Hewan: Kambing

  • Orang-orang Abad ke-20 Santap Daging Gajah Mamut Jadi Steak

    Orang-orang Abad ke-20 Santap Daging Gajah Mamut Jadi Steak

    Jakarta

    Daging mamut ternyata umum dikonsumsi di zaman prasejarah. Sebagian besar adalah para pemburu-pengumpul yang kelaparan dan berjuang untuk bertahan hidup selama Zaman Es. Sejak mamut terakhir punah 4.000 tahun lalu, sangat sedikit orang di zaman modern yang tahu keberadaannya, apalagi mencicipi dagingnya.

    Salah satu kisah dari pergantian abad ke-20 melibatkan Otto Ferdinandovich Herz, seorang ilmuwan Rusia, yang kembali ke St. Petersburg setelah menemukan bangkai mamut dari es dekat Sungai Berezovka di Siberia.

    Saat gajah purba itu diawetkan dan dipajang di Imperial Museum, Herz menyadari bahwa dagingnya tidak akan dibutuhkan dan pada dasarnya akan terbuang sia-sia, jadi ia memutuskan untuk menyajikannya dalam jamuan makan yang mewah. Ia menganjurkan para tamu untuk membawa makanan kuno mereka sendiri, termasuk sejenis biji-bijian yang ditemukan di reruntuhan Mesir kuno.

    Sebuah catatan tentang hidangan tersebut mengatakan bahwa hidangan tersebut merupakan kesuksesan yang luar biasa, terutama hidangan steak mamut, yang menurut semua tamu terpelajar rasanya lezat, dan tidak jauh lebih alot daripada beberapa sirloin steak yang disediakan oleh tukang daging masa kini.

    Ada anekdot serupa dari James Oliver Curwood, seorang penjelajah dan penulis Amerika, yang menjelajahi wilayah utara Amerika pada 1913 bersama sekelompok penduduk asli. Setelah menemukan seekor mamut beku yang baru saja tersingkap oleh tebing yang runtuh, mereka memutuskan untuk menyantap temuan itu.

    “Dagingnya berwarna merah tua atau mahoni, dan saya menyantap steak setebal satu setengah inci. Rasa dagingnya memang tua, bukan tidak enak, melainkan hanya tua dan kering. Daging itu tidak kehilangan unsur-unsur penopang hidupnya, terbukti dari fakta bahwa anjing-anjing itu tumbuh subur di atasnya,” ulasnya, seperti dikutip dari IFL Science.

    Kisah paling terkenal tentang pemakanan mamut di era modern mungkin berasal dari The Explorers Club, sebuah perkumpulan ilmuwan eksentrik di AS yang meliputi tokoh-tokoh seperti Edmund Hillary dan Tenzing Norgay, orang pertama yang mencapai puncak Gunung Everest, Presiden Theodore Roosevelt yang suka berpetualang, serta astronaut Apollo, Neil Armstrong dan Buzz Aldrin.

    Pada jamuan makan malam tahunan mereka pada 13 Januari 1951, mamut konon menjadi hidangan utama malam itu. Daging prasejarah tersebut konon berasal dari Pulau Akutan di Alaska, dan sebagian dibawa kembali ke New York untuk melestarikan tradisi klub dalam menyajikan hidangan langka dan eksotis, mulai dari tarantula goreng hingga mata kambing, dan sup kura-kura.

    Namun, banyak yang menduga ini hanyalah kisah legenda urban. Sebuah sampel jaringan dari Explorers Club Annual Dinner (ECAD) ke-47 masih tersimpan dalam sebuah toples di Yale Peabody Museum of Natural History. Meskipun diasumsikan sebagai daging mamut, ternyata toples itu sebenarnya bertuliskan kukang tanah raksasa Amerika Selatan.

    Pada 2016, para ilmuwan di Yale memutuskan untuk menyelidiki dan menyelesaikan teka-teki ini. Melalui analisis genetik, mereka menemukan bahwa itu bukanlah mamut atau kungkang, melainkan penyu laut modern.

    Sup penyu laut secara resmi masuk dalam menu ECAD ke-47, jadi mungkin saja sampelnya entah bagaimana tercampur, meskipun para peneliti yakin itu tidak mungkin.

    “Penelitian arsip kami menunjukkan bahwa daging prasejarah yang disajikan di ECAD 1951 adalah aksi publisitas yang lucu namun keliru menjadi kenyataan,” tulis mereka dalam kesimpulannya.

