Hewan: Domba

  • Setahun Kerja Nyata, Kemenimipas Torehkan Capaian Emas dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional

    Setahun Kerja Nyata, Kemenimipas Torehkan Capaian Emas dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional

    Liputan6.com, Jakarta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kemenimipas) turut berkontribusi dalam upaya memperkuat ketahanan pangan nasional melalui berbagai program di lembaga pemasyarakatan. Ketahanan pangan merupakan bagian dari penjabaran Asta Cita Presiden yang diterjemahkan dalam 13 Program Akselerasi Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan.

    Di bawah kepemimpinan Menteri Agus Andrianto, Kemenimipas berhasil meraih capaian monumental, termasuk hasil panen yang menggembirakan selama satu tahun kerja nyata. Catatan gemilang tersebut disampaikan Menteri Agus dalam video bertajuk “MENTERI IMIPAS RI SETAHUN, BERGERAK, BERDAMPAK” yang diunggah di akun media sosial Menteri dan Kemenimipas, Senin (20/10/2025).

    “Pembinaan warga binaan kini berfokus pada dampak sosial dan ekonomi nyata. Pulau Nusakambangan kini bertransformasi menjadi kawasan ketahanan pangan terpadu, tempat Warga Binaan diberdayakan dalam pertanian, peternakan, perikanan, serta industri produktif lainnya,” tulis Menteri Agus.

    Sejak visi ketahanan pangan dicanangkan Presiden Prabowo Subianto, Kemenimipas mengimplementasikan visi tersebut dalam kegiatan produktif di seluruh lapas se-Indonesia. Kemenimipas catat hasil panen padi sebanyak 159.398 kg, jagung sebesar 229.660 kg, ditambah kacang-kacangan, sorgum, dan umbi-umbian di tanah seluas 328,43 hektare.

    Di bidang perkebunan yang meliputi kelapa, kelapa sawit, dan lada, Kemenimipas memasok hasil panen sebesar 36.520 kg di lahan 45,84 hektare. Di bidang hortikultura, melalui pemanfaatan lahan 94 hektare, Kemenimipas berhasil panen mencapai 289.631 kg. Di bidang peternakan, Kemenimipas telah membudidayakan sapi sebanyak 380 ekor, domba sebanyak 1.165 ekor, ayam pedaging sebanyak 32.950 ekor, dan ayam petelur sebanyak 13.737 ekor. Di bidang perikanan, Kemenimipas sukses membudidayakan ikan sebanyak 674.718 bibit dan udang vaname sebanyak 9.035.000 bibit.

  • Budi Arie: Projo Lahir karena Ada Jokowi

    Budi Arie: Projo Lahir karena Ada Jokowi

    Budi Arie: Projo Lahir karena Ada Jokowi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Projo periode 2025-2030, Budi Arie Setiadi menegaskan bahwa kelompok relawan yang dipimpinnya lahir karena Presiden ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi).
    Budi Arie pun meminta semua pihak untuk tidak menarasikan bahwa Projo dengan Jokowi putus hubungan, setelah pemberitaan dirinya akan bergabung dengan Partai Gerindra maupun perubahan logo.
    “Dari perkembangan berita, ini seolah-olah disampaikan terkesan Projo putus hubungan dengan Pak Jokowi. Jangan di-
    framing
    . Projo ini lahir karena ada Pak Jokowi. Tolong kepada semua media, jangan mengadu domba sesama anak bangsa,” ujar Budi Arie dalam Kongres III Projo, Minggu (2/11/2025).
    Projo, kata Budi Arie, lahir dari semangat bahwa Indonesia memerlukan pemimpin seperti Jokowi. Kelompok relawannya juga merupakan bagian sejarah kepemimpinan Jokowi selama 10 tahun sebagai presiden.
    “Jadi sejarah Projo adalah sejarahnya Bapak Jokowi sampai 10 tahun berlangsung dari 2014 sampai 2024. Karena saya mendapat berita dari berbagai media, kok ada yang bilang Projo pisah dari Bapak Jokowi. Ini luar biasa sekali
    framing
    adu dombanya,” ujar Budi Arie.
    Setelah 10 tahun pemerintahan Jokowi sejak 2014 hingga 2024, kini Indonesia telah memasuki kepemimpinan baru.
    Hal inilah yang membuat Projo harus beradaptasi dan bertransformasi untuk menjawab tantangan-tantangan di masa depan.
    Oleh karena itu, Projo juga menyatakan sikapnya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
    “Kita mendukung dan memperkuat pemerintahan Pak Prabowo-Gibran. Karena itulah kita berharap bersama teman-teman lain dan segenap hadirin sekalian, bersama-sama rakyat kita sama-sama menggerakkan, mendukung memperkuat, agar program-program kerakyatan Bapak Presiden Prabowo bisa betul-betul terasa manfaatnya bagi rakyat,” ujar Budi Arie.
    Dalam Kongres III Projo hari pertama, Budi Arie mengungkap bahwa Projo bukanlah singkatan dari “Pro Jokowi” seperti yang selama ini diperdengarkan. Ia menyatakan, nama Projo berasal dari bahasa Sansekerta maupun bahasa Jawa Kawi.
    “Projo itu artinya negeri dan rakyat. Jadi Projo itu sendiri artinya adalah negeri dalam bahasa Sansekerta, dan dalam bahasa Jawa Kawi itu artinya rakyat,” ujar Budi Arie, Sabtu (1/11/2025).
    Kepanjangan Pro Jokowi, kata Budi Arie, hanyalah bahasa media karena lebih mudah dilafalkan.
    “Projo. Memang enggak ada (kepanjangannya). Cuman teman-teman media kan ya Projo, Pro Jokowi, itu kan karena gampang dilafalkan aja,” ujar Budi Arie.
    Tak hanya itu, Budi Arie mengaku akan mengubah logo persatuan relawan Projo. Alasannya agar tidak terkesan mengkultuskan seseorang.
    Adapun logo Projo saat ini berwarna hitam dan merah. Siluet wajah Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) juga tergambar jelas menjadi inti logo, yang dilingkari lingkaran berwarna putih. Di bawah lingkaran, terdapat nama Projo.
    “Logo Projo akan kita ubah, supaya tidak terkesan kultus individu,” beber Budi Arie.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Projo Tak Pernah Lupa Akar dari Jokowi, untuk Prabowo Demi Indonesia

