Liputan6.com, Yogyakarta – Hari Braille Sedunia diperingati setiap 4 Januari. Peringatan global ini hadir sebagai pengingat pentingnya braille sebagai sarana komunikasi dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia bagi penyandang disabilitas sensorik netra (PDSN).
Mengutip dari berbagai sumber, sistem baca-tulis braille dikembangkan oleh Louis Braille pada 1820-an. Saat itu, ia masih menjadi murid di Royal Institute for Blind Youth di Paris.
Braille sebenarnya bukan bahasa, melainkan kode taktil atau timbul dengan berbagai kombinasi titik yang mewakili abjad, kata, tanda baca, dan angka. Braille memungkinkan tunanetra ataupun orang dengan gangguan penglihatan untuk membaca dan menulis melalui sentuhan.
Saat ini, pencatat braille elektronik (braille note taker) dan papan braille (braille display) telah tersedia, sehingga penyandang tunanetra yang menguasai huruf braille dapat menjelajahi internet, membaca halaman web, membaca email, serta menyimpan dan mengedit karya tulis mereka tanpa pembaca layar.
Bukan itu saja, beberapa game klasik juga telah mengadaptasi versi braille, seperti Monopoly, Scrabble, dan Uno. Ada juga kartu remi braille versi khusus LEGO Braille Bricks.
Adapun di Indonesia, tulisan braille juga telah lama digunakan. Berikut fakta menarik braille di Indonesia:
1. Perkembangan braille di Indonesia
Braille di Indonesia mulai masuk dan digunakan sejak 1901 oleh Dr Westhoff. Ia merupakan pendiri Blinden Institut Bandung.
Pada 1952, SGPLB Negeri Bandung didirikan dan membuat braille semakin berkembang. Adapun sistem penulisan braille yang mulai dikenal di berbagai daerah di Indonesia adalah sistem tulisan singkat (tulsing) braille yang mulai dikembangkan pada 1960-an.
Pada 1974, tim dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek Pembinaan SLB di Jakarta, menyusun Buku Pedoman Menulis Braille Menurut Ejaan Baru Yang Disempurnakan. Sejak 2018, Badan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bekerja sama dengan Balai Penerbitan Braille Indonesia (BPBI) Abiyoso dari Kementerian Sosial (Kemensos) mencetuskan dan mencetak KBBI Braille.
2. Al-Qur’an braille masuk ke Indonesia pada 1954
Al-Qur’an braille pertama masuk ke Indonesia pada 1954. Al-Qur’an tersebut disumbangkan dari Yordania kepada Departemen Sosial.
Setelah 10 tahun, Al-Qur’an tersebut baru bisa dibaca, yakni pada 1964. Orang yang membacanya adalah seorang juru ketik braille Depsos Yogyakarta, Supardi Abdi Somad. Satu jilid Al-Qur’an braille biasanya hanya terdiri dari satu juz saja. Sehingga, untuk 30 Juz Al-Qur’an braille terdiri dari 30 jilid buku berbeda.