    “Meskipun ada satu insiden sebelumnya, ketika seorang ahli paleontologi salah mengira kukang tanah sebagai penyu laut, tetap saja terasa aneh bahwa seorang naturalis terampil seperti Howes, beserta anggota dan jurnalis Explorers Club lainnya, tetap percaya pada keaslian daging kukang bahkan setelah Dodge mengakui bahwa itu hanya lelucon belaka,” tambah mereka.

    Sebagaimana yang tersirat dalam kisah ini, mamut bukanlah satu-satunya binatang prasejarah yang secara teoritis dapat dikonsumsi. Jaringan lunak beberapa spesies lain, beberapa di antaranya kini telah punah, telah digali dari lapisan es abadi di Belahan Bumi Utara, termasuk badak berbulu, serigala, singa gua, dan burung.

    (rns/afr)

  • Menkes Ungkap Bakteri Pemicu Keracunan MBG, Kapasitas Lab Diperkuat

    Menkes Ungkap Bakteri Pemicu Keracunan MBG, Kapasitas Lab Diperkuat

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti sedikitnya tiga insiden keracunan pangan yang terjadi di wilayah Kabupaten Bandung Barat. Total ada 1.315 anak yang dinyatakan keracunan pangan di Kecamatan Cipongkor, Neglasari, Desa Sirnagalih, Sarinagen, hingga Cihampelas. Sebagian besar dinyatakan sembuh, tersisa 5 anak yang masih dirawat.

    Kebanyakan dari mereka atau lebih dari 60 persen anak mengeluhkan mual dan pusing, disusul sesak hingga muntah di atas 20 persen-an.

    Menkes menyebut secara medis penyebab keracunan terbagi menjadi tiga yakni infeksi bakteri, virus, hingga zat kimia. Menkes menyebut pemerintah akan rutin mengambil sampel dan menyiapkan reagen untuk mempercepat deteksi ‘biang kerok’ bakteri pemicu keracunan MBG.

    Hal ini disebutnya bisa mengantisipasi kasus serupa terjadi di kemudian hari.

    “Kenapa ini menentukan untuk kita cari tahu? Karena ini nanti menentukan satu, treatmentnya seperti apa kalau dia kena,” beber Menkes dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI, Rabu (1/10/2025).

    “Kita juga bisa melacak sumbernya penyebabnya karena apa, karena masing-masing bakteri atau virus itu kan berbeda-beda timbulnya,” lanjutnya, sembari menekankan semua laboratorium di kabupaten ata kota siap melakukan penelitian mikrobiologis dan toksikologi.

    “Reagennya kita siapkan untuk mendeteksi bakteri atau virus ini. Dan kita sudah lihat beberapa hasilnya,” sambungnya.

    Berikut beberapa bakteri yang kerap ditemukan:

    Bakteri salmonella

    Kejadian keracunan pangan akibat bakteri salmonella dilaporkan relatif sering. Bakteri ini kerap ditemukan pada daging, telur mentah atau kurang matang, hingga susu yang tidak dipasteurisasi.

    Beberapa air minum, sayur, dan buah, juga bisa terkontaminasi bakteri Salmonella lewat air.

    Adapun gejala yang umum dikeluhkan meliputi:

    Demam tinggiSakit kepalaNyeri ototLemasGangguan pencernaan

    Bakteri Escherichia Coli

    Bakteri ini bervariasi dan beberapa strain umum kerap memicu keracunan MBG pada produk hewani atau daging mentah dan kurang matang. Susu mentah dan produk olahan lain.

    Gejalanya relatif lebih berat seperti kejang perut, mual, muntah, demam, menggigil, sakit kepala, sakit otot, bahkan dilaporkan kencing berdarah.

    Bakteri bacillus cereus

    Menkes juga melaporkan bakteri ini sering menjadi pemicu keracunan. Utamanya pada menu makanan nasi, pasta, kentang, dan makanan bertepung lain yang tidak disimpan dengan benar.

    Anak-anak mengeluhkan mual, kejang perut, diare.

    Staphylococcus

    Bakteri ini juga menjadi pemicu anak keracunan. Saat terpapar, anak mengalami mual, muntah, sakit perut, hingga diare.

    Menkes mewanti-wanti mikroorganisme ini dapat ditemukan pada daging kambing atau hewan lain, menular lewat susu mentah juga produk hewan yang tidak dipasteurisasi.

    Bakteri lainnya meliputi clostridium pertringens, listeria monocytogenes, campylobacter jejuni, shigella. Bisa juga karena senyawa kimia yang biasa digunakan untuk pengawet makanan misalnya nitrit pada sayur dan buah, juga zat kimia histamine pada ikan tidak segar, terkontaminasi atau disimpan pada suhu dan sanitasi yang buruk.