    Projo Tak Pernah Lupa Akar dari Jokowi, untuk Prabowo Demi Indonesia

    Jakarta

    Ketua Umum PASBATA Prabowo, David Febrian Sandi, menegaskan bahwa Projo memiliki makna yang dalam, yakni rakyat dan negara. Ia menyebut kelahiran Projo tidak dapat dilepaskan dari sosok Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), yang menjadi inspirasi dan semangat gerakan tersebut.

    “Projo lahir dari kecintaan terhadap Bapak Jokowi, itu tidak bisa dipungkiri. Fakta sejarah itu menjadi fondasi semangat perjuangan kami hingga hari ini,” kata David dalam pernyataannya di Jakarta, Minggu (2/11/2025).

    David menegaskan bahwa bergabungnya Projo dengan Partai Gerindra dalam mendukung pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka merupakan langkah sah dan terhormat dalam politik kebangsaan yang berorientasi pada keberlanjutan visi pembangunan nasional.

    “Jangan ada yang mencoba mengadu domba kami. Kami lahir dari Bapak Jokowi, dan hari ini kami berjuang bersama Bapak Prabowo untuk melanjutkan cita-cita besar beliau demi rakyat dan negara,” tegasnya.

    Perihal perubahan logo Projo, David menilai hal itu bukan tanda lupa diri, tapi wujud kedewasaan dan kematangan organisasi.

    David juga menyampaikan pesan tegas kepada pihak-pihak yang masih menggiring opini dan menebar isu murahan di ruang publik.

    “Sudahlah, kita sudahi semua ini. Pilpres sudah lewat. Mari kita ajari rakyat kita untuk pintar, bukan disuguhi pembodohan lewat isu-isu tak bermutu seperti ijazah dan lain-lain. Sampai kapan energi bangsa ini mau dihabiskan untuk hal yang tidak berguna?” ujarnya.

    “Alangkah baiknya kalau kepintaran itu disumbangkan untuk negara dengan mendukung seluruh program Bapak Presiden Prabowo. Kalau kita benar-benar cinta negara dan cinta rakyat, maka ayo kita bersatu, bukan saling serang. Semua orang punya kekurangan, dan itu manusiawi, yang terpenting adalah niat baik untuk membangun,” kata David.

    David menyerukan semangat rekonsiliasi dan persatuan nasional. Dia mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendukung pemerintahan Prabowo-Gibran.

    “Sudah saatnya kita bekerja, bukan berdebat. Mari kita dukung bersama pemerintahan Prabowo-Gibran dengan semangat gotong royong dan cinta tanah air. Karena mencintai Indonesia berarti berdiri untuk rakyatnya,” pungkasnya.

    (fas/azh)

