Menariknya lagi, Ce Hun Tiau juga menggambarkan bagaimana masyarakat Pontianak mampu menjaga warisan kuliner dengan cara yang sangat alami dan membumi. Tidak banyak perubahan yang dilakukan terhadap resep asli dari minuman ini, bahkan di tengah maraknya inovasi minuman kekinian.
Meski sekarang ada beberapa penjual yang mencoba menambahkan topping seperti nata de coco, selasih, atau susu evaporasi demi menarik minat generasi muda, inti dari Ce Hun Tiau tetap dipertahankan rasa manis-gurih yang berasal dari perpaduan santan dan gula, tekstur beragam yang memberikan sensasi mengunyah yang kompleks, dan tentunya kesegaran maksimal dari es serut yang melimpah.
Minuman ini umumnya disajikan dalam mangkuk besar atau gelas tinggi, dan sering kali dinikmati sebagai pencuci mulut setelah makan siang atau sekadar cemilan sore hari.
Dalam berbagai festival atau perayaan budaya Tionghoa di Pontianak seperti Cap Go Meh atau Imlek, Ce Hun Tiau seringkali disajikan sebagai hidangan pelengkap, menunjukkan betapa dalamnya keterkaitan antara makanan, tradisi, dan identitas dalam kehidupan masyarakat lokal.
Ketika seseorang menikmati Ce Hun Tiau, ia tidak hanya menikmati sensasi segar dan rasa manis yang menggoda, tetapi juga sedang meneguk jejak-jejak akulturasi budaya yang telah berlangsung selama ratusan tahun di tanah Borneo ini.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya minuman ini terus dijaga, dikenalkan lebih luas, dan diapresiasi sebagai bagian dari kekayaan kuliner Indonesia yang tak ternilai.
Ce Hun Tiau bukan hanya minuman, melainkan cerita hidup yang dibekukan dalam es, dilarutkan dalam santan, dan dituturkan dalam setiap sendok yang disantap dengan rasa penuh cinta terhadap tradisi dan warisan leluhur.
Penulis: Belvana Fasya Saad
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4789715/original/031684700_1711867224-WhatsApp_Image_2024-03-31_at_13.32.22_e3c56adc.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)