    Makanan fermentasi juga tinggi histamin. Menimbulkan gejala ruam, gatal, pusing, berkeringat, rasa terbakar di mulut.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video KuTips: Catat Pertolongan Pertama Jika Anak Keracunan Makanan!”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    akhir September, perdebatan tentang G30S selalu kembali: siapa dalang, versi mana yang benar, film mana yang layak diputar?
    Namun, di tengah hiruk-pikuk tafsir dan propaganda, ada satu hal yang sering tercecer: manusia. Nyawa, martabat, dan akal sehat warga biasa—yang terseret, distigma, ditahan, atau dibunuh—sering hanya jadi catatan kaki.
    Menjaga kemanusiaan sejatinya bukan soal membenarkan satu kubu dan menyalahkan kubu lain. Ini soal standar dasar: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, proses hukum yang adil, dan kebebasan dari stigma kolektif.
    Ketika negara, media, dan lembaga pendidikan mengajarkan sejarah, pertanyaannya bukan sekadar versi mana yang dipilih, melainkan apakah cara kita bercerita memulihkan martabat korban, membuka ruang kebenaran, dan mendorong pertanggungjawaban.
    Refleksi G30S seharusnya mengajak untuk waspada pada tiga hal: betapa mudahnya kebencian dioperasikan, betapa cepatnya hukum bisa disingkirkan atas nama “stabilitas”, dan betapa lamanya luka sosial bertahan jika kebenaran dan pemulihan ditunda.
    Jika kita sepakat bahwa Pancasila berakar pada kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pekerjaan rumahnya jelas: menolak kekerasan sebagai alat politik, merawat ingatan yang jujur, serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka yang selama ini dibungkam.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia modern, bukan hanya karena skala kekerasannya, tetapi juga karena cara negara menutupinya selama puluhan tahun.
    Data yang tersedia memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan angka yang mengerikan.
    Komnas HAM dalam laporan hasil Penyelidikan Pro Justisia tahun 2012 menyatakan terdapat sembilan bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa.
    Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang (Robinson,
    The Killing Season
    , 2018; Bevins,
    The Jakarta Method
    , 2020).
    Sementara itu, Amnesty International (dalam
    Friend
    , 2005) melaporkan bahwa pada saat itu ada sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.
    Tragedi ini bukan hanya pembantaian massal, melainkan juga proses sistematis penghancuran hak-hak sipil.
    Mereka yang selamat dipaksa menjalani kerja paksa, wajib lapor, kehilangan pekerjaan, dilarang mengakses pendidikan tinggi, bahkan hak politiknya dicabut selama puluhan tahun melalui tanda “ET” (eks-tapol) dalam dokumen kependudukan.
    Efek diskriminasi ini menurun hingga ke anak-cucu korban, menjadikannya bentuk
    collective punishment
    yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.
    John Roosa dalam bukunya
    Dalih Pembunuhan Massal
    (2006) menunjukkan bagaimana peristiwa G30S yang berlangsung singkat kemudian dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi dalih pembenaran untuk operasi pembasmian massal.
    Roosa menekankan bahwa tidak ada bukti komando jelas dari PKI sebagai partai, melainkan tindakan kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan oleh militer, khususnya Jenderal Soeharto, untuk merebut legitimasi kekuasaan.
    Hal senada ditegaskan oleh Robinson (2018), yang menunjukkan bahwa Angkatan Darat memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi pembantaian, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan politik, logistik, hingga daftar nama target.
    Salah satu propaganda paling efektif adalah fitnah terhadap Gerwani, organisasi perempuan progresif kala itu.
    Seperti dicatat oleh Wieringa, Gerwani dijadikan kambing hitam melalui narasi “kebiadaban seksual” di Lubang Buaya—padahal laporan visum resmi menunjukkan tidak ada bukti penyiksaan seperti pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin.
    Namun, kebohongan yang diproduksi oleh militer itu dibiarkan beredar luas di media, menciptakan histeria moral yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembantaian.
    Laporan
    International People’s Tribunal 1965
    (IPT 65) di Den Haag pada 2015, bahkan menegaskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
    Majelis hakim IPT menilai negara gagal memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf resmi, membuka akses arsip, melakukan penyidikan, dan memberi reparasi. Namun, hingga kini, rekomendasi tersebut belum direspons serius.
