemimpin tepat untuk masa sulit dan kompleks
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Rabu, 30 April 2025 – 17:55 WIB

    Elshinta.com – Jusuf Wanandi, Peneliti Senior sekaligus pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyampaikan pandangannya mengenai arah kepemimpinan nasional di bawah Presiden RI Prabowo Subianto.

    Dalam opininya yang dimuat di The Jakarta Post berjudul “My Personal Take on President Prabowo’s Achievements and Challenges”, Jusuf menyatakan keyakinannya bahwa Prabowo adalah sosok yang paling tepat memimpin Indonesia di tengah situasi global yang penuh tantangan dan ketidakpastian.

    Menurut Jusuf, kepemimpinan strategis sangat dibutuhkan dalam menghadapi masa depan yang tidak mudah. Ia menilai pendekatan Prabowo terhadap pembangunan nasional selama ini menunjukkan arah kebijakan yang kuat dan berpijak pada kepentingan jangka panjang bangsa.

    “Itulah sebabnya saya mendukungnya—karena saya yakin dialah satu-satunya pemimpin yang mampu membimbing Indonesia melewati masa-masa sulit dan rumit ini. Di luar visi strategisnya, saya juga mengenalnya secara pribadi dan dapat menjamin komitmennya yang mendalam kepada rakyatnya, bangsanya, dan kemanusiaan secara keseluruhan,” ujar Jusuf dalam tulisannya.

    Ia menambahkan, berbagai tantangan yang telah dan akan dihadapi Indonesia, mulai dari perlambatan ekonomi global hingga transformasi teknologi dan sosial, membutuhkan kepemimpinan yang tidak hanya tegas, tetapi juga memiliki arah yang jelas dan komitmen yang tulus terhadap rakyat.

    Jusuf melihat bahwa Prabowo memiliki kemampuan untuk menggabungkan visi besar dengan pendekatan praktis di lapangan. Menurutnya, inilah yang dibutuhkan Indonesia agar dapat terus melangkah maju dan menjaga stabilitas nasional dalam berbagai sektor.

    Ke depan, ia mengusulkan agar pemerintah membangun narasi pertumbuhan yang lebih terarah dan kuat.

    Selain itu, Jusuf menilai pentingnya komitmen fiskal yang berkelanjutan. Ia mengapresiasi sikap Menteri Keuangan yang telah menegaskan disiplin fiskal sebagai pijakan kebijakan ekonomi nasional. 

    Tak kalah penting, komunikasi langsung antara Presiden dengan pelaku pasar dan investor dinilai sangat strategis dalam menjaga kepercayaan. Jusuf menyarankan agar Prabowo secara berkala berdialog dengan investor untuk menjelaskan arah kebijakan pemerintah, serta menegaskan komitmen terhadap tata kelola ekonomi dan reformasi BUMN yang transparan.

    “Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan sentimen pasar akan membaik dan stabilitas ekonomi Indonesia akan tetap terjaga dalam jangka panjang,” tutup Jusuf.

    Sumber : Elshinta.Com

  • Regulasi Berjibun dan Kerap Berubah Bikin Investor Ragu Tanam Modal di RI

    Regulasi Berjibun dan Kerap Berubah Bikin Investor Ragu Tanam Modal di RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Tumpukan regulasi yang jumlahnya hingga puluhan ribu dan kerap berubah-ubah menjadi salah satu alasan investor berpikir ulang untuk menanamkan modalnya di Tanah Air. 

    Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menyampaikan bahwa regulasi tersebut membuat ekonomi berbiaya mahal alias high cost economy. 

    “Indikator [high cost economy] salah satunya adalah jumlah regulasi yang begitu besar, sering sekali berubah-ubah. Di tingkat peraturan menteri saja itu tercatat ada hampir 19.000 regulasi,” ujarnya dalam diskusi publik Universitas Paramadina, Senin (28/4/2025). 

    Dalam paparannya, Yose menunjukkan jumlah peraturan menteri saat ini berjumlah 18.309 beleid. Lalu, UU berjumlah 1.751 dokumen, peraturan pemerintah mencapai 4.887 ketentuan. Sementara peraturan daerah saja melebihi jumlah peraturan menteri dengan mencapai 18.817 peraturan. 

