TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Seorang YouTuber Pakistan Rajab Butt ditangkap berdasarkan Undang-Undang (UU) Penistaan Agama dan kejahatan dunia maya di Pakistan pada 25 Maret 2025.
Dikutip dari Islam Khabar, Butt dituduh mengejek UU Penistaan Agama melalui peluncuran parfum.
Otoritas menganggap Rajab menimbulkan kegaduhan keagamaan.
“Insiden ini adalah contoh lain yang mengkhawatirkan tentang bagaimana tuduhan penistaan agama terus dijadikan senjata di Pakistan, yang sering kali menargetkan mereka yang mengekspresikan diri secara bebas di internet,” demikian dikutip dari Islam Khabar, Jumat (4/4/2025).
Rajab Butt, kreator konten YouTube terkenal dengan banyak pengikut, telah membangun branding dirinya.
Termasuk melalui satir, hiburan, dan komentar sosial.
Usaha terbarunya di dunia bisnis, dengan peluncuran lini parfum, dimaksudkan untuk memperluas pengaruhnya di luar konten digital.
Namun, pilihan merek dan pesan seputar produk tersebut dengan cepat menjadi kontroversial.
Para kritikus mengeklaim bahwa kampanye pemasaran parfum Rajab, memuat referensi terselubung terhadap undang-undang penistaan agama Pakistan.
Hal ini ditafsirkan sebagai upaya untuk mengejek sentimen keagamaan.
Menurut sebuah laporan yang diterbitkan di harian berbahasa Inggris terkemuka di Pakistan, Dawn, dalam sebuah video yang kini telah dihapus dari akun media sosialnya, Butt memperkenalkan parfumnya yang berjudul “295”, yang merujuk pada undang-undang penistaan agama Pakistan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kelompok agama dan ulama garis keras dengan cepat mengutuk tindakan Butt, dan pengaduan diajukan kepada pihak berwenang, yang mengarah pada pendaftaran kasus berdasarkan undang-undang penistaan agama dan kejahatan dunia maya Pakistan.
UU Penistaan Agama Pakistan Dianggap Alat Represi
Pakistan memiliki UU Penistaan Agama paling ketat di dunia.
Aturan itu dinilai sering digunakan sebagai alat, terutama untuk menekan perbedaan pendapat dan menargetkan individu atas perselisihan pribadi.
Berdasarkan kerangka hukum negara tersebut, tuduhan penistaan agama dapat dikenakan hukuman berat.
Termasuk, penjara seumur hidup dan hukuman mati.
Namun, dalam praktiknya, tuduhan belaka sering kali cukup untuk memicu kekerasan massa, pengucilan sosial, atau bahkan pembunuhan di luar hukum.
Dugaan penyalagunaan Undang-undang ini telah terdokumentasi dengan baik, dengan tuduhan yang sering kali diarahkan terhadap kelompok minoritas agama, jurnalis, aktivis, dan tokoh masyarakat yang menentang narasi konservatif yang berlaku.
Dalam kasus Rajab Butt, penerapan UU Kejahatan Dunia Maya bersamaan dengan tuduhan penistaan agama, menandakan tren yang berkembang. Khususnya, untuk menindak tegas para kreator konten digital.
Maraknya platform media sosial telah memberi orang-orang seperti Butt suara dan pengikut, tetapi juga telah menempatkan mereka dalam bidikan otoritas yang ingin mengendalikan wacana daring.
Ini bukan pertama kalinya seorang kreator konten digital di Pakistan menghadapi akibat hukum atas tuduhan penistaan agama.
Beberapa tahun terakhir, beberapa YouTuber, influencer TikTok, dan bahkan jurnalis telah menjadi sasaran karena konten mereka.
Kasus terhadap Rajab Butt menyoroti meningkatnya kerentanan mereka yang beroperasi di ruang digital Pakistan.
Bagi banyak YouTuber, satir dan komentar adalah alat penting untuk mengkritik masyarakat dan memicu diskusi tentang isu-isu penting.
Namun, di negara tempat tuduhan penistaan agama dapat mengancam jiwa, bahkan satir yang paling ringan pun dapat menyebabkan konsekuensi serius. Ketakutan akan penganiayaan menciptakan lingkungan yang menyensor diri sendiri, yang menghambat kreativitas dan menghambat dialog yang bermakna tentang isu-isu yang mendesak.
Protes Global terhadap UU Penistaan Agama Pakistan
Penggunaan UU Penistaan Agama di Pakistan telah dikecam secara luas oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia internasional.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia seperti Amnesty International dan Human Rights Watch telah berulang kali menyerukan reformasi hukum untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan bahwa individu-individu yang dituduh melakukan penistaan agama menerima proses hukum yang semestinya.
Kasus terhadap Rajab Butt diperkirakan akan menarik perhatian internasional lebih lanjut, khususnya dari organisasi-organisasi yang mengadvokasi kebebasan berbicara dan hak-hak digital.
Lalu muncul pertanyaan: bagaimana Pakistan menyeimbangkan kepekaan agama dengan hak fundamental untuk kebebasan berekspresi?
Meskipun para pemimpin negara sering berjanji untuk mengekang penyalahgunaan undang-undang penistaan agama, hanya sedikit yang berubah di lapangan.
Sebaliknya, kerangka hukum terus memungkinkan penganiayaan terhadap mereka yang menyimpang dari norma-norma agama konservatif, baik mereka aktivis, seniman, atau kreator konten digital seperti Rajab Butt.
Kasus yang sedang berlangsung terhadap Rajab Butt menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk mereformasi undang-undang penistaan agama dan kejahatan dunia maya Pakistan.
Meskipun agama memegang tempat sentral dalam masyarakat Pakistan, kerangka hukumnya harus berkembang untuk melindungi individu dari tuduhan sewenang-wenang yang membahayakan hidup dan kebebasan mereka.
Kasus terhadap Butt adalah pengingat yang jelas tentang keadaan kebebasan berekspresi yang rapuh di Pakistan.
Dalam dunia yang berkembang dengan cepat, negara ini menghadapi pilihan: merangkul pendekatan yang lebih terbuka dan toleran terhadap wacana atau terus menempuh jalan di mana hukum digunakan sebagai senjata terhadap mereka yang berani berbicara dengan bebas.
Jika tidak ditangani, insiden semacam itu tidak hanya akan merusak reputasi global Pakistan tetapi juga menghambat kreativitas dan inovasi yang seharusnya dikembangkan oleh platform digital.
Seiring dengan terungkapnya kasus ini, satu hal yang tetap jelas—sistem hukum Pakistan harus berkembang untuk melindungi warganya dari penganiayaan sewenang-wenang dan memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak dikorbankan atas nama ortodoksi agama.
Nasib Rajab Butt bukan hanya tentang seorang YouTuber; tapi tentang masa depan kebebasan digital di Pakistan.
