Rumah Kremasi Hewan, Tempat Tidur Terakhir Peliharaan Kesayangan
Tim Redaksi
BOGOR, KOMPAS.com
– Bagi banyak pecinta hewan, kehilangan anak berbulu (anabul) bukan sekadar kehilangan peliharaan, melainkan kehilangan anggota keluarga.
Di momen inilah, sebuah
rumah kremasi
bernama Rainbow Bridge Memorial House menjadi ruang perpisahan yang memberi ketenangan.
Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pemilik hewan memilih kremasi dibandingkan menguburkannya di tanah.
Selain itu, kremasi memberi kesempatan bagi pemilik membawa pulang abu hewan kesayangannya sebagai kenangan.
Berletak di kawasan Rawakalong, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, bangunan itu tampak sederhana.
Pagar bambu, rumah sederhana, dan suasana yang seolah menyatu dengan pepohonan di sekelilingnya.
Namun, begitu melangkah masuk, suasana terasa berubah. Ada duka yang berdiam di udara, tapi juga cinta dan penghormatan.
Di halaman depan, beberapa anjing berlarian dan menyambut tamu dengan gonggongan pelan.
Di sudut bangunan, rak-rak kayu dipenuhi guci kecil berwarna putih, masing-masing dengan foto hewan yang pernah menjadi kesayangan seseorang.
Wajah-wajah yang tak lagi ada di dunia, tetapi masih “pulang” ke tempat ini untuk terakhir kalinya.
Di sinilah Joan Pascaline Majabubun membangun sesuatu yang lebih dari sekadar layanan kremasi.
Ia menciptakan jembatan—penghubung antara manusia dan kenangan terakhir mereka terhadap hewan yang dicintai.
Joan mengisahkan, perjalanan menuju pekerjaan ini tidak dimulai dari hal yang indah.
Salah satu pengalaman paling menyakitkan itu yakni kala ia menyelamatkan Boja, anak anjing yang ditemukan dalam kondisi memprihatinkan.
Meski ia merawat Boja dengan penuh harapan, virus parvo merenggut nyawa hewan kecil itu.
Kesedihan itu berubah menjadi amarah ketika ia melihat proses kremasi Boja tidak dilakukan dengan layak.
“Karena kekecewaan itu, jadi gue mau bikin tempat kremasi yang seperti yang gue mau, di mana tempat kremasinya kayak punya sendiri gitu,” kata Joan saat ditemui di Rainbow Bridge Memorial House, Selasa (9/12/2025).
Semua berawal dari niat menyelamatkan seekor anjing, meski kondisi keuangannya sedang kekurangan.
Ada orang yang menemukan anjing tersebut, lalu mengawinkannya dan menjual anak-anaknya. Joan mencoba menolong, dibantu seseorang yang iba pada kondisinya.
Dalam benaknya, ia hanya ingin memberikan hidup yang layak bagi Boja.
Saat proses kremasi dilakukan, kekecewaan itu semakin dalam.
Ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, sesuatu yang membuat perasaan kehilangan berubah menjadi kemarahan.
“Jadi gue bawa kremasi satu tempat, terus gue ngeliat si orangnya itu ada yang dia buang. Gue bilang,
‘apaan tuh yang dibuang?’,
” kata Joan.
“Gue cari ternyata kakinya anak gue yang gak selesai kekremasi. Dibuang gitu aja? Ngamuk gue,” sambung dia.
Dari pengalaman itu, muncul tekad untuk membangun tempat kremasi yang menghormati hewan dan pemiliknya.
Di halaman tanah yang teduh, suara lantunan ayam dan pohon bergesekan menjadi latar proses perpisahan. Joan berjalan santai, menyapa hewan-hewan yang menghuni tempat itu.
Meski fasilitasnya sederhana, banyak pemilik hewan menemukan ketenangan di sini.
Bagi Joan, kasih sayang tidak pernah bisa diukur oleh bentuk hewan atau bagaimana orang lain menilainya.
“Namanya sayang kan kita gak bisa membatasi gitu ya,
unlimited
gitu loh. Kayak kemarin, gue kremasi, dia itu punya kayak lipan gitu. Gue kremasi di sini,” kata Joan.
Kisah tentang seekor luwing bernama Jony menjadi salah satu contohnya.
