Event: vaksinasi

  • Pilah-pilih Informasi, Jangan Sebar Hoaks soal Imunisasi, Bisa Ancam Kesehatan Anak Indonesia – Halaman all

    Pilah-pilih Informasi, Jangan Sebar Hoaks soal Imunisasi, Bisa Ancam Kesehatan Anak Indonesia – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Di era gempuran info di media sosial, orang tua perlu memilah informasi terkait imunisasi dan vaksinasi.

    Hoaks telah terbukti menurunkan cakupan imunisasi secara nasional yang mengakibatkan kesehatan anak Indonesia terancam.

    Selama bertahun-tahun hoaks terkait imunisasi dan vaksinasi terus beredar.

    Misalnya anggapan imunisasi membuat anak yang sehat menjadi sakit, vaksin mengandung babi atau bahan berbahaya hingga vaksin dianggap haram.

    Informasi yang menyesatkan itu sering kali disebarkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

    Dampak Nyata Hoaks

    Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) mengatakan, di era media sosial seperti ini informasi sangat mudah disebarluaskan melalui pesan WhatsApp dan postingan di media sosial.

    Sayangnya, banyak masyarakat mudah percaya pada pesan-pesan berantai itu sehingga meningkatkan keraguan dan keresahan masyarakat terkait imunisasi.

    “Misalkan vaksin itu ada babinya atau juga pertanyaan bahwa proses vaksin itu apakah suci atau tidak. Apakah imunisasi wajib dalam Islam, apakah ada hadisnya,” ujar dia dalam webinar yang digelar Kementerian Kesehatan pada Rabu (9/4).

    Pernyataan yang misinformasi itu mengakibatkan, penolakan imunisasi di beberapa daerah, lalu muncul Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit lama seperti difteri, campak dan polio.

    “Hal ini yang membuat cakupan imunisasi secara nasional menurun. Ini menjadi tantangan tenaga kesehatan untuk memberikan penjelasan dengan penuh empati kepada masyarakat yang menolak vaksin,” ujar dr Piprim.

    Bagi dr Piprim, imunisasi bukan hanya soal medis, tetapi juga soal kemaslahatan.

    Seorang bayi sedang menerima imunisasi polio di Puskesmas Nagaswidak, Palembang, Kamis (27/7/2023). Imunisasi pada bayi dan anak memiliki manfaat yang sangat besar. Imunisasi merupakan suatu upaya dari pemerintah yang bertujuan untuk mencegah meningkatnya angka kesakitan pada penyakit tertentu yang beresiko pada bayi dan membentuk kekebalan tubuh agar tidak mudah terinfeksi virus penyebab penyakit. Kementerian Kesehatan memperkenalkan jenis antigen baru yang ditambahkan dalam program imunisasi nasional yang saat ini sedang dilaksanakan oleh pemerintah.Keempat jenis vaksin tersebut adalah vaksin Pneumokokus Konyugasi (PCV) untuk mencegah pneumonia (radang paru), vaksin Human Papiloma Virus (HPV) untuk mencegah kanker leher rahim, vaksin Rotavirus (RV) untuk mencegah diare berat, dan vaksin Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) dosis kedua untuk memperkuat perlindungan dari polio.ehingga Imunisasi pada anak diharapkan dapat menciptakan ekosistem kesehatan Indonesia menuju kelas dunia. TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO (TRIBUN SUMSEL/TRIBUN SUMSEL/ABRIANSYAH LIBERTO)

    Dalam catatan IDAI, hoaks berupa vaksin mengandung racun dan berbahaya membuat banyak keluarga di awal tahun 2000 menolak imunisasi, kemudian pada 2005 terjadi KLB polio.

    Saat itu, wabah polio menyerang 305 orang di 47 kabupaten/kota di 10 provinsi. 

    Untuk diketahui, polio merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus polio dan menyerang sistem saraf. 

    Dalam beberapa kasus, infeksi ini dapat menyebabkan kelumpuhan hingga kematian dalam waktu singkat.

    Polio dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang usia. 

    Hingga saat ini belum ditemukan obat untuk penyakit ini. Vaksinasi merupakan cara paling efektif untuk mencegah penularannya.

    Imunisasi adalah Hak Setiap Anak

    Agar anak tumbuh dan berkembang mencapai potensinya, seorang anak memerlukan asuh, asih, dan asah serta tak kalah penting adalah imunisasi.

    Ada banyak penyakit yang bisa dicegah dengan vaksin seperti tuberkulosis, kanker hati, polio, campak, rubella, tetanus, difteri hingga pertusis.

    GENERASI EMAS DAN SEHAT INDONESIA. Di era gempuran informasi di media sosial, orang tua perlu memilah informasi terkait imunisasi dan vaksinasi. Hoaks telah terbukti menurunkan cakupan imunisasi secara nasional yang mengakibatkan kesehatan anak Indonesia terancam.

    “Imunisasi penting untuk melindungi dari penyakit berbahaya. Imunisasi itu hak setiap anak. Semua pasti mendambakan anak yang tumbuh dan kembangnya optimal,” kata Ketua Pokja Imunisasi Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Hartono Gunardi di Jakarta pada Jumat (21/3).

    Karena itu, Prof Hartono mengatakan, sebagai upaya mewujudkan generasi emas Indonesia, kebutuhan dasar anak Indonesia harus dipenuhi.

