Jakarta, Beritasatu.com – Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), bersama Global Citizen dan konsorsium global yang terdiri dari think tank, universitas, organisasi masyarakat sipil, serta institusi internasional, menyelenggarakan Global Town Hall edisi keenam pada Sabtu, (15/11/2025). Forum global yang diinisiasi oleh Indonesia ini menghadirkan pemimpin pemerintahan, tokoh masyarakat sipil, penggerak akar rumput, sektor swasta, serta generasi muda untuk berdiskusi mengenai berbagai tantangan mendesak yang dihadapi dunia.
Penyelenggaraan tahun ini berlangsung menjelang G20 Summit dan bertepatan dengan negosiasi iklim COP30 yang sedang berlangsung di Belém, Brasil. Sehubungan dengan itu, Ana Toni, CEO COP30, turut menghadirkan wawasan langsung dari proses perundingan iklim global yang tengah berlangsung.
“Di COP30 Kita bersama-sama meresmikan era baru rezim iklim ‘climate regime’ Untuk menunjukkan bahkan di bawah situasi menyulitkan, rezim iklim ini berjalan. Kita perlu mempercepat tindakan, karena kita masih sangat jauh dari target, yang seharusnya di bawah 1,5°C” kata Ani.
Dengan mengusung tema “The Future We Need,” Global Town Hall 2025 menghadirkan percakapan terbuka dan solutif antara pemikir, praktisi, dan pemimpin dunia. Forum ini bertujuan menjembatani dialog Timur-Barat dan Utara-Selatan, serta mengangkat suara masyarakat dan komunitas yang perlu ikut menentukan arah kebijakan nasional maupun multilateral.
“Masa depan yang kita butuhkan tidak dapat ditulis oleh beberapa orang saja, tetapi harus ditulis bersama oleh semua orang. Inilah mengapa kami percaya pada dialog daripada perpecahan, kooperasi daripada persaingan, dan kemanusiaan daripada kekuasaan,” kata Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim.
Dalam rangka tema besar Global Town Hall 2025, Dr. Dino Patti Djalal, Pendiri dan Ketua FPCI, menyampaikan ajakan tindakan yang kuat bagi komunitas global.
“Tatanan internasional berbasis aturan sedang kehilangan kredibilitas dan terancam runtuh. Jelas bahwa aturan-aturan tersebut tidak berlaku sama untuk semua negara, dan beberapa dikecualikan. Semangat Piagam PBB memudar, dan angin ‘siapa kuat dia yang benar’ juga menguat. Nasionalisme sedang bangkit, bukan nasionalisme yang tepat, tetapi nasionalisme yang tidak aman dan seringkali penuh amarah. Dan memang, kita melihat terlalu banyak nasionalisme dan kemanusiaan yang mengurang,” ujar Dino.
Dr. Dino juga menekankan peran warga dunia sebagai agen perubahan, la menekankan bahwa masa depan yang dibutuhkan setiap orang adalah milik warga dunia.
“Masa depan yang kita butuhkan hari ini ditujukan bagi warga dunia, teruntuk masyarakat umum, teruntuk warga yang berpikir, teruntuk akar rumput, di mana pun Anda berada. Bersuaralah, beri informasi, ajak berargumen, debat, tidak setuju, tantang, beri saran. Karena masa depan adalah milik kita dan generasi mendatang. Mari kita bayangkan masa depan yang kita butuhkan, mari kita miliki masa depan yang kita butuhkan, dan mari kita ciptakan masa depan yang kita butuhkan bersama,” tuturnya.
Mick Sheldrick, Co-Founder dan Chief Policy, Impact, and Government Relations Officer dari Global Citizen. la menuturkan percakapan hari ini memiliki satu tujuan-yakni mengubah ide menjadi dampak, dan pembicaraan menjadi tindakan.
“Selama Global Town Hall hari ini, Anda akan mendengar dari masyarakat sipil, bagaimana para advokat, juru kampanye, dan aktivis dapat bekerja sama untuk mendorong akuntabilitas, untuk memastikan bahwa warga negara memiliki hak suara dalam pengambilan keputusan terkait isu-isu yang berdampak pada mereka,” kata Mick.
“Itulah inti dari Global Citizen dan Global Town Hall. Kita memiliki kesempatan untuk membuat keputusan yang sadar apakah tindakan kita akan meninggalkan dampak positif bagi orang-orang di sekitar kita atau tidak. Saya percaya bahwa kita memiliki kemampuan yang lebih besar daripada generasi sebelumnya untuk memengaruhi kehidupan orang lain,” tambahnya.
Rangkaian Sesi Global Town Hall
• “Anticipating the Next World Order: What Should Remain, What Should Be Fixed, What Should Be Replaced” yang mengeksplorasi perubahan dalam arsitektur kekuatan global.
• “Civil Societies as a Force for Stability and Progress in an Increasingly Turbulent World” yang menyoroti peran aktor masyarakat sipil dalam menjaga demokrasi dan keadilan.
• “How to Make the AI Revolution Work for All: A North-South Debate” yang membahas bagaimana transformasi teknologi dapat dilakukan secara adil di berbagai kawasan.
• “Winning Humanity’s Greatest Battle: Building a Strategic North-South-East-West Grand Alliance for the Climate Future We Need” yang menekankan urgensi aksi iklim kolektif.
• Sesi Khusus 1: “Listen to Us: Messages for G20 Leaders from Civil Societies Around the World” yang mengangkat suara akar rumput kepada para pemimpin global.
• Sesi Khusus 2: “My Nationalism is Humanity: ‘We Are One’ is Better than ‘We’re Number One” yang mengimajinasikan kembali identitas dan solidaritas di tengah dunia yang terpolarisasi.
• Sesi Khusus 3: “Religions for Peace: Pushing Back Against the Rising Tide of Bigotry and Prejudice” yang berfokus pada kepemimpinan lintas agama dalam menanggulangi intoleransi.
