Liputan6.com, Jakarta Suasana perjalanan dengan angkutan umum di Kabupaten Gunungkidul, DI Yogyakarta, bisa jadi akan terasa sedikit berbeda. Jika biasanya penumpang bus disuguhi musik dari pengeras suara, ke depan hal itu mungkin tidak lagi ditemukan. Pasalnya, Organisasi Angkutan Darat (Organda) Gunungkidul baru saja mengeluarkan imbauan tegas kepada seluruh anggotanya untuk tidak lagi memutar musik di armada mereka.
Langkah ini diambil bukan tanpa alasan. Ketua Organda Gunungkidul sekaligus pemilik PO Bus Maju Lancar, Henry Ardianto, menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk antisipasi agar para pemilik bus maupun angkutan umum tidak tersandung persoalan hukum terkait pembayaran royalti musik.
“Kami memberi imbauan kepada para anggota supaya tidak memutar musik di armadanya. Tujuannya jelas, agar tidak terkena masalah royalti di kemudian hari. Sosialisasi ini kami lakukan lebih awal, sebelum aturan itu benar-benar diterapkan secara menyeluruh,” ujar Henry, Rabu (20/8).
Isu royalti musik memang belakangan ramai diperbincangkan. Sejumlah pelaku usaha di sektor hiburan, kafe, hingga hotel sudah merasakan dampaknya. Mereka diminta untuk membayar royalti atas penggunaan karya cipta berupa lagu yang diputar di tempat usaha mereka.
Henry menilai, bukan tidak mungkin sektor transportasi akan menjadi target berikutnya.
“Kalau di kafe atau tempat hiburan saja sudah ada yang kena klaim pembayaran royalti, bukan tidak mungkin angkutan umum juga akan kena giliran. Karena itu kami minta semua anggota menahan diri untuk tidak memutar lagu di dalam bus,” jelasnya.
Dia menambahkan, pihaknya tidak ingin ada anggota yang harus berurusan dengan tuntutan hukum atau kewajiban finansial besar hanya karena kebiasaan sederhana memutar musik selama perjalanan.
“Kita semua harus waspada. Jangan sampai sesuatu yang kelihatannya sepele justru berubah jadi masalah besar,” tegasnya.
Sebagai bentuk komitmen, perusahaan milik Henry yakni PO Maju Lancar, telah lebih dulu menerapkan aturan internal. Armada mereka resmi setop memutar musik. Bahkan sopir maupun kru bus dilarang menyalakan perangkat audio.
“Di armada kami, kami sudah setop musik. Lebih baik tidak ada hiburan audio sama sekali daripada berisiko. Penumpang bisa memanfaatkan gawai pribadi mereka jika ingin mendengarkan musik,” jelasnya.
Menurut Henry, perubahan ini sempat menimbulkan pertanyaan dari sejumlah penumpang. Namun, setelah dijelaskan alasannya, sebagian besar memahami bahwa langkah tersebut untuk melindungi pengusaha sekaligus menghindari permasalahan hukum yang lebih rumit.
Tidak berhenti di situ, Organda Gunungkidul kini aktif melakukan sosialisasi kepada seluruh anggota. Mereka menggelar pertemuan dan diskusi agar pengusaha transportasi memahami risiko royalti musik. Edukasi dianggap penting, agar anggota tidak sekadar menerima larangan tanpa tahu alasan yang mendasarinya.
“Kami tidak ingin anggota hanya tahu sebatas larangan. Mereka juga harus paham alasannya. Semua ini untuk melindungi usaha mereka sendiri,” terang Henry.
Langkah ini juga dinilai sebagai strategi pencegahan. Henry percaya, tindakan antisipasi jauh lebih baik daripada harus menghadapi tuntutan atau sanksi hukum di kemudian hari.
“Kita semua berharap aturan ini bisa jelas dan tegas nantinya. Namun sebelum itu, lebih aman kita berhati-hati. Organda Gunungkidul ingin seluruh anggotanya terhindar dari persoalan hukum,” pungkasnya.
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5320962/original/028874500_1755659361-IMG-2165.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)