    Ia menekankan, meski seorang anak dibesarkan dalam lingkungan bersih dan tampak sehat. Imunisasi tetap diperlukan.

    “Vaksin itu aman dan efektif sebagai perlindungan jangka panjang. Ini adalah investasi bagi generasi masa depan,” ujar dia.

    Mari Melawan Hoaks

    Mengutip data Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO tahun 2023, sebanyak 14,5 juta anak di dunia masih belum mendapatkan imunisasi dasar (zero dose).

    Di atas kertas Indonesia mengalami kemajuan, dimana tahun 2023 hanya ada sekitar 662 ribu anak yang belum menerima vaksinasi.

    Namun di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah zero dose tertinggi keenam di dunia.

    Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan, dr. Prima Yosephine, menyadari salah satu penyebab banyaknya anak Indonesia belum mendapatkan imunisasi adalah informasi yang tidak benar dan menyesatkan.

    “Info itu pada awalnya akan menimbulkan keraguan, ketakutan hingga penolakan terhadap imunisasi,” ujarnya.

    Ia meyakini, perlu kolaborasi bersama untuk menghadapi kondisi ini.

    Media misalkan memiliki peran krusial dalam meluruskan persepsi masyarakat dan menangkal hoaks terkait imunisasi.

    Selain itu juga komunitas digital seperti influencer hingga tokoh agama.

    Direktur Global Health strategies Indonesia, Ganendra Awang Kristandya, menekankan kekuatan media sosial harus diarahkan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak Indonesia .

    Hoaks kesehatan menyebar sangat cepat.

    “Semua pihak termasuk influencer, tokoh agama harus lebih banyak bersuara tentang fakta imunisasi. Seperti  imunisasi sebagai hak dasar anak,” tegasnya dalam kegiatan yang digelar Kemenkes pada Senin (21/4).

    Di kesempatan berbeda, Team Leader for Risk Resilience and Governance a.i. United Nations Development Programme (UNDP), Siprianus Bate Soro menegaskan, berita hoaks menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap imunisasi.

    “Kami mengajak semua, media untuk bersama-sama menyajikan informasi yang benar dan akurat untuk melawan disinformasi sebagai upaya meningkatkan cakupan imunisasi,” jelas dia.

     

  • 20 Stasiun Kereta Api di Indonesia yang Telah Dilengkapi Fasilitas Face Recognition – Halaman all

    20 Stasiun Kereta Api di Indonesia yang Telah Dilengkapi Fasilitas Face Recognition – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI telah menghadirkan inovasi baru yang ditujukan bagi pelanggan setianya.

    Inovasi tersebut berupa fasilitas Face Recognition Boarding Gate atau pemindai wajah penumpang untuk proses boarding.

    Face Recognition Boarding Gate merupakan fasilitas layanan boarding yang dilengkapi dengan kamera yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan memvalidasi indentitas seseorang melalui wajah yang datanya sudah diintegrasikan dengan data tiket kereta yang dimiliki hingga status vaksinasi pelanggan.

    Lantas, stasiun mana saja yang sudah dilengkapi fasilitas Face Recognition Boarding Gate ?

    Daftar Stasiun 

    Dikutip dari Instagram @kai121_ berikut stasiun kereta api yang telah menerapkan Face Recognition Boarding Gate:

    *) DAOP 1 Jakarta

    1. Stasiun Gambir

    2. Stasiun Bekasi 

    3. Stasiun Pasar Senen

    *) DAOP 2 Bandung

    4. Stasiun Bandung

    5. Stasiun Kiaracondong

    *) DAOP 3 Cirebon 

    6. Stasiun Cirebon atau Cirebon Kejaksan

    *) DAOP 4 Semarang

    7. Stasiun Semarang Tawang Bank Jateng

    8. Stasiun Pekalongan

    9. Stasiun Tegal

    *) DAOP 5 Purwokerto

    10. Stasiun Purwokerto

    11. Stasiun Kutoarjo

    *) DAOP 6 Yogyakarta

    12. Stasiun Tugu Yogyakarta

    13. Stasiun Lempuyangan

    14. Stasiun Solo Balapan

    *) DAOP 7 Madiun

    15. Stasiun Madiun

    *) DAOP 8 Surabaya

    16. Stasiun Surabaya Gubeng

    17. Stasiun Surabaya Pasar Turi

    18. Stasiun Malang

    *) DAOP 9 Jember

    19. Stasiun Jember

    *) Divre 1 Sumatra Utara

    20. Stasiun Medan.

    Cara Daftar 

    Berikut langkah-langkah mendaftar Face Recognition Boarding Gate sebagai berikut:

    Pendaftaran lewat Aplikasi Access by KAI

    – Masuk ke aplikasi Access by KAI dengan akun yang sudah terdaftar 

    – Klik menu “Akun” 

    – Klik “Registrasi Face Recognition” 

    – Lengkapi nama, nomor NIK, tanggal lahir, dan foto diri 

    – Pada halaman foto selfie klik “Ambil Foto KTP” dan lakukan pengambilan foto selfie

    – Cek dan pastikan foto selfie terlihat dengan jelas

    – Jika data dan foto sudah sesuai klik “Ya, Daftar” untuk menyelesaikan proses registrasi

    – Pendaftaran face recogniton berhasil.

