Event: Zakat Fitrah

  • Pantas Warga Antri dari Sore, Jemaah Salat Tarawih di Masjid Pejabat Dapat Amplop Isi Rp300 Ribu

    Pantas Warga Antri dari Sore, Jemaah Salat Tarawih di Masjid Pejabat Dapat Amplop Isi Rp300 Ribu

    TRIBUNJATIM.COM – Kegiatan salat tarawih di Sumenep, Jawa Timur, viral di media sosial.

    Bagaimana tidak, setiap jemaah yang datang mendapat amplop berisi uang Rp 300 ribu.

    Bahkan warga rela antre demi dapat amplop tersebut.

    Diketahui, video jemaah tarawih mendapat uang Rp300 ribu ini viral setelah diunggah akun Tiktok @Jajanantwins pada Minggu (2/3/2025).

    Tampak dalam video tersebut, seorang ibu-ibu dengan mukena biru muda membagikan amplop kepada jemaah wanita.

    Amplop tersebut berwarna putih dan ukurannya cukup besar.

    “Ubur-ubur ikan lele Nyata 300 leee,” tulis pengunggah di dalam video.

    Dari keterangan pengunggah, aksi bagi-bagi uang ini dilakukan di Masjid Naqsyabandi milik Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah.

    Tepatnya di Pajagalan, Kecamatan Kota Sumenep, Kabupaten Sumenep.

    Sedangkan dalam video yang diunggah di akun TikTok @fauzidiluartv pada Sabtu (1/3/2025), tampak ratusan jemaah memadati lokasi salat tarawih pertama.

    Tepatnya di Masjid Wakaf Abdullah, Kepanjin, Sumenep.

    Bahkan para jemaah sampai salat di jalan raya.

    Polisi pun sampai turun tangan untuk mengamankan.

    Warga bahkan rela datang pukul 17.00 WIB agar bisa mendapatkan tempat.

    TARAWIH DAPAT UANG – Tangkapan layar unggahan akun TikTok @Jajanantwins pada Senin (3/3/2025). Jemaah tarawih di Sumenep dapat amplop berisi Rp300 ribu. (TikTok/jajanantwins)

    Dilansir dari sejumlah sumber via Tribun Jateng, pembagian zakat mal ini rutin dilakukan oleh Said Abdullah setiap tahun.

    Pada hari pertama puasa, Said Abdullah membagikan 15.000 amplop kepada masyarakat.

    Namun tradisi bagi-bagi zakat mal ini hanya dilakukan di awal Ramadan saja, dan tidak setiap hari.

    Said Abdullah anggota DPR RI yang sudah menjabat selama lima kali dan kelahiran Sumenep, Madura.

    Sementara itu di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ada salah satu masjid yang menggelar salat tarawih kilat.

    23 rakaat salat tarawih plus witir di masjid Ponpes Al-Quraniyah biasa dikerjakan hanya dalam 7 menit.

    Pada masa pandemi Covid-19, salat tarawih bahkan lebih cepat lagi menjadi hanya 6 menit saja.

    Adapun salat tarawih 7 menit ini dilakukan di masjid Ponpes Al-Qur’aniyah, Desa Dukuhjati, Kecamatan Krangkeng.

    Karena pengerjaannya yang super kilat, salat tarawih kilat di Ponpes Al-Qur’aniyah ini selalu menjadi sorotan setiap tahun.

    Hanya saja, pada Ramadan 2025 sekarang ini, salat tarawih kilat tersebut ditiadakan. 

    Alasannya karena pengasuh Ponpes Al-Qur’aniyah, KH Azun Mauzun, yang biasa menjadi imam salat tarawih, usianya tidak muda lagi.

    Selain itu, tidak ada pengganti yang sanggup menggantikan KH Azun Mauzun.

    “Ini karena kondisi, sedangkan kita cari penggantinya tidak ada,” ujar KH Azun Mauzun kepada Tribun Cirebon, Minggu (2/3/2025).

    Sedangkan terkait ditiadakan salat tarawih super kilat pada Ramadan tahun 2025 ini, diketahui bukan kali pertama.

    Sebelumnya pada tahun 2022, juga sempat ditiadakan. 

    Saat itu pihak ponpes menindaklanjuti imbauan dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Indramayu untuk meniadakan tarawih.

    Azun juga tidak memungkiri, kala itu jumlah jemaah yang datang ke masjid untuk salat tarawih sedikit berkurang dari biasanya.

    “Kita sempat istirahat satu tahun. Ternyata banyak masyarakat yang minta agar kembali diadakan,” ujar dia.

    Pelaksanaan salat tarawih kilat di Pondok Pesantren Al-Quraniyah Desa Dukuhjati, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Senin (12/4/2021). (Tribun Jabar/Handhika Rahman)

    Berbeda dengan sebelumnya, alasan ditiadakan salat tarawih kilat di tahun 2025 lebih karena faktor usia KH Azun Mauzun yang bertindak sebagai imam, kini sudah tidak lagi muda.

    Selain itu, karena tidak adanya penerus untuk menggantikannya menjadi imam.

    Kini salat tarawih di Ponpes Al-Quraniyah dilaksanakan normal seperti masjid-masjid pada umumnya. 

    Namun dengan durasi yang masih cepat walau tidak secepat sebelumnya, yakni antara 12-15 menit saja.

    Azun sendiri bersyukur, pasalnya jemaah yang datang untuk salat tarawih masih banyak walau tidak sekilat sebelumnya.

    Mereka tetap semangat untuk datang ke masjid menunaikan ibadah yang hanya ada di bulan Ramadan tersebut.

    “Kami meminta kepada para jamaah tetap jalani ibadah seperti sedia kala, seperti sebelumnya.”

    “Jangan terpengaruh pada salat tarawih yang sudah dilaksanakan berpuluh-puluh tahun, tapi kini tidak ada,” ujar dia.

    Diketahui, salat tarawih kilat di Ponpes Al-Qur’aniyah sendiri sudah menjadi tradisi yang rutin dilakukan setiap tahun.

    Awal mula salat tarawih kilat ini digelar sekitar tahun 2006 silam.

    Tarawih kilat di Ponpes Al-Quraniyah, Desa Dukuhjati, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, juga diikuti warga sekitar pesantren yang merupakan laki-laki.

    Hampir seluruh warga khususnya anak muda, memilih mengikuti salat tarawih kilat.

    Ini sesuai dengan permintaan mereka yang ingin pelaksanaan salat tarawih berlangsung cepat.

    Hal itu pun sejalan dengan tujuan dari pihak ponpes sendiri.

    Mereka akhirnya memutuskan salat tarawih kilat karena ingin merangkul anak muda agar mau berangkat ke masjid.

    Sebelumnya diberitakan, Azun Mauzun bercerita soal kebiasaan anak muda di sekitar lingkungan pesantren yang hobi menghabiskan waktu dengan nongkrong.

    Mereka bermain gitar, bahkan konvoi motor.

    Hal itu mengganggu jemaah lainnya yang tengah melaksanakan salat tarawih.

    Sebagian lagi sibuk dengan urusan duniawi, seperti berdagang dan lain sebagainya, sehingga mengesampingkan berangkat ke masjid untuk salat tarawih.

    “Ini alasannya karena permintaan dari anak-anak muda itu sendiri, kalau tidak cepat, mereka tidak mau tarawih,” ujarnya.