“Dia udah bilang,
‘Kak, gue mau kremasi peliharaan gue (luwing) bisa gak, Kak?’.
Bisa,” jelas dia.
Bagi Joan, selama hewan itu dicintai seseorang, maka ia berhak diperlakukan dengan hormat.
Di ruang kecil tempat guci-guci ditata, Joan menyaksikan berbagai bentuk rasa kehilangan. Ada pemilik yang menangis lama, ada yang memeluk guci sambil bercerita. Ia tak pernah membatasi hewan yang bisa ia layani.
“Nah, jadi yang namanya kita sayang itu kan gaada batasan. Lo mau pelihara kecoak juga sekarang banyak orang pelihara kecoak,” ujar dia.
Tidak hanya anjing atau kucing, ia pernah menerima tikus peliharaan, ikan gurame, hingga hewan liar yang pernah dirawat seseorang.
“Terus apapun ya sah-sah aja gitu, kan. Jadi gue berusaha untuk bisa fasilitasi bahkan tikus aja ada,” katanya.
Tempat ini pun menjadi rumah duka yang universal—untuk semua jenis makhluk.
Joan cukup sering menerima hewan yang datang dari klinik atau shelter kecil. Ia memahami beban mereka, terutama ketika wabah menyerang dan jumlah hewan yang mati meningkat.
“Jadi gue ada beberapa klinik yang memang bekerjasama. Jadi kalo misalnya di tempat mereka ada yang RIP dan mau dikremasi dan itu mereka yang kirim,” kata dia.
Bagi Joan, inti dari pekerjaannya bukan sekadar fasilitas, melainkan empati.
“Cuma maksud gue kalo gue
personally
enggak peduli gue mau hewan lu apa. Ya kayak yang gue bilang dari awal tadi. Sayang itu gak ada batasnya,” imbuh dia.
Di Rainbow Bridge Memorial House, kematian dan kehidupan terasa saling menyapa.
Saat pemilik menyeka air mata, anjing-anjing di halaman berjalan mondar-mandir, seolah menemani.
Ketika seseorang memandikan hewannya untuk terakhir kalinya, perasaannya pasti campur aduk. Luapan emosi tak terbendung.
Dalam momen seperti itu, Joan berusaha memastikan setiap pemilik bisa melepas tanpa merasa dihakimi.
“Kayak yang kemarin itu dia ini.
‘Kak, lu jangan ketawain gue ya, Kak’
, Kenapa gue mesti ketawain lu? Karena lu sendiri di video lu bilang megang mereka tuh
calming,
itu hal yang baik sih,” jelas Joan.
Itulah alasan ia ingin tempat ini terasa hangat, setara, dan dekat.
“Makanya gue bikin kremasi ini seperti maunya gue, kita sama-sama penyayang, kita tahu rasanya kehilangan gimana,” imbuh dia.
Dari Trauma Menjadi Dedikasi
Tidak banyak yang tahu bahwa Joan dulunya takut kucing. Ia pernah dicakar hingga membuat tangannya bengkak.
Namun hidup justru membawanya masuk ke dunia hewan—shelter, penyelamatan, hingga kremasi.
“Dulu gue takut kucing, gue takut ayam tapi terus kan gue mikir ya sampe kapan gue takut sama hal-hal yang kalo menurut gue gak pantes buat ditakutin,” ujarnya.
Pengalamannya mengurus hewan-hewan di shelter menjadi titik balik terbesar.
Ia mulai merawat anak-anak kucing, memberi mereka susu, dan mendampingi mereka bertahan hidup.
Proses itulah yang perlahan mengikis rasa takutnya, Joan menemukan bahwa ketakutan itu selama ini hanya bayangan, bukan kenyataan.
“Waktu gue kasih susu itu nyakar gue eh kok ga bolong ya. Ternyata kucing itu gak semenyeramkan itu ya. Dari situlah gue baru mulai buka kremasi,” ungkapnya.
Bangunan bambu, halaman tanah, oven kecil berbahan gas, dan meja pemandian sederhana—semua tampak jauh dari kesan mewah. Namun justru kesederhanaan inilah yang membuat banyak orang merasa dekat.
Joan ingin tempat ini ramah, bukan membingungkan.