    Selain melalui aplikasi Access by KAI, pendaftaran Face Recognition juga bisa dilakukan melalui mesin Check In Counter (CIC) atau petugas yang ada di gate keberangkatan. 

    Sebagai catatan, proses registrasi tidak dapat diwakilkan. 

    Penumpang cukup membawa e-KTP proses registrasi dapat langsung dilakukan dengan menempelkan e-KTP pada perangkat reader, lalu menempelkan jari telunjuk kanan atau kiri pada pemindai yang ada di e-KTP reader.

     

    (Tribunnews.com/David Adi)

  • Melawan Disinformasi dan Misinformasi Imunisasi Mulai dari Orang Tersayang

    Melawan Disinformasi dan Misinformasi Imunisasi Mulai dari Orang Tersayang

    Jakarta

    Hidup sebagai orang tua, akan selalu tentang belajar dan tanggung jawab, ini berlangsung seumur hidup. Terkadang, orang tua tidak tahu, apakah keputusan yang mereka ambil demi sang buah hati tepat atau tidak. Tetapi, pada satu momen, mereka yakin bahwa itulah satu keputusan terbaik.

    Inilah yang saat ini dirasakan oleh pasangan muda, Nabila (27) dan Raditya (28). Di usia pernikahan yang baru seumur jagung, yakni kurang dari dua tahun, keduanya sudah dikaruniai satu malaikat kecil bernama Namira, yang kini berusia genap enam bulan.

    Pertama kali menjadi orang tua, keduanya menyadari bahwa hidup mereka kini akan selalu tentang belajar apapun, termasuk soal imunisasi anak. Masa depan Namira soal imunisasi kesehatan ada di ujung lidah mereka. Keputusan apapun yang diambil, itulah yang didapat oleh Namira.

    Nabila merupakan sosok yang menyadari betul betapa pentingnya imunisasi pada anak. Namun, sang suami, memiliki pandangan yang agak berbeda. Raditya, tidak sepenuhnya menganggap bahwa imunisasi ini sepenting itu, sehingga bisa saja dilewati.

    “Aku sebenarnya bukan sepenuhnya tidak setuju (imunisasi). Antara perlu atau tidaknya divaksinasi itu jadi pertanyaan gitu loh, ini perlu nggak sebenarnya? Kayaknya nggak perlu deh sampai vaksinasi, karena virus ini pun bakal hinggap ke anak atau orang, tinggal gimana cara tubuhnya melawan kan?” kata Raditya saat dihubungi detikcom, Jumat (25/4/2025).

    “Imunisasi ini kan kayak dimasukkan bakteri atau virus (yang dilemahkan) kan? Nggak setujunya saya, kenapa kok perlu dipantik dulu gitu loh?” lanjut dia.

    Merasa ragu soal imunisasi

    Tapi, Raditya menyadari bahwa ia merupakan nakhoda di sebuah kapal kecil bernama keluarga. Di satu sisi, sang istri ingin sekali anaknya mendapatkan imunisasi lengkap, namun di sisi lain, dirinya masih bertanya-tanya apakah suntikan demi suntikan itu perlu untuk anaknya?

    Umur Namira saat itu kurang dari satu minggu. Bidan yang membantu proses kelahiran sudah menjelaskan pada Raditya tentang jenis-jenis vaksin untuk imunisasinya, Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), hingga keuntungan jika sang anak diimunisasi.

    Nabila juga melakukan hal yang sama. Dirinya tahu betul bagaimana sifat suaminya. Dia tidak ingin memaksa, karena bagaimanapun, selain menjadi ibu yang hebat, Nabila juga ingin menjadi istri yang baik.

    Perlahan dia juga menjelaskan kepada Raditya tentang apa-apa soal imunisasi. Dirinya tahu bahwa suaminya itu hanya butuh informasi yang lebih lengkap.

    “Itu sudah direkomendasikan oleh bidannya Namira. Kalau memang itu rekomendasi, aku juga nggak mungkin mendebat ke bidan. Daripada nanti ribet, aku adu argumen, ya sudah imunisasi saja,” kata Raditya.

    Takut KIPI

    Pasca-imunisasi, ketakutan Raditya saat itu bertambah, yakni terkait dengan KIPI. Sebagai seorang ayah, dirinya tidak ingin sang buah hati mengalami kejadian yang buruk.

    Seperti yang diketahui, KIPI dibagi menjadi dua, yakni ringan dan berat. KIPI ringan biasanya cenderung sembuh sendiri karena meliputi demam, nyeri otot, bengkak di area suntikan, dan sakit kepala. Sedangkan KIPI berat menimbulkan risiko serius pada kesehatan, seperti kejang, syok, hingga penurunan trombosit. Kondisi ini memerlukan penanganan medis segera.

    “Alhamdulillah saat itu Namira nggak kenapa-kenapa. Paling hanya agak hangat saja badannya,” katanya.

    Dari pengalaman tersebut, kini Namira sudah mendapatkan beberapa kali suntikan vaksin, seperti imunisasi BCG 1 dan 2, DPT 1 dan 2 (Difteri, Pertusis, Tetanus), Polio 1 dan 2, PCV 1 (Pneumococcal Conjugate Vaccine), dan Rotavir 1.

    Nabila dan Raditya berkomitmen untuk terus menjaga kesehatan sang anak. Terkait imunisasi lanjutan, keduanya sepakat untuk terus melakukan yang terbaik bagi Namira.