    Luka sejarah ini belum sembuh karena ada tiga alasan mendasar. Pertama, narasi resmi Orde Baru yang menyederhanakan G30S menjadi sekadar “pengkhianatan PKI” masih terus direproduksi, baik melalui buku pelajaran maupun film.
    Kedua, ketiadaan mekanisme akuntabilitas: Kejaksaan Agung berkali-kali menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan alasan “kurang bukti”, padahal bukti-bukti primer dan kesaksian korban berlimpah.
    Ketiga, politik impunitas yang masih kuat: banyak aktor militer dan sipil yang terlibat dalam pembantaian tetap berada dalam lingkaran kekuasaan selama puluhan tahun, membuat pengungkapan kebenaran menjadi tabu.
    Jika refleksi G30S ingin bermakna, maka ini harus berangkat dari nilai kemanusiaan yang universal. Tidak ada ideologi, dalih politik, ataupun alasan stabilitas yang bisa membenarkan pembunuhan massal, penyiksaan, atau diskriminasi lintas generasi.
    Mengakui kebenaran, mendengar suara korban, dan membuka jalan menuju keadilan bukanlah ancaman bagi bangsa ini—justru itu fondasi untuk membangun demokrasi yang sehat.
    Tanpa keberanian menghadapi masa lalu, kita hanya akan terus mewariskan trauma, kebisuan, dan politik kebencian bagi generasi berikutnya.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya tidak hanya soal pembunuhan massal, tetapi juga bagaimana sejarah dijadikan instrumen politik untuk mengontrol masyarakat.
    Sejak awal Orde Baru, narasi resmi dibangun dengan satu tujuan: melegitimasi kekuasaan yang lahir dari darah.
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan tayang setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyederhanakan peristiwa, hingga sensor terhadap karya akademis, semuanya merupakan bagian dari proyek indoktrinasi negara.
    Indoktrinasi sejarah ini juga memelihara stigma. Anak-anak korban, yang bahkan lahir setelah peristiwa, tetap mendapat label “ET” (eks-tapol) dalam KTP orangtuanya. Mereka kesulitan masuk sekolah negeri, dilarang menjadi PNS atau tentara, dan sering diawasi intel.
    Dengan kata lain, sejarah dipakai bukan untuk membangun ingatan kolektif yang sehat, melainkan sebagai senjata diskriminasi lintas generasi.
    Inilah yang disebut Geoffrey Robinson (2018) sebagai “politik kebisuan” (
    politics of silence
    ). Dengan menghapus atau memelintir fakta, negara mencegah masyarakat untuk memahami bahwa tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat.
    Tanpa kesadaran kritis, publik mudah diarahkan untuk melihat kekerasan massal sebagai sesuatu yang “patriotik” atau “terpaksa”.
    Padahal, justru manipulasi sejarah inilah yang membuat luka kolektif bangsa terus terbuka, karena korban dipaksa bungkam, sementara pelaku tetap bebas tanpa akuntabilitas.
    Maka, refleksi G30S bukan hanya soal membuka fakta kekerasan, melainkan juga membongkar konstruksi sejarah yang menindas.
    Sejarah harus dipulihkan sebagai ruang kebenaran, bukan alat propaganda. Selama narasi resmi dibiarkan mendominasi tanpa koreksi, bangsa ini akan terus hidup dengan warisan ingatan palsu—yang membuat demokrasi rapuh dan nilai kemanusiaan mudah dikorbankan.
    Refleksi atas G30S kehilangan makna apabila nyawa manusia hanya ditempatkan sebagai alat legitimasi politik.
    Di balik jargon ideologi dan klaim stabilitas, terdapat fakta gamblang: ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum, jutaan lainnya dipaksa menjalani penahanan, kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.
    Semua ini terjadi bukan karena “kekacauan” semata, melainkan karena negara secara sadar mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
    Hukum HAM internasional menegaskan hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan hak atas pengadilan yang adil adalah hak
    non-derogable
    —hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
    Amnesty International (2012) mengingatkan bahwa penundaan penyidikan hanya memperpanjang penderitaan korban.
    International People’s Tribunal 1965 di Den Haag (2015) menegaskan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa impunitas telah menjadi norma, sementara korban terus dipaksa menanggung stigma dan diskriminasi.
    Narasi resmi yang terus direproduksi menunjukkan betapa mudahnya sejarah dipelintir untuk mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
    Manipulasi semacam ini berfungsi sebagai perpanjangan dari kekerasan itu sendiri: membungkam suara korban, menghapus kesaksian, dan menormalisasi pembantaian sebagai sesuatu yang “wajar”.
     