“Jadi intinya gue nyari duit. Bohong orang punya usaha enggak nyari duit. Pasti. Cuma dengan bisa bantu teman-teman, jadi makanya gue bertahan dengan
stay low
kayak gini,” kata dia.
Joan sengaja menjaga tempatnya tetap
low profile.
Ia tidak ingin orang takut datang karena mengira biayanya akan mahal.
Ia ingin orang merasa bahwa tempat ini adalah milik mereka sendiri.
“Lu mau gendong sendiri anak lu masuk dalam
tray.
Lu mau tungguin, lu mau pelototin anak lu dikremasi sampai selesai, silakan,” kata dia.
Nama Rainbow Bridge sendiri merujuk pada sebuah keyakinan populer di kalangan pecinta hewan.
Ketika
hewan peliharaan
meninggal, mereka dipercaya menyeberangi sebuah jembatan menuju tempat damai di alam baka.
Di sana, hewan-hewan peliharaan yang telah mati menjadi muda dan sehat kembali. Mereka menunggu untuk dipersatukan kembali dengan pemiliknya yang tercinta suatu hari nanti.
“Karena
all animals goes to Rainbow Bridge
(Semua hewan pergi ke Jembatan Pelangi),” kata Joan.
Di kawasan perkotaan, kepadatan hunian terus meningkat, sementara hubungan masyarakat dengan hewan peliharaan justru semakin intens.
Para pemilik kini memberi perhatian lebih besar terhadap kesehatan, kenyamanan, dan perlakuan etis bagi hewan yang mereka rawat sehari-hari.
Perubahan ini, menurut Rakhmat Hidayat, Sosiolog dari UNJ, ikut membuka ruang bagi hadirnya berbagai layanan baru, termasuk
kremasi hewan
.
Ia menilai fenomena tersebut merupakan kebutuhan yang relatif baru muncul, terutama di lingkungan kelas menengah kota-kota besar.
Dalam beberapa tahun terakhir khususnya setelah masa pandemi industri yang bergerak di bidang perawatan hewan berkembang dengan cepat.
Pet shop
tumbuh lebih banyak, layanan
grooming
semakin mudah ditemui, hingga berbagai jasa pendamping lain yang sebelumnya tidak dikenal kini mulai populer.
Bagi Rakhmat, semua perkembangan itu menunjukkan bahwa kultur merawat hewan telah berubah menjadi lebih serius dan lebih terstruktur di mata masyarakat.
“Layanan kremasi ini menurut saya itu melengkapi bagaimana peliharaan hewan itu menjadi isu yang menarik bagi sebagian masyarakat atau bagi masyarakat menengah perkotaan gitu ya,” ujar dia saat dihubungi, Senin (9/12/2025).
Ia juga menilai, hadirnya layanan semacam ini menandakan pola baru dalam cara masyarakat memperlakukan hewan peliharaan mereka.
“Ini sudah mulai menunjukkan ada tren yang lebih spesifik gitu ya di kalangan kelas menengah elite perkotaan gitu kan dengan layanan kremasi ini,” kata dia.
Bagi banyak pemilik, hewan peliharaan telah menempati posisi lebih dari sekadar makhluk yang diberi makan atau dirawat seperlunya.
Keberadaan mereka kerap menyatu dengan keseharian menjadi yang pertama disapa saat pagi tiba, menemani di sela aktivitas, hingga hadir setiap kali pemilik pulang membuka pintu rumah.
Tidak sedikit orang yang menjadikan hewan peliharaan sebagai tempat bercerita, penawar penat sepulang kerja, atau pengisi kesunyian di rumah yang terasa terlalu sepi.
Karena kedekatan itu pula, kehilangan hewan peliharaan dapat menghadirkan kesedihan mendalam yang sulit diungkapkan.
Kedekatan tersebut tumbuh dari ikatan emosional yang terbentuk lama dalam keseharian.
“Kenapa hewan itu orang perlu ditangis sih? Karena itu kan ada semacam keterikatan ya, keterikatan moral, keterikatan secara psikologis antara manusia tersebut dengan hewan tersebut gitu kan,” ujarnya.
Ikatan itu bahkan, menurut dia, semakin kuat seiring rutinitas yang dijalani bersama.
“Apalagi udah bertahun-tahun, sudah jadi sering bareng,” kata dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.