    Di sisi lain, mereka juga menyadari bahwa di lingkungan mereka masih ada orang tua yang ‘termakan’ oleh disinformasi terkait imunisasi.

    “Saya sih minta ke Kemenkes (Kementerian Kesehatan) ya kayak terus sosialisasi nunjukin bahwa ini loh real data antara anak yang diimunisasi dan yang nggak, imunnya bertambah sampai berapa persen, jadi masyarakat dapat datanya gitu,” kata Raditya.

    “Kami perlu gitu bukti konkret lah bahwa imunisasi ini bener nggak sih imunnya bakal bertambah atau terbentuk gitu. Soalnya ada kasus saudara saya sendiri, dia punya anak, udah imunisasi lewat satu tahun, harusnya kan udah selesai, tapi itu dia tetap kena penyakitnya,” sambungnya.

    Pertarungan melawan narasi disinformasi

    Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan dr Prima Yosephine, menyebut bahwa salah satu tantangan terbesar dalam mengejar cakupan imunisasi bukan lagi soal distribusi vaksin atau akses fasilitas, melainkan pertarungan narasi.

    “Salah satu isu penting yang menjadi penyebab banyaknya anak Indonesia belum mendapatkan imunisasi adalah beredarnya informasi palsu atau tidak benar tentang imunisasi. Informasi yang tidak benar dan menyesatkan ini pada awalnya akan menimbulkan keraguan, ketakutan, dan pada akhirnya akan menimbulkan penolakan terhadap imunisasi,” ujar dr Prima, dikutip detikcom dari YouTube Kemenkes ‘Meningkatkan Minat Masyarakat untuk Melengkapi Imunisasi Anak’ Jumat, (25/4/2025).

    Berdasarkan data WHO tahun 2023, sebanyak 14,5 juta anak di dunia belum mendapatkan imunisasi dasar atau zero dose. Indonesia memang menunjukkan kemajuan signifikan dari 1,1 juta anak belum diimunisasi pada 2021 menjadi 662 ribu anak pada 2023.

    Namun, Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah zero dose tertinggi keenam di dunia.

    “Imunisasi masih menjadi salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang terbukti sangat efektif dan efisien hingga saat ini. Melalui imunisasi, jutaan anak telah terselamatkan dari bahaya kesakitan, kecacatan, bahkan kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,” kata dr Prima.

    “Imunisasi bukan sekadar memberikan perlindungan bagi individu, tapi lebih dari itu, dia menciptakan kekebalan bagi komunitas. Anak yang telah diimunisasi kini menjadi perisai bagi mereka yang tidak dapat diberikan imunisasi karena kondisi kesehatan tertentu,” tutup dr Prima.

    (dpy/kna)

  • Penyakit yang Bisa Dicegah dengan Vaksin Kian Merebak

    Penyakit yang Bisa Dicegah dengan Vaksin Kian Merebak

    Jakarta

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), badan PBB yang mengurusi masalah anak-anak (UNICEF), dan aliansi vaksin Gavi mengeluarkan peringatan bahwa dunia kini menghadapi peningkatan jumlah wabah penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin, seperti campak, meningitis, dan demam kunir atau demam kuning.

    Pernyataan bersama ini dikeluarkan pada awal Pekan Imunisasi Dunia yang berlangsung dari tanggal 24 hingga 30 April 2025.

    “Vaksin telah menyelamatkan lebih dari 150 juta nyawa dalam lima dekade terakhir. Namun, pemotongan dana untuk kesehatan global kini mengancam pencapaian yang telah diperjuangkan dengan susah payah ini,” ungkap Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam sebuah pernyataan.

    Campak yang kembali jadi ancaman

    Pernyataan tersebut juga menyoroti kembalinya campak yang berbahaya, dengan kasus yang meningkat 20% dalam setahun, mencapai 10,3 juta pada tahun 2023. Tren ini diperkirakan akan terus berlanjut pada tahun 2024 dan 2025.

    Selama tahun lalu, 138 negara melaporkan kasus campak, dengan 61 di antaranya melaporkan wabah. Ini merupakan angka tertinggi yang tercatat sejak 2019.

    “Krisis pendanaan global secara serius membatasi kemampuan kami untuk memvaksinasi lebih dari 15 juta anak rentan di negara-negara yang rapuh dan terdampak konflik dari penyakit campak,” tambah Kepala UNICEF, Catherine Russell.

    Meningitis dan demam kuning: Ancaman yang semakin besar

    Pada tiga bulan pertama tahun 2025, lebih dari 5.500 kasus meningitis dan sekitar 300 kematian dilaporkan di 22 negara Afrika. Pada tahun 2024, tercatat 26.000 kasus dan hampir 1.400 kematian di 24 negara.

    Apakah anak-anak cukup mendapatkan vaksinasi?

    Terdapat pula kenaikan jumlah anak yang terlewat dari dosis vaksin rutin mereka, meskipun upaya pemulihan dilakukan setelah pandemi. Sekitar 14,5 juta anak tidak menerima satu pun dosis vaksin rutin mereka pada tahun 2023.

    Gavi menyerukan dana sebesar USD9 miliar menjelang konferensi tingkat tinggi pada tanggal 25 Juni nanti, “untuk melindungi 500 juta anak, menyelamatkan setidaknya 8 juta nyawa antara tahun 2026 hingga 2030.”