    TARAWIH KILAT MENGHILANG – Salat tarawih kilat di Pondok Pesantren Al-Quraniyah Desa Dukuhjati, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Selasa (12/3/2024) malam. Tarawih super kilat 7 menit di Indramayu kini tak lagi digelar mulai Ramadan 2025. (TribunCirebon.com/Handhika Rahman)

    Azun Mauzun sendiri tidak memungkiri, sejak Ponpes Al-Quraniyah menggelar salat tarawih kilat, jumlah jemaah yang datang terus bertambah.

    Bahkan tidak sedikit warga dari luar kampung yang juga ingin merasakan salat tarawih kilat di sana.

    Dalam hal ini, Azun Mauzun yang sekaligus imam salat tarawih kilat meyakini bahwa salat tarawih kilat yang dilakukan di ponpesnya tersebut sah.

    Meski cepat, tapi yang terpenting pelaksanaan salat tarawih sudah sesuai dengan syarat dan rukunnya salat. 

    Setiap bacaan salatnya, yakni biasa menggunakan surat pendek.

    Sebagai informasi, salat tarawih menjadi salah satu ibadah yang dilaksanakan umat musim saat bulan Ramadan.

    Ibadah tersebut dilaksanakan seusai salat Isya.

    Masyarakat pada umumnya bisa mengerjakan salat tarawih secara berjamaah di masjid.

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di Googlenews TribunJatim.com

  • Mensos Gus Ipul: Mewujudkan Kesalehan Sosial Menuju Muslim Kuat – Page 3

    Mensos Gus Ipul: Mewujudkan Kesalehan Sosial Menuju Muslim Kuat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Di bulan suci Ramadan penuh berkah ini, Menteri Sosial, Saifullah Yusuf atau yang akrab disapa Gus Ipul mengajak kaum muslimin dari berbagai kalangan untuk saling berbagi kebaikan dan kebahagiaan, salah satunya dengan mengeluarkan hartanya untuk membayar zakat fitrah.

    Mensos mengatakan perkhidmatan dengan harta di dalam Islam merupakan salah satu rukun Islam yaitu mengeluarkan zakat. “Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan ciri-ciri orang taqwa, selalu menyebut perihal zakat atau infaq di jalan Allah sebagai salah satu tandanya,” ujarnya. 

    Berikut paparan lengkap oleh Mensos Gus Ipul;

    Di dalam Alquran khidmat sering disebut dengan istilah jihad dan dilakukan dengan dua hal ; “bi amwalikum wa anfusikum”, dengan harta dan jiwa kalian.

    وَّجَاهِدُوۡا بِاَمۡوَالِكُمۡ وَاَنۡفُسِكُمۡ فِىۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ‌ ؕ ذٰ لِكُمۡ خَيۡرٌ لَّـكُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

    “…dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS: At-Taubah:41).

    Dalam konteks ini, Alquran selalu menyebutkan kata “amwalikum” (hartamu) sebelum “anfusikum” (jiwamu). Alquran mengajari kita untuk berkhidmat dengan harta sebelum dengan jiwa.

    Tidak sedikit di antara kita yang sering rela mengorbankan nyawa tetapi tidak rela mengorbankan hartanya. Kita kerap mengorbankan kesehatan, tubuh bahkan jiwa, demi harta.

    Karena itu perkhidmatan dengan harta di dalam Islam, lebih didahulukan daripada perkhidmatan dengan jiwa. Perkhidmatan dengan harta yang merupakan salah satu rukun Islam adalah mengeluarkan zakat.

    Ayat-ayat Alquran yang menjelaskan ciri-ciri orang taqwa, selalu menyebut perihal zakat atau infaq di jalan Allah sebagai salah satu tandanya. Awal surah menyebutkan ciri-ciri orang taqwa sebagai orang yang mengimani yang ghaib, menegakkan salat mengeluarkan infaq dan mengimani kitab-kitab terdahulu.

    Ada banyak nama untuk bulan Ramadan. Selain yang telah banyak disebutkan, Nabi Muhammad SAW juga menyebutnya sebagai “bulan kesabaran, bulan ampunan, dan Bulan Berbagi” atau (Syahrul Muwaasaat). Pada bulan ini, orang kaya bukan saja harus berbagi kekayaan dengan orang miskin. Ia juga harus ikut berempati dengan penderitaan mereka. Orang beruntung harus berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang malang.

    Tuhan berfirman, “Puasa itu hanya untuk Aku.” Puasa disembahkan hanya untuk Tuhan. Tidak ada persembahan yang paling agung selain perkhidmatan kepada makhluk-Nya. Mencintai Tuhan, hanya dapat dilakukan dengan mencintai sesama manusia. Karena itu, amal yang paling dicintai Tuhan pada “Bulan Berbagi”, bukanlah saja ibadah ritual yang bersifat individual, tetapi ibadah yang membagikan kebahagiaan kepada orang banyak. Islam mendorong pemeluknya untuk juga saleh secara sosial.

    Kerja-kerja sosial harus selalu berpedoman kepada landasan-landasan filosofis tersebut. Kelompok sasaran yang kita sering sebut dalam dua belas klaster (terangkum dalam 12 PAS), dapat menjelaskan kelompok masyarakat yang berhak memperoleh perlindungan negara. Hak-hak mereka dijamin oleh konstitusi. Lebih-lebih dalam usaha membantu memberdayakan mereka agar mampu berpindah dari kondisi yang menghimpit menuju kehidupan yang lebih mandiri dan bahagia.

    Dalam klaster terkait perlindungan, rehabilitasi dan pemberdayaan anak-anak bermasalah, misalnya, kita juga punya sandaran keagamaan. Bahwa, kita mesti memberi perhatian sungguh-sungguh kepada mereka. Sebab, Tuhan jauh-jauh hari mengingatkan bahwa anak bermasalah akan menjadi persoalan serius dalam proses penyiapan generasi yang tangguh, jika tidak segera ditangani.

    وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا﴾

    [ النساء: 9]

    “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” [Nisa: 9]

    Kesadaran keagamaan penting bagi kita yang dikenal religius, ajaran bahwa orang beriman yang kuat lebih Tuhan sukai dari pada yang lemah, harus dijadikan kesadaran bersama.

    اَلْـمُؤْمِنُ الْقَـوِيُّ خَـيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَـى اللهِ مِنَ الْـمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِـيْ كُـلٍّ خَـيْـرٌ

    “Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan.” (Al Hadis). Artinya juga, orang yang disukai Allah adalah mereka yang dengan kesadaran, berkenan suka rela mau meninggalkan situasi “menerima” untuk menjadi “pemberi”.

    Oleh sebab itu, di ujung bulan Ramadan, sebelum salat Idul Fitri, semua kaum muslimin, kaya atau miskin, sakit atau sehat, laki-laki dan perempuan, berkebutuhan khusus atas tidak, terpencil atau tidak, bahkan yang masih baru lahir, diwajibkan mengeluarkan hartanya untuk membayar zakat fitrah. Ibadah dan kewajiban membayar zakat fitrah, menunjukkan betapa semua umat Islam wajib hukumnya memberdayakan diri, meski cuma dengan sekian liter beras.

     

    (*)

  • Puasa Makin Berkah, Begini Cara Atur Uang Agar Bisa Bersedekah Maksimal

    Puasa Makin Berkah, Begini Cara Atur Uang Agar Bisa Bersedekah Maksimal

    Jakarta: Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan dahaga, tapi juga menjadi momen terbaik untuk meningkatkan ibadah, termasuk berbagi dengan sesama. 
     
