Hewan: Kambing

  • Fenomena Langka Hyena Tutul Muncul Lagi Setelah 5.000 Tahun

    Fenomena Langka Hyena Tutul Muncul Lagi Setelah 5.000 Tahun

    Jakarta

    Seekor hyena tutul (Crocuta crocuta) ditemukan di Mesir Tenggara. Ini adalah spesies pertama makhluk tersebut yang tercatat di wilayah ini selama ribuan tahun.

    Sayangnya, hewan tersebut ditangkap dan dibunuh oleh orang-orang sekitar 30 km dari perbatasan dengan Sudan, demikian laporan media setempat.

    “Reaksi pertama saya adalah tidak percaya sampai saya memeriksa foto dan video bangkai hewan tersebut,” kata penulis utama penelitian, Dr. Abdullah Nagy dari Universitas Al-Azhar, Mesir, dikutip dari Phys.org.

    “Melihat buktinya, saya benar-benar terkejut. Itu di luar dugaan kami hewan tersebut ditemukan di Mesir,” sambungnya.

    Penampakan itu terjadi sekitar 500 km di utara wilayah yang diketahui dihuni hyena tutul di negara tetangga Sudan. Para peneliti berteori bahwa siklus cuaca regional dan dekade, bagian dari fenomena Palung Laut Merah Aktif, dapat mengakibatkan peningkatan curah hujan dan pertumbuhan tanaman. Kondisi ini membuka koridor migrasi bagi hyena dan mendukung ketersediaan mangsa yang cukup.

    Untuk menguji gagasan ini, mereka menggunakan indeks vegetasi perbedaan yang dinormalisasi (NDVI) sebagai ukuran curah hujan dan peluang penggembalaan yang sesuai, dengan nilai NDVI yang diperoleh dari citra satelit Landsat 5 dan 7 antara 1984 hingga 2022.

    Hasil analisis mengungkap kekeringan selama beberapa tahun dengan periode basah yang lebih pendek. Selama lima tahun terakhir, wilayah tersebut memiliki nilai NDVI yang lebih tinggi daripada dua dekade sebelumnya, yang menunjukkan peningkatan pertumbuhan tanaman dapat mendukung mangsa bagi hyena tutul yang penasaran saat berpindah tempat.

    “Fakta bahwa area koridor tersebut telah menjadi kurang ramah lingkungan, sehingga memungkinkan perjalanan yang lebih mudah di sepanjang ‘jalan raya’, mungkin menjelaskan bagaimana hyena mencapai wilayah utara sejauh ini,” kata Nagy.

    “Namun, motivasi perjalanannya yang panjang ke Mesir masih menjadi misteri yang membutuhkan penelitian lebih lanjut,” sebutnya.

    Hyena tutul merupakan predator berkelompok yang sukses, biasanya ditemukan di berbagai habitat di Afrika sub-Sahara. Mereka dapat menempuh jarak hingga 27 km dalam sehari, mengikuti migrasi ternak semi-nomaden yang dikelola manusia dan bertahan hidup dengan sesekali membunuh ternak.

    Individu yang dideskripsikan dalam penelitian ini, membunuh dua kambing yang digembalakan oleh masyarakat di Wadi Yahmib di Kawasan Lindung Elba, dan kemudian dilacak, ditemukan, dikejar, dan dibunuh pada akhir Februari 2024. Pembunuhan tersebut difoto dan diberi keterangan lokasi geografis, sehingga memberikan kesempatan bagi ahli ekologi hewan untuk menindaklanjuti penampakan tersebut.

    Temuan penelitian ini memaksa pemikiran ulang tentang distribusi hyena tutul yang disepakati dan menambah data yang tersedia tentang bagaimana perubahan iklim regional dapat memengaruhi migrasi hewan.

    (rns/rns)

  • DKI kemarin, sanksi sopir Mikrotrans urakan hingga instalasi biogas

    DKI kemarin, sanksi sopir Mikrotrans urakan hingga instalasi biogas

    Jakarta (ANTARA) – Sejumlah peristiwa mewarnai Jakarta pada Jumat (14/11), mulai dari sanksi pemberhentian bagi sopir Mikrotrans yang ugal-ugalan, potensi bisnis MRT Jakarta, hingga delapan instalasi biogas yang ditargetkan rampung tahun ini.

    Berikut rangkuman beritanya:

    1. Sopir JakLingko yang masih ugal-ugalan usai pelatihan bakal diganti

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo meminta agar sopir atau pramudi Mikrotrans (JakLingko) yang masih ugal-ugalan setelah mengikuti pelatihan untuk diberhentikan atau diganti.

    “Untuk sopir JakLingko yang ugal-ugalan, saya sudah minta kepada kepala dinas perhubungan untuk menertibkan dan melakukan pelatihan. Kalau mereka tetap melakukan hal yang sama, sudah diganti saja,” kata Pramono saat dijumpai di Jakarta Utara, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    2. MRT Jakarta punya banyak potensi bisnis untuk dikembangkan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Gubernur (Wagub) DKI Jakarta, Rano Karno mengatakan MRT Jakarta memiliki banyak potensi bisnis untuk dikembangkan mulai dari periklanan, ritel, hak penamaan hingga layanan digital yang dapat meningkatkan nilai ekonomi sekaligus kenyamanan penumpang.

    “Karena itu, bagi Jakarta, MRT bukan sekadar moda transportasi publik, tetapi bagian dari perjalanan besar menuju kota yang lebih terhubung, produktif, dan berdaya saing,” ujar dia dalam acara “Marketing Gathering MRT Jakarta 2025” di Jakarta Pusat, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    3. Kebocoran tabung gas diduga jadi penyebab kebakaran rumah di Jakbar

    Jakarta (ANTARA) – Kebakaran rumah berlantai dua di Jalan Tanjung Duren Utara I Nomor 5, RT 07/RW 02 Tanjung Duren Utara, Grogol Petamburan, Jakarta Barat, Jumat, diduga disebabkan oleh kebocoran tabung gas.

    “Diduga karena adanya kebocoran pada tabung gas,” kata Kepala Seksi Operasi Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Gulkarmat) Jakarta Barat, Syaiful Kahfi di Jakarta, Jumat

    Baca selengkapnya di sini

    4. Legislator DKI: Pembatasan gim daring tindakan yang reaktif

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Komisi E DPRD DKI Jakarta Justin Adrian Untayana berpendapat wacana pembatasan gim daring (game online) merupakan tanggapan yang reaktif dalam mencari “kambing hitam” untuk disalahkan akibat ledakan di SMAN 72, Jakarta Utara, pada Jumat (7/11).

