Vaksinasi Campak di Sumenep Targetkan 3.346 Anak Per Hari
Tim Redaksi
SUMENEP, KOMPAS.com
– Dinas Kesehatan P2KB Kabupaten Sumenep, Jawa Timur merilis data resmi sasaran vaksinasi campak setelah dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) per Agustus 2025.
“Penetapan status KLB membuat kami harus bergerak cepat. Vaksinasi massal ini langkah utama untuk menekan penularan,” kata Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes P2KB Sumenep, Achmad Syamsuri, Senin (25/8/2025).
Sebanyak 73.969 anak, lanjut Syamsuri, tercatat menjadi sasaran program imunisasi massal campak atau outbreak response immunization (ORI).
“Iya. Program ini mulai digelar hari ini, Senin,” ucap dia.
“Semua anak usia sasaran akan kita kejar agar bisa terlayani, baik yang di daratan maupun di kepulauan,” kata Syamsuri.
Ia juga mengatakan, vaksinasi massal akan berlangsung selama 21 hari.
Target capaian yang ditetapkan sebesar 95 persen atau setara dengan 70.271 anak.
“Target 95 persen itu, itu standar minimal agar kekebalan kelompok terbentuk,” ucapnya.
Setiap harinya, Dinkes P2KB menargetkan capaian vaksinasi sekitar 4,8 persen dari total sasaran.
Jumlah itu setara dengan 3.346 anak per hari.
Selain menetapkan target vaksinasi, Dinkes P2KB juga melaporkan adanya tambahan kasus campak di Sumenep.
Jumlah kasus terus bertambah dari waktu ke waktu. Hingga 24 Agustus 2025, kasus campak tercatat naik menjadi 2.105.
Sebelumnya, jumlah kasus masih di kisaran 2.035.
“Kenaikan kasus ini yang membuat vaksinasi harus dilakukan segera. Tanpa itu, risiko penyebaran bisa makin luas,” ujar Syamsuri.
Pelaksanaan vaksinasi massal digelar serentak di 26 puskesmas.
Layanan mencakup wilayah daratan maupun kepulauan Sumenep.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Event: vaksinasi
-
/data/photo/2025/08/26/68ad2aa73284b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Vaksinasi Campak di Sumenep Targetkan 3.346 Anak Per Hari Surabaya 26 Agustus 2025
-
/data/photo/2025/07/21/687db5e8abd93.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
31 Desa di Sikka Masuk Kategori Desa Tertular Rabies, Anjing Liar Terancam Dieliminasi Regional 26 Agustus 2025
31 Desa di Sikka Masuk Kategori Desa Tertular Rabies, Anjing Liar Terancam Dieliminasi
Tim Redaksi
SIKKA, KOMPAS.com
– Sebanyak 31 desa di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), masuk dalam kategori daerah tertular rabies. Anjing-anjing di lokasi tersebut bisa menjadi sasaran eliminasi selektif.
Desa-desa ini tersebar di 13 kecamatan, yakni Nele, Waigete, Hewokloang, Talibura, Magepanda, Mego, Nita, Koting, Doreng, Tanawawo, Waiblama, Bola, dan Lela.
Penyebaran virus rabies, yang terdeteksi pada anjing dan menyebabkan beberapa kasus kematian pada manusia, menjadi perhatian serius pemerintah setempat.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Sikka Albertus MW Gobang menjelaskan, pihaknya mengambil langkah untuk menekan penyebaran virus mematikan ini.
“Sejak diterbitkannya Instruksi Bupati Nomor 5 pada Maret 2025, kami telah menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk desa-desa yang terkonfirmasi positif rabies,” ujar Albertus saat ditemui di Sikka, Selasa (26/8/2025).
Langkah penanganan dimulai dengan pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC) di tingkat desa.
Setiap kali kasus rabies terdeteksi, pemerintah daerah segera berkoordinasi dengan pihak kecamatan dan desa.
Camat kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk menutup wilayah desa dari lalu lintas hewan penular rabies (HPR), terutama anjing.
“Penutupan ini bertujuan membatasi pergerakan hewan yang berpotensi menularkan virus,” kata Albertus.
Berdasarkan SK camat inilah, pemerintah desa lalu membentuk TRC yang dikukuhkan melalui SK kepala desa. Tim ini terdiri dari tiga kelompok kerja (pokja) dengan tugas spesifik:
Albertus menambahkan, penutupan wilayah diberlakukan selama tiga bulan untuk memantau penyebaran virus.
Setelah periode ini, vaksinasi HPR dilakukan, meskipun terkendala keterbatasan stok vaksin.
“Vaksinasi diprioritaskan untuk wilayah yang paling membutuhkan. Selain itu, beberapa desa juga telah melakukan eliminasi anjing liar,” kata dia.
Beberapa desa yang telah membentuk TRC antara lain Kajowair, Baomekot, Watukobu, Kopong, Iligai, dan Waturupa.