    Mulai dari zakat, infaq, sedekah, hingga memberi buka puasa gratis, semuanya memiliki nilai pahala yang luar biasa.
     
    Namun, bagaimana caranya agar bisa berbagi lebih banyak tanpa mengganggu anggaran kebutuhan sehari-hari? Jangan khawatir! Dengan pengelolaan keuangan yang tepat, kamu bisa tetap berderma tanpa membuat dompet menangis.
     

    Berikut beberapa tips yang dirangkum dari laman Bank Muamalat:

    1. Sisihkan sedekah harian sejak awal Ramadan
    Jangan menunggu hingga akhir bulan untuk bersedekah! Cobalah menyisihkan sedikit dari penghasilan harian atau mingguan, misalnya Rp10.000-Rp50.000 per hari. 

    Kalau dikumpulkan selama 30 hari, jumlahnya bisa cukup besar untuk membantu banyak orang. Agar lebih mudah, manfaatkan fitur auto-debit di e-wallet atau rekening bank untuk mengalokasikan dana sedekah secara otomatis ke lembaga amal atau masjid.

    2. Zakat jangan ditunda, sesuaikan dengan penghasilan
    Zakat fitrah adalah kewajiban yang harus dikeluarkan sebelum Idulfitri. Besarannya sekitar 2,5 kg beras atau setara dengan uang tunai Rp40.000 – Rp50.000 per orang.
     
    Selain zakat fitrah, jangan lupa zakat maal (harta) jika penghasilanmu sudah mencapai nisab (batas wajib zakat). Hitung dengan cermat agar tetap sesuai dengan kemampuan finansialmu.
     

    3. Berbagi takjil dan buka puasa gratis? Bisa, asal direncanakan!
    Memberi makanan berbuka puasa bagi orang yang berpuasa bisa menjadi ladang pahala besar. Tapi, jangan sampai semangat berbagi malah membuat pengeluaran jadi berantakan.
     
    Jika ingin membagikan takjil, buat anggaran khusus. Misalnya, dengan budget Rp20.000 per hari, kamu bisa berbagi 5-10 bungkus takjil sederhana.
    Mau lebih hemat? Patungan dengan teman atau keluarga untuk membeli bahan makanan dalam jumlah besar dan memasaknya sendiri.
    4. Manfaatkan cashback dan promo Ramadan untuk berbagi
    Banyak marketplace dan e-wallet menawarkan cashback atau diskon khusus selama Ramadan. Gunakan promo ini untuk membeli bahan makanan, takjil, atau barang donasi dengan harga lebih murah.
     
    Sebagai contoh, beberapa platform e-commerce menyediakan program donasi digital dengan nominal mulai dari Rp5.000. Dengan promo dan cashback, kamu bisa berbagi lebih banyak tanpa menambah anggaran.
     
    Dengan strategi keuangan yang tepat, kamu bisa tetap berbagi selama Ramadan tanpa mengganggu kestabilan finansialmu. 
     
    Ingat, tidak perlu menunggu kaya untuk bersedekah yang terpenting adalah niat dan konsistensi. Jadi, sudah siap menebar kebaikan di bulan penuh berkah ini?
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Ramadan Bukan Sekadar Puasa: Kurikulum Langit untuk Umat Manusia

    Ramadan Bukan Sekadar Puasa: Kurikulum Langit untuk Umat Manusia

    Bulan suci Ramadan kembali menghampiri kita, namun tidak ada jaminan kita akan bertemu dengannya lagi di masa mendatang. Keagungan bulan ini hadir di depan mata, disambut oleh beragam tipe manusia dengan cara yang berbeda-beda.

    Ada yang menyambutnya dengan penuh suka cita dan persiapan matang, sementara yang lain mungkin hanya menjalaninya dengan rutinitas biasa tanpa makna yang mendalam. Setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyambut kedatangan bulan penuh berkah ini.

    Pertama, ada orang yang menyambut Ramadan dengan sikap biasa-biasa saja. Bagi mereka, Ramadan hanyalah rutinitas tahunan yang tidak membawa perubahan berarti. Kehadiran bulan yang mulia ini tidak memberikan pengaruh apa pun, kecuali kewajiban untuk berpuasa menahan lapar dan dahaga. 

    Bagi orang seperti ini, Ramadan berlalu tanpa meninggalkan makna atau bekas dalam hidupnya. Ia melewatkannya begitu saja, tanpa merasakan keistimewaan atau transformasi spiritual.

    Kedua, ada orang yang menyambut Ramadan dengan sikap sinis. Mereka merasa terbebani dengan datangnya bulan suci ini. Ibadah terasa berat, dan puasa dianggap sebagai beban. 

    Bagi mereka, Ramadan adalah masa yang menyebalkan karena harus menahan diri dari kebiasaan makan dan berbuat sesuka hati. Mereka bahkan menganggap kedatangan Ramadan sebagai musibah yang mengganggu kenyamanan hidup. Naudzubillah min dzalik, semoga kita dijauhkan dari sikap seperti ini.

    Ketiga, ada orang yang menyambut Ramadan dengan penuh antusiasme dan kegembiraan. Mereka merasa istimewa dan bersemangat menyambut bulan penuh berkah ini. 

    Namun, dalam kelompok ini, terdapat dua golongan. Pertama, golongan yang bersemangat tetapi hanya fokus pada aspek lahiriah, seperti berbuka puasa dengan makanan mewah atau mengikuti tradisi tanpa memahami makna spiritual yang mendalam. Kedua, golongan yang bersemangat dengan mempersiapkan diri secara lahir dan batin, meningkatkan ibadah, memperbaiki diri, dan merenungkan makna Ramadan sebagai momentum untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

    Dua golongan ini menunjukkan bahwa antusiasme dalam menyambut Ramadan bisa memiliki makna yang berbeda, tergantung pada niat dan pemahaman masing-masing individu.

    Kita termasuk dalam golongan yang mana? Semoga kita menjadi bagian dari mereka yang menyambut bulan Ramadan dengan penuh semangat, didasari oleh keimanan dan pemahaman yang mendalam. Semoga pula kita mampu mengisi Ramadan kali ini dengan memperbanyak amal kebaikan, baik dalam hubungan kita dengan Allah (hablumminallah) maupun dalam hubungan kita dengan sesama manusia (hablumminannas).

    Ayat-ayat yang membahas tentang puasa Ramadan sebenarnya turun bukan di bulan Ramadan, melainkan di bulan Syakban, tepatnya pada tahun kedua hijriah. Kita menyebutnya sebagai “ayat-ayat paket puasa”, karena sering kali umat Islam hanya fokus pada ayat (183) surah al-Baqarah ketika membicarakan puasa Ramadan.

    Padahal, kurikulum Ramadan itu mencakup satu paket lengkap, mulai dari ayat (183) hingga ayat (187) surah al-Baqarah.

    Pembahasan mengenai kurikulum ini masih relevan hingga saat ini dan sejalan dengan petunjuk atau sunah Nabi Muhammad SAW, baik dari sisi historis maupun persiapan spiritual. Para ulama menjelaskan bahwa ayat-ayat tentang puasa diturunkan pada bulan Syakban, satu bulan sebelum Ramadan, agar Nabi memiliki waktu yang cukup untuk menjelaskan berbagai aspek penting terkait puasa. 