    Meski kondisi high cost economy ini kerap disebut-sebut bersumber dari korupsi, tetapi rumitnya regulasi yang ada menambah beban dalam ekonomi tersebut. 

    Belum lagi, satu peraturan dan lainnya kerap tumpang tindih dan berlawanan satu sama lain sehingga menyebabkan ketidakpastian yang tinggi. 

    Salah satu peraturan yang membebankan dunia usaha adalah kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang mengarah kepada inward looking atau menjadi perekonomian tertutup. 

    Yose menyampaikan dari hasil studi yang dilakukan oleh CSIS menunjukkan TKDN memberikan kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan sektor industri Tanah Air. 

    Di satu sisi sektor industri yang sifatnya downstream tidak mendapatkan manfaat karena kesulitan mendapatkan part dan komponen. 

    “Di sisi lain yang upstream-nya juga tidak terbangun, yang ada malah akhirnya hanya investasi padat modal yang mau masuk ke perekonomian Indonesia dan berinvestasi di Indonesia,” lanjutnya. 

    Padahal, realisasi investasi padat karya diharapkan terjadi lebih cepat karena menjadi harapan untuk mengungkit pertumbuhan sektor industri yang menjadi kontributor utama pertumbuhan ekonomi. 

    Bank Dunia atau World Bank dalam laporan Macro Poverty Outlook (MPO) for East Asia and Pacific edisi April 2025 meramalkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor industri hanya mencapai 3,8% pada 2025, lebih rendah dari estimasi 2024 yang sebesar 5,2%. 

  • Dampak ekonomi kebijakan reklasifikasi mitra platform menjadi karyawan

    Dampak ekonomi kebijakan reklasifikasi mitra platform menjadi karyawan

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Dampak ekonomi kebijakan reklasifikasi mitra platform menjadi karyawan
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 22 April 2025 – 23:45 WIB

    Elshinta.com – Pemaksaan kebijakan ketenagakerjaan (seperti reklasifikasi mitra menjadi karyawan platform atau memaksakan pemberian manfaat setara karyawan) pada sektor mobilitas dan pengantaran digital dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap ekonomi Indonesia, termasuk menurunnya pendapatan jutaan UMKM yang bergantung pada platform digital serta meningkatnya pengangguran.

    Kebijakan ini akan menghilangkan kemampuan platform digital sebagai bantalan ekonomi nasional. Efek domino dari kebijakan ini termasuk memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional, menimbulkan gejolak sosial politik, dan turunnya kepercayaan investor baik dalam maupun luar negeri, terutama di masa perekonomian dunia yang menantang saat ini

    “Saat ini Industri ojol (ojek online), taksol (taksi online), dan kurol (kurir online) berkontribusi sebesar 2% PDB (Riset ITB tahun 2023). Perubahan status menjadi karyawan akan mengakibatkan banyak hal. Pertama, hanya sebagian kecil dari mitra pengemudi yang bisa terserap (diperkirakan hanya 10-30% mitra yang terserap, atau 70-90% tidak memiliki pekerjaan),” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) Agung Yudha kepada media di Jakarta, Selasa (22/4/2025).

    “Kedua, penurunan aktivitas ekonomi digital yang berujung pada penurunan PDB sebesar 5.5% dan 1.4 juta orang kehilangan pekerjaan (Data Svara 2023). Ketiga, dampak total pada perekonomian Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 178 triliun, yang mencakup efek lanjutan di sektor lain,” kata Agung Yudha lagi.

    Wacana untuk menjadikan mitra pengemudi dan mitra kurir sebagai pegawai tetap sudah banyak terjadi di berbagai negara, namun hal tersebut bukan berarti serta merta merupakan kebijakan yang harus diikuti oleh Indonesia.

    Direktur Eksekutif  Modantara Agung Yudha juga menjelaskan beberapa negara telah mereklasifikasi Mitra Platform menjadi karyawan maupun memberikan klasifikasi sendiri, namun dengan hak dan manfaat yang menyerupai karyawan. Dampak reklasifikasi tersebut menimbulkan beberapa risiko seperti di Spanyol dengan 48 juta penduduk: jumlah mitra pengemudi menyusut, aplikasi Uber melakukan putus mitra pengemudi, aplikasi Deliveroo hengkang, aplikasi Glovo hanya mampu menyerap sebagian, sehingga 83% mitra diputus mitra dan tidak memiliki kesempatan pendapatan.