    Dengan cara itu, nilai kemanusiaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga diinjak-injak secara sistematis.
    Nilai kemanusiaan menuntut akuntabilitas. Tidak ada ideologi, kepentingan politik, atau alasan stabilitas yang dapat membenarkan pembunuhan massal maupun diskriminasi struktural lintas generasi.
    Selama kebenaran ditutup dan pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban, luka sosial akan terus terpelihara.
    Tragedi G30S seharusnya menjadi peringatan keras: begitu negara menanggalkan prinsip kemanusiaan, hukum dan moralitas ikut runtuh, dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilegalkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Terpeleset Saat Menyeberang, Pria Hilang Tenggelam di Sungai Cikaniki Bogor

    Terpeleset Saat Menyeberang, Pria Hilang Tenggelam di Sungai Cikaniki Bogor

    Bogor

    Seorang pria dilaporkan hilang tenggelam di Sungai Cikaniki Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Korban bernama Muhamad Pahrudin (20) diduga terbawa arus usai terpeleset ketika menyeberangi aliran sungai.

    “Kejadian Kondisi Membahayakan Manusia (KMM). Korban laki-laki, atasnama Muhamad Pahrudin (20), lokasi kejadian di Sungai Cikaniki, Desa Cisarua, Kecamatan Nanggung,” kata Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Kabupaten Bogor dalam keterangan tertulis, Senin (29/9/2025).

    Adam menyebutkan, peristiwa dilaporkan terjadi ketika korban sedang menyeberangi Sungai Cikaniki melalui jembatan, pada Minggu (28/9/2025). Korban diduga terpeleset saat menyeberang, kemudian jatuh dan hilang terbawa arus sungai.

    “Korban sedang melakukan kegiatan mengambil rumput untuk pakan kambing. Korban saat itu tengah menyeberangi jembatan di atas Sungai Cikaniki. Namun korban terpeleset atau terperosok, sehingga jatuh ke Sungai Cikaniki,” kata Adam.

    Hingga malam ini, korban dilaporkan belum ditemukan. Tim SAR gabungan dibantu warga masih melakukan upaya pencarian korban dengan menyisiri aliran Sungai Cikaniki.

    “Pencarian dihentikan sementara pukul 17.00 WIB dan akan dilanjutkan besok. Situasi terakhir korban masih belum diketemukan. Brifieng dilakukan untuk melakukan pencarian esok hari. Adapun ciri-ciri korban (yakni) Tinggi badan kurang lebih 160 centimeter, kulit sawo matang, memakai baju hitam dan celana panjang bewarna hitam,” imbuhnya.

    (sol/maa)

  • Cak Imin Merasa Parpol Kerap Jadi ‘Kambing Hitam’ Setiap Problem Kebangsaan

    Cak Imin Merasa Parpol Kerap Jadi ‘Kambing Hitam’ Setiap Problem Kebangsaan

    Jakarta

    Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyinggung peran partai politik (parpol) beberapa tahun ini tidak mudah. Menurutnya, parpol sering dijadikan ‘kambing hitam’ dalam setiap problem baik politik maupun kebangsaan.

    “Di tengah berbagai tantangan, persoalan, hambatan peran partai ini memang tidaklah mudah, 10-15 tahun partai ini,” kata Cak Imin dalam sambutannya di acara Munas PKS ke VI di Jakarta, Minggu (28/9/2025).

    “Partai-partai semua kita selalu menjadi korban dari seluruh proses dinamika yang ada. Selalu menjadi, ya jujur saja, sering dijadiikan kambing hitam dalam setiap problem politik dan kebangsaan kita,” tambahnya.

    Untuk itu, dirinya menilai soliditas dari setiap parpol perlu dilakukan. Jika parpol solid, tidak lagi jadi kambing hitam setiap masalah yang ada.

    “Tapi, saya yakin dengan memelihara, menjaga, dan menguatkan harapan itu, Insyaallah, yang membuat atau mendorong kambing hitam partai politik akan sia-sia dan partai-partai akan kuat dan solid untuk Indonesia,” sebutnya.

    “Wiridnya memang agak kuat di PKS. Beberapa kali saya bahkan minta wirid dari teman-teman dari PKS, terutama wirid yang satu itu. Menjaga soliditas, dan kebersamaan, yang nggak solid kualat, gitu kira-kira,” ucapnya.

    (ial/dek)

  • PNM Peduli Bangun Kandang Kambing Modern untuk Kelompok Ternak di Mojokerto

    PNM Peduli Bangun Kandang Kambing Modern untuk Kelompok Ternak di Mojokerto

    Mojokerto (beritajatim.com) – PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Cabang Mojokerto melalui program PNM Peduli menyalurkan Tanggung Jawab Sosial Lingkungan (TJSL) berupa pembangunan kandang kambing modern bagi Kelompok Ternak Berkah Mandiri di Desa Wiyu, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.