    Baik itu mengenai keutamaan, tata cara pelaksanaan, maupun persiapan yang diperlukan agar umat Islam dapat menjalankan ibadah Ramadan dengan sempurna sesuai dengan kehendak Allah.

    Dengan adanya pendidikan pra-Ramadan yang langsung diberikan oleh Nabi, pendidikan yang bersumber dari tuntunan kenabian umat Islam, baik yang hidup di masa itu maupun generasi setelahnya hingga kini, diharapkan dapat mempersiapkan diri secara lahir dan batin. 

    Dengan hati yang lapang dan kesiapan penuh, mereka akan lebih mudah menerima serta menjalankan setiap perintah Allah di bulan Ramadan, sehingga dapat mencapai kualitas ibadah yang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya.

    Nantinya, kita akan membahas lebih dalam apa yang Allah inginkan melalui Ramadan. Dengan adanya pendidikan pra-Ramadan ini, yang langsung diajarkan oleh Nabi SAW, diharapkan seluruh umat Islam, baik pada masa itu maupun yang terus berlanjut hingga sekarang, memiliki kelapangan hati dan kesiapan untuk menerima segala perintah yang diberikan selama Ramadan. 

    Dengan persiapan yang matang ini, diharapkan kita dapat mencapai kualitas Ramadan yang diinginkan oleh Allah Swt.

    Dalam bahasa Arab, seseorang yang memiliki kelapangan hati sehingga siap menerima dan menyambut apa pun dengan baik disebut dengan istilah marhaban, yang berasal dari kata rahiba yarhabu. 

    Ketika orang Arab mengucapkan “marhaban ya Akhi” kepada seorang tamu, itu berarti mereka menyambutnya dengan penuh kehangatan, seolah ingin mengatakan, “Saya benar-benar menerima Anda dengan lapang dada.” 

    Ungkapan ini juga sering diiringi dengan frasa “nazaltu ahlan wahalaltum sahlan”, yang kemudian disingkat menjadi “ahlan wa sahlan”. Ungkapan ini menggambarkan keramahan dan keterbukaan dalam menerima tamu, di mana tamu dipersilakan untuk merasa nyaman dan diperlakukan dengan baik, baik dalam hal tempat duduk, makanan, maupun hal lainnya.

    Tarhib itu asalnya usaha untuk melapangkan hati seluas-luasnya. Sehingga siap menerima dan menyambut apa pun yang dihadapi kemudian. Jika tarhib ini dilekatkan dengan Ramadan maka memberikan kesan upaya untuk melapangkan keadaan hati dan jiwa. Sehingga, ketika Ramadan datang sebagai tamu istimewa itu apa pun yang diperintahkan siap untuk dilakukan. Itu gambarannya. 

    Materi tarhib Nabi Muhammad SAW yang pernah beliau sampaikan kepada sahabatnya yang menjadi kurikulum untuk diwariskan, setidaknya mendekati kualitas para sahabat-sahabat ataupun tabiin di era itu yang bisa kita capai di masa-masa yang berbeda.

    Tarhib, dalam esensinya, adalah seni melapangkan hati dan jiwa seluas-luasnya, bagaikan membersihkan ruang tamu sebelum kedatangan tamu agung. Jika tarhib dikaitkan dengan Ramadan, maka maknanya menjadi lebih mendalam, ia adalah persiapan batin agar ketika bulan suci tiba, kita tidak sekadar menjadi tuan rumah yang kikuk, tetapi benar-benar siap menyambutnya dengan penuh antusiasme dan kesiapan menjalankan segala perintah Allah.

    Mari kita mengulik kurikulum tarhib ala Nabi SAW. Apa yang beliau ajarkan kepada para sahabat sehingga mereka bisa menyambut Ramadan dengan kesiapan yang luar biasa? Jika kita bisa mengadopsi warisan ini, setidaknya kita bisa mendekati walaupun mungkin tidak menyamai kualitas keimanan para sahabat dan tabi’in. Tentu, mereka punya level “high-class iman,” sedangkan kita masih di level “cicilan bertahap,” tetapi tak ada salahnya berusaha, bukan?

    Kata tarhib secara bahasa berasal dari usaha untuk melapangkan hati seluas-luasnya, sehingga seseorang siap menerima dan menyambut segala sesuatu yang dihadapinya. Ketika istilah tarhib dikaitkan dengan bulan Ramadan, hal ini memberikan makna bahwa seseorang berupaya melapangkan hati dan jiwanya, agar saat Ramadan tiba sebagai tamu istimewa, ia siap menjalankan segala perintah dengan penuh keikhlasan.

    Lalu, bagaimana bentuk tarhib yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya? Materi tarhib yang beliau sampaikan menjadi sebuah kurikulum yang diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga umat Islam dapat meneladani semangat para sahabat dan tabiin di masa itu. 

    Dengan memahami dan mengamalkan warisan ini, diharapkan kita dapat mendekati kualitas spiritual mereka, meskipun hidup dalam zaman yang berbeda.

    Penting diketahui bahwa goal dari Ramadan itu ada tiga. Seseorang disebut berhasil melewati pendidikan Ramadan, setidaknya ia bisa mendapatkan tiga goal yang diharapkan, yang langsung Allah tuangkan dalam Al-Qur’an.

    Pertama, yang dinamakan dengan peningkatan ketakwaan personal. Ada di surah al-Baqarah ayat (183). Jadi Ramadan didesain oleh Allah sebagai waktu ibadah, dengan harapan supaya setiap Muslim terbentuk karakter dengan tingkat ketakwaan personal yang tinggi, seperti termaktub dalam surah al-Baqarah ayat (183). 

    ﯾَﺄَُّيهﺎٱَِّذل-َﻦَءاَﻣُﻨﻮ۟اُﻛِﺘَﺐَﻋَﻠْﻴُُكمٱﻟِّﺼَﻴﺎُمََامكُﻛِﺘَﺐَﻋَلىٱَِّذل-َﻦِﻣﻦَﻗْﺒِﻠُْكمَﻟَﻌَّﻠُْكمَﺗَّﺘُﻘﻮَن

    Ketika menunjuk tattaqun itu menggunakan kata kerja kedua. Allah mengkhitab kita personal. “Aku siapkan puasa ini untuk kalian menjadi personal yang bertakwa.”

    Ramadan juga disiapkan oleh Allah, untuk membentuk ketakwaan sosial, jadi bukan sekedar secara pribadi menjadi lebih baik, tetapi ternyata kebaikan personal ini baru punya nilai optimal dalam pandangan Al-Qur’an jika auranya sudah mampu ditebarkan ke lingkungannya. 

    Karena itu puasa tidak biasa desainnya. Puasa, secara bersamaan, akan melatih untuk berinteraksi secara sosial dan mengoptimalkan semua karakter sosial kita. Sehingga goal-nya akan terlihat, bukan hanya memiliki hubungan baik dengan Allah, tetapi juga dengan manusianya. Jadi kalau dengan Allah-nya baik dengan manusianya tidak baik, belum sempurna Ramadannya.

    Ketakwaan personal, ketakwaan sosial ada di ayat (187) dan karakter syukurnya berada di ayat (185).

    Bulan Ramadan bukan bulan yang biasa. Puasanya pun bukan puasa biasa kalau kita kerjakan dengan benar.

