TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Nenden Sekar Arum Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) membeberkan terkait tantangan hak digital dan keamanan digital publik di Indonesia. Pada tahun 2024 catatan Safenet terjadi 103 insiden gangguan internet.
“Pada tahun 20224 di Indonesia tercatat 103 insiden gangguan internet. Hal tersebut didominasi oleh gangguan internet dalam kategori infrastruktur terkait pemilihan umum (pemilu),” jelas Nenden Sekar Arum Direktur Eksekutif Safenet di Hotel Balairung, Matraman Raya, Jakarta Timur, Sabtu (22/03/2025) pada acara rilis temuan hasil survei dan diskusi publik yang diadakan oleh Civil Society for Police Watch, dengan judul “Urgensi Digitalisasi Kepolisian Menuju Pemolisian Sipil Berintegritas.
Menurut Nenden, terkait kebebasan berekspresi di Indonesia tercatat dengan perincian yakini; pada tahun 2020 berjumlah 84 kasus, pada tahun 2021 terjadi 30 kasus, tahun 2022 terjadi 97 kasus, tahun 2023 terjadi 114 kasus, dan tahun 2024 146 kasus.
Ia mengungkapkan, kasus kebebasan berekspresi di atas dengan penggunaan pasal dalam UU ITE untuk melakukan kriminalisasi dengan rincian, terjadi 76 kasus pencemaran nama baik, 23,29 persen UU ITE tahun 2016, dan 76,71 persen UU ITE 2024.
Nenden melanjutkan, latar belakang terlapor terhadap ekspresi di ranah digital tahun 2024 terdiri atas pelajar/mahasiswa 1 kasus, pekerja kreatif 2 kasus, tenaga medis 2 kasus, buruh 3 kasus, pemuka agama 4 kasus, pejabat publik 4 kasus, pengacara 4 kasus, pengusaha/perusahaan 4 kasus, jurnalis media 7 kasus, lainnya 7 kasus, politisi 9 kasus, aktivis/organisasi masyarakat sipil 12 kasus, atlet 23 kasus, pembuat konten/pesohor 26 kasus. Jumlah terlapor tercatat 170 kasus.
Kemudian, kata Nenden, latar belakang pelapor terhadap ekspresi di ranah digital tahun 2024 salah satunya adalah kepolisian, di mana tercatat 7 kasus, pejabat publik 12 kasus, pengusaha 17 kasus, partai politik 12 kasus, dan lainnya 13 kasus.
Ia mengatakan, terhadap insiden serangan digital dalam rentang waktu 5 tahun terakhir cenderung naik dengan perincian tercatat; tahun 2020 147 kasus, 2021 terjadi 197 kasus, tahun 2022 terjadi 302 kasus, tahun 2023 terjadi 323 kasus, dan tahun 2024 terjadi 330 kasus.
Kemudian, kata Nenden, latar belakang korban tahun 2024 yakni; mahasiswa/pelajar 83 kasus, organisasi masyarakat sipil 42 kasus, lembaga publik 37 kasus, warga umum 37 kasus, aktivis/NGO 36 kasus, pegawai swasta 34 kasus, pengusaha 13 kasus, lainnya 12 kasus, akademisi 11 kasus, perusahaan swasta 10 kasus, jurnalis/pekerja media 5 kasus, seniman 5 kasus, pesohor 4 kasus, pengacara 3 kasus, media 2 kasus, pegawai pemerintah 2 kasus, pekerja IT 1 kasus, dan pejabat publik 1 kasus.
Lebih lanjut lagi, kata dia, platform penyerangan yang digunakan seperti instagram 107 kasus, WhatsApp 84 kasus, situs web 46 kasus, facebook 22 kasus, twitter 18 kasus, email 17 kasus, telegram 12 kasus, dan perangkat 12 kasus.
Untuk mengatasi sejumlah kasus tersebut perlu melakukan pengaturan di ranah digital. Ke depan, perlu mengatur ruang digital berbasis hak asasi manusia, transparansi dan partisipasi. Hal tersebut diperlukan agar mencegah potensi kejahatan siber, bukan membungkam kebebasan digital. Selain itu, tidak boleh ada pasal yang multitafsir dan wawan disalahgunakan.
Maka dari itu, kata Nenden, diperlukan peran kepolisian di ranah digital, seperti; penegakan hukum terhadap kejahatan siber, perlindungan data dan keamanan siber, dan tanpa pengawasan massal. Bahkan, kepolisian tidak berwenang memutus atau memperlambat internet, serta melakukan edukasi dan kesadaran digital.
Perlu diketahui, Civil Society for Police Watch telah melakukan survei sejak 12-18 Maret 2025 lalu, responden terpilih pada 26 Provinsi berjumlah 1.500 orang dengan margin of error kurang lebih 2,53 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Adapun metode yang digunakan yakni random sampling, sementara tenaga survey yakni minimal mahasiswa yang telah mendapatkan pelatihan dari tim pusat. Kemudian, sampel mulai dari gender, agama, tingkat pendidikan, topografi, etnis dan suku.