Impor Masih Tinggi, APPDI Dorong Pemerintah Meninjau Ulang Kebutuhan dan Pasokan Daging Nasional

Impor Masih Tinggi, APPDI Dorong Pemerintah Meninjau Ulang Kebutuhan dan Pasokan Daging Nasional

Jakarta, Beritasatu.com – Impor daging sapi dan kerbau di Indonesia masih mendominasi pasar domestik dengan porsi mencapai 54% dari total kebutuhan nasional. Tingginya angka impor ini menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak, termasuk Asosiasi Pengusaha dan Pengolahan Daging Indonesia (APPDI).

Direktur Eksekutif APPDI Teguh Boediyana berharap pemerintah dapat melakukan evaluasi menyeluruh terhadap data kebutuhan dan pasokan daging nasional, guna memastikan akurasi dan efektivitas kebijakan yang diterapkan.

“Apakah benar populasi sapi yang ada saat ini mencapai 18 juta ekor seperti yang pernah diklaim, padahal menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlahnya hanya sekitar 11 juta ekor? Ini yang perlu kita pastikan kembali,” ujar Teguh Boediyana dalam acara Investor Market Today, Senin (3/3/2025).

Teguh menjelaskan bahwa ketidaksesuaian data ini bisa disebabkan oleh perbedaan ukuran sapi di berbagai daerah. Ia mencontohkan bahwa meskipun jumlah sapi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa mungkin sama, produktivitasnya berbeda.

Seekor sapi di Pulau Jawa umumnya memiliki bobot sekitar 350-400 kg, sementara sapi di Nusa Tenggara Timur (NTT) hanya mencapai 250-275 kg per ekor.

Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya verifikasi ulang terhadap angka permintaan (demand) dan ketersediaan daging dalam negeri.

Lebih lanjut, Teguh mengungkapkan bahwa APPDI telah melakukan audiensi dengan Ombudsman Republik Indonesia terkait akurasi data daging nasional. 

Ia menyoroti bahwa data yang ada sering kali mencakup berbagai bagian sapi, seperti daging, tulang, kaki, kulit, dan jeroan. Padahal, jika merujuk pada Standar Nasional Indonesia (SNI), yang dimaksud dengan daging adalah bagian otot (muscle), sehingga tulang dan bagian lainnya tidak seharusnya masuk dalam perhitungan kuantitas daging konsumsi.

“Nah, inilah yang berpotensi menyebabkan kesalahan dalam perhitungan neraca kebutuhan daging nasional. Jika data yang digunakan kurang akurat, maka kebijakan yang diambil pun bisa tidak sesuai dengan kebutuhan sebenarnya. Oleh karena itu, ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan rekalkulasi yang lebih tepat,” tegas Teguh terkait impor daging.

Selain itu, ia juga menyoroti perbedaan preferensi konsumen terhadap daging. Menurutnya, pola konsumsi daging masyarakat sangat bervariasi, tergantung pada lapisan ekonomi mereka, baik kalangan bawah, menengah, maupun atas (high society).

Dengan demikian, pemetaan yang lebih rinci terhadap konsumsi daging nasional akan membantu dalam menentukan strategi yang lebih efektif dalam mengurangi ketergantungan terhadap impor serta mendukung industri daging dalam negeri.

Dengan evaluasi yang lebih akurat, Teguh berharap pemerintah dapat menetapkan kebijakan yang lebih tepat dalam menjaga keseimbangan antara produksi lokal dan impor.

Hal ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada impor daging, meningkatkan kesejahteraan peternak lokal, serta memastikan ketersediaan daging yang mencukupi bagi seluruh lapisan masyarakat.