Liputan6.com, Yogyakarta – Pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang memiliki peran penting dalam pembentukan karakter generasi muda di Indonesia. Setiap pesantren memiliki keunikan dan kontribusi tersendiri dalam mengembangkan pendidikan berbasis agama dan nilai-nilai moral.
Di antara ribuan pesantren tersebut, terdapat beberapa yang menonjol karena jumlah santri yang sangat banyak. Mengutip dari berbagai sumber, berikut adalah lima pesantren dengan jumlah santri terbanyak di Tanah Air:
1. Pondok Pesantren Lirboyo
Menjadi pesantren terbesar dengan jumlah santri mencapai 40 ribu santri putra dan putri. Pesantren ini telah lama dikenal sebagai pusat pendidikan Islam yang memiliki kapasitas besar dalam membina generasi muda.
Pondok Pesantren Lirboyo didirikan pada tahun 1910 M oleh K.H. Abdul Karim yang saat ini berada di bawah pimpinan salah satu cucunya, K.H. M. Anwar Manshur. Pondok pesantren yang berlokasi di Kelurahan Lirboyo, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri.
2. Pondok Pesantren Darussalam Gontor
Pondok Pesantren Darussalam Gontor tercatat memiliki 35.000 santri, menjadikannya salah satu pesantren terbesar kedua di Indonesia. Gontor dikenal dengan sistem pendidikan modern yang menggabungkan antara tradisi pesantren dengan metode pengajaran kontemporer.
Cikal bakal Pondok Modern Darussalam Gontor bermula pada tahun 1680, saat Kyai Ageng Muhammad Hasan Besari mendirikan Pondok Tegalsari di Desa Jetis Ponorogo (10 KM arah selatan Kota Ponorogo). Pondok pesantren ini mengklaim sebagai lembaga pendidikan murni yang tidak berafiliasi kepada partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan apa pun.
3. Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro
Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro memiliki 25.000 santri, yang tersebar dalam berbagai program pendidikan. Pesantren ini menjadi pusat pengembangan pendidikan Islam yang memiliki jangkauan cukup luas di wilayah Jawa Timur.
Pondok Pesantren Al-Fatah Temboro adalah pondok pesantren yang terletak di Temboro, sebuah desa di Karas, Magetan. Lembaga pendidikan Islam ini dirintis oleh K.H. Shiddiq, kemudian dikembangkan oleh K.H. Mahmud Kholid Umar dan K.H. Ahmad Shodiq, dua tokoh Nahdlatul Ulama (NU) di Magetan.