  • Singgung Polemik Whoosh, Budi Arie Ungkap Jokowi-Prabowo Sering Diadu Domba

    Singgung Polemik Whoosh, Budi Arie Ungkap Jokowi-Prabowo Sering Diadu Domba

    Singgung Polemik Whoosh, Budi Arie Ungkap Jokowi-Prabowo Sering Diadu Domba
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi mengungkapkan Presiden ke-7 Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto kerap diadu domba dalam sejumlah isu.
    Seharusnya, kata Budi, politik persatuan mewarnai perjalanan Indonesia.
    “Makanya saya selalu bilang, ini kok semua isinya adu domba, mau diadu domba Pak Prabowo, Pak Jokowi, diadu domba lagi si A, si B,” kata Budi Arie dalam Kongres III Projo di Grand Sahid Jaya, Sudirman, Jakarta Pusat, Sabtu (1/11/2025).
    Budi menganalogikan, adu domba seperti melihat Indonesia berada dalam kubangan yang sama terus-menerus.
    “Ini negara ini kok kayak kita berkubang dengan diri kita sendiri. Kita bukannya melihat kemajuan yang sudah pesat dilakukan negara lain, kita masih mikirin problem ini ditanyakan lagi,” tutur Budi.
    Ia lalu menyinggung polemik Whoosh yang isinya mempermasalahkan keputusan Jokowi karena menginstruksikan pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) tersebut.
    Padahal, kata Budi, kereta cepat sudah saatnya dimiliki sesuai peradaban zaman. Ia pun mempersilakan aparat penegak hukum memeriksa proyek tersebut.
    “Whoosh, Whoosh itu perlompatan peradaban zaman. Kalau ada problematika nanti di pelaksanaan teknisnya, silakan aja aparat penegak hukum periksa,” ucap Budi.
    “Tetapi jangan sedikit-sedikit programnya dipersoalkan dan lain-lain,” imbuh Budi.
    Lebih lanjut, ia menyatakan akan terus mendukung berbagai program Presiden Prabowo, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih, Sekolah Rakyat, Perumahan Rakyat, dan sebagainya.
    “Saya yakin kalau program Pak Prabowo ini berjalan, ini akan membawa manfaat dan kemajuan yang penting bagi bangsa Indonesia ke depan. Selanjutnya, kita berharap bisa memperkuat agenda politik Pak Prabowo, agar kepemimpinan Prabowo bisa lebih kuat, lebih solid,” tandas Budi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menyayat Hati Isi Tulisan Siswi Bunuh Diri di Sukabumi Diduga Korban Bullying

    Menyayat Hati Isi Tulisan Siswi Bunuh Diri di Sukabumi Diduga Korban Bullying

    Liputan6.com, Jakarta “Sebenarnya Eneng pengen pindah sekolah, tapi mamah dan bapak enggak punya uang. Eneng jadi tidak mau sekolah, karena suasana kelas yang seakan nyuruh eneng untuk pergi.”

    Sebaris kalimat yang menyayat hati itu menggambarkan pilunya perasaan seorang siswi Madrasah Tsanawiyah (MTs) berprestasi di Kabupaten Sukabumi berinisial AK (14). Kalimat yang tertuang dalam sepucuk surat yang ditemukan di kamarnya. Surat itu ditemukan bersamaan dengan AK yang meninggal bunuh diri di rumahnya, Selasa (28/10/2025) malam. 

    Surat berbahasa Sunda itu ditulis di secarik kertas putih. Dalam surat itu, AK menyebut dirinya Eneng. Dia memohon maaf kepada ayah, ibu dan keluarganya. Dalam surat itu, AK juga mencurahkan kehgundahan hati yang dialami akibat perundungan atau bullying di sekolahnya. 

    Berikut isi surat yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. 

    Ma, kalau misalnya Eneng punya salah sama Mama maaf ya. Eneng tidak bermaksud menyakiti hati Mama. Waktu itu Eneng lagi emosi, lagi marah. Pak, maaf juga kalau Eneng ada salah sama Bapak. Maaf teh (nama kakak perempuan) Eneng minta maaf kalau selama ini suka tidak sopan, sering marah-marah. Itu semua Eneng lakukan waktu sedang emosi, maaf ya. 

    Teruntuk guru di sekolah, A (korban AK/Eneng) minta maaf kalau punya salah sama Ibu-bapak semuanya. Untuk teman-teman sekelas, A cuma bisa memaafkan buat yang tidak suka nyindir-nyindir A, kayak (menyebutkan empat nama teman). Yang selebihnya, kalau mau dimaafkan, datang saja ke rumah langsung bicara sama mamah A.

    A bukan tidak mau memaafkan kalian atau A bukan dendam, tapi A sudah berusaha memaafkan kalian-kalian yang sering bikin hati A sakit, entah lewat perkataan, perilaku, tapi tidak perkataan mah sering oleh A didapatkan dari si (nama seseorang), tidak tahu salah A apa, tapi A merasa (nama seseorang) suka menyindir ke A, kayak kejadian yang (nama seseorang) bilang, “Paeh we, paeh lah” (“mati aja, mati lah”), itu bikin A benar-benar sakit hati. 

    (nama seseorang), kamu tahu enggak sih waktu kemarin kamu ngadu domba aku, dari situ aku di bikin hancur sehancur-hancurnya. Padahal aku sudah anggap kamu kayak kakak sendiri.

    Ini Eneng enggak ngarang atau apa-apa, Eneng cuma pengen nyampein pendapat hati eneng yang sudah banyak terluka. Bukan baper bukan apa, tapi Eneng sudah dibuat sakit ku perkataan teman-teman di kelas. Oleh perkataannya, sikap, Eneng sudah capek, Eneng cuma pengen ketenangan. Sebenarnya Eneng pengen pindah sekolah, tapi mamah dan bapak enggak punya uang. Eneng jadi tidak mau sekolah, karena suasana kelas yang seakan nyuruh eneng untuk pergi. 

