PIKIRAN RAKYAT – Mahkamah Konstitusi memutuskan, tindakan penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong (hoaks) bisa dipidana jika menimbulkan kerusuhan di ruang fisik bukan di ruang digital.
Ihwal ini penjelasan MK atas makna kata kerusuhan dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Selasa, 29 April 2025 seperti dikutip dari Antara.
Kerusuhan
MK menyatakan, kata kerusuhan dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber”.
Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang dalam kegiatan transaksi elektronik, semula berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.”
Sementara Pasal 45A ayat (3) UU ITE berisi ketentuan pidana atas Pasal 28 ayat (3), setiap orang yang melanggar pasal ini bisa dipidana paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
MK menyatakan, norma Pasal 28 ayat (3) UU ITE menciptakan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan bagian penjelasannya.
Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur kata kerusuhan berarti kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber.
Pemohon
Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE sudah memberi pembatasan yang jelas, penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan secara fisik terjadi di masyarakat, sementara keributan di ruang siber tak termasuk ketentuan pasal ini.
Aparat penegak hukum hanya bisa melakukan proses hukum pada penyebaran berita bohong yang menimbulkan keributan secara fisik yang terjadi di lingkungan masyarakat.
“Hal demikian dimaksudkan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang merupakan delik materiel yang menekankan pada akibat perbuatan atau kerusuhan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan Mahkamah.
Permohonan uji materi ini dimohonkan seorang jaksa sekaligus aktivis penegakan hukum dan birokrat Jovi Andrea Bachtiar.
Pihaknya mengajukan permohonan karena khawatir berpotensi dilaporkan ke polisi karena aktif mengkritisi kebijakan pemerintah dan praktik penyelenggaraan pemerintahan.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