“Kami berharap langkah ini dapat menekan penyebaran rabies dan melindungi masyarakat,” ujar Albertus.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Kasus Kematian Campak di Sumenep Tembus 17, Usia Pasien Terbanyak 0-4 Tahun
Jakarta –
Sebanyak 78.569 anak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menjadi sasaran vaksinasi campak massal. Langkah ini dilakukan untuk menekan penyebaran penyakit yang sejauh ini telah menginfeksi sekitar 2.000 anak.
“Vaksinasi akan digelar di 26 puskesmas, baik di wilayah daratan maupun kepulauan, serta di tiga rumah sakit. Pelaksanaan dimulai pada 25 Agustus 2025, sesuai hasil rapat lintas sektor,” ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (Dinkes-P2KB) Kabupaten Sumenep, Achmad Syamsuri, dikutip dari ANTARA, Selasa (26/8/2025).
Program vaksinasi massal atau Outbreak Response Immunization (ORI) tersebut berlangsung hingga 14 September 2025. Sasaran utama adalah anak berusia 9 bulan hingga 6 tahun.
Dalam pelaksanaannya, setiap anak akan mendapat satu dosis vaksin MR tanpa memperhitungkan riwayat imunisasi sebelumnya. Usai ORI, pemerintah daerah juga akan melaksanakan imunisasi kejar bagi anak-anak yang belum mendapatkan vaksin sesuai jadwal.
Kementerian Kesehatan RI merinci jumlah kasus kematian kasus suspek campak di Kabupaten Sumenep berdasarkan kecamatan.
Berdasarkan data Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR), sejak Januari hingga Agustus 2025 tercatat ada 2.035 kasus suspek campak di Sumenep. Dari jumlah itu, 17 pasien meninggal dunia.
Terbanyak ada di wilayah Rubaru dengan laporan tiga kasus. Berikut rinciannya:
Rubaru: 3 kasus suspekLenteng: 3 kasus suspekTalango: 2 kasus suspekDasuk: 2 kasus suspekManding: 2 kasus suspekAmbunten: 2 kasus suspekBluto: 1 kasus suspekPasongsongan: 1 kasus suspekGapura: 1 kasus suspekbaca juga
Usia anak yang meninggal
Dari total laporan tersebut, 16 di antaranya merupakan usia 0 hingga 4 tahun. Sementara sisa 1 kasus berada di rentang 5 hingga 9 tahun. Sebagian besar di antaranya adalah anak laki-laki.
Dari 17 kasus kematian, 16 di antaranya tidak diimunisasi. Sementara satu kasus hanya menjalani imunisasi campak rubella satu kali.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan 3 kasus kematian yang dilaporkan positif terpapar campak. Namun, 14 kasus kematian lainnya belum sempat dilakukan pemeriksaan.
“Kecamatan Rubaru dan Kecamatan Lenteng melaporkan kematian kasus campak tertinggi, masing-masing tiga kasus. Kematian tertinggi terdapat pada balita yaitu sebanyak 16 kasus,” demikian lapor Kemenkes RI dalam grafik yang diterima detikcom Selasa (26/8).
“Mayoritas kasus tidak mendapatkan imunisasi dan tidak melakukan pemeriksaan spesimen di laboratorium,” lanjutnya.
Halaman 2 dari 2
(naf/kna)
-

Wabah Campak Serang Bangkalan, Ratusan Balita Terinfeksi dan 1 Orang Meninggal
Jakarta –
Kasus infeksi campak di Bangkalan, Madura, Jawa Timur tergolong cukup tinggi. Ada ratusan balita pasien campak dan satu di antaranya meninggal dunia.
Spesialis anak, dr Mega Malynda, SpA dari RSUD Syarambu Bangkalan mencatat ada sekitar 275 pasien campak hingga akhir Agustus ini. Sementara, pasien meninggal terjadi di awal tahun.
“Di RSUD pasien campak meningkat drastis. Mulai Januari sampai Agustus ini tercatat ada 275 pasien positif campak. Untuk kematian hanya 1 di Januari lalu,” kata dr Mega dikutip dari detikJatim, Selasa (26/8/2025).
Kasus campak di Bangkalan didominasi oleh anak-anak berusia 2-3 tahun. Mereka umumnya mengalami gejala yang serupa seperti demam di hari pertama, keluar bintik-bintik merah di belakang telinga hingga sekujur tubuh.
Pada beberapa balita yang terinfeksi campak, biasanya disertai dengan batuk dan pilek.
“Saat ini yang masih kami rawat ada 17 pasien campak terdiri dari balita semua. Di Agustus ini ada 50 pasien, dan rata-rata dari Kecamatan Geger Bangkalan,” kata dr Mega.
Banyak Anak Tak Diimunisasi di Madura
dr Mega mengatakan kasus campak berat yang dialami pasien mayoritas karena mereka belum mendapatkan imunisasi, sehingga tubuh tidak memiliki perlindungan yang baik pada campak.
Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengatakan ada banyak faktor yang saat ini memengaruhi mengapa orang tua tidak memberikan imunisasi ke anak-anak mereka.
“Banyak (alasan keluarga nggak mau vaksinasi anak). Ada yang dikaitkan soal agama, takut karena nanti ada efek samping,” kata Prof Dante kepada wartawan di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).
“Sebenarnya ini sudah kami kaji, vaksinasi-vaksinasi yang kami berikan ke masyarakat itu sudah dikaji secara empiris dalam waktu lama, sehingga aman untuk diberikan ke anak,” sambungnya.
Halaman 2 dari 2
Simak Video “Video: Upaya Kemenkes Cegah Misinformasi Seputar Imunisasi”
[Gambas:Video 20detik]
(dpy/kna) -

Sederet Mitos Terkait Vaksinasi Campak dan Faktanya, Ortu Perlu Tahu!
Jakarta –
Kejadian luar biasa (KLB) campak di Sumenep, Jawa Timur, menyoroti pentingnya vaksinasi untuk mencegah penularan penyakit dan morbiditas akibat penyakit tersebut. Di Sumenep, mayoritas pasien berusia balita dan tidak memiliki riwayat imunisasi.
“Dari yang meninggal dunia, umumnya tidak pernah diimunisasi campak/lainnya,” kata Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan RI Aji Mulawarman saat dihubungi detikcom, Senin (25/8/2025).
Data WHO tahun 2023 mencatat bahwa 14,5 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi (zero dose), dengan Indonesia menempati posisi keenam tertinggi, yaitu 1.356.367 anak tidak menerima imunisasi dasar pada periode 2019-2023.
Dalam Survei Kesehatan Indonesia di tahun 2023, tercatat 47 persen anak tidak diimunisasi karena tidak diizinkan keluarga, 45 persen karena takut efek samping, 23 persen tidak mengetahui jadwal imunisasi, dan 22 persen menganggap imunisasi tidak penting.
Vaksin campak telah terbukti efektif mencegah penyakit menular yang bisa berakibat serius. Sayangnya, masih banyak orang tua yang ragu atau enggan anaknya diimunisasi karena terpengaruh berbagai mitos seputar vaksin campak.
Berikut sederet mitos vaksinasi campak dan faktanya, orang tua perlu tahu.
1. Mitos: Vaksin campak menyebabkan autisme
Banyak studi ilmiah selama bertahun-tahun telah menunjukkan tidak adanya hubungan antara autisme dan vaksin MMR, yang menegaskan keamanannya dan mendorong kepercayaan publik terhadap imunisasi. Namun, misinformasi terus menyebar, dan ketakutan yang tidak berdasar masih ada.
Lebih lanjut, vaksin yang digunakan dalam setiap program imunisasi nasional telah diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), lulus prakualifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta telah mendapatkan rekomendasi NITAG (National Immunization Technical Advisory Groups).
2. Mitos: Vaksin campak lebih berbahaya daripada terinfeksi campak.
Faktanya, terinfeksi campak tidak lebih aman daripada diimunisasi. Infeksi campak membawa risiko serius termasuk pneumonia, pembengkakan otak, dan bahkan kematian.
Vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) memberikan kekebalan yang kuat dan tahan lama tanpa membahayakan kesehatan anak. Infeksi alami memang dapat memberikan kekebalan, tetapi harganya mahal terlebih untuk kesehatan anak.
3. Mitos: ASI bisa menjadi pengganti vaksin
ASI mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan anak, termasuk antibodi untuk membentuk kekebalan tubuhnya. Pemberian ASI eksklusif, disertai makanan dengan gizi lengkap dan seimbang, memang dapat memberi perlindungan secara umum pada anak.
Namun, perlindungan terhadap penyakit-penyakit tertentu hanya bisa didapatkan melalui vaksin, sehingga anak wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap.
4. Mitos: Anak yang sehat tidak butuh vaksin
Faktanya, sistem kekebalan tubuh bayi baru lahir hingga usia 2 tahun belum berkembang dengan sempurna, walaupun kondisi tubuhnya sehat dan pertumbuhannya sesuai grafik pertumbuhan anak seusianya.
Selain itu juga, infeksi penyakit menular tidak bisa diprediksi dan bisa terjadi kapan saja, sehingga lebih baik mencegah dengan memperkuat kekebalan tubuh anak, baik yang sehat maupun tidak sehat, melalui imunisasi.
5. Mitos: Bayi atau anak selalu mengalami demam setelah diimunisasi
Tidak benar. Demam adalah reaksi pertahanan tubuh terhadap imunisasi yang diterima anak. Bergantung pada kondisi tubuh, anak dapat mengalami demam ringan dan dapat disimpulkan bahwa tubuhnya memiliki reaksi yang baik. Artinya, vaksin yang diberikan bekerja sesuai harapan.
Halaman 2 dari 2
(kna/kna)




