Sitta Alia, Pustakawan Perempuan Penjaga Api Literasi di Kabupaten Bogor
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com –
Cahaya matahari siang itu menerobos masuk dari jendela besar di sisi ruangan, menerangi dinding bata dan menembus celah rak-rak buku yang tersusun rapi di Perpustakaan KAIT Plus, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Deretan rak kayu itu berdiri kokoh, dipenuhi ribuan koleksi bacaan mulai dari komik anak yang penuh warna, novel remaja, hingga buku-buku pengetahuan umum.
Beberapa rak diberi kotak kecil berwarna untuk memudahkan penataan buku.
Di tengah ruangan, meja dan kursi mungil berwarna-warni seolah memanggil anak-anak untuk singgah. Sementara di ujungnya, sebuah meja bundar beralas taplak biru dengan kursi lipat disiapkan untuk pengunjung dewasa.
Beberapa tanaman hias di sudut rak menambah kesan asri, menghadirkan suasana sederhana namun hangat.
Ruang inilah yang menjadi saksi bisu bagaimana Sitta Alia, Kepala Perpustakaan KAIT Plus sekaligus Ketua Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) Kabupaten Bogor, berjuang menyalakan semangat literasi di tengah berbagai keterbatasan.
Perempuan berkacamata itu bukan sekadar pustakawan. Ia adalah penggerak literasi yang percaya bahwa sebuah buku mampu mengubah cara anak-anak memandang dunia, membentuk kebiasaan, dan bahkan menumbuhkan mimpi.
Perpustakaan KAIT Plus berawal dari gagasan Yayasan Alang-Alang.
Tahun 2006, buku-buku pertama dikumpulkan di ruang bawah tanah rumah warga. Sitta yang kala itu masih mahasiswa pecinta buku, ikut membantu memilah dan menata.
“Kami gotong kardus-kardus buku, lalu mengklasifikasikan meski fasilitas seadanya. Rasanya lelah, tapi menyenangkan,” kenangnya.
Setahun kemudian, ruang sederhana itu resmi dibuka untuk masyarakat. Dari situ, anak-anak sekitar mulai datang, membaca, dan belajar bersama.
Tahun 2017, Perpustakaan KAIT Plus berdiri resmi lewat SK Yayasan. Hingga kini, koleksi terus bertambah. Jika awalnya hanya 552 judul, kini jumlahnya menembus lebih dari 5.000 buku, termasuk 1.000 buku bantuan dari Perpustakaan Nasional pada 2025.
Namun di balik pencapaian itu, Sitta tahu perjuangan belum selesai.
Di Kabupaten Bogor dengan 40 kecamatan, hanya ada 75 taman baca, dan persebarannya tidak merata.
“Ciawi ini misalnya, cuma ada satu taman baca, KAIT Plus. Padahal wilayah pelosok sangat butuh akses buku, karena sinyal internet juga terbatas,” ujarnya.
Kesadarannya bahwa literasi tak bisa berjalan sendiri membuat Sitta menggagas Forum Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Kabupaten Bogor. Ia menjadi ketua, mengajak relawan, audiensi dengan pemerintah, hingga ikut mendorong lahirnya Peraturan Bupati tentang literasi.
Upayanya tak sia-sia. Kini, Forum TBM yang dipimpinnya menjadi wadah advokasi taman baca di setiap pelosok. Bahkan, Pemerintah Kabupaten Bogor mulai menerbitkan regulasi yang memudahkan izin penyelenggaraan taman baca.
Sitta paham, perpustakaan tak bisa hanya menunggu pengunjung. Maka lahir pula lah program Safari Literasi.
Dengan keranjang berisi 100–200 buku, ia mendatangi sekolah atau majelis taklim, posyandu, membuka stand di acara kecamatan, hingga ikut serta dalam expo UMKM.
KAIT Plus juga rutin bekerja sama dengan sekolah. Lebih dari 10 sekolah pernah diajak dalam program books play atau membaca bersama lalu bermain sesuai inspirasi buku.
Ada pula kegiatan bulanan “koleksi museum bercerita”, memperkenalkan budaya lewat benda-benda etnografi seperti baju adat dan aksesoris.
“Kami ingin mengenalkan buku lewat cara yang menyenangkan. Ada storytelling, mewarnai, bernyanyi, sampai kerajinan tangan,” tutur Sitta.
