Jakarta, Beritasatu.com – Rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) segera terealisasikan pada 2025. Padahal sebelum dikerek pun, level PPN telah melampaui sejumlah negara di ASEAN, seperti Singapura dan Vietnam.
“Di Singapura, PPN itu cuma 9%, Thailand cuma 7%. Jadi bisa dibayangkan, nanti apakah enggak Indonesia menjadi negara yang tertinggi dalam PPN gitu. Vietnam juga cuma 10%. Jadi, aduh, benar-benar mengkhawatirkan,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (Apregindo) Handaka Santosa dalam program Investor Market Today IDTV, Senin (18/11/2024).
Dia mengakui, tidak bisa dipungkiri secara teori cara ini merupakan jalan pintas pemerintah mendapatkan dana untuk menutup APBN. Namun, ada “lingkaran setan” yang membayangi, seperti harga barang akan merangkak naik sehingga menyebabkan daya beli turun dan ekonomi dikhawatirkan mengalami penurunan.
“Hal ini yang perlu dipertimbangkan oleh para pembuat kebijakan (policy maker),” ucap Handaka.
Menurut dia, pemerintah perlu menganalisis lebih dalam bagaimana dampaknya bagi perekonomian nasional secara keseluruhan sebelum menaikkan PPN. Alasannya, menilik dari data pun kelas menengah menurun cukup drastis atau sekitar 17%.
Sementara itu, masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga segmen, yaitu menengah ke bawah, kelas menengah, dan menengah ke atas. Kelas menengah atas dengan simpanan di atas Rp 5 miliar justru naik jumlahnya.
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah tak hanya semata-mata menaikkan PPN supaya government income naik. Namun, juga bisa dengan alternatif lain, seperti orang-orang dari kalangan menengah ke atas yang punya simpanan Rp 5 miliar itu berbelanja di dalam negeri.
“Itu yang kita encourage. Kita sarankan untuk berbelanja di Indonesia. Kenapa? Karena mereka mempunyai uang dan mereka bisa berbelanja,” tutup Handaka.