    “Kalau ada penusukan dan tidak ada gim, kemungkinan film lah yang disalahkan. Tapi, sekarang ada gim, maka gim disalahkan untuk kejadian seperti ini,” kata Justin di Jakarta, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    5. Pemkot Jaktim targetkan delapan instalasi biogas rampung 2025

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Timur (Jaktim) menargetkan pembangunan instalasi tangki septik komunal dengan pemanfaatan biogas di delapan kelurahan rampung pada 2025.

    “Jadi, semua ada delapan instalasi, baru tiga yang sudah selesai. Ditargetkan, ya, secepatnya tahun ini selesai. Memang itu dari kontraknya dengan pelaksana, pokoknya tahun ini selesai semua,” kata Wakil Walikota Jakarta Timur Kusmanto di Cipinang Melayu, Makasar, Jakarta Timur, Jumat.

    Baca selengkapnya di sini

    Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Saat Niat Baik Guru Dianggap Pungli: Potret Kegagalan Negara Menjamin Pendidikan

    Saat Niat Baik Guru Dianggap Pungli: Potret Kegagalan Negara Menjamin Pendidikan

    Saat Niat Baik Guru Dianggap Pungli: Potret Kegagalan Negara Menjamin Pendidikan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Niat baik dua guru di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, membantu rekan-rekannya yang belum menerima honor justru berujung hukuman berat.
    Rasnal dan Abdul Muis, dua
    guru
    di SMA Negeri 1
    Luwu Utara
    , dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) setelah perbuatannya dianggap sebagai pungutan liar berkedok sumbangan sukarela.
    Mereka pun harus berhadapan dengan hukum. Bahkan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA) pun, keduanya tetap divonis bersalah.
    Beruntung kabar vonis itu sampai di telinga Presiden
    Prabowo
    Subianto. Perjuangan mereka memperoleh keadilan diganjar rehabilitasi oleh presiden. Nama baik dan hak mereka pun segera dipulihkan. 
    Kasus ini bermula pada 2018. Saat itu, Rasnal baru saja dilantik sebagai Kepala SMAN 1 Luwu Utara.
    Ia didatangi 10 guru honorer yang mengadu belum menerima honor selama 10 bulan pada 2017.
    Dari situ, Rasnal kemudian menggelar rapat dewan guru untuk mencari solusi, dengan melibatkan komite sekolah dan orangtua siswa. Rapat digelar pada 19 Februari 2018.
    Rapat itu melahirkan kesepakatan adanya sumbangan sukarela Rp 20.000 per bulan per siswa, yang dikelola komite untuk membantu pembayaran honor guru.
    “Semua orangtua setuju. Tidak ada paksaan, tidak ada yang menolak. Komite sendiri yang mengetuk palu,” kata Rasnal.
    Sementara Abdul Muis ditunjuk oleh orangtua siswa dan pengurus komite untuk mengelola dana sumbangan tersebut.
    “Saya didaulat jadi bendahara komite melalui hasil rapat orangtua siswa dengan pengurus. Jadi posisi saya itu hanya menjalankan amanah,” kata Abdul Muis kepada
    Kompas.com
    saat ditemui di sekretariat PGRI Luwu Utara, Senin (10/11/2025).
    Masalah kemudian muncul setelah ada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menganggap sumbangan itu sebagai pungli.
    Rasnal dan Abdul Muis pun terseret dalam masalah hukum. Mereka menjalani pemeriksaan hingga persidangan, dan akhirnya divonis bersalah oleh Mahkamah Agung.
    Rasnal dijatuhi hukuman satu tahun dua bulan. Ia menjalani delapan bulan di penjara dan sisanya sebagai tahanan kota.
    Setelah bebas pada 29 Agustus 2024, Rasnal kembali mengajar di SMAN 3 Luwu Utara. Namun, gajinya tidak lagi masuk ke rekening sejak Oktober 2024.
    Hingga akhirnya keluar keputusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.2/3973/BKD.
    “Saya terdiam lama. Saya pikir, beginikah nasib seorang guru yang ingin menolong?” ujarnya.
    Nasib serupa dialami Abdul Muis. Pengadilan menjatuhkan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan kurungan.
    “Total saya jalani enam bulan 29 hari karena ada potongan masa tahanan. Denda saya bayar,” ujarnya.
    Delapan bulan menjelang masa pensiun, ia resmi diberhentikan dari status PNS melalui Keputusan Gubernur Sulsel Nomor 800.1.6.4/4771/BKD tentang pemberhentiannya sebagai guru ASN.
    Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, menilai kasus ini mencerminkan buruknya sistem pendidikan nasional yang belum mampu menjamin kesejahteraan tenaga pendidik.
    “Fenomena ini menunjukkan kegagalan negara dan buruknya sistem pendidikan yang belum mampu menjamin kesejahteraan guru. Akibat sistem yang amburadul ini, ironisnya yang terjadi malah menjadikan guru sebagai ‘kambing hitam’,” kata Ubaid kepada
    Kompas.com
    , Rabu (12/11/2025).
    Ubaid menyoroti lemahnya komitmen pemerintah terhadap pembiayaan pendidikan. Menurutnya, APBN untuk pendidikan kerap digerogoti program-program yang tidak menyentuh kebutuhan dasar sekolah.
    “Buktinya, APBN untuk pendidikan terus digerogoti oleh program-program yang tidak terkait dengan kebutuhan dasar pendidikan. Misalnya, kasus pemotongan dana pendidikan besar-besaran untuk MBG. Pemerintah harus mereformasi sistem pendanaan pendidikan agar kebutuhan dasar sekolah dan kesejahteraan guru, khususnya honorer, dijamin dengan jelas oleh pemerintah, bukan malah bergantung pada ‘sumbangan’,” ujarnya.
    Ia juga menyoroti normalisasi pungutan liar berkedok sumbangan yang kerap terjadi di sekolah-sekolah.
