Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Harga minyak di perdagangan pasar global dilaporkan naik lebih dari 1 persen, mencatatkan kenaikan mingguan tertinggi menjelang musim libur akhir tahun.
Mengutip data Forbes, harga minyak mentah jenis Brent berjangka naik 91 sen atau 1,2 persen menjadi 74,17 dolar AS per barel sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) melonjak 98 sen atau 1,4 persen menjadi 70,60 dolar AS per barel, Sabtu (28/12/2024).
Adapun penguatan harga itu didukung oleh penarikan yang lebih besar dari perkiraan persediaan minyak mentah AS minggu lalu.
Menurut rilisan data Badan Informasi Energi AS, persediaan minyak mentah AS turun 4,2 juta barel per 20 Desember, karena kilang meningkatkan aktivitas dan musim liburan meningkatkan permintaan bahan bakar.
Angka ini jauh lebih besar dibanding perkiraan awal. Dimana sebelumnya analis yang disurvei oleh salah satu kantor berita internasional memperkirakan penurunan 1,9 juta barel, sedangkan angka dari American Petroleum Institute yang dirilis awal minggu ini memperkirakan penurunan 3,2 juta barel.
Selain karena penurunan stok minyak AS, lonjakan Brent dan WTI di akhir pekan ini efek dari optimisme atas pertumbuhan ekonomi China yang telah memicu harapan akan permintaan yang lebih tinggi tahun depan dari negara pengimpor minyak terbesar ini.
Bank Dunia pada hari Kamis menaikkan perkiraannya untuk pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada 2024 dan 2025. Sementara itu, otoritas Tiongkok telah setuju untuk menerbitkan obligasi khusus senilai 3 triliun yuan atau kurang lebih 411 miliar dollar AS pada tahun depan untuk menghidupkan kembali ekonomi yang lesu.
Lebih lanjut, kondisi perang antara Rusia dan Ukraina juga menjadi faktor pendorong lonjakan harga di pasar energi karena stagnasi permintaan minyak global.
Konflik panas antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung mereda lantas memicu kekhawatiran para investor hingga mereka kompak melakukan wait and see, membuat harga minyak meroket ke level tertinggi di pekan ini.
“Untuk minyak, resikonya adalah jika Ukraina menargetkan infrastruktur energi Rusia, sementara risiko lainnya adalah ketidakpastian mengenai bagaimana Rusia menanggapi serangan ini,” kata analis ING dalam sebuah catatan.