Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menjelaskan alasan di balik rencana pengurangan luas lahan dan bangunan rumah subsidi. Menurutnya, kebijakan ini masih berupa draf dan bertujuan agar masyarakat tetap bisa memiliki hunian layak di lokasi strategis dengan harga terjangkau.
“Kita baru dalam tahap draf. Justru model kebijakan saya adalah menyampaikan ide dan draf secara terbuka agar bisa dikritisi dan mendapat masukan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pengembang,” kata Maruarar saat ditemui di Jakarta, Jumat (6/6/2025).
Draf tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, yang mengusulkan pengurangan ukuran rumah subsidi. Maruarar, yang akrab disapa Ara, menekankan bahwa pendekatan ini merupakan bentuk keterbukaan dan partisipasi publik dalam penyusunan kebijakan.
Ia menegaskan, usulan pengurangan luas rumah bukan semata-mata soal angka, tetapi sebagai respons atas naiknya harga tanah di wilayah perkotaan.
“Tanah di kota makin mahal, itu fakta. Kalau kita tidak fleksibel, rakyat makin sulit punya rumah di kota. Jadi, salah satu opsi adalah memperkecil ukuran, tetapi tetap layak huni,” ujarnya.
Ara juga menambahkan, ide ini ditujukan untuk memperluas pilihan masyarakat dalam memiliki rumah. Menurutnya, masyarakat berhak memilih tipe rumah sesuai kebutuhan dan kemampuan, termasuk rumah satu kamar, dua kamar, rumah tapak, bahkan dua lantai.
“Ada yang ingin rumah satu kamar, dua kamar, atau rumah tapak, bahkan dua lantai. Ini soal memberi pilihan kepada rakyat, bukan memaksakan,” katanya.
Dalam konsep yang tengah dikaji, rumah subsidi dengan ukuran lebih kecil akan dibangun di lokasi strategis, lebih dekat ke pusat aktivitas masyarakat, dibandingkan dengan pembangunan di pinggiran kota.
“Kalau rumahnya lebih kecil, tetapi dekat tempat kerja dan harganya lebih terjangkau, kenapa tidak kita pikirkan? Jangan langsung tutup pikiran,” ujarnya.
Maruarar juga menegaskan, rancangan kebijakan ini belum final dan masih terbuka untuk masukan dari berbagai pihak. Pemerintah, katanya, akan terus berdialog dengan masyarakat, pengembang, dan lembaga terkait seperti Badan Standardisasi Nasional (BSN).
“Tentu ada pro dan kontra, tetapi itu bagian dari proses. Kita masih membuka ruang dialog. Jadi ini belum final,” tandasnya.