    “Ada kesan kuat di sekolah kita soal normalisasi pungutan liar berkedok sumbangan. Ini perkara yang sengaja dinormalisasi: sumbangan di sekolah kerap menjadi pisau bermata dua, bisa membawa manfaat, tapi juga bisa menikam balik jika terbukti benar-benar pungli dan sumbangan hanyalah kedok belaka,” katanya.
    Menurut Ubaid, secara prinsip, sumbangan diperbolehkan selama bersifat sukarela, tidak mengikat, transparan, dan tidak menjadi syarat layanan pendidikan. Namun di lapangan, praktiknya kerap bergeser menjadi pungutan terselubung karena tekanan kebutuhan sekolah yang tidak ditopang pendanaan memadai dari pemerintah.
    “Jika benar guru tersebut jelas-jelas melakukan pungli, maka keduanya ya melakukan kesalahan. Misalnya sumbangan yang mestinya sukarela malah diwajibkan, maka ini jelas pungli. Tapi sebaliknya, jika kedua guru tersebut tidak melakukan pungli, tapi benar-benar sumbangan yang tidak mengikat dan sukarela, maka dua guru tersebut adalah korban dari sistem yang timpang,” ujarnya.
    “Mereka dihukum karena mencoba mencari solusi atas persoalan struktural: minimnya kesejahteraan guru honorer dan keterbatasan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) yang serba ketat penggunaannya. Niat baik mereka justru dipersekusi oleh sistem yang tidak adil,” lanjutnya.
    Ubaid menegaskan, persoalan ini bukan sekadar soal pelanggaran aturan, tapi indikator lemahnya tata kelola pendanaan pendidikan dan buruknya perlindungan bagi tenaga pendidik.
    “Guru yang bersuara atau berinisiatif kerap menjadi korban represi birokrasi. Padahal, negara seharusnya hadir untuk mensejahterakan dan melindungi mereka, bukan malah menjadikan mereka sebagai kambing hitam lalu menghukumnya. Tragis!” tutupnya.
    Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus dua guru tersebut.
    Menurutnya, peristiwa ini menggambarkan masih adanya ketimpangan dan kekakuan dalam birokrasi pendidikan serta lemahnya empati negara terhadap guru yang menjadi ujung tombak pendidikan nasional.
    “Kita tidak boleh membiarkan keadilan menjadi kaku hanya karena teks aturan, sementara hati nurani dan akal sehat kita menjerit melihat kenyataan. Apa yang dilakukan para guru itu adalah tindakan solidaritas dan kemanusiaan, bukan tindakan memperkaya diri,” ujar Lalu Hadrian.
    Ia menilai, semangat membantu sesama guru yang belum digaji selama 10 bulan tidak bisa dipersepsikan sebagai niat melanggar hukum.
    “Sebaliknya, ini menunjukkan kepedulian dan rasa tanggung jawab moral dari para pendidik di lapangan yang selama ini harus berjuang di tengah keterbatasan,” katanya.
    Politikus PKB asal NTB ini menegaskan bahwa negara seharusnya hadir dengan kebijakan yang adil, manusiawi, dan berpihak kepada para pendidik, bukan justru menambah beban bagi mereka.
    “Negara seharusnya introspeksi, guru-guru honorer dibiarkan tidak menerima gaji berbulan-bulan hanya karena persoalan administrasi dapodik, tapi (ketika ada guru lain membantu) justru dipenjara dan diberhentikan karena ingin membantu mereka? Pemerintah seharusnya dalam memastikan hak-hak mereka secara adil, bukan memenjarakan dan memberhentikannya?” tegasnya.
    Menurutnya, Komisi X DPR RI akan mendorong pemerintah, khususnya Kemendikdasmen serta pemerintah daerah, untuk meninjau kembali kebijakan pemberhentian terhadap kedua guru tersebut.
    “Kami mendukung sepenuhnya aspirasi para guru di Luwu Utara yang menuntut keadilan. Kami akan meminta penjelasan dari pihak terkait agar keputusan PTDH ini dapat dikaji ulang secara bijak dan proporsional,” jelas Lalu Hadrian.
    Ia menambahkan, kasus ini menjadi cermin nyata masih belum berkeadilannya sistem penggajian dan pendataan guru honorer.
    “Banyak guru di pelosok negeri yang bekerja sepenuh hati namun masih bergelut dengan gaji rendah dan status yang tidak jelas,” ujarnya.
    “Saya mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menegakkan keadilan substantif, bukan sekadar formalitas hukum.” imbuh Ketua DPW PKB NTB itu.
    Usai kabar pemecatan itu viral di media sosial, Presiden Prabowo Subianto akhirnya turun tangan memberikan rehabilitasi kepada keduanya. 
    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa pemerintah pusat mendengar dan mendapat aduan berjenjang dari masyarakat soal kasus yang menimpa Rasnal dan Abdil Muis.
    “Kami, pemerintah, mendapatkan informasi dan mendapatkan permohonan yang secara berjenjang dari masyarakat baik secara langsung maupun melalui lembaga legislatif di tingkat provinsi,” kata Prasetyo Hadi dilihat dari tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (13/11/2025).
    Aduan tersebut kemudian dikoordinasikan dengan Pimpinan DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. Kasus tersebut juga dibahas selama satu minggu terakhir sebelum akhirnya keduanya mendapat rehabilitasi dari Kepala Negara.
    “Kemudian berkoordinasi ke DPR RI melalui bapak wakil ketua DPR RI kemudian kami selama satu minggu terakhir, berkoordinasi minta petunjuk kepada Bapak Presiden untuk memberikan rehabilitasi kepada kedua orang Guru dari SMA 1 ya Luwu Utara,” ucapnya.
    Lewat rehabilitasi hukum ini, Istana berharap dapat memulihkan nama baik dan hak Rasnal dan Abdul Muis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Internet Jadi Kambing Hitam Aksi Ekstrem Pelajar SMAN 72, Bukankah Akarnya Ada di Dunia Nyata?