    Sementara itu, di Amerika (Seattle, Negara Bagian Washington dengan 8 juta penduduk): sejak diberlakukannya upah minimum, volume pesanan pengiriman makanan melalui UberEats turun 45% karena Uber menaikkan biaya pengiriman dan konsumen tidak menggunakan layanannya karena harga yang lebih tinggi.

    Kemudian, di Singapura (6 juta penduduk): platform menaikkan harga layanan transportasi dan pengantaran online. Lalu di Swiss (Geneva dengan 9 juta penduduk): perkembangan UMKM tersendat, penurunan permintaan terhadap layanan pemesanan makanan sebesar 42%, estimasi potensi pendapatan yang hilang bagi restoran sebesar 16 juta Euro (Rp260 miliar) per tahun dan potensi pendapatan negara atas pajak hilang.

    Bagaimana dengan Indonesia? Dampak ekonomi langsung: pertama, pelanggan kehilangan akses. Konsumen yang mengandalkan delivery karena keterbatasan mobilitas (misalnya orang tua, penyandang disabilitas, atau mereka yang tinggal jauh dari pusat kota) akan sangat terdampak. Jika layanan delivery mencakup makanan, obat-obatan, atau kebutuhan pokok, maka risiko krisis logistik bisa meningkat, apalagi di daerah terpencil atau saat ada bencana/krisis.

    Dampak ekonomi langsung yang kedua adalah penurunan pendapatan. Banyak UMKM menggunakan layanan pengantaran dan mobilitas digital untuk menjangkau pasar yang lebih luas dari sekedar area mereka beroperasi. Tanpa platform, bisnis mereka bisa stagnan atau bahkan rugi. Selain itu, dengan adanya reklasifikasi mitra sebagai pegawai, ada potensi untuk menekan perusahan teknologi pengantaran digital untuk menaikan harga yang dibebankan kepada pengguna layanan. Ini dapat berdampak pada naiknya beban operasional yang lebih besar bagi pengguna terutama UMKM.

    Apalagi bisnis yang sangat bergantung pada delivery seperti restoran, supermarket, apotek, dan e-commerce akan mengalami penurunan penjualan drastis. UMKM yang tidak punya outlet fisik kuat atau tidak punya banyak pelanggan setia akan lebih terdampak: Restoran yang hanya beroperasi secara online akan kehilangan jalur utama penjualan dan hanya dapat bergantung pada area penjualan di mana outlet fisik berada.

    “Shopee, Tokopedia, dan e-commerce lainnya juga bekerja sama dengan layanan kurir instan terjadi penurunan layanan, sehingga bisa memengaruhi kepuasan pelanggan, dan berdampak pada berkurangnya omzet penjualan,” ungkapnya.

    Untuk efek sosial dan tenaga kerja antara lain: ribuan mitra pengemudi kehilangan penghasilan atau pekerjaan, karena serapan tenaga kerja pasti mengalami recruitment barrier, dan hanya sebagian kecil dari mitra pengemudi yang ada sekarang yang bisa terserap (diperkirakan hanya 10-30% yang terserap, atau terjadi penurunan sebesar 70-90%). Ini berarti potensi lonjakan pengangguran informal di kota besar, dan menambah beban negara.

    Pendapatan driver yang cenderung turun itu bisa menurunkan daya beli, yang mempengaruhi sektor lain seperti makanan, kebutuhan pokok, dan layanan finansial (misalnya cicilan motor atau pinjaman online).

    Efek domino ke sektor lain: restoran, toko, dan layanan logistik yang mengandalkan delivery. Dampak lebih jauh jika hal-hal tersebut terjadi: investasi di Indonesia turun dikarenakan hilangnya kepercayaan investor dalam dan luar negeri; penerimaan pajak negara menurun; terjadi gejolak sosial politik dikarenakan kondisi ekonomi yang rentan; dapat berujung pada ketidakstabilan keamanan nasional.

    Untuk multiplier effect, berdasarkan riset dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics, pada tahun 2019, kontribusi industri mobilitas dan pengantaran digital terhadap perekonomian Indonesia mencapai Rp127 triliun.