    Seruan ini datang di tengah pemotongan besar-besaran dana vaksin, misinformasi, serta krisis kemanusiaan lainnya seperti perang di Gaza.

    Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah secara drastis mengurangi dana bantuan kemanusiaan kepada berbagai lembaga sejak menjabat lagi jadi presiden.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris.

    Diadaptasi oleh: Ayu Purwaningsih

    Editor: Hendra Pasuhuk

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Tips untuk Lindungi Si Kecil dari Nyamuk Penyebab DBD – Halaman all

    Tips untuk Lindungi Si Kecil dari Nyamuk Penyebab DBD – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat, terutama bagi anak-anak.

    Kepala Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis KSM/Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr. Hasan Sadikin – Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung, Dr. dr. Anggraini Alam, Sp. A(K) menuturkan, anak-anak memiliki resiko tertinggi mengalami DBD berat dan kematian.

    “Tingkat kematian anak pada kelompok usia 5-14 tahun mencapai 40 persen,” kata dia ditulis di Jakarta, Jumat (25/4/2025).

    Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk melakukan langkah-langkah pencegahan
    sejak dini agar anak terhindar dari gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus,
    pembawa virus dengue.

    Berikut ini beberapa langkah efektif yang dapat ibu lakukan untuk melindungi si kecil dari bahaya DBD:

    1. Melakukan 3M

    Bak mandi yang berisikan es batu (Twitter @dita_dito)

    Cagah DBD dengan melakukan 3M seminggu sekali adalah cara efektif untuk mencegah perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.

    Langkah 3M ini dapat dilakukan dengan cara :

    Menguras (bak mandi, ember, kolam, penapung air), 

    Menutup (lubang yang berpotensi menjadi genangan air),

    Mendaur ulang (sampah botol dan plastik).

     

    Untuk lingkungan dalam rumah jangan lupa juga menjaga kebersihan rumah dengan
    cara jangan menumpuk sampah di dalam rumah dan jangan lupa tempat sampah selalu dibersihkan secara rutin. Jangan menumpuk pakaian yang sudah dipakai dengan menggantung terlalu lama, sebaiknya diletakkan dalam wadah tertutup ataulangsung dicuci.

    Untuk lingkungan di luar rumah, beberapa cara efektif yang dapat dilakukan misalnya
    antara lain menanam tanaman anti nyamuk seperti lavender, memelihara ikan
    pemakan jentik nyamuk, dan menaburkan bubuk larvasida pada tempat-tempat yang
    memungkinkan menjadi penampungan air.

    2. Menghindari anak dari gigitan nyamuk

    Nyamuk Aedes Aegypti vektor pembawa virus dengue (Shutterstock)

    Melindungi diri dari gigitan nyamuk aedes aegypti merupakan factor penting untuk
    mencegah DBD pada anak.

    Menurut Ahli Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof dr Saleha Sungkar, DAP&E, MS, SpParK, saat tidur siang anak-anak sebaiknya menggunakan kelambu.

    Selain itu juga menggunakan minyak telon sebagai tambahan perlindungan.

    Deputy Managing Director Consumer Cosmetic Health Care Tempo Scan Group Winny Yunitawati mengatakan, untuk membantu para ibu melindungi buah hati mereka, pihaknya menghadirkan produk My Baby minyak telon plus.

    3. Meningkatkan imunitas anak

    Sistem kekebalan tubuh yang belum sempurna menjadi salah satu faktor utama anak
    mudah terserang DBD.

    Meningkatkan imunitas pada anak dapat membantu mencegah dan mengurangi risiko terkena Demam Berdarah Dengue (DBD).

    Hal ini bisa dilakukan dengan mengonsumsi makanan bergizi, berolahraga, istirahat atau
    tidur cukup, dan vaksinasi.

    4. Menggunakan pakaian tertutup pada anak

    Memakai pakaian panjang pada anak-anak adalah salah satu cara efektif untuk mencegah gigitan nyamuk dan mengurangi risiko terkena DBD.

    Pakaian lengan panjang dan celana panjang dapat menutup kulit yang rentan terhadap gigitan
    nyamuk, terutama saat berada di luar rumah atau di daerah yang banyak nyamuk.

  • Ini Kondisi yang Paling Dikhawatirkan Dokter saat Pasien Terinfeksi DBD – Halaman all

    Ini Kondisi yang Paling Dikhawatirkan Dokter saat Pasien Terinfeksi DBD – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Dokter spesialis penyakit dalam, Dirga Sakti Rambe mengungkapkan, kondisi paling mengkhawatirkan saat seorang pasien terinfeksi Demam Berdarah Dengue (DBD).

    Ia mengatakan, demam yang disebabkan oleh virus dengue tak bisa dianggap remeh, apalagi meyakini bahwa demam akibat DBD bisa disembuhkan sendiri.

    Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat.

    “Pada orang yang normal trombosit itu ada sekitar 150.000  – 400.000. Kalau di bawah 10.000 trombositnya itu resiko pendarahan otak tinggi sekali. Kondisi ini membuat dokter harap-harap cemas. Penurunan drastis jumlah trombosit, yang bisa berujung pada kondisi gawat darurat—terutama pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta,” kata dia saat ditemui di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Menurut dia, sekalipun seseorang sudah terinfeksi dengue satu kali maka tetap mungkin atau berisiko terkena DBD lagi karena virus dengue memiliki empat serotipe.