    Saat Internet Jadi Kambing Hitam Aksi Ekstrem Pelajar SMAN 72, Bukankah Akarnya Ada di Dunia Nyata?

    Saat Internet Jadi Kambing Hitam Aksi Ekstrem Pelajar SMAN 72, Bukankah Akarnya Ada di Dunia Nyata?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Internet disebut-sebut menjadi salah satu jalur yang menjerumuskan Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH) pelaku peledakan SMAN 72 Jakarta Utara.
    Dia belajar merakit bom dan terinspirasi konten kekerasan dari internet. Dunia maya membuat ABH tersebut gelap mata, melakukan kriminal, membuat orang-orang terluka.
    Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Iman Imanuddin menyampaikan penyebab utamanya tentu bukan internet, karena ABH tersebut seyogyanya berperilaku menyimpang karena mendapat pengucilan dari lingkungannya.
    “Dia merasa tidak ada yang menjadi tempat untuk menyampaikan keluh kesahnya, baik itu di lingkungan keluarga, kemudian di lingkungannya itu sendiri, maupun di lingkungan sekolah,” ujar Iman dalam konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Selasa (11/11/2025).
    Kasubdit Kontra Naratif Direktorat Pencegahan Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana menjelaskan bahwa dari tumpukan perasaan marah itu, ABH mencari pelampiasan.
    Internet kemudian jadi pilihan, ABH kemudian jatuh pada konten yang mengarah pada kekerasan yang membahayakan nyawa.
    Dia kemudian bertemu dengan komunitas yang mengelola konten serupa, mendapat pengakuan dan akhirnya termotivasi untuk ikut meniru.
    Komunitas itu juga memberikan pengakuan dan penghargaan lebih untuk anggotanya yang berhasil mengunggah konten kekerasan yang mereka lakukan.
    ABH kemudian melakukannya, dengan cara membawa tujuh bom rakitan ke sekolahnya, meledakkan di masjid, membuat luka 96 orang.
    Dari internet, ABH juga mengenal sosok teroris dan kriminal yang menyebabkan nyawa banyak orang melayang.
    Hal ini terlihat dari nama-nama pelaku kejahatan yang dia tulis di senjata mainan yang dibawa saat melakukan aksi peledakan.
    Terdapat juga nama aliran neo-Nazi, dianut Eric Harris, pelaku penembakan di Columbine High School, Colorado, Amerika Serikat, pada 1999.
    Selain itu, terdapat nama Vladislav Roslyakov, pelaku penembakan di Politeknik Kerch, Rusia, pada 2018; serta Natalie Rupnow, pelaku penembakan di sekolah di Wisconsin, Amerika Serikat, pada 2024.
    Penganut aliran supremasi kulit putih (
    white supremacy
    ) juga tercantum di senjata mainan tersebut.
    Di antaranya Dylann Roof, pelaku penembakan di Gereja Charleston, South Carolina, Amerika Serikat, pada 2015; dan Alexandre Bissonnette, pelaku penembakan di Masjid Quebec, Kanada, pada 2017.
    Terakhir, terdapat nama Brenton Tarrant, penganut aliran etno-nasionalis, yang terlibat dalam penembakan di Masjid Christchurch, Selandia Baru, pada 2019. Namanya tertulis paling jelas di senjata mainan itu.
    Semuanya dipelajari ABH dari internet dan komunitas yang dia dapatkan dari berselancar di dunia maya.
    Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau Kak Seto mengatakan, setiap orang baik pendidik maupun orangtua harus melihat internet dan sosial media hanya sebagai alat yang bersifat netral, bisa negatif bisa positif.
    Karena dampak positif dari internet justru sudah banyak dirasakan oleh banyak anak-anak dan remaja saat ini.
    “Misalnya seorang pandai menguasai bahasa asing itu juga (belajar dari) sosial media. Seorang anak misalnya dalang cilik tapi asal dari kota Jakarta, dia sangat lihai. Belajarnya dari mana? Dari Mbah Youtube misalnya. Jadi berbagai hal positif juga ada tapi yang negatif juga tidak sedikit,” kata Kak Seto kepada Kompas.com, Selasa (11/11/2025).
    Untuk itu, orangtua dan pendidik harus memahami bahwa penggunaan sosial media dan internet sebagai keniscayaan.
    Yang perlu ditekankan adalah agar anak-anak bisa cerdas menggunakan sosial media dan literasi digital bisa terus dikembangkan.
    “Sehingga anak bisa membedakan Misalnya mana yang positif, mana yang negatif,” kata Kak Seto.
    Menurut dia, memberikan edukasi tentang literasi digital pada anak sama pentingnya dengan mengajarkan anak cara bergaul dan berkehidupan sosial dengan baik.
    Anak-anak sudah selayaknya diajarkan bagaimana cara memilih dan memilah mana pergaulan yang positif untuk dirinya dan mana yang negatif.
    “Nah itu bisa dipisahkan Sehingga kecerdasan etika, kecerdasan moral, kecerdasan spiritual dan sebagainya itu juga dimiliki oleh setiap anak,” ucapnya.
    Kak Seto juga menegaskan, anak-anak dalam proses menggunakan alat bernama internet dan sosial media ini perlu juga didampingi oleh orangtua dan guru mereka.
    Khususnya pada orangtua yang setiap saat menjadi pengayom dan pembimbing anak-anak mereka saat berada di rumah.
    Orangtua dituntut lebih peduli pada perkembangan kecerdasan literasi digital anak mereka. Sumber literasi digital yang sedang dibaca, dan konten yang sedang didalami anak-anak mereka.
    Kak Seto menekankan, dalam literasi digital, harus ada lima unsur pendidikan yang harus diperhatikan.
    Nomor satu adalah etika dasar yang berlaku secara universal, sehingga anak-anak bisa beretika dengan baik di mana pun mereka berada, baik di dunia maya maupun dalam pergaulan nyata.
    “Kedua apa, estetika, unsur seni, art, ketiga iptek (ilmu pengetahuan) dan teknologi, keempat nasionalisme, dan kelima kesehatan,” katanya.
    Kak Seto juga menegaskan, unsur kelima ini tak hanya sebatas pada kesehatan fisik, tetapi juga kesehatan mental anak menjadi sangat penting saat mengakses konten digital.
    Kemudian yang tak kalah penting adalah pelajaran karakter di luar unsur pendidikan tadi, salah satunya adalah berprikir kritis agar anak-anak berani mengkritik apa yang keliru dari konten sosial media dan pergaulan mereka sehari-hari.
    “Artinya juga berani mengkritisi apa yang keliru Dari pergaulan, dari apa pun juga yang di konsumsi oleh anak-anak, termasuk isi dari media sosial tadi,” tandasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem

    Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem

    Tragedi SMAN 72: Ilusi Gim, Kegagalan Sistem
    Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
    TRAGEDI
    ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025, yang melukai 96 anggota komunitas sekolah, adalah duka kolektif.
    Di tengah kabut trauma dan kebingungan, respons publik, terutama dari negara, menjadi penentu arah pemulihan dan pencegahan.
    Karena itu, ketika Presiden Prabowo Subianto mengindikasikan rencana untuk membatasi game online, secara spesifik menyebut
    PUBG
    sebagai buntut peristiwa ini, kita tidak sedang melihat solusi, tapi gejala.
    Sebagai seorang praktisi psikologi yang telah 40 tahun meneliti interaksi antara kebijakan, pendidikan, dan perilaku sosial, respons ini secara psikologis dapat dipahami. Namun, secara empiris sangat bermasalah.
    Kita menyaksikan refleks kebijakan yang bertumpu pada serangkaian sesat pikir (
    logical fallacies
    ), mengorbankan analisis akar masalah demi solusi instan yang ilusif.
    Respons yang mengarahkan penyebab tragedi ke “gim” adalah reaksi yang secara emosional dapat dimengerti: kita ingin menemukan musuh yang jelas, cepat, dan dapat ditunjuk.
    Namun secara logis, menyamakan permainan digital dengan penyebab langsung tragedi ini adalah jalan pintas pemikiran yang berbahaya.
    Menyalahkan media hiburan atas tindakan terencana dan berdampak besar tidak menjawab pertanyaan yang paling penting: siapa yang gagal menangkap tanda-tanda bahaya, dan mengapa sistem yang ada tidak melindungi mereka yang rentan?
    Data awal dan pemeriksaan lapangan menunjukkan dua kegagalan yang bersifat institusional:
    perundungan
    berat yang berlangsung lama dan kemungkinan radikalisasi ideologis.
    Perundungan yang sistemik merongrong harga diri, harapan, dan jaringan sosial seorang anak sehingga rasa marah dapat berubah menjadi tindakan destruktif.
    Di saat sama, ideologi kekerasan dan manifestos kejahatan mendatang kini tersebar melalui ekosistem digital yang luas, memudarkan batas antara imaji dan pembenaran tindakan nyata. Menghadapi ini memerlukan diagnosis yang berbeda dari sekadar kata “sensor” atau “larangan”.
    Kebijakan publik sering tergoda untuk memilih solusi yang terlihat tegas di permukaan: melarang akses, memblokir aplikasi, atau menunjuk kambing hitam. Itu memberi kesan bahwa sesuatu sedang dilakukan.
    Namun, tindakan simbolik semacam ini tidak menyentuh akar: budaya sekolah yang membiarkan perundungan, lemahnya implementasi tim pencegahan kekerasan yang diatur kebijakan, dan ketiadaan program pendidikan yang menumbuhkan ketahanan kognitif terhadap propaganda kekerasan.
    Pertama, kita harus mengakui kegagalan implementasi regulasi yang sudah ada. Memiliki peraturan adalah langkah awal. Namun tanpa audit, pelatihan guru, dan alokasi sumber daya nyata, peraturan itu tetap menjadi kata-kata pada kertas.
    Sekolah perlu diberi dukungan untuk membangun budaya aman: pelatihan konselor dan guru, mekanisme pelaporan yang aman bagi korban, serta pengawasan independen yang menilai iklim sekolah secara berkala.
    Kedua, intervensi anti-perundungan berbasis bukti harus diadopsi dan diadaptasi. Implementasi yang baik mencakup kurikulum, pengawasan perilaku, dan program restoratif yang memulihkan hubungan, bukan hanya menghukum.
    Ini memerlukan komitmen anggaran dan waktu. Hasilnya sering baru terlihat setelah beberapa tahun—namun manfaatnya nyata: penurunan insiden, iklim sekolah yang lebih sehat, dan anak-anak yang lebih mampu membangun hubungan aman.
    Ketiga, kita harus memperluas literasi digital menjadi literasi kritis. Bukan sekadar mengajari anak “bagaimana menggunakan gadget”, melainkan melatih keterampilan analitik untuk membaca, memverifikasi, dan memahami narasi yang mereka temui di online.
    Ini termasuk pengenalan terhadap mekanika radikalisasi: bagaimana pesan ekstrem memanfaatkan keresahan emosional, bagaimana ekosistem algoritmik memperkuat gema, dan bagaimana membangun kebiasaan bertanya — bukan memercayai — terhadap konten yang memancing kemarahan atau kebencian.
    Keempat, peran platform dan tanggung jawabnya tidak boleh diabaikan. Regulasi yang cerdas menggabungkan pencegahan dengan kerja sama platform: transparansi moderasi, akses pada moderator lokal yang memahami konteks budaya, dan mekanisme cepat untuk menangani konten yang mempromosikan kekerasan.
    Sekali lagi, ini bukan pengganti perbaikan di tingkat sekolah dan keluarga; ia melengkapi pendekatan yang lebih luas.
    Kita berutang pada korban dan keluarga mereka sebuah jawaban yang lebih matang daripada kemarahan instan.
    Kepanikan moral—kebutuhan cepat menunjuk “penjahat” budaya—memuaskan rasa takut sementara, tetapi meninggalkan kerusakan struktural tetap ada.
    Mengatasi akar perundungan dan kerentanan terhadap radikalisasi memerlukan kesabaran, komitmen anggaran, dan keberanian politik untuk menolak solusi yang tampak cepat, tapi dangkal.
    Di ruang-ruang konseling, guru, dan ruang rapat dinas pendidikan, kita harus berbicara dengan bahasa yang menghubungkan empati dan logika: empati untuk merawat luka, logika untuk membangun kebijakan yang tahan uji.
    Tragedi SMAN 72 menuntut kita bertanya bukan hanya “apa yang bisa segera diblokir?” tetapi “apa yang harus kita bangun agar tragedi ini tak terulang?”
    Jawabannya tak akan nyaman dan tak akan cepat, tetapi ia adalah pekerjaan kolektif yang layak diperjuangkan demi keselamatan anak-anak kita.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bupati Hamid Wahid Dorong Penguatan Sektor Peternakan Bondowoso Lewat Layanan Pengobatan Massal

    Bupati Hamid Wahid Dorong Penguatan Sektor Peternakan Bondowoso Lewat Layanan Pengobatan Massal

    Bondowoso (beritajatim.com) — Bupati Bondowoso, Abdul Hamid Wahid, menegaskan bahwa sektor peternakan menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi daerah.

    Hal itu disampaikannya saat menghadiri kegiatan pengobatan massal ternak, penyerahan bibit ikan, dan launching BUMDes Peternakan Ayam Petelur di Desa Bajuran, Kecamatan Cermee, Senin (10/11/2025).

    Menurut Bupati, dengan populasi 145.577 ekor sapi, Bondowoso termasuk dalam 10 besar kabupaten dengan populasi sapi terbanyak di Jawa Timur. Kecamatan Cermee sendiri memiliki 20.786 ekor sapi, sementara Desa Bajuran tercatat sekitar 1.200 ekor, disertai usaha ternak kambing dan domba.

    “Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Bondowoso mencapai 29,35 persen, dan subsektor peternakan menyumbang 4,94 persen. Data ini menegaskan bahwa peternakan memiliki potensi besar dan peran strategis dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujar Hamid Wahid.

    Ia menjelaskan, kegiatan pengobatan massal ternak merupakan langkah penting untuk memperkuat pelayanan publik, khususnya di wilayah pedesaan dan terpencil.

    Program ini melibatkan tenaga profesional peternakan seperti medik veteriner, paramedik, dan inseminator untuk memberikan layanan komprehensif, mulai dari pengobatan, inseminasi buatan, hingga pemeriksaan reproduksi ternak.