    Pertama, dari semua sudut pandang baik terkait pahalanya, keutamaannya itu akan mengalahkan puasa-puasa yang pernah dikerjakan sebelumnya tidak ada tandingannya. Jika diurutkan dari segi turunnya ayat, salah satu keutamaan puasa Ramadan adalah untuk memuliakan umatnya Nabi Muhammad SAW lewat rasulnya. 

    Seperti yang pernah disampaikan Allah kepada Muhammad, bahwa puasa yang dikerjakan umatnya lebih unggul dibandingkan dengan umat sebelumnya yang pernah menjalankan puasa.

    Jadi berbahagialah umat Nabi Muhammad SAW yang mendekat kepada Ramadan, karena di dalamnya ada keutamaan-keutamaan yang mengalahkan semua jenis puasa yang pernah berlaku di masa lampau.

    Diceritakan pada zaman Nabi Zulkarnain alaihissalam bersama dengan pasukannya, ketika berjalan di malam yang gelap gulita. Lalu Nabi Zulkarnain as memberi perintah kepada seluruh pasukannya. “Apa pun yang tersangkut atau yang tersandung di kaki kalian, kalian ambil dan kumpulkan.”

    Ketika mendengar perintah tersebut, ada beberapa reaksi dari pasukannya. Kelompok pertama berkata, “Perjalanan kita sudah sangat jauh dan melelahkan. Mengambil sesuatu yang tersandung di kaki hanya akan menjadi beban yang sia-sia.” Dengan pemikiran itu, mereka pun tidak mengumpulkan apa pun sepanjang perjalanan.

    Sementara itu, kelompok kedua memilih untuk menaati perintah Nabi Zulkarnain alaihissalam dengan sikap yang lebih moderat. Mereka berpikir, “Setidaknya ambillah sedikit dari apa yang mengganjal di kaki kita, siapa tahu ada manfaatnya.”

    Adapun kelompok ketiga memiliki keyakinan penuh pada perintah pemimpin mereka. Mereka berkata, “Jika ini adalah perintahnya, pasti ada hikmah di baliknya, meskipun kita belum memahaminya sekarang.” Dengan keyakinan itu, mereka mengumpulkan setiap benda yang tersangkut atau tersandung di kaki mereka.

    Ketika mereka tiba di tujuan dan cahaya siang mulai menyinari, mereka dikejutkan oleh apa yang mereka temukan. Ternyata, benda-benda yang mereka kumpulkan sepanjang perjalanan adalah emas yang berharga! Saat itu, muncul penyesalan di antara mereka, terutama bagi mereka yang tidak mengumpulkan apa pun atau hanya mengambil sedikit. Mereka akhirnya menyadari bahwa apa yang tampak sepele dan merepotkan di perjalanan, sebenarnya adalah harta yang luar biasa nilainya.

    Kelompok pertama menyesali keputusan mereka. “Seandainya saja kita mengambil setidaknya satu saja dari benda yang tersandung di kaki kita, pasti kita tidak akan menyesal sedalam ini.”

    Kelompok kedua yang hanya mengambil sedikit pun merasakan hal yang sama. “Andai saja kita lebih banyak mengumpulkan dan memenuhi kantong kita, tentu hasilnya akan jauh lebih besar, dan kita tidak akan merasa sekecewa ini.”

    Sementara itu, kelompok ketiga yang telah taat dan mengambil semampunya juga merasa ada yang kurang. “Jika saja kita mengganti isi karung kita dengan benda-benda berharga yang kita temukan tadi malam, tentu hasilnya akan jauh lebih banyak dari yang kita dapatkan sekarang.”

    Begitulah akhirnya setiap kelompok tenggelam dalam penyesalan. Gambaran ini menyerupai keadaan di akhirat kelak ada yang menyesal, dan ada yang paling menyesal.

    Orang-orang kafir akan berkata, “Seandainya saja dulu aku beriman, seandainya aku menerima kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad, maka meskipun aku harus melewati siksa, pada akhirnya aku akan menuju surga.”

    Sementara itu, orang mukmin yang hanya beribadah sekadarnya pun akan merenung, “Andai saja aku lebih banyak beramal saleh, lebih banyak bersedekah, lebih khusyuk dalam salat, lebih ikhlas dalam puasa, dan lebih dermawan dalam zakat, tentu aku akan mendapatkan pahala yang lebih besar dan tempat yang lebih tinggi di surga.”

    Semoga di akhir Ramadan ini, kita tidak termasuk golongan yang paling menyesal karena kurang memanfaatkan bulan suci ini dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai kita menyesal karena melewatkan kesempatan untuk beribadah lebih banyak, berbuat baik kepada sesama, dan bersedekah dengan tulus. Mari jadikan Ramadan ini sebagai momen terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meraih pahala yang berlimpah.

    Ketika cinta telah berbicara, tak ada lagi ruang bagi kesedihan atau keluh kesah. Rasa lapar, haus, dan keletihan selama menjalankan ibadah Ramadan tak lagi menjadi beban, melainkan bagian dari perjalanan yang indah. Dengan cinta, segala sesuatu yang awalnya terasa pahit akan berubah menjadi manis. 

    Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang senantiasa merasakan kebahagiaan dan kecintaan terhadap Ramadan, dengan sepenuh hati memanfaatkan setiap nilai ibadah yang terkandung di dalamnya. Dengan begitu, rahmat dan ampunan Allah akan selalu menyertai kita. Amin, amin, ya Rabbal ‘alamin.

    *Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Zakat Fitrah: Beras atau Uang? Perspektif Fikih dan Pendekatan Fleksibel

    Zakat Fitrah: Beras atau Uang? Perspektif Fikih dan Pendekatan Fleksibel

    Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu sebelum Idulfitri. Tujuan utama zakat fitrah adalah menyucikan jiwa dan memberikan kebahagiaan bagi kaum dhuafa agar mereka dapat turut merasakan kegembiraan di hari raya.

    Dalam pelaksanaannya, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai bentuk zakat fitrah, apakah harus berupa makanan pokok seperti beras atau boleh dikonversi menjadi uang? Perdebatan ini menjadi semakin menarik dalam konteks masyarakat modern, terutama di Indonesia yang mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i.

    Secara turun-temurun, masyarakat Indonesia membayar zakat fitrah dalam bentuk beras sesuai dengan ketentuan mazhab Syafi’i. Namun, dengan perkembangan zaman dan perubahan kebutuhan sosial ekonomi, banyak yang memilih membayar dalam bentuk uang karena dinilai lebih praktis dan lebih bermanfaat bagi mustahiq. Oleh karena itu, penting untuk memahami berbagai pandangan fikih mengenai hal ini agar umat Islam dapat menjalankan kewajiban zakat fitrah dengan lebih bijak.

    Mazhab Syafi’i mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok. Imam Syafi’i dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab menegaskan bahwa zakat fitrah tidak boleh diganti dengan uang, karena tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah

    Pendapat ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:

    فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ زَكَاةَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ، عَلَى العَبْدِ وَالحُرِّ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى، وَالصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ مِنَ المُسْلِمِينَ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ

    Artinya: “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas setiap Muslim, baik budak maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar, dan beliau memerintahkan agar ditunaikan sebelum orang-orang keluar untuk salat (Idulfitri).” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadis ini menjadi dasar bagi mazhab Syafi’i untuk menegaskan bahwa zakat fitrah harus diberikan dalam bentuk makanan pokok yang umum dikonsumsi di masyarakat setempat, seperti beras di Indonesia. Dalam pandangan mereka, pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang tidak diperbolehkan karena dianggap menyelisihi praktik yang dicontohkan Rasulullah SAW.