    Langkah ini menjadi bentuk nyata dukungan PNM dalam meningkatkan pendapatan keluarga serta memperkuat ekonomi kerakyatan. Dengan fasilitas kandang modern, para peternak diharapkan memiliki ruang usaha yang lebih layak dan produktif.

    Pimpinan Cabang PNM Mojokerto, Arif Sulistyantoro menegaskan, bahwa PNM tidak hanya hadir lewat pembiayaan modal, tetapi juga melalui penyediaan sarana dan prasarana yang dapat memberi nilai tambah bagi masyarakat. “Kami ingin masyarakat tidak hanya terbantu secara fasilitas,” ungkapnya, Sabtu (27/9/2025).

    Tetapi juga semakin terinspirasi untuk mengoptimalkan potensi yang ada. Melalui program PNM Peduli ini, pihaknya berharap kelompok ternak Berkah Mandiri mampu berkembang menjadi wirausaha tangguh yang dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga dan lingkungan sekitarnya.

    “Kandang modern ini diharapkan dapat mendukung pengelolaan usaha ternak yang lebih produktif. Mulai dari pemanfaatan pupuk organik hingga pengolahan susu kambing, sehingga pendapatan masyarakat bisa meningkat. Kami optimis, inisiatif kecil ini akan berdampak besar, tidak hanya bagi warga Desa Wiyu,” katanya

    Tetapi, lanjutnya, juga dapat menjadi inspirasi bagi komunitas lain untuk berdaya melalui usaha ternak. Dengan komitmen keberpihakan pada masyarakat, PNM menegaskan siap terus mendampingi perjalanan menuju kemandirian dan kesejahteraan bersama. [tin/ian]

  • Tabung Harmoni Hijau Polda Riau Jadi Tempat Pembibitan Pohon hingga Ternak

    Tabung Harmoni Hijau Polda Riau Jadi Tempat Pembibitan Pohon hingga Ternak

    Pekanbaru

    Polda Riau memiliki sebuah program ‘Tabung Harmoni Hijau’, sebuah program yang tidak hanya menjadi tempat pelatihan untuk pembibitan pohon. Tabung Harmoni Hijau ini juga menjadi tempat untuk personel polisi dan masyarakat untuk mengembangkan kewirausahaan dengan berkebun dan mengembangkan peternakan.

    Program ini menegaskan bahwa Polda Riau tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga gencar melakukan restorasi lingkungan melalui program Green Policing. Direktur Pembinaan Masyarakat (Dirbinmas) Polda Riau, Eko Budhi Purwono, menjelaskan bahwa program ini diimplementasikan melalui inisiasi Bank Pohon, sebuah pusat belajar komprehensif.

    “Ini tempat di mana kita belajar membibit pohon, perikanan, peternakan. Rencana kita kembangkan ayam dan kambing,” ujar Kombes Eko di Rumbai, Pekanbaru, Jumat (26/9/2025).

    Pada Jumat (26/9/2025) pagi tadi, Dirbinmas Polda Riau Kombes Eko Budhi Purwono mengajak sejumlah wartawan Riau berkunjung ke Tabung Harmoni Hijau. (Foto: dok. Polda Riau)

    Ia menjelaskan, tujuan utama dari program ini adalah mengajak masyarakat dan anggota kepolisian untuk bersama-sama menghijaukan kembali Riau dan melakukan restorasi lahan yang tersisa.

    Pada Jumat (26/9/2025) pagi tadi, Dirbinmas Polda Riau Kombes Eko Budhi Purwono mengajak sejumlah wartawan Riau berkunjung ke Tabung Harmoni Hijau. Kombes Eko juga memberikan bibit pohon kepada wartawan untuk ditanam di rumah masing-masing.

    Tabung Harmoni Hijau Polda Riau jadi tempat pembibitan dan pengembangan wirausaha. Tempat ini dibuka untuk anggota polisi dan juga masyarakat. (Foto: dok. Polda Riau)

    Program yang berada di bawah Direktorat Binmas ini dirancang untuk memberikan manfaat ganda, tidak hanya untuk lingkungan, tetapi juga untuk kesejahteraan. Eko Budhi menuturkan bahwa Bank Pohon berfungsi sebagai pusat pembelajaran mulai dari pembibitan hingga pengembangan peternakan.

    Dirbinmas juga menyoroti keberhasilan upaya Polda Riau dalam menekan masalah Karhutla, yang sejalan dengan semangat Green Policing. Ia menegaskan, Bank Pohon membuktikan bahwa lahan yang ada, meskipun bukan milik Polda, dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pembibitan, peternakan, dan mendukung kemandirian pangan.