    Bupati Hamid Wahid juga menyampaikan apresiasi kepada Dinas Peternakan dan Perikanan Bondowoso beserta seluruh petugas lapangan atas dedikasi mereka dalam melayani masyarakat. Ia berharap kegiatan serupa terus digalakkan di wilayah lain agar kehadiran pemerintah benar-benar dirasakan hingga ke pelosok desa.

    “Ke depan, teknologi peternakan seperti inseminasi buatan bibit unggul Belgian Blue dan transfer embrio perlu terus dikembangkan agar produktivitas dan kesejahteraan peternak Bondowoso semakin meningkat,” tambahnya. (awi/ian)

  • Pencarian Lansia Hanyut di Sungai Brantas Kediri Dihentikan Sementara Karena Cuaca Buruk

    Pencarian Lansia Hanyut di Sungai Brantas Kediri Dihentikan Sementara Karena Cuaca Buruk

    Kediri (beritajatim.com) – Operasi pencarian terhadap Sihman, lansia berusia 74 tahun yang dilaporkan hanyut di Sungai Brantas, Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri, pada Minggu (9/11/2025), masih belum membuahkan hasil hingga Senin (10/11/2025). Pencarian yang dilakukan sejak pagi terpaksa dihentikan sementara akibat kondisi cuaca yang tidak mendukung dan akan dilanjutkan keesokan harinya.

    Kapolsek Ngadiluwih AKP Agung Saifudin menyampaikan, hujan deras membuat tim gabungan tidak bisa melanjutkan penyisiran di aliran sungai hingga sore hari. “Kondisi hujan, kegiatan hari ini dari tim SAR sementara dihentikan,” ujarnya.

    Koordinator Lapangan BPBD Kabupaten Kediri, Heri Saputro, menjelaskan bahwa pencarian melibatkan sekitar 30 personel dari berbagai unsur, termasuk TNI, Polri, Basarnas, BPBD Kabupaten Kediri, serta relawan dari Wana Rescue, ORARI, dan KAPI. Pencarian hari ini difokuskan pada area sekitar Taman Brantas hingga kawasan tambangan Dusun Pagak, Desa Bangle, lokasi awal dugaan korban hanyut.

    “Pencarian tetap kita mulai dari TKM-nya (Tempat Kejadian Musibah) atau di tambangan Pak RT. Sementara tadi berputar di sebelahnya, di sekitar Taman Brantas,” terang Heri.

    Selama pencarian, tim sempat menemukan bangkai yang sempat diduga sebagai korban pada jarak sekitar satu kilometer dari lokasi kejadian. Namun setelah diperiksa, bangkai tersebut ternyata adalah kambing. “Tadi ada di sebelah kurang lebih satu kilo dari TKM-nya. Itu ada bangkai, ternyata hanya bangkai kambing saja,” tambahnya.

    Untuk mendukung operasi pencarian, dua unit perahu karet (LCR) dikerahkan, masing-masing dari Basarnas dan BPBD Kabupaten Kediri. Selain itu, tim SAR juga berkoordinasi dengan pihak Bendungan Paron Turi serta petugas di wilayah hilir seperti Nganjuk, Jombang, dan Mojokerto, guna mengantisipasi kemungkinan korban terbawa arus hingga jauh.

    “Kita sudah koordinasi di tambangan dan Bendungan Paron Turi, serta dengan petugas di bawahnya, termasuk wilayah Nganjuk, Jombang, dan Mojokerto. Jika ada temuan jenazah, akan segera dikabarkan ke kami,” jelas Heri.

    AKP Agung menegaskan bahwa operasi pencarian akan terus dilakukan setiap hari hingga korban ditemukan. “Operasi pencarian tiap hari sampai jam 16.00 WIB tergantung cuaca. Setelah itu dilanjutkan evaluasi dari tim,” ujarnya.

    Diketahui sebelumnya, Sihman dilaporkan hilang setelah diduga tercebur ke Sungai Brantas di area penyeberangan tambangan Dusun Pagak, Desa Bangle, Kecamatan Ngadiluwih, pada Minggu (9/11/2025) pagi.

    Sekitar pukul 10.30 WIB, korban terlihat mengendarai sepeda angin merek Polygon warna silver dari arah timur ke barat. Saat melintasi jalan menurun menuju tambangan, diduga rem sepeda tidak berfungsi hingga korban terjatuh ke sungai.

    Dua pengemudi perahu penyeberangan di sisi barat sempat melihat korban terbawa arus deras sejauh sekitar 250 meter dari titik jatuh, sementara warga lain mengaku mendengar teriakan minta tolong dari arah sungai. Tim SAR kini terus berupaya melacak keberadaan korban di sepanjang aliran Sungai Brantas. [nm/ian]

  • Pemkab Banyumas salurkan bantuan hibah bidang perikanan dan peternakan

    Pemkab Banyumas salurkan bantuan hibah bidang perikanan dan peternakan

    Banyumas, Jawa Tengah (ANTARA) – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyumas, Jawa Tengah, menyalurkan bantuan hibah bidang perikanan dan peternakan serta memfasilitasi asuransi bagi nelayan perairan umum darat dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan ekonomi daerah.

    Dalam kegiatan penyaluran yang diserahkan secara simbolis oleh Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono di Balai Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Senin, Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan (Dinkanak) Kabupaten Banyumas Sulistiono mengatakan hibah yang bersumber dari APBD Perubahan Tahun 2025 tersebut disalurkan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Banyumas tentang Penerimaan Hibah Bidang Perikanan dan Peternakan.

    “Total nilai hibah mencapai Rp1,26 miliar, yang terdiri atas bantuan pakan mandiri senilai Rp695 juta untuk 18 kelompok pembudi daya ikan (pokdakan) serta sarana dan prasarana peternakan senilai Rp568 juta untuk 20 kelompok ternak,” katanya.

    Menurut dia, bantuan peternakan meliputi kambing jawarandu, domba, kelinci ras, ayam buras, dan itik petelur.

    Selain hibah, kata dia, Dinkanak juga memfasilitasi asuransi bagi 201 nelayan perairan umum darat dengan alat tangkap kecil.

    “Ini merupakan program baru yang diinisiasi Bapak Bupati untuk memberikan perlindungan bagi para nelayan. Bahkan, sudah ada satu kasus klaim asuransi yang berhasil dicairkan,” kata Sulistiono.

    Sementara itu, Bupati Banyumas Sadewo Tri Lastiono mengapresiasi seluruh pihak yang mendukung pelaksanaan program tersebut.

    Ia mengatakan hibah dan asuransi merupakan wujud nyata perhatian pemerintah daerah terhadap sektor perikanan, peternakan, dan pertanian yang menjadi tulang punggung ketahanan pangan serta ekonomi masyarakat Banyumas.