    Sebaliknya, mazhab Hanafi membolehkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tujuan utama zakat fitrah adalah mencukupi kebutuhan mustahiq pada hari raya. Oleh karena itu, memberikan uang kepada mereka dianggap lebih bermanfaat karena dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain yang lebih mendesak, seperti pakaian, obat-obatan, atau kebutuhan rumah tangga lainnya.

    Pandangan mazhab Hanafi ini juga didukung oleh sebagian ulama kontemporer yang melihat bahwa kondisi masyarakat modern sudah berbeda dibandingkan masa Rasulullah SAW. Di zaman sekarang, banyak orang yang lebih membutuhkan uang dibandingkan makanan pokok, sehingga pemberian zakat fitrah dalam bentuk uang dapat lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan mereka.

    Pandangan Gus Baha: Fleksibilitas dalam Berzakat

    Gus Baha, seorang ulama kontemporer yang dikenal dengan pemikirannya yang moderat dan fleksibel, menekankan pentingnya maslahat bagi penerima zakat. Menurutnya, dalam kondisi tertentu, uang lebih bermanfaat dibandingkan beras. Sebab, sebagian besar mustahiq mungkin sudah memiliki beras tetapi membutuhkan uang untuk kebutuhan lain. Oleh karena itu, memberikan uang dalam jumlah yang setara atau lebih dari harga beras menjadi solusi yang lebih praktis.

    Gus Baha juga menekankan bahwa esensi dari zakat fitrah adalah membantu fakir miskin agar mereka dapat merayakan Idulfitri dengan layak. Jika tujuan tersebut bisa tercapai dengan lebih baik melalui pemberian uang, maka hal itu tidak bertentangan dengan semangat zakat fitrah itu sendiri. Pendekatan fleksibel ini juga relevan dengan realitas kehidupan masyarakat modern yang semakin kompleks.

    Keputusan Lembaga Bahtsul Masail PBNU

    Lembaga Bahtsul Masail PBNU telah membahas kebolehan zakat fitrah dalam bentuk uang dengan beberapa pertimbangan:

    Tujuan zakat fitrah adalah memastikan penerima dapat merayakan Idul Fitri dengan layak.Sebagian ulama membolehkan zakat dalam bentuk uang selama tidak bertentangan dengan ijma’ ulama.Jika terjadi perbedaan pendapat, maka maslahat penerima zakat menjadi prioritas utama.Dengan pertimbangan ini, PBNU membolehkan zakat fitrah dalam bentuk uang dengan nominal setara dengan harga 2,7 kg hingga 3 kg beras. Keputusan ini memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk memilih bentuk zakat yang paling sesuai dengan kebutuhan mustahiq, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip dasar dalam fikih.Praktik di Masyarakat dan Tantangan Sosialisasi

    Di Indonesia, mayoritas masyarakat masih mengikuti mazhab Syafi’i yang mengutamakan beras sebagai zakat fitrah. Namun, dalam praktiknya, banyak yang memilih membayar dengan uang. Hal ini menunjukkan perlunya edukasi agar masyarakat memahami dasar hukum di balik setiap keputusan.

    Sebagai solusi, beberapa pesantren, seperti Sirojuth Tholibin Grobogan, menerapkan konsep ‘melalui uang’, yakni zakat tetap diberikan dalam bentuk beras, tetapi bisa dibeli menggunakan uang agar tetap sesuai dengan mazhab Syafi’i. Metode ini memungkinkan masyarakat tetap menjalankan ketentuan mazhab yang mereka anut, sekaligus memberikan fleksibilitas bagi mustahiq dalam memanfaatkan zakat fitrah yang diterima.

    Selain itu, tantangan utama dalam sosialisasi pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang adalah adanya persepsi bahwa hanya bentuk beras yang sah dalam mazhab Syafi’i. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang bijak dalam menyampaikan fatwa dan pandangan ulama, agar tidak menimbulkan kebingungan atau perpecahan di tengah masyarakat.

    Gus Baha juga memberikan solusi berdasarkan pengalamannya dengan mengatakan bahwa beliau selalu melebihkan jumlah beras yang diberikan sebagai zakat, misalnya dari 2,5 kg menjadi 3 kg atau bahkan 5 kg, untuk memastikan penerima mendapatkan manfaat yang lebih optimal. “Jadi, saya tetap manut kepada Imam Syafi’i tapi realistis. Karena kebanyakan orang lebih membutuhkan uang,” jelasnya.

    Kesimpulan

    Polemik zakat fitrah antara beras dan uang merupakan bagian dari kekayaan khazanah fikih Islam. Mazhab Syafi’i mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk makanan pokok, sedangkan mazhab Hanafi membolehkan pembayaran dalam bentuk uang. Pendapat fleksibel dari Gus Baha dan PBNU menunjukkan bahwa maslahat penerima harus menjadi pertimbangan utama dalam menentukan bentuk zakat yang diberikan.

    Dalam konteks masyarakat modern, kebutuhan mustahiq semakin beragam dan tidak hanya terbatas pada makanan pokok. Oleh karena itu, kebolehan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang dapat menjadi solusi yang lebih efektif dalam memenuhi kebutuhan mereka. Namun, bagi mereka yang ingin tetap mengikuti ketentuan mazhab Syafi’i, memberikan zakat fitrah dalam bentuk beras tetap merupakan pilihan utama yang sah.

    Sebagai bentuk kompromi antara kedua pendapat, kita dapat tetap mengikuti mazhab Syafi’i dengan menunaikan zakat fitrah dalam bentuk beras, tetapi dengan menambah sedikit dari batas takaran sebagai bentuk kehati-hatian. Alternatif lainnya adalah tetap memberikan beras sesuai ketentuan mazhab Syafi’i, lalu menambahkan uang kepada mustahiq sebagai sedekah tambahan. Dengan demikian, zakat fitrah tetap tertunaikan sesuai tuntunan fikih, sekaligus memberikan manfaat lebih kepada penerima.

    Sebagai umat Islam, memahami berbagai sudut pandang dalam fikih memungkinkan kita untuk beramal lebih bijak sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, esensi zakat fitrah sebagai sarana berbagi kebahagiaan di hari raya dapat tercapai secara optimal tanpa menghilangkan nilai-nilai syariat yang mendasarinya.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI)

  • Ramadan di Era Digital: Teknologi sebagai Penunjang Ibadah

    Ramadan di Era Digital: Teknologi sebagai Penunjang Ibadah

    Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan merupakan bulan penuh berkah yang dinantikan oleh umat Islam di seluruh  dunia. Seiring dengan perkembangan teknologi, cara umat Muslim menjalani ibadah di bulan suci  ini juga mengalami perubahan signifikan. Dari aplikasi pengingat ibadah hingga kajian online,  teknologi telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam  praktik keagamaan. 