    Infeksi berikutnya cenderung membawa risiko yang lebih tinggi terhadap keparahan, terutama orang orang dengan penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, dan ginjal kronik.

    “Belum ada obat spesifik untuk mengatasi dengue. Satu-satunya cara terbaik yang kita miliki adalah mencegah dengan 3M Plus maupun metode yang inovatif seperti vaksinasi lengkap 2 dosis,” tutur dr Dirga.

    Sampai dengan minggu ke-14 2025, atau data per 13 April 2025, pihaknya mencatat sebanyak 38.740 kasus dengue di Indonesia dengan kematian sebanyak 182 kasus.

  • RI Catat 36 Ribu Kasus Baru Kanker Serviks, 70 Persen Ketahuan di Stadium Lanjut

    RI Catat 36 Ribu Kasus Baru Kanker Serviks, 70 Persen Ketahuan di Stadium Lanjut

    Jakarta

    Kanker serviks di Indonesia menjadi penyumbang kematian tertinggi kedua pada wanita, setelah kanker payudara. Dari 36 ribu kasus yang dilaporkan setiap tahun, 21 ribu di antaranya meninggal dunia.

    Wakil Menteri Kesehatan Prof Dante Saksono menyebut hal ini juga didasari temuan kasus kanker serviks yang seringnya terlambat. Sekitar 70 persen kasus kanker serviks ditemukan pada stadium lanjut.

    Karenanya, program vaksinasi HPV bakal diperluas dan pemerintah menyediakan pemeriksaan atau skrining gratis secara berkala.

    Program tersebut diprioritaskan pada kelompok:

    Anak perempuan dan laki-laki usia 15 tahun ditargetkan memperoleh vaksinasi HPVPerempuan usia 39 tahun diharapkan menjalani skrining HPV DNA

    Terakhir, perempuan dengan kanker serviks invasif harus mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai standar medis.

    “Jika ketiga pilar ini dijalankan secara komprehensif dan terkoordinasi, saya optimis kita dapat menurunkan angka kematian dan mencapai eliminasi kanker serviks di seluruh Indonesia,” tegas Dante, kepada wartawan, Kamis (24/4/2025).

    Mulai 2025, layanan skrining HPV DNA akan diintegrasikan dalam program pemeriksaan kesehatan gratis. Hal ini demi memperluas jangkauan deteksi dini dan mencegah berkembangnya penyakit ke stadium lanjut.

    Meski begitu, masih ada catatan deteksi terutama di wilayah terpencil yang sulit mengakses fasilitas kesehatan. Dante menyebut pemerintah akan membangun laboratorium pendukung di seluruh kabupaten dan kota demi mempercepat diagnosis kanker serviks.

    Dikutip dari Mayo Clinic, berbagai jenis human papillomavirus, yang juga disebut HPV, berperan sebagai sebagian besar pemicu kanker serviks. HPV adalah infeksi umum yang ditularkan melalui hubungan seksual. Saat terpapar HPV, sistem kekebalan tubuh biasanya mencegah virus tersebut membahayakan.

    Namun, pada sebagian kecil orang, virus tersebut bertahan hidup selama bertahun-tahun. Hal ini berkontribusi pada proses yang menyebabkan beberapa sel serviks menjadi sel kanker.

    Risiko terkena kanker serviks bisa dicegah dengan rutin menjalani skrining dan melakukan vaksinasi HPV.

    Apa ciri-ciri kanker serviks stadium awal?

    Seringnya, kanker serviks tidak menimbulkan gejala pada tahap awal. Namun, seiring pertumbuhan sel kanker, keluhan seperti berikut mungkin saja muncul:

    Perdarahan pada vagina setelah berhubungan seksual, di antara periode menstruasi, atau setelah menopause.Perdarahan menstruasi yang lebih banyak dan berlangsung lebih lama dari biasanyaKeputihan berdarah encer dalam jumlah banyak dan berbau busukNyeri panggul atau nyeri saat berhubungan seksual

    Bila mengeluhkan gejala di atas, segera menemui dokter untuk melakukan konsultasi lebih lanjut.

    (naf/kna)

  • 36 Ribu Kasus Baru Kanker Serviks Terdeteksi di Indonesia Setiap Tahunnya  – Halaman all

    36 Ribu Kasus Baru Kanker Serviks Terdeteksi di Indonesia Setiap Tahunnya  – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Setiap tahun, diperkirakan terdapat lebih dari 36.000 kasus baru yang terdeteksi. 

    Ironisnya, sekitar 70 persen dari kasus tersebut baru diketahui pada stadium lanjut, sehingga meningkatkan risiko kematian secara signifikan.

    Wakil Menteri Kesehatan RI, Prof. Dante Saksono Harbuwono, menyampaikan keprihatinan atas tingginya angka kasus kanker serviks di Indonesia dalam diskusi bertajuk “Reafirmasi Komitmen Eliminasi Kanker Serviks”. 

    Kanker serviks saat ini merupakan jenis kanker terbanyak kedua di Indonesia.

    “Harapan saya, diskusi ini bisa membuka sudut pandang baru, melahirkan solusi, serta memperkuat kolaborasi lintas sektor, baik pemerintah, swasta, praktisi, maupun masyarakat luas,” ungkap Prof. Dante dilansir dari keterangan resmi, Kamis (24/4/2025). 