    “Kalau kelompok tani, kelompok ternak, dan pembudi daya ikan bisa berkembang, maka ekonomi rakyat ikut bergerak. Akan ada lapangan kerja baru dan kesejahteraan masyarakat meningkat,” katanya.

    Ia mengharapkan bantuan tersebut tidak dianggap sebagai hadiah, melainkan tanggung jawab bersama untuk dikelola secara berkelanjutan.

    “Jangan hitung rugi atau untung dari nilai hibah ini, tapi pikirkan bagaimana bantuan ini bisa membawa manfaat bagi banyak orang,” katanya menegaskan.

    Terkait dengan program asuransi nelayan perikanan darat, dia mengatakan hal itu merupakan program dukungan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi sebagai bagian dari upaya perlindungan bagi nelayan perairan darat saat beraktivitas di sungai maupun danau.

    “Dengan asuransi ini, nelayan bisa bekerja lebih tenang dan aman karena ada jaminan untuk diri dan keluarganya,” katanya.

    Meskipun kondisi fiskal nasional dan daerah sedang mengalami tekanan akibat pemotongan anggaran, dia mengatakan Pemkab Banyumas tetap berkomitmen mendukung sektor-sektor produktif.

    Dalam hal ini, kata dia, pemerintah daerah akan terus berupaya menjaga agar program pemberdayaan masyarakat tetap berjalan.

    Ia mengharapkan hibah dan program asuransi tersebut menjadi pemicu semangat bagi kelompok penerima untuk terus berinovasi dan berkontribusi bagi pembangunan daerah.

    “Semoga hibah ini membawa keberkahan dan menjadi langkah nyata memperkuat ketahanan pangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Banyumas,” kata Bupati Sadewo.

    Pewarta: Sumarwoto
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 4
                    
                        Mengenal Marsinah, Aktivis Buruh yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
                        Nasional

    4 Mengenal Marsinah, Aktivis Buruh yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional Nasional

    Mengenal Marsinah, Aktivis Buruh yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada aktivis buruh, Marsinah.
    Penganugerahan dilakukan dalam upacara penganugerahan gelar
    pahlawan nasional
    2025 di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
    “Tiga, almarhumah
    Marsinah
    tokoh dari Provinsi Jawa Timur,” ujar Sekretaris Militer Presiden (Sesmilpres) Brigjen TNI Wahyu Yudhayana saat membacakan penganugerahan
    gelar pahlawan nasional
    , Senin (10/11/2025).
    Gelar pahlawan nasional pun diberikan langsung oleh
    Prabowo Subianto
    kepada ahli waris dari Marsinah yang diusulkan dari Jawa Timur.
    Marsinah adalah buruh wanita asal Nganjuk, Jawa Timur. Dia bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
    Diberitakan Harian
    Kompas
    , 28 Juni 2000, Marsinah lahir pada 10 April 1969. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya.
    Marsinah merupakan anak dari pasangan Astin dan Sumini di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.
    Dia pertama kali bekerja di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut. Tetapi, gajinya jauh dari cukup sehingga untuk memperoleh tambahan penghasilan, Marsinah juga berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharga Rp 150 per bungkus.
    Upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
    Kasus pembunuhan Marsinah berawal pada 3-4 Mei 1993, saat buruh pabrik pembuatan arloji, PT Catur Putra Surya (CPS), menuntut pemenuhan hak mereka.
    Setelah aksi mogok kerja tersebut, 11 dari 12 tuntutan tersebut dikabulkan, kecuali pembubaran Unit Kerja SPSI di PT CPS. Terkabulnya hasil perundingan tersebut tertuang dalam Surat Persetujuan Bersama.
    Namun, pada 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil oleh Kodim 0816 Sidoarjo dan mereka dipaksa untuk mengundurkan diri dari PT CPS, dengan alasan sudah tidak dibutuhkan lagi oleh perusahaan. Mereka yang menolak mendapatkan intimidasi dan tindakan represif.
    Mendengar adanya pemanggilan Kodim 0816 Sidoarjo terhadap 13 rekan kerjanya, Marsinah menulis sepucuk surat untuk teman-teman buruhnya tersebut yang berisi petunjuk menjawab interogasi.
    Perempuan kelahiran 10 April 1969 itu juga berikrar di hadapan rekan-rekannya, “Kalau mereka diancam akan dimejahijaukan oleh Kodim, saya akan bawa persoalan ini kepada paman saya di Kejaksaan Surabaya.”
    Pada hari yang sama, 5 Mei 1994, Marsinah bersama seorang rekannya melayangkan surat protes kepada PT CPS yang diterima oleh pihak keamanan pabrik.
    Setelah itu, pada malam harinya, mereka pulang dan menyempatkan untuk berkunjung ke kediaman temannya.
    Namun, usai pertemuan di malam itu, pukul 22.00, Marsinah pergi entah ke mana dan menjadi yang terakhir kali bagi rekan-rekannya untuk melihat sosok perempuan itu.
    Pada 8 Mei 1993, segerombolan anak-anak menemukan jasad Marsinah terbujur kaku di sebuah gubuk di kawasan hutan Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.
    Tubuhnya dipenuhi luka dan bersimbah darah, yang mengindikasikan bahwa Marsinah mengalami kekerasan dan penyiksaan sebelum dibunuh.
    Tewasnya Marsinah mendapatkan perhatian publik dan Presiden Soeharto saat itu. Satu bulan pertama pengusutan kasusnya, kepolisian sudah memeriksa sebanyak 142 orang.
    Namun, puncaknya terjadi pada 1 November 1993 dini hari, saat satuan intelijen menculik delapan orang yang diduga sebagai pelaku pembunuhan Marsinah.
    Kedelapan orang tersebut merupakan orang-orang dari PT CPS, di mana salah satu yang diculik adalah pemilik pabrik, Judi Susanto.
    Judi Susanto dan tujuh orang lainnya diketahui mengalami siksaan berat untuk dipaksa mengakui bahwa mereka adalah dalang pembunuhan Marsinah.
    Selama penyelidikan dan penyidikan oleh Tim Terpadu Bakorstanasda Jawa Timur, disebutkan bahwa Suprapto, seorang pekerja di bagian kontrol PT CPS, menjemput Marsinah dengan sepeda motornya.
    Marsinah kemudian disebut dibawa ke rumah Judi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari disekap, Marsinah disebut dibunuh oleh Suwono, seorang satpam di PT CPS.
    Akhirnya, Judi Susanto dijatuhi vonis 17 tahun penjara. Sementara itu, beberapa staf PT CPS dijatuhi hukuman sekitar empat tahun hingga 12 tahun penjara.
    Namun, saat itu Judi Susanto bersikeras menyatakan tidak terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Ia mengaku hanya dijadikan sebagai kambing hitam. Judi Susanto kemudian naik banding ke Pengadilan tinggi dan dinyatakan bebas.
    Hal serupa juga dilakukan para staf PT CPS yang dijatuhi hukuman. Mereka naik banding hingga dibebaskan dari segala dakwaan atau bebas murni oleh Mahkamah Agung.
    Setelah itu, kasus pembunuhan Marsinah tidak menemui titik terang dan menjadi salah satu catatan pelanggaran HAM di Indonesia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jerman Khawatirkan Masa Depan Demokrasi