    (mei/dhn)

  • Lupa Padamkan Api Usir Nyamuk, 15 Kambing di Bandar Lampung Hangus Terpanggang

    Lupa Padamkan Api Usir Nyamuk, 15 Kambing di Bandar Lampung Hangus Terpanggang

    Liputan6.com, Bandar Lampung – Peristiwa kebakaran melanda sebuah kandang ternak di Jalan Harimau, Kelurahan Sukamenanti Baru, Kecamatan Kedaton, Kota Bandar Lampung, Kamis (25/9/2025) dini hari. Dalam insiden tersebut, sebanyak 15 ekor kambing mati terpanggang.

    “Selain kambing, dua ekor ayam beserta anak-anaknya juga ikut terbakar,” kata Kabid Pemadaman dan Penyelamatan Damkarmat Bandar Lampung, Irman Saputra, Kamis (25/9/2025).

    Irman mengatakan, laporan kebakaran masuk sekitar pukul 03.50 WIB. Tak lama kemudian, empat unit mobil pemadam bersama 20 personel diterjunkan ke lokasi.

    “Unit kami tiba hanya empat menit setelah laporan diterima. Api berhasil dipadamkan sekitar pukul 05.20 WIB,” katanya.

    Berdasarkan keterangan pemilik kandang, dijelaskan Irman, api diduga bermula dari pembakaran kecil yang dilakukan untuk mengusir nyamuk.

    Sayangnya, api lupa dipadamkan, sementara hembusan angin kencang membuat si jago merah cepat merambat hingga melalap seluruh bangunan.

    “Untuk penyebab pastinya masih menunggu penyelidikan, tapi dugaan awal memang berasal dari aktivitas pembakaran di sekitar kandang yang awalnya untuk membasmi nyamuk,” ungkapnya.

    Dalam musibah tersebut, bangunan kandang berukuran 4×18 meter rata dengan tanah. Damkarmat Bandar Lampung mencatat total kerugian mencapai sekitar Rp60 juta, meliputi ternak yang mati dan kerusakan bangunan.

    “Tidak ada korban jiwa, tapi kerugian materiil cukup besar,” katanya.

  • Petani di Riau Rayakan Hari Tani Bareng Kapolda di Tabung Harmoni Hijau

    Petani di Riau Rayakan Hari Tani Bareng Kapolda di Tabung Harmoni Hijau

    Pekanbaru

    Penyampaian aspirasi petani di Hari Tani Nasional di Provinsi Riau berbeda dari yang lainnya. Kelompok petani merayakannya bersama Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan di Tabung Harmoni Hijau (THH) Polda riau.

    Kegiatan yang berlangsung di Rumbai, Kota Pekanbaru, Rabu (24/9/2025) siang ini terasa penuh keakraban. Kapolda yang ditemani pejabat utama Polda Riau bersama para petani ngopi bareng para petani di bawah rindangnya pepohonan.

    Para petani menyampaikan aspirasinya terkait persoalan harga pupuk, akses pasar, hingga harapan agar generasi muda kembali tertarik menekuni dunia pertanian di aksi bertema ‘Petani Tangguh, Pangan Terjaga, Riau Sejahtera’ ini.

    Para petani melihat-lihat pembibitan pohon hingga kandang kambing di Tabung Harmoni Hijau binaan Polda Riau, Rabu (24/9/2025). Foto: dok. Polda Riau

    Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan mendengarkan setiap masukan dengan seksama dan menegaskan bahwa Polda Riau akan selalu hadir mendampingi para petani.

    “Polri akan menjaga agar suasana desa tetap aman. Petani harus merasa tenang dalam bekerja, karena dari tangan para petani lahirlah ketahanan pangan bangsa,” ujar Irjen Herry Heryawan.

    Di Tabung Harmoni Hijau Polda Riau, kelompok petani juga melihat-lihat kebun pertanian yang dikembangkan Polda Riau. (Foto: dok. Polda Riau)

    Selain dialog, kegiatan juga diisi dengan penyerahan bantuan simbolis, ramah tamah, serta penanaman pohon sebagai bentuk komitmen menjaga keseimbangan antara pangan dan lingkungan. Pada kesempatan itu, Irjen Herry juga mengajak semua pihak untuk terus merawat alam sebagai warisan berharga, sekaligus mendukung kesejahteraan petani.

    Seusai ramah tamah, para petani diajak berkeliling ke berbagai fasilitas Tabung Harmoni Hijau. Mereka melihat langsung bagaimana area pembibitan ribuan pohon dikelola, menyaksikan lahan percobaan pertanian jagung yang sekaligus menjadi lokasi pelatihan bagi anggota Polri dan masyarakat, hingga menyimak program pembinaan kemandirian bagi anggota Polri yang akan memasuki masa purna tugas melalui kegiatan beternak dan bercocok tanam.