    Eneng sayang Mamah, Bapak. I love you 

    Sebenernya masih banyak cerita teh, tapi segini aja we babay

  • Humas dan Pustakawan dalam Semangat Sumpah Pemuda

    Humas dan Pustakawan dalam Semangat Sumpah Pemuda

    Bisnis.com, JAKARTA – Setiap bangsa memiliki masa, kejujuran informasi menentukan arah sejarahnya. Kita pernah mengalami itu di masa pergerakan, ketika kabar dan surat-surat perjuangan menjadi alat penyatu tekad kemerdekaan. Kini, di abad ke-21, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada ujian yang serupa namun dalam wujud yang berbeda, yakni krisis makna di tengah melimpahnya informasi.

    Informasi yang dulu menjadi sumber pencerahan kini bisa berubah menjadi sumber kebingungan. Ketika setiap orang dapat menjadi penyampai pesan, batas antara fakta dan opini, antara data dan narasi, semakin kabur. Dalam situasi seperti itu, komunikasi publik bukan hanya soal kecepatan menyampaikan pesan, tetapi tentang bagaimana menjaga makna agar tidak terdistorsi di tengah kebisingan digital.

    Di sinilah peran Humas (Hubungan Masyarakat) dan Pustakawan menjadi sangat strategis. Keduanya merupakan komunikator publik yang berada di garda depan penyebaran pengetahuan dan pembentukan kepercayaan sosial. Meskipun berasal dari disiplin yang berbeda, keduanya memiliki tanggung jawab moral yang sama, yaitu memastikan bahwa informasi yang sampai kepada publik bersumber dari niat baik, disampaikan dengan etika, dan berorientasi pada kepentingan bangsa. Humas sebagai penjaga kredibilitas badan publik, Pustakawan sebagai komunikator pengetahuan.

    Dalam pandangan Harold D. Lasswell (1948), komunikasi yang efektif dapat diringkas dalam pertanyaan sederhana. Who says what, in which channel, to whom, and with what effect? Pertanyaan itu menegaskan bahwa kualitas komunikasi sangat ditentukan oleh siapa yang berbicara dan bagaimana ia menyampaikan pesannya.

    Humas adalah representasi dari lembaga. Wajah dan suara yang menentukan apakah publik akan percaya atau justru curiga. Fungsi utamanya bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan membangun dan memelihara kepercayaan publik (public trust). Dalam konteks lembaga negara seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI), kepercayaan itu dibangun melalui komunikasi yang transparan, konsisten, dan berorientasi pelayanan.

    Humas lembaga publik dituntut untuk menjadi komunikator yang adaptif. Mereka harus mampu mengelola pesan di berbagai saluran. Misalnya, mulai dari pernyataan resmi di situsnya, hingga informasi populer di kanal media sosialnya. Tidak hanya itu, kolaborasi Humas dengan Pustakawan dapat dibuktikan dalam kerja-kerja komunikator, mulai dari klarifikasi isu hingga kampanye literasi digital. Mereka tidak hanya bekerja dalam ranah informasi, tetapi juga mengelola persepsi dan reputasi.

    Cutlip, Center, dan Broom (2006) dalam Effective Public Relations menyebut Humas sebagai fungsi manajemen yang membangun dan memelihara hubungan saling pengertian antara organisasi dan publiknya. Dalam era disinformasi, fungsi itu bergeser dari sekadar hubungan ke arah tanggung jawab moral: bagaimana memastikan masyarakat memperoleh informasi yang benar, tidak menyesatkan, dan memberi manfaat sosial.

    Ketika terjadi krisis informasi, misalnya penyebaran hoaks, kesalahan data, atau miskomunikasi kebijakan, Humas dituntut untuk bertindak cepat, akurat, dan beretika. Di sinilah profesionalitas komunikator diuji. Bukan hanya bagaimana ia menenangkan situasi, menguraikan informasi agar public teredikasi, melainkan juga bagaimana ia menjaga kepercayaan publik agar tetap utuh.

    Jika Humas adalah komunikator pesan, maka pustakawan adalah komunikator makna. Mereka tidak hanya menyimpan buku atau naskah, melainkan mengelola pengetahuan. Di tangan pustakawan, informasi mentah diubah menjadi pengetahuan yang terorganisasi, tervalidasi, dan mudah diakses.

    McQuail (2010) dalam Mass Communication Theory menekankan bahwa fungsi komunikator publik tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi menciptakan shared understanding atau kesepahaman bersama yang menjadi dasar bagi kohesi sosial. Pustakawan melaksanakan fungsi ini melalui literasi informasi, pelestarian sumber pengetahuan, dan pendidikan publik.

