TRIBUNNEWS.COM – Tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump, memicu peringatan serius dari Badan Perdagangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai potensi bencana ekonomi yang dapat melanda negara-negara berkembang, khususnya di kawasan Asia dan Afrika.
Kebijakan ini, yang resmi diberlakukan pada awal April, memiliki implikasi yang jauh lebih luas bagi perekonomian global.
Apa yang Terjadi dengan Kebijakan Tarif Trump?
Pada awal April, Donald Trump menerapkan kebijakan tarif resiprokal kepada 180 negara.
Meskipun ada pengumuman penundaan selama 90 hari untuk tarif tinggi terhadap 56 negara, risiko masih tetap ada.
Kebijakan ini berpotensi membuat barang-barang yang tidak diproduksi di Amerika Serikat terkena pajak tambahan, yang tentu saja akan meningkatkan biaya barang impor ke pasar AS.
Menurut Pusat Perdagangan Internasional (International Trade Center/ITC), kebijakan ini dapat menyebabkan perdagangan global menyusut antara 3 persen hingga 7 persen.
Lebih jauh lagi, produk domestik bruto (GDP) global diproyeksi merosot sekitar 0,7 persen, dengan negara-negara berkembang menjadi yang paling terkena dampak.
Apa Dampaknya pada Ekonomi Negara Berkembang?
Kebijakan tarif ini berpotensi menghentikan keuntungan ekonomi yang telah diraih oleh negara-negara berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Coke-Hamilton menegaskan, “Tarif dapat memiliki dampak yang jauh lebih berbahaya daripada pencabutan bantuan asing.”
Ini karena banyak negara berkembang sangat bergantung pada ekspor produk seperti tekstil, elektronik, baja, dan produk pertanian ke pasar AS.
Namun, dengan adanya tarif tinggi, harga barang yang dijual ke AS menjadi lebih mahal, yang pada gilirannya mengurangi permintaan terhadap barang-barang tersebut.
Ketidakpastian yang ditimbulkan akibat perang dagang yang disebabkan oleh kebijakan Trump berpotensi menghancurkan arus investasi asing ke negara-negara berkembang.
Investor mungkin mulai menjauhi kawasan-kawasan yang terdampak oleh ketegangan perdagangan ini, menciptakan tantangan baru bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.
Negara Mana Saja yang Paling Terkena Dampak?
Beberapa negara paling kurang berkembang yang berpotensi terdampak dari kebijakan tarif ini terletak di kawasan Asia Tenggara dan Afrika, termasuk Lesotho, Kamboja, Laos, Madagaskar, dan Myanmar.
Bangladesh, sebagai eksportir pakaian jadi terbesar kedua di dunia, juga diprediksi akan kehilangan hingga 33 miliar dollar jika tarif AS sebesar 37 persen tetap berlaku setelah masa jeda 90 hari.
Madagaskar, yang sangat bergantung pada industri tekstil dan garmen sebagai pendorong utama ekonominya, juga akan mengalami dampak serupa.
Selama bertahun-tahun, Madagaskar mendapatkan akses bebas tarif ke pasar AS melalui program African Growth and Opportunity Act (AGOA).
Namun, sejak 2 April, penerapan tarif impor membuat sekitar 80 persen produk tekstil dan pakaian jadi yang diproduksi di negara itu tidak dapat lagi diekspor ke AS.
Peningkatan tarif impor yang diberlakukan oleh AS dapat menciptakan efek domino yang merugikan bagi negara-negara berkembang, di mana perekonomian mereka banyak bergantung pada ekspor.
Kebijakan ini tidak hanya memengaruhi perdagangan internasional tetapi juga menciptakan ketidakpastian yang dapat menurunkan arus investasi.
Oleh karena itu, perluasan diskusi mengenai efek jangka panjang dari kebijakan ini harus menjadi perhatian bagi para pemangku kepentingan di seluruh dunia, demi menjaga stabilitas ekonomi global.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).