    Kapolda Riau Irjen Herry Heryawan merayakan Hari Tani Nasional bareng petani di Tabung Harmoni Hijau, Rabu (24/9/2025). Foto: dok. Polda Riau

    “Kami ingin menunjukkan bahwa keamanan, pangan, dan lingkungan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” tegas Kapolda.

    Acara silaturahmi ini ditutup dengan doa bersama, memohon keberkahan bagi para petani, hasil panen yang melimpah, serta terjaganya alam Riau untuk generasi mendatang.

    (mei/dhn)

  • Puan Tegaskan Evaluasi Total MBG, Bukan Mencari Kambing Hitam
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        24 September 2025

    Puan Tegaskan Evaluasi Total MBG, Bukan Mencari Kambing Hitam Nasional 24 September 2025

    Puan Tegaskan Evaluasi Total MBG, Bukan Mencari Kambing Hitam
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua DPR Puan Maharani mendesak adanya evaluasi total terhadap pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) usai ratusan anak menjadi korban keracunan.
    DPR, kata Puan, akan menjalankan fungsi pengawasannya untuk memastikan program tersebut aman dan bermanfaat bagi masyarakat.
    “Evaluasinya itu harus dilakukan secara total. Jadi jangan saling menyalahkan, tapi kita evaluasi bersama sehingga jangan terulang kembali,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (23/9/2025).
    Puan mengatakan, MBG merupakan program yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas gizi anak Indonesia.
    Lanjutnya, keberhasilan program MBG harus dijaga lewat pengawasan ketat dan komitmen pihak terkait yang terlibat. Puan pun meminta adanya perbaikan, bukan mencari kambing hitam atas kasus-kasus keracunan yang terjadi.
    “Marilah kita bekerja bersama dalam membangun bangsa dan negara dengan bergotong royong. Fokus kita adalah memperbaiki, bukan mencari kambing hitam,” ujar Puan.
    Kasus keracunan MBG yang menimpa ratusan siswa di berbagai wilayah Indonesia tentu sangat memprihatinkan.
    Oleh karena itu, evaluasi menjadi penting untuk mencegah terulangnya kasus keracunan MBG bagi para siswa penerima manfaat.
    “Keamanan dan kualitas gizi harus menjadi prioritas. Program ini adalah investasi bagi generasi masa depan, jangan sampai tercederai oleh kelalaian teknis,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu.
    KOMPAS.com/BAGUS PUJI PANUNTUN Jumlah siswa keracunan massal usai menyantap paket Makan Bergizi Gratis (MBG) di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat, Senin (22/9/2025), terus bertambah hingga mencapai 63 orang.
    Sebelumnya, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana menyampaikan, sebanyak 4.711 porsi MBG telah menyebabkan gangguan kesehatan hingga ditetapkan menjadi kejadian luar biasa (KLB) hingga 22 September 2025.
    BGN membagi 4.711 kasus tersebut ke tiga wilayah, yakni Wilayah I mencapai 1.281 kasus, Wilayah II mencapai 2.606 kasus, dan Wilayah III meliputi 824 kasus.
    “Jadi total catatan kami itu ada sekitar 4.711 porsi makan yang menimbulkan gangguan kesehatan,” ujar Dadan dalam konferensi pers di Kantor Badan Gizi Nasional (BGN), Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).
    “Dan perlu Anda ketahui bahwa sampai hari ini BGN sudah membuat 1 miliar porsi makan,” sambungnya.
    Kasus gangguan kesehatan tersebut disebabkan oleh sejumlah hal, seperti Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang masih baru, belum terbisa memasak dalam porsi besar, hingga mengganti supplier bahan baku.
    Salah satunya terjadi di SPPG Banggai Kepulauan Tingangkung, yang membeli ikan cakalang dari supplier baru dan menyebabkan 339 orang mengalami gangguan pencernaan.
    Oleh karenanya, Dadan meminta mitra dapur umum lebih hati-hati. Ia pun menyesalkan kejadian yang masih terjadi, padahal menargetkan nol kasus KLB.
    Berikut daftar 4.711 kasus keracunan MBG yang terbagi di tiga wilayah:
    KOMPAS.com/BAGUS PUJI PANUNTUN Amalia Husna Khodijah bocah perempun berusia 5 tahun tercatat sebagai korban keracunan menu MBG dengan usia paling muda saat ditemui di Posko Kesehatan Kecamatan Cipongkor, Selasa (23/9/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.