    Dalam konteks Perpusnas RI, pustakawan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Melalui pengelolaan naskah-naskah Nusantara, mereka menjaga warisan pengetahuan bangsa agar tidak hilang ditelan zaman. Pengarsipan, digitalisasi, dan promosi naskah bukan semata kegiatan teknis, tetapi bagian dari komunikasi kebangsaan. Naskah-naskah itu berisi nilai moral, etika sosial, dan filosofi hidup yang membentuk identitas nasional.

    Di era digital, pustakawan tidak lagi hanya berada di balik meja, melainkan aktif di ruang publik. Pustakawan mengedukasi masyarakat tentang cara menilai kredibilitas sumber, memverifikasi informasi, dan menggunakan media digital dengan bijak. Mereka adalah “silent educators” yang menanamkan literasi sebagai bentuk ketahanan nasional terhadap arus disinformasi.

    Humas dan pustakawan sesungguhnya memiliki tiga nilai fundamental yang sama, yaitu kepercayaan publik, integritas, dan etika komunikasi. Mereka bekerja untuk melayani masyarakat, bukan sekadar menyenangkan atasan. Baik Humas maupun pustakawan beroperasi di atas landasan etika profesional dan kebenaran data.

    Sinergi keduanya menciptakan ekosistem komunikasi yang sehat. Humas memastikan pesan lembaga disampaikan dengan kredibel, sementara pustakawan memastikan isi pengetahuan yang dibagikan benar dan terverifikasi.

    Perpusnas RI telah menjadi contoh bagaimana kolaborasi dua profesi ini bisa membangun ekosistem literasi yang kuat. Dalam program Kelas Literasi Anak (KELANA) Spesial Hari Sumpah Pemuda, misalnya, pendekatan literasi tidak hanya dilakukan lewat membaca, tetapi juga melalui psikoedukasi dan keterampilan olah wicara. Di sini, pustakawan, humas, dan komunitas bekerja bersama menanamkan nilai keberanian berbicara, empati, serta kecintaan terhadap pengetahuan sejak usia dini.

    Program semacam ini membuktikan bahwa komunikasi publik tidak berhenti pada penyebaran informasi, tetapi meluas menjadi pendidikan karakter. Itulah makna terdalam dari fungsi komunikator publik dalam lembaga literasi negara: menjadi penjaga makna, bukan sekadar penyampai berita.

    Sumpah Pemuda dan Literasi Digital

    Ketika para pemuda tahun 1928 mengikrarkan Sumpah Pemuda, mereka tidak hanya menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air, tetapi mereka juga menyatukan makna. Mereka memahami bahwa bangsa yang tercerai secara makna akan mudah goyah secara politik dan sosial.

    Kini, Indonesia kembali berada di persimpangan serupa, bahwa tantangan terbesar bukan lagi kolonialisme asing, melainkan kolonialisme informasi. Jika dulu bangsa ini berjuang melawan penjajahan fisik, kini ia berjuang melawan penjajahan algoritma, bias media, dan banjir hoaks yang menyesatkan.

    Dalam konteks kekinian, makna “Satu Nusa” dapat dibaca sebagai komitmen menjaga kedaulatan informasi nasional. Tanah air tidak hanya sebidang wilayah geografis, tetapi juga ruang pengetahuan tempat warga bangsa membangun kesadaran bersama.

    Humas menjadi penjaga agar ruang itu tidak tercemar oleh informasi palsu. Mereka memastikan bahwa komunikasi publik yang keluar dari lembaga negara, termasuk Perpusnas, berbasis data dan memperkuat rasa percaya terhadap institusi publik. Pustakawan memastikan isi pengetahuan yang menjadi referensi publik tetap orisinal dan dapat dipertanggungjawabkan.

    Ketika kedua peran ini berjalan seiring, bangsa memiliki fondasi kuat. Fondasi itu adalah informasi yang akurat dan publik yang literat. Itulah bentuk baru dari “kemerdekaan berpikir” yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa.

    Makna “Satu Bangsa” kini menemukan relevansinya dalam kolaborasi lintas profesi dan generasi. Humas tidak bisa bekerja sendiri; mereka memerlukan pustakawan, peneliti, dan pendidik untuk memastikan bahwa pesan publik didukung oleh data dan sumber tepercaya. Sebaliknya, pustakawan membutuhkan dukungan Humas agar hasil kerjanya diketahui dan dimanfaatkan publik secara luas.

    Dengan pendekatan komunikasi publik yang efektif, nilai-nilai kearifan lokal dari naskah-naskah lama dapat dihidupkan Kembali, dalam konteks kebangsaan masa kini. Bahkan nilai-nilai tersebut dapat menjadi sumber inspirasi etika, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial. Itulah esensi dalam kolaborasi kebangsaan, ketika setiap profesi menyumbangkan keahliannya untuk memperkuat collective intelligence bangsa.

