Jakarta, CNBC Indonesia – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan pemerintah pada 2025 menjadi sorotan utama para pelaku usaha, tak terkecuali pengusaha di sektor Fast-Moving Consumer Goods (FMCG).
Direktur Utama PT Multi Medika Internasional Tbk (MMIX), Mengky Mangarek menjelaskan, meskipun kebijakan ini bertujuan memperkuat anggaran pemerintah, dampaknya terhadap dunia usaha dan konsumsi rumah tangga berpotensi signifikan.
“PPN naik itu membuat pemerintah lebih ada dana untuk APBN-nya. (Kenaikan PPN) bisa membantu pertumbuhan, khususnya sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, maupun infrastruktur. Itu terbantu dengan dana tambahan dari PPN, karena PPN ini sifatnya pajak tidak langsung yang dibebankan kepada para pengusaha untuk menarik dari para pembeli-konsumen pada saat terjadi transaksi jual-beli,” jelas Mengky dalam Profit CNBC Indonesia, dikutip Senin (25/11/2024).
“Tapi di sisi negatifnya, kita sudah banyak sekali mendengar kalau ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Tekanan-tekanan yang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri cukup lumayan. Pasca pandemi kita belum pulih, daya ekonomi kita turun,” sambungnya.
Dengan ekonomi yang masih dalam fase pemulihan pasca-pandemi dan tekanan eksternal seperti konflik geopolitik, kenaikan PPN dinilai dapat memperburuk daya beli masyarakat yang sudah melemah.
“Banyak pakar sudah bilang bahwa Indonesia kalau nantinya diharapkan tumbuh di atas 8%, perlu banyak sekali stimulus-stimulus. PPN ini datangnya tidak tepat sebenarnya. Waktu atau timingnya saja tidak tepat, bukan tidak boleh,” ucap dia.
Foto: Warga melihat beras kemasan kualitas premium yang dijual pada salah satu gerai Hypermart di Jakarta, Senin (12/4/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Warga melihat beras kemasan kualitas premium yang dijual pada salah satu gerai Hypermart di Jakarta, Senin (12/4/2024). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)
Menurutnya, pemerintah sah-sah saja menaikkan PPN, namun perlu dicari waktu yang tepat, bukan saat ini, di kala kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Untuk itu, dia menyarankan agar pemerintah mengkaji ulang kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% di awal tahun 2025 mendatang.
“Mungkin PPN ini boleh saja dinaikkan pemerintah, tapi saatnya apakah sekarang, atau nanti, atau mungkin ditunda. Itulah mungkin yang kita harus pikirkan, dikaji oleh sisi pemerintah lebih dalam,” kata Mengky.
Dia mengatakan, sektor FMCG yang mengandalkan margin tipis (single digit), sangat sensitif terhadap kenaikan PPN. Katanya, 1% saja kenaikan PPN tersebut, dampaknya kepada material, sehingga margin akan turun, sementara tidak mungkin semua beban dibebankan ke konsumen karena daya beli mereka juga sangat sensitif.
“Pertumbuhan ekonomi Indonesia didominasi dengan konsumsi rumah tangga 53%. Sedangkan FMCG itu adalah produk-produk yang dipakai keseharian dalam rumah tangga. Jadi kalau ada kenaikan sedikit saja mereka akan beralih atau mereka menunda. Pola belanja mereka yang tadinya bulanan jadi mingguan, mingguan jadi harian,” jelasnya.
Perubahan pola belanja konsumen menjadi salah satu efek yang paling terasa. Lanjut dia, konsumen cenderung mengurangi pembelian, dari yang tadinya membeli dalam jumlah besar, kini lebih memilih membeli dalam ukuran kecil atau bahkan menunda belanja. Hal itu tentunya akan berimbas pada penurunan volume transaksi, meskipun secara nilai pajak naik.
Adapun untuk menghadapi kenaikan ini, kata Mengky, pelaku usaha FMCG telah menyiapkan strategi jangka pendek, pertama, melakukan efisiensi operasional atau memangkas biaya di berbagai lini.
Strategi kedua, melakukan rebranding dan repackaging, seperti menyediakan produk dalam ukuran lebih kecil untuk menyesuaikan daya beli konsumen.
Ketiga, melakukan promosi dan bundling, dengan cara menawarkan promo seperti buy one get one free.
Namun, strategi ini dinilai hanya bisa bertahan dalam jangka pendek. “Tapi ini pun kalau dilakukan terus-menerus tidak akan sehat. Jadi memang harus ada peran pemerintah di sini, untuk melakukan insentif-insentif atau stimulus-stimulus yang membantu para pelaku usaha,” ucapnya.
Selain itu, Mengky menilai, penting bagi pemerintah memastikan kebijakan fiskal yang diambil tidak hanya mengutamakan penerimaan pajak, tetapi juga memperhatikan stabilitas sektor usaha.
“Memang dari segi pajaknya naik, tapi dari segi volume transaksi akan turun. Jadi overall mungkin PPN-nya naik, tapi PPh badannya mungkin turun, dan/atau margin kita akan mengecil atau turun. Itulah efek yang paling kita takutkan. (Karenanya, rencana kenaikan PPN) perlu dikaji oleh pemerintah lebih dalam lagi,” pungkasnya.
(wur)