Impor Tekstil Membanjir, Pabrik Lokal Merosot hingga Utilisasi 30 Persen
Editor
BANDUNG, KOMPAS.com
— Serbuan produk tekstil impor dengan harga sangat rendah dinilai menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.
Kondisi ini diperburuk oleh maraknya peredaran
TPT
bekas yang masuk ke pasar domestik dan menekan produksi dalam negeri.
Ketua Umum IKA Institut Teknologi Tekstil (ITT) Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT), Riady Madyadinata, menyebut persoalan tersebut bukan hanya soal kompetisi harga, tetapi juga struktur industri yang belum tertata.
Menurutnya, label sunset industry tidak tepat disematkan pada sektor TPT.
“
Industri tekstil
dan produk tekstil (TPT) Indonesia bukanlah sunset industry. Yang sesungguhnya ‘sunset’ adalah pabrik-pabrik yang tidak efisien, tidak berinvestasi mesin baru, dan tidak adaptif terhadap perubahan pasar,” ujar Riady dalam siaran pers, Kamis (20/11/2025).
Riady menjelaskan, banjir produk impor murah telah memukul utilisasi pabrik hingga hanya tersisa 30–50 persen.
Sementara itu, ketergantungan pada bahan baku impor tetap tinggi, membuat industri semakin rentan terhadap situasi global.
“Di tengah tekanan perlambatan ekonomi global, banjir produk impor, dan biaya energi yang tinggi, industri TPT Indonesia masih menjadi sektor strategis karena mampu menyerap jutaan tenaga kerja dan berkontribusi signifikan terhadap ekspor nonmigas. Walaupun utilisasi pabrik banyak yang turun ke kisaran 30–50 persen, sementara ketergantungan pada bahan baku impor tetap tinggi,” kata Riady.
Ia menegaskan bahwa sebagian pabrik yang masih mengandalkan mesin tua semakin tidak mampu menghadapi tekanan kompetisi dari barang luar negeri.
Ancaman impor bukan hanya berasal dari produk jadi, tetapi juga dari mekanisme impor bahan baku yang belum memiliki sistem pengawasan kuat.
Menurut Riady, impor seharusnya dilakukan secara terukur untuk menghindari distorsi pasar yang justru melemahkan industri nasional.
“Safeguard wajib dikenakan ketika pasokan domestik oversupply dan industri lokal injury, tetapi ketika pasokan lokal berkurang, impor harus tetap dilakukan dengan kuota yang transparan dan pengawasan yang ketat,” ucapnya.
Agar mampu mengimbangi tekanan impor, Riady mendorong langkah-langkah strategis mulai dari percepatan modernisasi mesin, penurunan biaya energi dan logistik, pembukaan pasar ekspor baru, hingga penguatan pendidikan vokasi dan digitalisasi industri.
Ia juga meminta pemerintah memperkuat kebijakan keberlanjutan industri melalui pengembangan produk ramah lingkungan yang kini menjadi standar kompetisi global.
“Menyelamatkan industri tekstil Indonesia tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Diperlukan kolaborasi erat antara akademisi, pelaku bisnis, dan pemerintah (ABG) agar industri TPT tidak hanya bertahan, tetapi kembali kompetitif di pasar global,” tegasnya.
Untuk merespons derasnya barang luar negeri, Riady menilai keterbukaan data dari seluruh pelaku usaha menjadi hal krusial.
Pemerintah dan akademisi membutuhkan gambaran riil kondisi industri agar kebijakan yang disusun mampu menahan ancaman impor dan memperkuat sektor domestik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Impor Tekstil Membanjir, Pabrik Lokal Merosot hingga Utilisasi 30 Persen Regional 20 November 2025
/data/photo/2025/05/04/6816eda4ddf99.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)