“Anggota DPR tidak punya perangkat verifikasi. Bahkan kementerian, yang memiliki sistem verifikasi, masih bisa salah sasaran. Apalagi DPR, yang tidak punya alat dan mekanisme untuk memastikan bantuan tepat sasaran,” lanjut Almas dengan tegas.
ICW merekomendasikan evaluasi serius terhadap program PIP, termasuk peran DPR di dalamnya, guna memastikan keefektifan program dalam menurunkan angka putus sekolah. Almas menekankan pentingnya memeriksa kembali mekanisme distribusi dan menilai apakah skema saat ini sudah optimal.
Sementara itu, laporan Gerakan Mahasiswa Indonesia (GMI) dan LBH Pendidikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka babak baru dalam kasus ini. GMI mendesak KPK untuk segera menyelidiki dugaan penyalahgunaan dana PIP yang mereka klaim hanya dinikmati oleh anak-anak pejabat dan ASN, meski tujuan utamanya adalah keluarga miskin.
“KPK pasti punya komitmen untuk menindaklanjuti laporan ini,” kata Andrian, Koordinator GMI, di kantor KPK. Dugaan ini mengungkap bahwa beasiswa tersebut disinyalir dimanfaatkan oleh politisi lokal, termasuk Anggota Komisi X DPR Ratih Singkarru dan Dirga Singkarru, calon bupati Polman, untuk kepentingan elektoral.
Kasus ini menjadi cermin betapa program bantuan yang semestinya mengedepankan keadilan dan membantu siswa dari keluarga rentan malah tersandera oleh kepentingan politis. Kini, seluruh mata tertuju pada KPK dan bagaimana upaya mereka untuk menindak kasus ini dan menjaga integritas program pendidikan. (*)