    Bahasa menjadi sarana pemersatu. Namun, di era media sosial, bahasa juga bisa menjadi sumber perpecahan. Komentar tajam, ujaran kebencian, dan disinformasi kerap mengaburkan empati yang menjadi dasar komunikasi kebangsaan. Di titik ini, humas dan pustakawan memegang tanggung jawab penting. Kedua profesi tersebut bertugas mengembalikan bahasa publik ke fungsi aslinya, yaitu bahasa yang mencerdaskan dan menenangkan.

    Bahasa komunikasi publik seharusnya membangun pengertian, bukan mengadu domba. Ia harus inklusif, jernih, dan mengandung kejujuran. Humas mengelola pesan dengan etika, pustakawan mengelola pengetahuan dengan integritas. Keduanya mengajarkan publik untuk menggunakan bahasa yang berempati, untuk membaca dan berbicara dengan hati.

    Semangat Sumpah Pemuda bukan sekadar romantika sejarah. ia adalah kompas moral untuk menghadapi tantangan komunikasi modern. Dalam dunia yang dipenuhi informasi instan dan opini tak terbatas, semangat itu mengingatkan kita bahwa keutuhan bangsa hanya bisa dijaga jika kebenaran dijaga bersama.

    Humas dan pustakawan adalah dua penjaganya. Mereka mungkin tidak berada di barisan depan politik, tetapi merekalah yang memastikan agar bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya di tengah perang makna. Di situlah semangat “pemuda bergerak” menemukan makna baru. Bukan lagi sekadar turun ke jalan, tetapi bergerak dalam literasi, komunikasi, dan tanggung jawab sosial.

    Pada akhirnya, Humas dan pustakawan adalah dua wajah dari satu panggilan, yaitu menjaga bangsa agar tetap bersatu dalam pengetahuan dan kebenaran. Keduanya bekerja di ruang yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama, membangun kepercayaan publik yang menjadi dasar kemajuan bangsa.

    Di tengah krisis informasi global, mereka berperan sebagai penuntun arah moral komunikasi, di mana Humas menjaga agar pesan publik tetap etis dan kredibel dan pustakawan menjaga agar isi pengetahuan tetap jernih dan terbuka. Keduanya menjadi manifestasi modern dari semangat Sumpah Pemuda, semangat untuk berpikir jernih, berkolaborasi, dan menjaga persatuan.

    Puluhan tahun setelah ikrar itu dikumandangkan, tantangan bangsa telah berubah dari perang senjata menjadi perang makna. Namun selama masih ada mereka yang bekerja dengan hati, yang menjaga kebenaran dengan tenang, dan yang berkomunikasi dengan empati, bangsa ini tidak akan kehilangan arah.

    Humas dan pustakawan mungkin bukan para orator di podium besar, tetapi merekalah penjaga nalar publik di tengah badai informasi. Selama semangat Sumpah Pemuda terus mengalir dalam kerja mereka, Indonesia akan tetap bersatu dalam bahasa yang jernih, dalam ilmu yang benar, dan dalam keyakinan bahwa pengetahuan adalah wujud paling tinggi dari cinta pada Tanah Air.

     

     

  • Ngabalin Ngamuk Diadu Domba dengan Purbaya: Kamu Sungguh Zalim!

    Ngabalin Ngamuk Diadu Domba dengan Purbaya: Kamu Sungguh Zalim!

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Politisi Golkar Ali Mochtar Ngabalin kembali buka suara terkait tersebarnya e-flyer di media sosial yang menyandingkan foto dirinya dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

    Ngabalin mengecam keras pembuat e-flyer tersebut yang dianggapnya mengandung unsur fitnah.

    “PARA PEMBUAT e-FLYER PALSU YANG MEMFITNAH SAYA, KAMU SUNGGUH SANGAT DZALIM. MESKI DEMIKIAN SAYA MEMAAFKAN-MU SEMOGA RAHMAT ALLAH SWT MENYERTAI KESEHARIANMU,” tegas Ngabalin melalui cuitannya di X, Senin (27/10).

    Mantan Tenaga Ahli Kantor Staf Presiden itu menyarankan para pembenci Purbaya untuk segera menyadari perbuatannya dengan mencari nafkah di jalan yang baik.

    Bukan dengan cara kotor menzalimi orang lain dengan berita bohong.

    “NASIHAT SAYA SEGERALAH MOVE ON DAN SADARLAH, MENCARI MAKAN DENGAN JALAN YANG BAIK YA! JANGAN DENGAN CARA MENDZALIMI SAYA ATAU ORANG LAIN DENGAN CARA MEMBUAT e-FLYER2 HOAX,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Ngabalin menegaskan beredarnya e-flyer yang menyandingkan foto dia dengan Purbaya dengan narasi bernada kritik pedas adalah hoaks.

    Ia menuding pihak tersebut sengaja mengadu domba dirinya layaknya seorang pengecut yang selalu membuat gaduh dengan cara menyebarkan berita hoaks.

