“Anehnya, anggaran belanja bencana di tahun 2026 tambah turun lagi, cuma Rp70 miliar,” kata Elfenda, dikutip pada Kamis (11/12/2025).
Ia menjelaskan, total belanja daerah yang mencapai Rp12,5 triliun justru membuat proporsi BTT tampak sangat kecil hanya 0,8 persen.
Padahal standar internasional untuk wilayah rawan bencana berada di kisaran 1,5 hingga 5 persen.
Menurut Elfenda, kondisi ini memperlihatkan buruknya perencanaan anggaran.
“Frekuensi perubahan yang tinggi ini mencerminkan instabilitas perencanaan fiskal dan lemahnya dasar perhitungan risiko bencana dalam penyusunan anggaran,” tegasnya.
Ia juga menyinggung bahwa penyusunan APBD tampak tidak mempertimbangkan data risiko, termasuk peringatan cuaca dari BMKG.
Pergeseran anggaran yang berkali-kali terjadi disebut sangat dipengaruhi tarik-menarik kepentingan, terutama pengalihan BTT ke proyek infrastruktur jalan yang kini tengah menuai sorotan hukum.
Sementara itu, bencana yang melanda sejumlah wilayah di Sumut memperlihatkan lemahnya respons pemerintah.
Mulai dari distribusi logistik yang tersendat, jalur evakuasi yang terhambat, hingga minimnya bantuan awal di lokasi terdampak.
Beberapa kabupaten/kota bahkan terpaksa memakai dana talangan sambil menunggu dukungan dari provinsi.
Elfenda menilai, pemangkasan BTT dilakukan tanpa dasar perhitungan risiko yang memadai dan minim perhatian dalam pembahasan di DPRD. Ia mendesak adanya evaluasi menyeluruh.
“Gubernur Sumut Bobby Nasution harusnya bertanggung jawab sudah menggeser anggaran BTT yang begitu besar dibanding masa Pj Fatoni. Harus ada audit terhadap mekanisme penyusunan APBD yang tidak berbasis data terutama BMKG,” ujarnya.