    Jerman Khawatirkan Masa Depan Demokrasi

    Berlin

    Dunia digital media sosial kian riuh dan cepat. Siapa yang menonjol, akan terangkat ke permukaan — Donald Trump, Elon Musk, Javier Milei. Mereka menguasai tajuk berita lewat pesta mewah, roket luar angkasa, hingga gergaji mesin. Semangat zaman seolah diringkas dalam segelintir tokoh flamboyan.

    Namun di luar hiruk-pikuk itu, ada kelompok yang justru tampak seperti antitesis dunia digital: kelas menengah — orang-orang yang jarang menjadi sorotan, tapi menjadi tulang punggung masyarakat demokratis dan terbuka.

    Karena peran penting itulah, selama hampir dua dekade para ilmuwan sosial Jerman meneliti bagaimana “tengah” ini berpikir. Studi yang dilakukan atas dukungan Friedrich-Ebert-Stiftung itu menelusuri sikap mereka terhadap ekstremisme kanan, xenofobia, antisemitisme, dan pandangan sosial-darwinistik. Studi ini disebut sebagai semacam seismograf sosial, alat pendeteksi dini terhadap gejala anti-demokrasi di Jerman.

    Spektrum tengah yang stabil tapi tegang

    Hasil penelitian terbaru menggambarkan kondisi yang kontradiktif: stabil, tapi tegang.

    “Kelompok tengah kini lebih stabil dan menahan laju dukungan terhadap ekstremisme kanan,” kata Andreas Zick, Direktur Institut Penelitian Konflik dan Kekerasan di Universitas Bielefeld, kepada DW.

    Tim peneliti mewawancarai sekitar 2.000 responden dari berbagai lapisan — mencerminkan keragaman latar belakang, pendidikan, pendapatan, dan perilaku pemilih di Jerman.

    Ekstremisme kanan menurun

    Berbeda dengan gambaran gaduh di media sosial dan kenaikan pamor partai Alternatif untuk Jerman (AfD), temuan ini menunjukkan: hanya tiga persen warga Jerman memiliki pandangan ekstrem kanan yang solid — angka yang menurun dibanding masa lalu.

    Mayoritas masyarakat justru melihat demokrasi dan keberagaman secara positif. Tujuh dari sepuluh responden menganggap peningkatan ekstremisme kanan sebagai ancaman — meski faktanya tren itu menurun. Lebih dari setengah responden juga menyatakan siap terlibat melawan ekstremisme.

    Koreksi terhadap citra miring

    Temuan ini juga membantah persepsi umum bahwa kawasan timur Jerman lebih ekstrem dibanding barat. Memang, xenofobia lebih banyak ditemukan di timur, tapi secara mengejutkan, pandangan ekstrem kanan yang utuh justru sedikit lebih banyak di barat.

    Para peneliti mendefinisikan “pandangan ekstrem” bukan dari satu-dua sikap diskriminatif, melainkan bila seluruh pandangan hidup seseorang dibentuk oleh ide-ide anti-demokratis dan anti-kemanusiaan.

    Meski kabar baiknya cukup banyak, para ilmuwan tetap waspada. “Kita harus bertanya, seberapa kuat demokrasi bila diuji dari tengahnya sendiri?” ujar Zick.

    Di zona abu-abu

    Tim peneliti menemukan semakin banyak orang berada di wilayah abu-abu — tidak ekstrem, tapi juga tidak teguh mendukung demokrasi. “Jika kita lihat pandangan mereka terhadap isu rasisme dan seksisme, kelompok ini cenderung condong ke penolakan demokrasi ketimbang dukungan,” kata Zick.

    Mereka lebih mudah terpengaruh populisme dan retorika kanan. Yang lebih mengkhawatirkan: kepercayaan terhadap institusi dan prinsip demokrasi menurun tajam.

    Fenomena ini tak lepas dari serangan terus-menerus partai AfD terhadap institusi negara, partai demokratis, dan masyarakat sipil. Dengan dukungan algoritma media sosial, narasi mereka — sering kali disertai gambar buatan kecerdasan buatan (AI) — menyebar luas, menampilkan Jerman seolah berada di tepi kehancuran.

    Akibatnya, banyak media justru ikut terjebak dalam nada panik dan sensasi: apakah masyarakat Jerman akan “tergelincir”?

    Tren autoritarianisme di kalangan muda

    Meski para peneliti menilai alarm semacam itu berlebihan, mereka tetap mencatat tren mengkhawatirkan: pandangan ekstrem kanan meningkat di kalangan muda.

    “Semakin muda usianya, semakin kuat kecenderungan ke arah pandangan ekstrem,” ujar Nico Mokros, salah satu penulis studi dan pakar radikalisme pemuda.

    Mokros menemukan, sebagian anak muda mulai menyerap unsur ideologi nasional-sosialis: keyakinan akan diktator kuat, sentimen antisemit, dan kerinduan pada nasionalisme sempit.

    Yang lebih ironis, di satu sisi mereka menginginkan figur kuat yang bisa memutuskan segalanya, tapi di sisi lain frustrasi karena keputusan hidup mereka diambil orang lain. Frustrasi itu sering berubah menjadi agresi terhadap kelompok minoritas — mencari kambing hitam untuk melampiaskan kemarahan.

    Para peneliti memperingatkan, dinamika ini bisa berujung pada kekerasan dan eksklusi sosial.

    Suara tengah yang tak boleh diabaikan

    Pesan utama dari penelitian ini jelas: suara kelompok tengah harus lebih mendapat ruang dalam wacana publik.

    Menurut Zick, hal itu belum terjadi. “Ketika orang melihat ekstremisme kanan meningkat, tapi negara seolah tak berbuat cukup, kepercayaan terhadap demokrasi menurun,” katanya.

    “Dan di situlah ekstremis serta populis masuk dengan klaim: kami punya solusinya.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Erdogan Sekakmat Kanselir Jerman yang Salahkan Hamas Atas Gaza”

    (nvc/nvc)