    Setiap peningkatan sebesar 10% pada jumlah mitra pengemudi, secara signifikan akan berkontribusi pada peningkatan tenaga kerja di industri mikro dan kecil sebesar 3,93%. Diperkirakan Industri ini menaungi lebih dari 1.5 juta UMKM dan perubahan status menjadi karyawan berpotensi mengakibatkan 1,4 juta orang kehilangan kesempatan pendapatan, dan penurunan aktivitas ekonomi digital yang berujung pada penurunan PDB sebesar 5.5% – Svara Institute, 2023

    Jika layanan delivery berkurang drastis hingga 70-90%, dampak ekonominya dapat dihitung berdasarkan kontribusi sektor tersebut (lebih dari Rp89 triliun). Jika menggunakan multiplier ekonomi yang sering digunakan untuk perhitungan sektor jasa (umumnya antara 1,5 hingga 2,5), maka kita bisa memperkirakan efek ekonomi lebih lanjut. Misalnya, jika multiplier rata – rata = 2, maka Rp89 triliun × 2 = Rp178 triliun.

    “Artinya, dampak total pada perekonomian Indonesia bisa mencapai sekitar Rp 178 triliun, yang mencakup efek lanjutan di sektor lain, seperti: UMKM yang bergantung pada pengiriman cepa, ekonomi digital dan jasa  logistik lain, kehilangan pendapatan bagi pekerja di sektor terkait, yang berkurang daya belinya, yang selanjutnya berdampak pada konsumerisme dan sektor ritel,” ungkap Agung menguraikan.daya belinya, yang selanjutnya berdampak pada konsumerisme dan sektor ritel,” ungkap Agung menguraikan.

    Sumber : Antara

  • Trump Tunda Tarif Impor, Wamendag: Peluang Indonesia untuk Negosiasi  – Halaman all

    Trump Tunda Tarif Impor, Wamendag: Peluang Indonesia untuk Negosiasi  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag), Dyah Roro Esti mengatakan, keputusan Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunda penerapan tarif resiprokal bagi negara-negara mitra dagangnya adalah momentum bagi Indonesia untuk melakukan negosiasi.

    “Langkah ini membuka peluang bagi Indonesia dan negara ASEAN lainnya untuk melakukan negosiasi lebih lanjut,” kata Roro dalam diskusi yang digelar Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Kamis (10/4/2025). 

    Roro tidak menampik kebijakan ini juga menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi Indonesia. 

    Sebab, dianggap akan mengancam stabilitas dagang Indonesia maupun negara ASEAN lainnya. 

    “Kebijakan ini menjadi tantangan nyata bagi pertumbuhan dan stabilitas kawasan Asia Tenggara yang telah lama menjunjung tinggi prinsip perdagangan bebas dan terbuka,” ujarnya. 

    Diketahui, ASEAN merupakan pasar ekspor terbesar kelima bagi produk pertanian Amerika Serikat. Dengan total nilai perdagangan barang mencapai USD 306 miliar pada tahun 2024. 

    “Indonesia sendiri menyumbang USD14,34 miliar terhadap defisit perdagangan Amerika Serikat,” ucap Roro.

    Namun, Roro mengatakan bahwa Indonesia memiliki mitra dagang yang cukup strategis dengan beberapa negara. 

    Enam perjanjian perdagangan tersebut di antaranya Indonesia–Canada CEPA, Indonesia–Peru CEPA, Indonesia–EU CEPA, Iran PTA, dan protokol amandemen Indonesia–Jepang (IJEPA) dan Trade & Investment Framework Agreement (TIFA) antara Indonesia dengan Amerika Serikat (AS).

    Dia berharap, mitra ini bisa meningkatkan pasar ekspor Indonesia melalui penyelesaian beberapa perjanjian perdagangan bebas (FTA). 

    “Ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang Indonesia untuk memperluas akses pasar, meningkatkan ketahanan dagang, dan membuka lapangan kerja baru,” tuturnya. 

    Sebagai informasi,  pada Rabu (9/4/2025), Trump menunda kenaikan tarif impor terhadap sebagian besar negara selama 90 hari. 

    Namun, secara bersamaan Trump juga menaikkan tarif impor dari China menjadi 125 persen.

    Keputusan tersebut, kata Trump, diambil setelah lebih dari 75 negara berupaya berunding dan tidak melakukan tindakan balasan.