    Menurutnya, rendahnya angka deteksi dini menjadi salah satu penyebab utama tingginya kematian akibat kanker serviks. 

    Untuk itu, pemerintah menempatkan upaya promotif dan preventif sebagai prioritas, melalui program vaksinasi HPV dan pemeriksaan skrining secara berkala.

    Sebagai informasi, infeksi dari virus papiloma manusia (HPV) adalah salah satu faktor penyebab kanker serviks. 

    Sebagai wujud keseriusan, Kementerian Kesehatan telah menyusun Rencana Aksi Nasional Eliminasi Kanker Serviks. 

    Strategi ini mencakup tiga pilar utama. Pertama, anak perempuan dan laki-laki usia 15 tahun ditargetkan memperoleh vaksinasi HPV. 

    Kedua, perempuan usia 39 tahun diharapkan menjalani skrining HPV DNA. 

    Ketiga, perempuan dengan kanker serviks invasif harus mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai standar medis.

    “Jika ketiga pilar ini dijalankan secara komprehensif dan terkoordinasi, saya optimis kita dapat menurunkan angka kematian dan mencapai eliminasi kanker serviks di seluruh Indonesia,” tegas Prof Dante.

    Mulai tahun 2025, layanan skrining HPV DNA akan diintegrasikan dalam program pemeriksaan kesehatan gratis. 

    Diharapkan, kebijakan ini dapat memperluas jangkauan deteksi dini dan mencegah berkembangnya penyakit ke stadium lanjut.

    Meski demikian, tantangan geografis yang kompleks masih menjadi hambatan, terutama di wilayah terpencil dan kepulauan yang belum memiliki akses layanan kesehatan memadai.

    Sebagai solusi, Kementerian Kesehatan akan membangun laboratorium pendukung di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia. 

    Laboratorium ini akan mempercepat diagnosis kanker serviks, terutama di fasilitas kesehatan yang belum memiliki sarana memadai.

    Evaluasi menyeluruh di tingkat Puskesmas juga akan dilakukan, agar pemeriksaan kanker serviks dapat menjadi layanan rutin yang efektif, mudah diakses, dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat.

     

  • Kemenkes Sebut Banyak Kasus Kematian DBD Disebabkan karena Pasien Datang Terlambat ke RS – Halaman all

    Kemenkes Sebut Banyak Kasus Kematian DBD Disebabkan karena Pasien Datang Terlambat ke RS – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA –– Ketua Tim Kerja Arbovirosis, Kementerian Kesehatan RI dr. Fadjar SM Silalahi menyebut, banyak kasus kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia diakibatkan penanganan yang terlambat.

    Pasien datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan parah seperti trombosit yang sudah sangat rendah dimana bisa meningkatkan risiko pendarahan otak.

    “Sebagian besar kematian karena keterlambatan, Artinya kondisi DBD-nya sudah parah. Rata-rata pasien datang ke RS atau fasilitas kesehatan setelah lebih dari 3-4 hari mengalami demam tidak biasa. Kondisi seperti itu sudah sulit tertolong oleh dokter,” kata dia dalam kegiatan media briefing bertajuk Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan, di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Karena itu saat mengalami demam yang tidak biasa, segera datang ke rumah sakit atau faskes untuk memastikan bahwa demam itu bukan karena Dengue.

    Sampai dengan minggu ke-14 2025, atau data per 13 April 2025, pihaknya mencatat sebanyak 38.740 kasus dengue di Indonesia dengan kematian sebanyak 182 kasus.

    “Semua harus waspada jika mengalami demam tidak biasa lebih 1 -2 hari, jangan – jangan itu dengue. Segera periksa ke dokter pastikan bukan karena DBD,” ungkap dia.

    Lebih lanjut dr Fajar menegaskan, sampai saat ini belum ada obat yang spesifik yang bisa mengobati DBD. Dengan demikian Kemenkes terus memperkuat kewaspadaan melalui edukasi dan pencegahan lintas sektor. Mendorong masyarakat untuk disiplin menerapkan 3M Plus dan mempertimbangkan penggunaan pencegahan yang inovatif seperti vaksinasi.

    Ditambahkan Spesialis Penyakit Dalam dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH, FINASIM bahwa dengue bukan sekadar demam yang bisa sembuh dengan sendirinya.

    Masyarakat seringkali menganggap dengue sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya. Padahal, kenyataannya jauh lebih serius.

    “Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat, dan penurunan drastis jumlah trombosit, yang bisa berujung pada kondisi gawat darurat—terutama pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta,” ujar dia.

    Masih dalam kegiatan yang sama, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines Andreas Gutknecht, mengungkapkan, hasil studi lintas negara yang dilakukan dengan melibatkan 3.800 responden dari tujuh negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

    Studi ini menunjukkan bahwa tingkat pe

    Kemenkes Sebut Banyak Kasus Kematian DBD Disebabkan karena Pasien Datang Terlambat ke RS

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Ketua Tim Kerja Arbovirosis, Kementerian Kesehatan RI dr. Fadjar SM Silalahi menyebut, banyak kasus kematian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia diakibatkan penanganan yang terlambat.

    Pasien datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan parah seperti trombosit yang sudah sangat rendah dimana bisa meningkatkan risiko pendarahan otak.

