PIKIRAN RAKYAT – Konflik bersenjata antara Iran dan Israel penjajah yang makin intens memicu ketidakpastian ekonomi global. Harga minyak dunia melonjak drastis, dolar AS menguat sementara pasar saham menunjukkan sinyal kekhawatiran meskipun belum mengalami guncangan signifikan.
Lonjakan Harga Minyak: Sentimen Pasar Digerakkan oleh Ketakutan Gangguan Pasokan
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah mendorong harga minyak ke titik tertinggi dalam hampir lima bulan. Minyak mentah Brent naik hingga 79,04 dolar AS per barel (sekitar Rp1.287.648), naik 18% sejak 10 Juni.
Lonjakan harga ini dipicu kekhawatiran gangguan pasokan akibat kemungkinan kerusakan terhadap infrastruktur migas Iran, termasuk potensi terhambatnya pengiriman di Selat Hormuz, jalur penting yang dilalui sekitar 20% pasokan minyak dunia.
“Jika gangguan pasokan benar-benar terjadi, pasar akan sangat merespons. Saat ini harga belum mencerminkan potensi ancaman pasokan global,” ujar Art Hogan, Kepala Strategi Pasar di B Riley Wealth.
Simulasi Oxford Economics: Harga Bisa Capai 130 dolar AS per Barel
Oxford Economics merilis model skenario konflik, salah satunya jika produksi minyak Iran terhenti total dan Selat Hormuz ditutup. Dalam skenario paling ekstrem, harga minyak global diprediksi bisa melonjak ke 130 dolar AS per barel (sekitar Rp2.119.000).
Inflasi di AS bisa terdorong naik hingga 6% pada akhir 2025. Hal ini akan mempersempit ruang pemangkasan suku bunga oleh The Fed dan menekan daya beli masyarakat.
“Besarnya kenaikan inflasi dan efek beruntunnya bisa membuat bank sentral menunda pemangkasan suku bunga, atau bahkan menaikkannya lagi,” tutur Oxford dalam laporannya.
Dampak ke Pasar Saham: Sementara Stabil, Tapi Risiko Terus Mengintai
Meski harga minyak naik tajam, S&P 500 belum menunjukkan penurunan berarti. Sejak serangan udara Israel penjajah, indeks ini relatif datar. Namun jika ketegangan meningkat dan AS memutuskan turut serta secara militer, pasar saham diperkirakan akan mengalami koreksi tajam dalam jangka pendek.
“Pasar saham cenderung mengabaikan ketegangan geopolitik—sampai akhirnya situasi menjadi tak terkendali,” kata analis Citigroup.
“Kunci volatilitas ekuitas ke depan bukan lagi suku bunga, tapi harga energi,” ucapnya menambahkan.
Meski begitu, sejarah menunjukkan bahwa efek guncangan geopolitik terhadap pasar saham bisa bersifat sementara. Data Wedbush Securities menunjukkan bahwa dalam konflik Timur Tengah sebelumnya, S&P 500 rata-rata turun 0,3% dalam tiga minggu awal konflik, namun naik 2,3% dua bulan setelahnya.
Dolar AS Naik, Tapi Tidak Menjanjikan dalam Jangka Panjang
Ketika konflik meningkat, dolar AS mengalami penguatan signifikan karena statusnya sebagai aset aman. Namun, menurut Thierry Wizman, ahli strategi dari Macquarie Group, kekuatan dolar kemungkinan hanya bertahan sementara.
“Trader akan lebih fokus pada dampak jangka pendek terhadap perdagangan Eropa, Jepang, dan Inggris, yang lebih rentan terhadap gejolak minyak,” ujarnya.
“Namun, jika AS kembali masuk dalam fase perang panjang seperti di Irak atau Afghanistan, maka dolar bisa kembali tertekan,” tutur Thierry Wizman menambahkan.
Wizman juga mengingatkan, setelah peristiwa 11 September 2001, nilai dolar sempat menguat, namun dalam jangka menengah melemah akibat beban fiskal dari keterlibatan militer jangka panjang.
Energi Jadi Katalis Volatilitas Global
Konflik Iran-Israel penjajah bukan hanya berdampak pada stabilitas regional, tapi berpotensi mengguncang ekonomi dunia. Harga minyak yang melonjak dapat menjadi pemicu inflasi global, memperketat kebijakan moneter, dan mengguncang pasar keuangan.
Jika AS memutuskan untuk terlibat langsung dalam konflik, bukan hanya energi yang akan terdampak, tapi juga nilai tukar, suku bunga, dan strategi investasi global. Investor, pelaku usaha, dan pemerintah negara-negara pengimpor energi harus bersiap menghadapi kemungkinan gejolak jangka panjang.
“Pasar saat ini hanya melihat sebagian dari risiko. Jika konflik makin luas, kita bisa melihat dampak besar terhadap konsumsi, produksi, dan stabilitas ekonomi global,” kata Hogan dari B Riley Wealth, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Reuters.***
