Jakarta, Beritasatu.com – Harga minyak mentah dunia mencatat kenaikan lebih dari US$ 1 per barel pada Kamis (2/1/2025) di tengah optimisme investor terhadap ekonomi China dan peningkatan permintaan bahan bakar. Hal ini terjadi setelah Presiden Xi Jinping menjanjikan kebijakan yang lebih agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada tahun ini.
Harga minyak mentah Brent naik US$ 1,29 atau 1,7% menjadi US$ 75,93 per barel, sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) Amerika Serikat (AS) meningkat US$ 1,41 atau 2% ke level US$ 73,13 per barel. Namun, lonjakan persediaan bensin dan sulingan di Amerika Serikat memberikan tekanan dan membatasi kenaikan lebih lanjut.
Dilansir dari Reuters, dalam pidato tahun baru, Xi Jinping menyatakan komitmennya untuk menerapkan kebijakan yang lebih proaktif guna mempercepat pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Data manufaktur China pada Desember 2024 yang dirilis Kamis menunjukkan perlambatan aktivitas pabrik. Meskipun demikian, beberapa analis menilai data ini dapat mendorong pemerintah Beijing untuk mempercepat stimulus ekonomi.
Survei resmi sebelumnya menunjukkan sektor manufaktur Tiongkok nyaris stagnan pada akhir 2024, sementara sektor jasa dan konstruksi mencatat hasil yang lebih baik, menandakan mulai berjalannya efek stimulus kebijakan di beberapa sektor.
Sementara itu, data dari Badan Informasi Energi AS (EIA) menunjukkan kenaikan signifikan dalam stok bensin sebesar 7,7 juta barel menjadi 231,4 juta barel, sementara stok sulingan naik 6,4 juta barel menjadi 122,9 juta barel. Sebaliknya, persediaan minyak mentah turun 1,2 juta barel, lebih kecil dari perkiraan penurunan 2,8 juta barel dalam survei Reuters.
Faktor lainnya yang memengaruhi harga minyak mentah naik adalah kondisi geopolitik. Analis IG Tony Sycamore mencatat, risiko geopolitik yang meningkat dan kebijakan ekonomi Presiden AS Donald Trump, termasuk tarif perdagangan, menjadi faktor lain yang diperhitungkan oleh para pedagang.
Harga minyak mentah diperkirakan akan tetap mendekati US$ 70 per barel sepanjang 2025. Jajak pendapat Reuters menunjukkan, lemahnya permintaan dari China dan meningkatnya pasokan global diperkirakan akan menekan upaya OPEC+ untuk menstabilkan pasar.