Grafiti Liar di Ruang Publik, Ekspresi Seni atau Merusak? Megapolitan 9 Desember 2025

Grafiti Liar di Ruang Publik, Ekspresi Seni atau Merusak?
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        9 Desember 2025

Grafiti Liar di Ruang Publik, Ekspresi Seni atau Merusak?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Suatu pagi pada awal tahun ini, Tedi (45) dibuat terperangah di depan tokonya di Kramat, Senen, Jakarta Pusat.
Rolling door
ruko yang sehari-hari digunakan untuk usaha fotokopi dan alat tulis kantor (ATK) itu penuh oleh coretan tebal berwarna hitam.
Tulisan tak beraturan itu menutupi hampir seluruh permukaan pintu logam.
Belum sempat pulih dari kejadian itu, baru sebulan terakhir bagian samping dinding rukonya kembali menjadi sasaran.
“Sudah dua kali. Pagi mau buka toko, saya lihat lagi penuh tulisan,” kata Tedi saat ditemui
Kompas.com
di rukonya, Senin (8/12/2025).
Tedi harus mengeluarkan biaya ekstra untuk mengecat ulang. Namun, yang lebih ia cemaskan adalah persepsi pelanggan terhadap tempat usahanya.
“Saya takut pelanggan mikir ini tempat enggak aman. Jadi menurunkan citra usaha saya juga,” ujar dia.
Namun, ia tak berani menegur pelaku karena tidak mengenalnya.
Tedi memahami, sebagian orang menyebut
grafiti
sebagai seni jalanan. Namun baginya, seni tetap harus menghormati ruang milik orang lain.
“Kalau asal coret di tempat orang, itu bukan seni. Itu merusak,” katanya tegas.
Sementara diskursus seni dan hak berekspresi terus bergulir, warga seperti Tedi harus menghadapi kerugiannya sendiri.
Bagi pelaku usaha kecil, penurunan citra berarti hilangnya pendapatan.
“Saya menghargai kreativitas, tapi harus ada batasnya,” kata Tedi.
Coretan ini tidak hanya mengusik Tedi.
Pengamatan
Kompas.com,
 Senin (8/12/2025), di sejumlah wilayah Jakarta Pusat, Selatan, dan Timur, grafiti dalam bentuk mural maupun coretan spontan semakin banyak ditemui.
Wilayah Gondangdia dan Cikini menjadi titik dengan temuan grafiti paling menonjol. Tepatnya di Jalan Cut Nyak Dien dan Gondangdia 3.
Di dua lokasi, terlihat pembatas bangunan dekat sebuah
guest house
tampak penuh graffiti bombing yang menumpuk, mengontraskan bangunan modern di sekitarnya.
Coretan lain berupa karakter kartun cerah menghiasi lorong sempit di kawasan itu.
Kemudian di bawah
flyover
dan jalur kereta, struktur beton jembatan layang menjadi kanvas bagi karya besar berwarna ungu, biru muda, pink, dan kuning.
Sementara di Jalan Medan Merdeka Barat, Menteng Raya, Kramat Kwitang. Terlihat banyak
rolling door
ruko dan fasad bangunan tak terawat ditutup coretan
bubble
atau
throw-up
hitam-putih dan biru.
Mayoritas coretan ditemukan pada pagar seng proyek, bangunan tua dan ruko hingga dinding pembatas jalan besar yang dicoret huruf tebal tanpa pesan jelas.
Dalam beberapa lokasi, grafiti dianggap mempercantik suasana.
Namun, di titik lain, warga mengeluhkan bahwa coretan yang hadir tanpa izin justru memberi kesan kumuh dan mengganggu identitas lingkungan.
Untuk memahami pandangan para pelaku karya jalanan atau seniman grafiti, Kompas.com mewawancarai Haikal Nugroho (27), seniman grafiti dari Jakarta Timur.
Haikal mengakui sebagian besar masyarakat melihat grafiti identik dengan perusakan fasilitas publik. Namun ia menegaskan banyak seniman ingin berkarya secara bertanggung jawab.
“Bagi kami tantangannya tetap berkarya tanpa bikin orang merasa dirugikan,” ujar Haikal saat dihubungi, Senin.
Menurutnya, batas seni dan vandalisme terletak pada izin dan konteks.
“Kalau kita dapat izin pemilik bangunan, itu seni. Kalau kita coret di tempat orang tanpa izin, ya itu vandal,” katanya.
Haikal berharap pemerintah menyediakan ruang legal untuk mural agar para seniman bisa menyalurkan kreativitas tanpa mengganggu warga.
“Jangan hanya ditertibkan, tapi kasih wadah. Kalau ada tembok legal, grafiti liar bisa berkurang,” lanjutnya.
Ia juga berpesan agar warga tidak hanya melihat sisi negatif coretan jalanan, melainkan ada ruang dialog dan kolaborasi.
Kasatpol PP Jakarta Pusat Purnama Hasudungan Panggabean saat dikonfirmasi menyatakan sudah ada langkah penindakan bagi pelaku coret-coret sembarangan.
“Kalau kepergok akan kita tangkap dan suruh hapus serta buat pernyataan,” kata Purnama.
Bagi pelajar yang tertangkap, pembinaan akan melibatkan sekolah mereka.
Namun Purnama membedakan grafiti yang dianggap merusak dengan mural yang mendukung keindahan wilayah.
“Kalau berbentuk mural untuk menambah keindahan, itu boleh dilakukan di area agak dalam. Bukan di jalan-jalan protokol,” tegas dia.
Fenomena grafiti dan vandalisme di kota tak dapat dipotong hanya dari sisi estetika dan pelanggaran.
Menurut Sosiolog UNJ Rakhmat Hidayat, grafiti memiliki sejarah panjang sebagai simbol perlawanan dan ekspresi identitas kelompok muda perkotaan.
Rakhmat menjelaskan grafiti tumbuh dari street culture yang lekat dengan marjinalisasi.
“Ini ekspresi identitas, sering muncul dari mereka yang kecewa terhadap sistem,” kata Rakhmat.
Dalam beberapa tahun terakhir, coretan di ruang publik kerap memuat kritik sosial terhadap kebijakan dan elite politik.
“Vandalisme yang sarkastik sering menunjukkan kota itu hidup. Ada dinamika, ada suara rakyat yang tidak tertampung dalam kanal formal,” ujarnya.
Namun ia menyadari sebagian aksi corat-coret dilakukan tanpa pesan, hanya sebagai bentuk provokasi kelompok anak muda, misalnya supporter sepak bola atau siswa sekolah terlibat konflik.
Meski begitu, bagi Rakhmat, ruang publik tetap bagian dari hak warga kota.
“Ekspresi itu nggak bisa dibungkam. Secara sosiologis, setiap warga kota punya hak untuk memiliki kota,” katanya.
Penertiban menurutnya harus berimbang, tidak semata represif, tetapi juga membuka ruang alternatif untuk berekspresi.
Rakhmat menilai, jika Jakarta membuka lebih banyak ruang yang dikelola dengan baik, dinamika ekspresi bisa diarahkan ke bentuk yang produktif.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.