Guru SAAJA dan Trauma yang Muncul Setiap Hujan Deras Megapolitan 12 Agustus 2025

Guru SAAJA dan Trauma yang Muncul Setiap Hujan Deras
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        12 Agustus 2025

Guru SAAJA dan Trauma yang Muncul Setiap Hujan Deras
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
 Christina Induyanti (47), Kepala Sekolah Alternatif untuk Anak Jalanan (SAAJA) masih dibayang-bayangi rasa trauma setiap kali mengajar anak didiknya saat hujan deras turun.
Pasalnya, bangunan kayu sekolah yang berlokasi di wilayah Setiabudi, Jakarta Selatan, itu  pernah roboh akibat tertimpa pohon saat hujan deras pada penghujung 2017.
“Itu memang hujannya juga kayak puting beliung gitu ya. Jadi ketimpa batang pohon yang ada di sana, jadi justru yang paling parah di sana. Pohon yang gede,” kenang wanita yang akrab disapa Iin itu, Sabtu (9/8/2025).
Saat kejadian, anak-anak sedang menjalani evaluasi akhir semester di dalam kelas. Ada sekitar 20 murid, ditambah Iin dan satu pengajar lainnya bernama Nunung.
Iin nyaris menjadi korban tertimpa pohon jika ia terlambat berpindah dari sudut kelas ke bagian tengah ruangan.
Akibat peristiwa itu, sejumlah murid dan Nunung mengalami luka-luka. Mereka segera mendapat pertolongan dari petugas kepolisian yang posnya berada tepat di seberang sekolah.
“Jadi sempat saya duduk di situ, jadi kalau misalkan saya enggak bergerak beda semenit aja, saya yang paling parah. Karena setelah dari sini, saya pindah ke sini belum ada berapa menit rubuh,” jelas dia.
Meski hampir delapan tahun berlalu, rasa khawatir selalu muncul setiap akhir tahun saat musim hujan tiba.
Beruntung, hingga kini tidak pernah ada kejadian serupa meski beberapa kali hujan deras disertai angin kencang mengguyur wilayah tersebut.
“Jadi apalagi itu kan kejadian di 2017 akhir, otomatis di 2018-2019 sampai bahkan mau masuk Covid-19 pun kadang kalau hujan deres kami masih ada rasa trauma itu,” kata dia.
Di sekitar sekolah, masih berdiri beberapa pohon besar yang menaungi bangunan dan halaman. Saat cuaca panas, rimbunnya dedaunan pohon membuat suasana lebih sejuk.
Kini, bangunan sekolah yang terbuat dari kayu tersebut hampir berusia delapan tahun. Tanda-tanda penuaan mulai terlihat, terutama pada bagian kayu di dalam ruangan yang mulai rapuh.
Menurut Iin, perbaikan sangat dibutuhkan, terutama pada dinding kelas, mengingat sekolah ini tidak memungut biaya dan bergantung pada donatur.
“Kalau fasilitas sebenarnya paling kayak ini ya (dinding kelas), perlu diperbaiki,” kata dia sambil menunjuk ke pembatas ruangan dengan dunia luar.
Selain itu, SAAJA juga kekurangan rak tambahan untuk menampung koleksi buku perpustakaan yang semakin banyak.
“Yang kurang itu rak ya, sebenarnya rak untuk buku. Karena ya buku memang cukup banyak yang didonasikan ke sini,” tambahnya.
Adapun SAAJA pertama kali didirikan oleh aktivis kemanusiaan almarhum Farid Fakih pada 2000 di Jakarta Timur dengan nama Sekolah Rakyat Miskin (SRM).
Pendirian sekolah ini berawal dari keprihatinan Farid melihat anak-anak jalanan yang tidak mendapat hak pendidikan.
“Jadi di situ kan karena keprihatinan dari almarhum, melihat bahwa kok anak-anak ini tidak sekolah sama sekali. Dan memang di area situ tidak ada bantuan pemerintah yang masuk,” jelas Iin.
Dua tahun kemudian, SAAJA berdiri di wilayah Setiabudi dan kini dikelola oleh Iin serta Nunung.
Keduanya dibantu relawan dari komunitas dan mahasiswa universitas di Jabodetabek untuk mengajar anak-anak.
“Pengajar cuma dua, saya sama Bu Nunung saja. Selebihnya biasanya teman-teman volunteer, baik itu dari komunitas ataupun teman-teman mahasiswa,” ungkap dia.
Tak hanya anak jalanan, SAAJA Setiabudi juga hadir sebagai pilihan untuk anak-anak yang datang dari keluarga prasejahtera.
Kini terdapat 37 anak yang menjalani kegiatan belajar mengajar tingkat TK A dan TK B di SAAJA per tahun ajaran 2025/2026.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.