    Namun, dibalik manfaatnya, digitalisasi Ramadan juga membawa tantangan tersendiri.  Bagaimana sebenarnya teknologi mempengaruhi cara kita beribadah? Apakah perubahan ini  semakin mendekatkan kita kepada Allah atau justru mengurangi kekhusyukan ibadah? Artikel ini  akan membahas berbagai aspek peran teknologi dalam Ramadan, manfaat serta tantangan yang  dihadapi, dan bagaimana kita dapat menggunakannya secara bijak. 

    Teknologi dan Fasilitas Ibadah di Bulan Ramadan 

    Di era digital, teknologi telah memberikan kemudahan bagi umat Islam dalam menjalankan  ibadah selama bulan Ramadan. Berbagai aplikasi dan platform digital membantu meningkatkan  pengalaman spiritual, akses terhadap ilmu agama, serta mempermudah pelaksanaan kewajiban  keislaman. 

    Salah satu inovasi yang sangat bermanfaat adalah aplikasi pengingat ibadah. Aplikasi ini  menyediakan pengingat adzan, jadwal sahur dan berbuka, bahkan arah kiblat, sehingga sangat  membantu mereka yang memiliki jadwal sibuk atau sering bepergian. Selain itu, beberapa aplikasi  juga menawarkan fitur tambahan seperti doa harian dan kumpulan hadis. 

    Kemudahan lain yang ditawarkan teknologi adalah akses terhadap Al-Qur’an digital dan  tafsir online. Kini berbagai aplikasi Quran digital mempermudah umat Islam untuk membaca,  mendengarkan, serta memahami Al-Qur’an kapan saja dan di mana saja. Tafsir Al-Qur’an dalam  berbagai bahasa juga tersedia dalam bentuk digital, termasuk karya-karya ulama besar seperti  Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir al-Misbah. 

    Selain itu, kajian dan ceramah online semakin populer. Jika dahulu seseorang harus datang  langsung ke masjid atau majelis ilmu untuk menghadiri kajian Ramadan, kini berbagai platform  seperti YouTube, Instagram Live, Zoom, dan Podcast Islami memungkinkan umat Islam untuk  mengakses ceramah dari ulama favorit mereka dengan mudah. Fenomena ini sangat membantu  mereka yang tinggal di daerah terpencil atau memiliki keterbatasan waktu untuk hadir langsung. 

    Teknologi juga telah mempermudah pelaksanaan ibadah sosial seperti donasi dan  pembayaran zakat. Dengan adanya platform seperti Kitabisa dan Baznas Online, umat Islam dapat  menyalurkan zakat dan sedekah hanya dengan beberapa klik. Teknologi ini memungkinkan  transparansi yang lebih baik dalam pengelolaan dana zakat dan sedekah, sehingga para donatur  dapat memastikan bahwa bantuan mereka sampai kepada yang benar-benar berhak menerimanya.

    Manfaat Digitalisasi dalam Ramadan 

    Teknologi telah memberikan banyak manfaat bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah  selama bulan Ramadan. Salah satu manfaat utama adalah kemudahan akses terhadap informasi  keagamaan. Dengan adanya aplikasi dan platform digital, umat Muslim dapat dengan mudah  memperoleh jadwal ibadah, waktu sahur dan berbuka, serta mengikuti kajian keislaman dari para  ulama tanpa terbatas oleh lokasi. 

    Selain itu, teknologi juga mendorong peningkatan partisipasi, terutama di kalangan anak  muda. Generasi yang lebih akrab dengan teknologi kini lebih tertarik untuk mengikuti kajian dan  amalan Ramadan melalui platform digital, seperti media sosial, webinar, atau podcast. Hal ini  membuka peluang lebih luas bagi mereka untuk memahami agama dengan cara yang lebih  interaktif dan sesuai dengan gaya hidup mereka. 

    Tak hanya itu, penyebaran ilmu agama juga semakin luas dengan adanya teknologi. Para  ulama dan dai kini dapat menjangkau lebih banyak orang melalui media digital, bahkan melintasi  batas negara. Ceramah dan kajian yang dulunya terbatas pada ruang-ruang masjid kini dapat  diakses oleh jutaan orang di berbagai belahan dunia, memperkuat ukhuwah Islamiyah di tingkat  global. 

    Di sisi lain, transparansi dalam pengelolaan donasi, zakat, dan sedekah juga semakin  meningkat berkat kemajuan teknologi. Aplikasi dan platform crowdfunding berbasis syariah  memungkinkan masyarakat untuk menyalurkan donasi dengan lebih mudah serta melacak  penggunaannya secara transparan. Hal ini meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap  lembaga amal dan memastikan bahwa bantuan sampai kepada mereka yang benar-benar  membutuhkan. 

  • Menag usulkan zakat jadi pengurang pajak

    Menag usulkan zakat jadi pengurang pajak

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Menag usulkan zakat jadi pengurang pajak
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 28 Februari 2025 – 17:46 WIB

    Elshinta.com – Menteri Agama Nasaruddin Umar mengusulkan agar pembayaran zakat bisa dijadikan pengurang pajak sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pembayaran zakat.

    “Di Indonesia, zakat kita itu hanya faktor pengurang obyek pajak,” kata Menag Nasaruddin Umar di Jakarta, Jumat.

    Pihaknya meyakini bila pembayaran zakat bisa dijadikan pengurang pajak, penerimaan zakat akan meningkat.

    Nasaruddin Umar mencontohkan negara Malaysia yang sudah menerapkan aturan zakat dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

    “Tetangga kita di Malaysia sebagai perumpamaan, zakat mereka itu dijadikan sebagai faktor pengurang pajak. Mereka menjadikan bahwa kuitansi pembayaran zakat itu akan menjadi faktor pengurang pembayaran pajak. Nah kalau itu bisa disimulasikan di Indonesia, siapa tahu kita bisa seperti di negara lain. Jadi bahasa agama berkolaborasi dengan bahasa negara untuk mengentaskan kemiskinan, dahsyat itu. Ini kami akan gagas terus,” katanya.

    Di Indonesia sendiri, zakat dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, namun belum menjadi pengurang pajak.

    Hal ini sesuai dengan peraturan Pasal 22 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang menyatakan zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) dikurangkan dari penghasilan kena pajak.

    Bukti setoran zakat digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.

    Sumber : Antara

  • Legislator PKB Sebut Ujian Terberat Pertama Dedi Mulyadi di 100 Hari Kerja  Saat Momen Idul Fitri

    Legislator PKB Sebut Ujian Terberat Pertama Dedi Mulyadi di 100 Hari Kerja  Saat Momen Idul Fitri

    JABAR EKSPRES – Anggota Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, Maulana Yusuf Erwinsyah menyebutkan, jika ujian terberat pertama pada 100 hari kerja Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi adalah saat menjelang perayaan Idul Fitri 2025.

    Legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Provinsi Jawa Barat itu menilai, sekira 97,6 persen penduduk di Jabar beragama Islam, dengan jumlah 49,16 juta penduduk muslim.

    “Sehingga, butuh persiapan matang untuk menghadapi berbagai aspek yang berkaitan dengan momen lebaran,” katanya kepada Jabar Ekspres, Sabtu (1/3).

    Maulana meminta, kepada Kang Dedi Mulyadi agar tidak melulu bicara soal pendidikan, melainkan bergeser pada urusan kesejahteraan sosial.

    BACA JUGA: Pegawai Pemdaprov Ngantor Lebih Pagi, Dedi Mulyadi: Bukan Cari Sensasi

    Menurutnya, momentum menjelang lebaran, urusan kesejahteraan ini sangat penting dan perlu jadi perhatian, sebab bergantung pada kebutuhan hidup.