    “Sebagian besar kematian karena keterlambatan, Artinya kondisi DBD-nya sudah parah. Rata-rata pasien datang ke RS atau fasilitas kesehatan setelah lebih dari 3-4 hari mengalami demam tidak biasa. Kondisi seperti itu sudah sulit tertolong oleh dokter,” kata dia dalam kegiatan media briefing bertajuk Waspada DBD: Lindungi Keluarga, Selamatkan Masa Depan, di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Karena itu saat mengalami demam yang tidak biasa, segera datang ke rumah sakit atau faskes untuk memastikan bahwa demam itu bukan karena Dengue.

    Sampai dengan minggu ke-14 2025, atau data per 13 April 2025, pihaknya mencatat sebanyak 38.740 kasus dengue di Indonesia dengan kematian sebanyak 182 kasus.

    “Semua harus waspada jika mengalami demam tidak biasa lebih 1 -2 hari, jangan – jangan itu dengue. Segera periksa ke dokter pastikan bukan karena DBD,” ungkap dia.

    Lebih lanjut dr Fajar menegaskan, sampai saat ini belum ada obat yang spesifik yang bisa mengobati DBD. Dengan demikian Kemenkes terus memperkuat kewaspadaan melalui edukasi dan pencegahan lintas sektor. Mendorong masyarakat untuk disiplin menerapkan 3M Plus dan mempertimbangkan penggunaan pencegahan yang inovatif seperti vaksinasi.

    Ditambahkan Spesialis Penyakit Dalam dr. Dirga Sakti Rambe, M.Sc, Sp.PD, FRSPH, FINASIM bahwa dengue bukan sekadar demam yang bisa sembuh dengan sendirinya.

    Masyarakat seringkali menganggap dengue sebagai penyakit ringan yang akan sembuh dengan sendirinya. Padahal, kenyataannya jauh lebih serius.

    “Dengue bisa berkembang cepat dan menimbulkan komplikasi berat, seperti dengue shock syndrome (DSS), perdarahan hebat, dan penurunan drastis jumlah trombosit, yang bisa berujung pada kondisi gawat darurat—terutama pada anak-anak, lansia, atau individu dengan penyakit penyerta,” ujar dia.

    Masih dalam kegiatan yang sama, Presiden Direktur PT Takeda Innovative Medicines Andreas Gutknecht, mengungkapkan, hasil studi lintas negara yang dilakukan dengan melibatkan 3.800 responden dari tujuh negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.

    Studi ini menunjukkan bahwa tingkat pemahaman masyarakat tentang dengue, termasuk vektor, pencegahan, dan vaksinasi, masih rendah—rata-rata hanya 47 persen.

    Hal ini menunjukkan perlunya upaya edukasi yang lebih konsisten dan berkesinambungan dengan memperkuat kampanye CegahDBD tahun ini melalui video edukatif terbaru, situs web interaktif, dan kanal WhatsApp yang bisa menjangkau lebih banyak keluarga di Indonesia—dengan bahasa yang mudah dipahami dan terpercaya.

     

  • Wamenkes Sebut Kasus Demam Berdarah Perlu Perhatian! Sampai April 2025, Ada 182 Kematian – Halaman all

    Wamenkes Sebut Kasus Demam Berdarah Perlu Perhatian! Sampai April 2025, Ada 182 Kematian – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA –– Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD, menyebut bahwa penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan serius di Indonesia.

    Tercatat, sampai dengan minggu ke-14 2025, atau data per 13 April 2025, Kemenkes mencatat sebanyak 38.740 kasus dengue di Indonesia dengan kematian sebanyak 182 kasus.

    “Per April 2025, sudah tercatat lebih dari 38.000 kasus dan lebih dari 100 kematian akibat DBD,” tutur dia dalam media briefing di Jakarta, Rabu (23/4/2025).

    Ia menyampaikan, sudah lebih dari setengah abad berlalu, DBD masih menyisakan kematian setiap tahunnya.

    Merujuk data Kemenkes tahun 2024, jumlah kasus dan kematian meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2023.

    “Semua menyadari penyakit DBD dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti perubahan iklim, kepadatan penduduk, dan mobilitas masyarakat. Artinya, siapa pun bisa berisiko terkena penyakit ini,” ungkap dia.

    Oleh karena itu, pencegahan yang menyeluruh perlu menjadi perhatian bersama. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, diperlukan kolaborasi lintas sektor untuk mendukung cita-cita besar kita bersama: ‘Nol Kematian Akibat DBD pada Tahun 2030′.

    Ketua Tim Kerja Arbovirosis Kemenkes,
    dr. Fadjar SM Silalahi menegaskan, “dengue adalah penyakit yang bisa mengancam nyawa, dan tidak bisa lagi menunggu sampai puncak kasus (wabah) untuk bertindak.

    Banyak masyarakat yang masih salah menganggap bahwa dengue merupakan penyakit musiman. Padahal, faktanya tidak begitu.

    “Penyakit dengue ada dan dapat menyebar sepanjang tahun, walaupun memang pada bulan-bulan tertentu kasusnya bisa melonjak secara signifikan,” tutur dokter Fajar.

    Dengan demikian, pencegahan harus menyeluruh, dimulai dari mengendalikan vektor nyamuk dengan 3M Plus, edukasi yang berkelanjutan, dan yang tidak kalah penting adalah menambah perlindungan menggunakan metode yang inovatif seperti vaksinasi.