“Di sekolah-sekolah, buku bacaan masih banyak yang sifatnya modul pelajaran. Jadi kami bawakan buku cerita biar anak-anak merasa buku itu menyenangkan,” katanya.
Meski tanpa kendaraan khusus, kegiatan ini tetap berjalan. Sitta percaya, literasi harus dijemput, bukan ditunggu. Menurutnya, literasi bukan hanya soal membaca, melainkan menghidupkan interaksi di antara orang-orang.
“Kalau perpustakaan hanya berisi rak buku, orang bosan. Harus ada kegiatan yang bikin hidup,” kata Sitta.
Di balik senyumnya, Sitta jujur tentang satu hal yang sensitif, yakni kesejahteraan pustakawan.
Profesi ini nyaris tak pernah dibicarakan ketika membahas soal anggaran.
“Bahkan untuk guru saja masih sulit memenuhi kebutuhan hidup, apalagi kita,” lirihnya.
Ia mengandalkan dukungan keluarga, khususnya sang suami. Honor yang ia terima belum menyentuh UMR, sementara biaya operasional perpustakaan masih ditutup dari kantong pribadi atau hasil usaha kecil yayasan.
“Saya bertahan karena yakin yang saya lakukan ini penting. Anak-anak butuh buku, butuh pengalaman membaca yang menyenangkan,” ujarnya lirih.
Menurutnya, menjadi pustakawan di daerah tidaklah mudah. Sebab, gaji tetap hampir tidak ada. Sitta mengaku bertahan berkat keyakinan atau prinsipnya, yang terpenting menjadi manusia bermanfaat.
“Kalau bicara sejahtera, jelas belum. Tapi saya percaya yang saya lakukan ini baik untuk masyarakat. Anak-anak yang awalnya tidak disiplin, sekarang bisa saling mengingatkan. Itu perubahan kecil yang bermakna menurut saya,” ucapnya.
Meski begitu, ia tetap semangat membuka ruang perpustakaan setiap hari. Baginya, keberlanjutan bukan soal materi, melainkan konsistensi menghadirkan ruang baca dan belajar untuk warga.
Kecintaan Sitta pada buku tumbuh sejak kecil. Ia terbiasa membaca majalah Bobo dan Donald Bebek, serta sering diajak orangtuanya ke toko buku. Dari situlah kebiasaan membaca tumbuh. Kini, ia ingin memberikan pengalaman serupa kepada generasi baru di Kabupaten Bogor.
Filosofi “KAIT” yang berarti Keluarga Akrab Insan Terdepan menjadi dasar perpustakaan ini dibentuk. Bagi Sitta, membaca tak hanya untuk anak-anak, melainkan untuk semua usia. Bahkan komunitas warga senior di sekitar perpustakaan pun rutin diajak membaca dan berdiskusi.
“Buku itu seperti charger. Setelah baca, rasanya meaningful banget. Bisa menjadi inspirasi untuk memperbaiki diri,” kata Sitta.
Di tengah keterbatasan dana, fasilitas, dan apresiasi, Sitta memilih untuk terus melangkah dan berjuang menjaga api literasi agar tak padam.
Sitta mengatakan, Kabupaten Bogor terlalu luas untuk dijangkau hanya dengan puluhan taman baca saja. Dia tahu bahwa jalan perjuangan masih panjang untuk membentuk budaya baca masyarakat.
Tapi, kata dia, setiap perubahan kecil adalah bahan bakar semangat untuk terus melangkah. Buktinya, dari anak yang belajar disiplin menyimpan sandal, belajar bertanya, hingga remaja yang menemukan tujuan hidupnya lewat buku.
“Kalau anak-anak sejak kecil sudah senang membaca, mereka akan tumbuh dengan cara pandang yang lebih luas. Itu modal besar untuk masa depan di Kabupaten Bogor,” tegasnya.
Sitta sadar, mungkin profesinya tak membuatnya kaya. Tapi ia yakin, menjadi penjaga buku berarti juga menjaga asa generasi berikutnya. Perpustakaan KAIT Plus mungkin hanyalah ruang kecil di Ciawi, tapi di dalamnya tersimpan mimpi besar, melahirkan generasi emas di Kabupaten Bogor yang akrab dengan buku, terbiasa berpikir kritis, dan tak takut bermimpi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.