    “Jangan terus koar-koar di medsos soal pendidikan. Soalnya para jompo tidak tersentuh isu tersebut,” ujarnya.

    Oleh karenanya, Maulana menyarankan agar Dedi Mulyadi dapat mulai memetakan persoalan-persoalan lain yang memang perlu diprioritaskan.

    “Pertama, banyak infrastruktur di Jawa Barat yang belum siap menghadapi peningkatan volume kendaraan selama arus mudik,” bebernya.

    BACA JUGA: Gubernur Dedi Mulyadi Perjuangkan Nasib Siswa yang Gagal Ikuti SNBP Akibat Kelalaian Sekolah

    Maulana mengingatkan kepada pemerintah, perlunya perbaikan dan peningkatan kualitas jalan serta fasilitas pendukung lainnya, untuk memastikan kelancaran dan keselamatan para pemudik.

    “Kedua, pentingnya peningkatan keamanan dan kewaspadaan dari aparat serta masyarakat untuk mencegah terjadinya kejahatan,” imbuhnya.

    Menjelang lebaran, ucap Maulana kebutuhan masyarakat cenderung meningkat, yang dapat memicu peningkatan tindak kejahatan, seperti pencurian kendaraan bermotor (curanmor).

    “Ketiga, pemerintah harus memastikan saat lebaran jangan sampai ada masyarakat Jawa Barat kelaparan. Karena menurutnya, seburuk-buruknya musik adalah dentingan alat makan ketika tetangganya kelaparan,” ucapnya.

    BACA JUGA: Gebrakan Dedi Mulyadi, Ubah Mercedes Benz Sprinter dari Kendaraan Dinas jadi Mobil Ambulans

    Maka dari itu, Maulana menyampaikan, pemerintah harus berpihak kepada para pekerja dan faqir miskin agar menerima haknya dengan baik.

    “Yaitu hak pekerja menerima gaji, hak guru mendapatkan honorarium, dan hak faqir miskin menerima zakat dari para aghniya serta santunan dari pemerintah,” pungkasnya. (Bas)

  • Gencarkan Syiar, PBNU Kirim Dai ke 8 Negara dan Pelosok Indonesia

    Gencarkan Syiar, PBNU Kirim Dai ke 8 Negara dan Pelosok Indonesia

    loading…

    Sekretaris Lembaga Dakwah PBNU, KH Nurul Badruttamam menyerahkan piagam kepada dai peserta Pre-Departure Training Dai Ramadan 1446 H 2025 M. Foto/Ist

    JAKARTA – Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU) bersama Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Nahdlatul Ulama (Lazisnu) mengirim sejumlah dai ke delapan negara dan pelosok Indonesia.

    Proses pengiriman dai itu di antaranya dengan menggelar Pre-Departure Training Dai Ramadan 1446 H / 2025 M. Kegiatan ini berlangsung sejak Rabu hingga Jumat (26-28 Februari 2025) di Aula Lantai VIII Gedung PBNU, Jakarta Pusat.

    Adapun proses seleksi untuk program ini telah berlangsung secara ketat. Dari total 450 peserta yang mendaftar, hanya 23 dai yang dinyatakan lolos dan siap ditempatkan di delapan negara. Selain itu, 11 orang dai juga akan ditugaskan dalam program Dai Nusantara di delapan provinsi, khususnya di daerah 3T.

    Para dai itu di antaranya akan bertugas ke Australia, Taiwan, Korea Selatan, Hong Kong, Timor Leste, Belanda, dan Jepang.

    Sementara yang di pelosok Nusantara bertugas di Papua Selatan, Papua Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Barat, dan Banten.

    Mengusung tema “Khidmat NU Tanpa Jeda – Dakwah NU Go Global”, kegiatan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jamaah An-Nahdliyah yang moderat, toleran, dan inklusif. Selain itu, program ini juga berperan dalam memperkuat hubungan antarnegara serta membantu pekerja migran yang tersebar di berbagai belahan dunia dalam menghadapi dan menyelesaikan problem keagamaan mereka.

    Ketua Panitia KH Khalillurrahman menegaskan bahwa pelatihan ini merupakan bagian dari komitmen NU dalam membawa dakwahnya ke tingkat global.

  • DKI optimalkan potensi wakaf selama Ramadhan 1446 Hijriah

    DKI optimalkan potensi wakaf selama Ramadhan 1446 Hijriah

    Ilustrasi – Uang rupiah. Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) DKI Jakarta mengoptimalkan potensi wakaf uang selama Ramadhan 1446 Hijriah/2025 Masehi. ANTARA/Lia Wanadriani Santosa

    DKI optimalkan potensi wakaf selama Ramadhan 1446 Hijriah
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 01 Maret 2025 – 09:34 WIB

    Elshinta.com – Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta mengoptimalkan potensi wakaf uang selama Ramadhan 1446 Hijriah/2025 Masehi karena mengingat potensinya bagi kesejahteraan masyarakat.

    “Saya ingin mengimbau jadikanlah bulan Ramadhan ini momentum untuk mengoptimalkan potensi wakaf. Terutama yang belum tergali dengan baik itu wakaf uang,” ujar Kepala Kanwil Kementerian Agama (Kemenag) DKI Jakarta, Adib saat dihubungi di Jakarta, Sabtu.

    Karena itu, pihaknya ingin mengoptimalkan bulan Ramadhan ini di DKI Jakarta sebagai bulan berwakaf.

    Adapun landasan hukum terkait wakaf uang antara lain Undang-Undang Wakaf serta Surat Edaran Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2024.

    Adib menyampaikan masyarakat yang ingin berwakaf tak perlu harus memiliki tanah luas dulu karena mereka bisa menggunakan uang sebagai wakaf.

    “Untuk berwakaf tidak perlu harus punya tanah dulu, tidak perlu harus punya lahan dulu yang luas, sekarang ada wakaf uang,” kata dia.

    Bahkan, seseorang yang memiliki uang sebesar Rp20 ribu sudah bisa berwakaf melalui Badan Wakaf Indonesia (BWI).

    Saat ini, Kantor Wilayah (Kanwil) Kemenag DKI Jakarta bekerja sama dengan BWI DKI Jakarta dan lembaga perbankan syariah menyediakan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) untuk menyetorkan wakaf.

    Menurut Adib, apabila wakaf uang dikelola dengan baik, maka dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan umat, seperti beasiswa pendidikan, pembangunan masjid, bantuan pesantren serta layanan kesehatan.

    “Jadi wakaf uang ini kalau betul-betul bisa terhimpun ini sangat dahsyat,” kata Adib.

    Melalui momen Ramadhan ini, dia pun ingin mengajak masyarakat berbagi kebahagiaan antara lain dengan memperbanyak infak, zakat dan sedekah.

    Selain itu, Adib juga mengajak umat Islam untuk memanfaatkan bulan suci ini sebagai momentum untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

    Kemenag telah menetapkan awal puasa atau 1 Ramadhan 1446 Hijriah/2025 Masehi jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025, usai diputuskan melalui Sidang Isbat di Gedung Kemenag RI, Jakarta, Jumat (28/2).

    Dengan penetapan itu maka pada Jumat malam umat Islam di Indonesia dapat melaksanakan Shalat Tarawih.

    Sumber : Antara