    “Lebih celaka lagi menghujat dan mencaci maki sebelum mengecek kebenaran beritanya. Para mafia dan mereka yang biasa rampok uang rakyat juga koruptor kepanasan dan gerah dengan gaya ‘koboy’ menteri Purbaya Yudhi Sadewa,” kata dia. (Pram/fajar)

  • Hasan Nasbi Sebut Menkeu Purbaya Berbahaya, Bisa Lemahkan Pemerintah

    Hasan Nasbi Sebut Menkeu Purbaya Berbahaya, Bisa Lemahkan Pemerintah

    GELORA.CO –  Pola komunikasi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang dinilai sering melontarkan kritik pedas (sentilan) kepada pejabat lain di ruang publik kini menuai sorotan.

    Mantan Kepala Badan Komunikasi Pemerintah (Bakom), Hasan Nasbi, memperingatkan bahwa gaya komunikasi ‘baku tikam’ antar anggota kabinet tersebut berpotensi mengancam soliditas pemerintahan.

    Melalui kanal YouTube pribadinya, Hasan Nasbi menilai bahwa perbedaan pandangan antar pejabat seharusnya diselesaikan di ruang tertutup, bukan dipertontonkan di depan umum.

    “Kalau kita bicara dalam konteks pemerintah, ya sesama anggota kabinet, sesama pemerintah enggak bisa baku tikam terus-menerus di depan umum. Karena itu akan melemahkan pemerintah,” ujar Hasan, dikutip Senin (27/10/2025).

    Hasan mengingatkan bahwa saling serang di ruang publik justru dapat memberikan dampak negatif pada citra pemerintah. Ia khawatir, polemik yang dipertontonkan itu hanya akan menguntungkan pihak yang tidak menyukai pemerintahan.

    “Kalau mau baku tikam di ruang tertutup, mau saling koreksi, mau saling marah-marah, mau saling debat, mau tunjuk-tunjukan di ruang tertutup. Tapi kalau di ruang terbuka, kita nanti akan meng-entertain orang yang tidak suka dengan pemerintah,” jelasnya.

    Menurutnya, publik mungkin melihat perbedaan pendapat ini sebagai hiburan dalam jangka pendek. Namun, jika dibiarkan berlarut-larut, persepsi publik akan berubah menjadi pandangan bahwa pemerintah tidak solid dan mudah diadu domba.

    Hasan Nasbi menekankan bahwa konsolidasi kekuasaan dan soliditas pemerintah adalah hal fundamental. Meskipun perbedaan pandangan mengenai kebijakan publik masih wajar, hal itu tidak boleh sampai saling menjatuhkan antar pejabat.

    “Padahal soliditas pemerintah itu penting sekali. Konsolidasi kekuasaan itu penting sekali,” tegasnya.

    Ia khawatir jika gaya komunikasi Purbaya terus berlanjut, di mana “Hari ini si A kena setrum, besok si B kena sengat, besok si C kena bakar,” kepercayaan publik terhadap kemampuan pemerintah untuk bekerja bersama akan menurun drastis dalam jangka panjang. Hasan berharap perdebatan sebaiknya diredam dan tidak lagi dipertontonkan ke publik.

  • Mafindo: Pertamina Sasaran Hoax, Masyarakat Perlu Waspada

    Mafindo: Pertamina Sasaran Hoax, Masyarakat Perlu Waspada

    Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan, literasi serta memilah sumber informasi terpercaya agar terhindar dari berita hoax. Kewaspadaan ini diperlukan mengantisipasi meningkatnya deepfake, konten hoax yang diproduksi menggunakan kecerdasan buatan (AI).

    Adapun salah satu berita hoaks yang diproduksi adalah tentang PT Pertamina (Persero) dengan tema yang beragam, seperti lowongan pekerjaan, subsidi energi dan kasus korupsi. 

    Hal ini terungkap dari Refleksi Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) bertajuk Deepfake dan Scam Mewarnai Tahun Pertama Prabowo – Gibran, Rabu (22/10/2025). Mafindo setidaknya memetakan 1.593 hoax berdasarkan tema, target, saluran, tipe narasi, serta penggunaan AI dalam pembuatannya. 

    Hasil riset menunjukkan adanya tren yang mengkhawatirkan dalam pola penyebaran disinformasi. Secara signifikan, penggunaan teknologi deepfake meningkat drastis, terutama terlihat dalam produksi konten yang bermuatan politik dan sosial, menjadikannya tantangan serius dalam otentikasi informasi. 

    Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho mengatakan selama satu tahun pemerintahan Prabowo – Gibran, hoax terus diproduksi dan berevolusi, menyusup di setiap gap regulasi dan gap literasi digital masyarakat.

    “Evolusi dalam bentuk deepfake yang mudah diproduksi namun semakin sulit dideteksi, sudah mengadu domba masyarakat,” katanya.

    Merujuk laporan Mafindo, untuk hoax bertema lowongan, entitas yang paling banyak dicatut sebagai sumber atau pemberi kerja palsu adalah pemerintah, korporasi domestik, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina.

