TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, resmi menghentikan operasinya setelah permohonan going concern (kelanjutan usaha) tidak dikabulkan dalam rapat kreditur.
Keputusan ini diambil dalam rapat kreditur keempat yang diselenggarakan di Pengadilan Niaga Semarang, Jumat (28/2/2025).
Agenda utama rapat kreditur kali ini adalah pembacaan laporan hasil pertemuan dan pembahasan tim kurator dengan para debitor.
Dalam rapat tersebut, kreditur memutuskan untuk tidak mengabulkan permohonan going concern yang diajukan oleh manajemen Sritex.
Hal ini berarti perusahaan tidak dapat melanjutkan operasionalnya dan harus menjalani proses pemberesan aset sesuai dengan ketentuan hukum kepailitan.
Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk, Iwan Kurniawan Lukminto menyatakan, pihaknya menghormati keputusan rapat kreditur.
“Kami menaati hukum dan putusan rapat hari ini. Meskipun hasilnya tidak sesuai dengan harapan kami yang ingin perusahaan tetap berjalan agar karyawan bisa terus bekerja,” ujar Iwan melalui keterangan tertulis, Jumat (28/2/2025).
Untuk memastikan transparansi dalam proses pemberesan aset, kreditur sepakat membentuk panitia kreditur.
Panitia ini akan bertugas mengawasi dan memastikan proses kepailitan berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Wawan menegaskan bahwa manajemen Sritex siap berkomunikasi dan berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan.
“Kami siap berkomunikasi dan berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait untuk menyelesaikan proses kepailitan ini dengan baik,” jelasnya.
Salah satu dampak terbesar dari keputusan ini adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan karyawan Sritex.
Wawan menyatakan bahwa pihaknya akan terus mengawal kepentingan karyawan dan memastikan hak-hak mereka terpenuhi.
“Saya akan terus berkomunikasi dengan kurator, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), dan pihak-pihak terkait agar hak-hak karyawan yang mengalami PHK dapat dipenuhi, termasuk proses pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) dan pesangon,” tegas Wawan.
Meskipun Sritex harus menghentikan operasinya, Wawan berharap bahwa siapa pun yang akan mengelola aset perusahaan di masa depan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitar, khususnya di Sukoharjo dan Jawa Tengah.
“Saya berharap ke depan, siapapun yang akan mengelola Sritex dapat memberikan kesejahteraan yang lebih besar bagi masyarakat Sukoharjo dan Jawa Tengah,” ungkapnya.
Sritex Pailit, 10.669 Karyawan Kena PHK
Karyawan Sritex yang dikenakan PHK per 26 Februari akan masuk terakhir bekerja pada 28 Februari 2025.
Berdasarkan informasi yang diterima Tribunnews, jumlah karyawan Sritex Group yang terkena PHK sebanyak 10.669 orang.
Detailnya, pada Januari 2025, sebanyak 1.065 karyawan PT Bitratex Semarang terkena PHK.
Lalu, pada 26 Februari 2025, 8.504 karyawan PT Sritex Sukoharjo, 956 karyawan PT Primayuda Boyolali, 40 karyawan PT Sinar Pantja Jaya Semarang, dan 104 karyawan PT Bitratex Semarang terkena PHK.
Di surat Tim Kurator PT Sri Rejeki Isman Tbk, PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya kepada karyawan, disebutkan bahwa para pekerja terkena PHK karena perusahaan dalam kondisi pailit.
PAILIT – Buruh Sritex membentangkan spanduk Selamatkan Kami Pak Prabowo di acara doa bersama di Lapangan Serba Guna kompleks PT Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (27/12/2024).(KOMPAS.com/Labib Zamani) (dok. Kompas/Labib Zamani)
Kewenangan kurator melakukan PHK ini berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Beleid tersebut menyebutkan bahwa pekerja yang bekerja pada Debitor dapat memutuskan hubungan kerja, dan sebaliknya.
Kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan pemberitahuan paling singkat 45 (empat lima) hari sebelumnya.
“Berdasarkan kewenangan kurator sebagaimana tersebut di atas, dengan ini memberitahukan kepada nama-nama karyawan PT Sri Rejeki Isman, Tbk (Daftar Terlampir) sejak tanggal 26 Februari 2025 telah terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dikarenakan Perusahaan dalam keadaan Pailit,” tulis keterangan dalam surat tersebut yang dilihat Tribunnews pada Jumat (28/2/2025).
Selanjutnya, urusan pesangon menjadi tanggung jawab kurator. Sementara itu, jaminan hari tua menjadi kewenangan BPJS Ketenagakerjaan.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pun menyatakan akan berada di garis terdepan dalam membela hak-hak buruh PT Sritex yang menurut Kurator dikenakan PHK.
“Negara melalui Kemnaker akan berjuang bersama buruh. Oleh karena itu kami terus berkoordinasi dengan manajemen PT Sritex Tbk,” kata Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan atau Noel dalam keterangannya kepada Tribunnews, Jumat (28/2/2025).
Sesuai aturan dan perundang-undangan, perusahaan yang sudah diputus pailit oleh hakim Pengadilan Niaga, maka kendali perusahaan menjadi kewenangan Kurator.
“Kita negara hukum, maka kita harus tunduk pada hukum,” kata dia.
Menperin Diminta Segera Turun Tangan
Komisi VII DPR meminta Kementerian Perindustrian mengambil langkah antisipatif menghadapi penutupan permanen PT Sritex yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK) massal atas 10.665 karyawan di perusahaan itu.
“Sekarang kita perlukan Menteri Perindustrian untuk turun tangan. Diperlukan keberpihakan dan kebijakan afirmatif untuk para karyawan,” kata Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2/2025).
“Sebagai menteri senior, saya yakin Pak AGK (Agus Gumiwang Kartasasmita) pasti memiliki jalan dan solusi,” kata dia.
Dari hasil kunjungan kerja spesifik (Kunspek) Komisi VII DPR ke PT Sritex dengan Kementerian Perindustrian beberapa waktu lalu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyampaikan bahwa pemerintah telah memiliki skema penanganan perusahaan itu dan memastikan tidak akan ada PHK karyawan dalam semua opsi yang ada.
Saleh menegaskan, bangkrutnya bisnis Sritex menyebabkan karyawan menjadi korban dan kehilangan pekerjaan. Sementara, selama ini mereka bekerja secara profesional.
“Mereka (karyawan) patuh pada seluruh aturan yang ditetapkan, baik oleh pemerintah maupun perusahaan,” kata Saleh
Dia mengatakan situasi tersebut sangat memprihatinkan di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sulit.