Jakarta, Beritasatu.com – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menandatangani perintah eksekutif untuk menggandakan tarif impor baja dan aluminium dari 25% menjadi 50%.
Meski tidak berdampak langsung kepada Indonesia, tetapi industri baja dan aluminium domestik tetap berpotensi terkena spill over effect. Pasalnya negara-negara yang mengekspor baja ke AS bakal mencari pasar baru, seperti Indonesia yang relatif longgar soal pengawasan impor.
Chairman Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA), Akbar Djohan menekankan pemerintah semestinya memperkuat pengawasan impor dan proteksi pasar dalam negeri supaya Indonesia tidak kebanjiran baja impor murah khususnya dari China.
“Kalau kita tidak hati-hati, industri baja kita yang baru tumbuh bisa jadi hanya trader, bukan produsen lagi,” ujar Akbar Djohan dalam Investor Market Today, Selasa (10/6/2025).
Menurut Akbar, kebijakan ini memang telah diprediksi sebagaimana pola kepemimpinan Trump pada 2018 silam. Kendati demikian, lonjakan tarif hingga 50% dinilai tetap mengejutkan dan berpotensi menimbulkan efek domino secara global.
Menurutnya, negara maju seperti AS saja berupaya menaikkan tarif untuk melindungi industri baja negerinya dari praktik dumping negara asing. Negeri Paman Sam tersebut berusaha untuk mempertahankan tingkat utilisasi produksi industri baja dan memandang sektor ini sebagai pilar utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Baik di sektor infrastruktur, otomotif, transportasi hingga industri lain yang sangat strategis.
“Untuk itu, kami dari pelaku melihat ini menjadi momentum yang sangat penting bagi kita untuk me-repositioning tata niaga impor sekaligus membenahi ekosistem supply chain domestik industri baja nasional kita,” tegas Akbar.
Terlebih, saat ini utilisasi industri baja nasional hanya sekitar 60% dari total kapasitas terpasang sebesar 17–18 juta ton per tahun. Sisanya dipenuhi oleh impor, terutama dari China yang memproduksi hingga 1,2 miliar ton baja per tahun. Kondisi ini membuat persaingan tidak seimbang dan mengancam kelangsungan sejumlah produsen baja dalam negeri.
“Bagaimana pun ini adalah kesempatan emas bagi pemerintah untuk memperkuat dan mewujudkan reindustrialisasi sehingga ancaman-ancaman PHK, minusnya supply chain dalam negeri, ini bisa kita hindari secara lebih cepat,” jelasnya.
Akbar mendorong pemerintah dan pelaku industri untuk segera melakukan efisiensi, memperkuat sinergi antarpelaku industri dalam negeri, serta membuka kerjasama regional. Ia mencontohkan inisiatif One Asia First yang digaungkan dalam forum regional ISEA sebagai bentuk solidaritas dan penguatan rantai pasok baja di kawasan ASEAN.
“China ini tidak bisa dilawan industri bajanya, unstoppable. Sehingga mari kita bersinergi dengan pemain baja global, sehingga kita bisa menggandeng perusahaan global dari China untuk membuka pabrik di Indonesia,” pungkas Akbar.