    Pola serupa ditemukan pada hoax bertema Bantuan, di mana sebanyak 74 hoaks juga mencatut atau mengatasnamakan pemerintah. Fase berikutnya merupakan masa adaptasi awal pemerintahan (Januari–Maret 2025) yang banyak memuat isu ekonomi dan kebijakan publik.

    Hoax yang beredar pada fase ini banyak berkaitan dengan subsidi energi dan BBM, Pertamina, serta isu kenaikan harga. Berita palsu jenis ini memanfaatkan emosi publik terhadap isu ekonomi, dan menurunkan kepercayaan terhadap BUMN strategis seperti Pertamina.

    Secara umum dapat disimpulkan bahwa tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran memperlihatkan pola klasik siklus hoax, tinggi di awal pemerintahan (transisi politik), menurun saat stabilisasi, naik kembali menjelang evaluasi publik. Khusus Pertamina, isu dominan yang menjadi sasaran hoaks seputar kebijakan ekonomi dan energi.

    “Dominasi hoaks bertema politik, disusul oleh isu ekonomi dan energi seperti Pertamina, menunjukkan bahwa ruang digital masih menjadi arena utama pembentukan persepsi publik terhadap pemerintah,” tulis Fact Sheet Deepfake dan Scam Mewarnai Tahun Pertama Prabowo – Gibran.

    Adapun dari sisi akademik, Lely Arrianie, Guru Besar LSPR Institute of Communication and Business menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat ketahanan masyarakat. 

    “Literasi digital bukan sekadar kemampuan teknis, tapi juga kemampuan kritis dan sosial untuk memahami konteks di balik informasi yang beredar,” ujarnya.

  • Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        23 Oktober 2025

    Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029 Regional 23 Oktober 2025

    Pengamat: Fitnah ke Jokowi dan Keluarga Diduga Jadi Strategi Politik untuk Pilpres 2029
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pengamat politik Pieter C. Zulkifli mengingatkan bahwa demokrasi hanya akan matang jika semua pihak bersedia bersaing secara sehat, bukan dengan cara menjatuhkan karakter lawan politik.
    Pieter mencontohkan maraknya narasi negatif terhadap Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan keluarganya dalam beberapa waktu terakhir.
    “Gelombang fitnah terhadap mantan Presiden Jokowi dan keluarga diduga bukan sekadar kritik, tapi strategi politik menjelang Pilpres 2029,” kata Pieter dilansir dari Tribunnews.com, Kamis (23/10/2025).
    Pieter, yang merupakan mantan politisi Partai Demokrat sekaligus mantan Ketua Komisi III DPR RI periode 2009–2014, menilai pola serangan terhadap Jokowi dan keluarganya menunjukkan adanya upaya politik terorganisasi.
    Ia menyoroti isu dugaan ijazah palsu Jokowi sebagai contoh paling mencolok dari strategi politik berbasis disinformasi.
    “Isu itu berkembang liar di ruang publik, padahal berulang kali Mahkamah Konstitusi (MK), perguruan tinggi, dan lembaga hukum menyatakan tidak ada kejanggalan,” ujarnya.
    Belakangan, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang juga putra sulung Jokowi, turut menjadi sasaran narasi negatif.
    Gibran bahkan digugat secara perdata oleh warga sipil bernama Subhan Palai, atas perbuatan melawan hukum karena dinilai ada syarat pendaftaran cawapres yang tidak terpenuhi.
    Dalam gugatan tersebut, Gibran dan KPU dituntut membayar ganti rugi senilai Rp 125 triliun kepada negara.
    Menurut Pieter, fenomena ini memperlihatkan mudahnya ruang digital dikapitalisasi oleh kepentingan politik untuk menggiring persepsi publik.
    “Inilah tantangan terbesar pemerintahan pasca-Jokowi, yakni menjaga rasionalitas publik agar tidak larut dalam gelombang disinformasi yang diproduksi secara sistemik,” ucapnya.
    Pieter menduga ada kekuatan politik yang sengaja menciptakan opini negatif terhadap Jokowi agar tersingkir dari gelanggang politik 2029.
    “Taktik yang digunakan klasik; adu domba, framing media, dan eksploitasi sentimen publik melalui buzzer dan akun anonim,” katanya.
    Ia kembali menegaskan bahwa demokrasi hanya akan matang jika para aktor politik bersaing dengan gagasan dan kerja nyata, bukan lewat fitnah atau serangan personal.
    “Fitnah mungkin bisa mengubah persepsi sesaat, tapi sejarah akan menilai siapa yang bekerja dan siapa yang hanya berisik,” ujar Pieter.
    Lebih lanjut, Pieter menyebut ujian terbesar pasca-Jokowi bukan soal siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana bangsa ini menjaga akal sehatnya di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi politik.
    “Publik harus cerdas memilah informasi. Karena pada akhirnya, demokrasi yang sejati berdiri di atas kebenaran, bukan kebencian,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.