Event: vaksinasi

  • Vaksinasi Campak di Sumenep Targetkan 3.346 Anak Per Hari
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        26 Agustus 2025

    Vaksinasi Campak di Sumenep Targetkan 3.346 Anak Per Hari Surabaya 26 Agustus 2025

    Vaksinasi Campak di Sumenep Targetkan 3.346 Anak Per Hari
    Tim Redaksi
    SUMENEP, KOMPAS.com
    – Dinas Kesehatan P2KB Kabupaten Sumenep, Jawa Timur merilis data resmi sasaran vaksinasi campak setelah dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) per Agustus 2025.
    “Penetapan status KLB membuat kami harus bergerak cepat. Vaksinasi massal ini langkah utama untuk menekan penularan,” kata Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes P2KB Sumenep, Achmad Syamsuri, Senin (25/8/2025).
    Sebanyak 73.969 anak, lanjut Syamsuri, tercatat menjadi sasaran program imunisasi massal campak atau outbreak response immunization (ORI).
    “Iya. Program ini mulai digelar hari ini, Senin,” ucap dia.
    “Semua anak usia sasaran akan kita kejar agar bisa terlayani, baik yang di daratan maupun di kepulauan,” kata Syamsuri.
    Ia juga mengatakan, vaksinasi massal akan berlangsung selama 21 hari.
    Target capaian yang ditetapkan sebesar 95 persen atau setara dengan 70.271 anak.
    “Target 95 persen itu, itu standar minimal agar kekebalan kelompok terbentuk,” ucapnya.
    Setiap harinya, Dinkes P2KB menargetkan capaian vaksinasi sekitar 4,8 persen dari total sasaran.
    Jumlah itu setara dengan 3.346 anak per hari.
    Selain menetapkan target vaksinasi, Dinkes P2KB juga melaporkan adanya tambahan kasus campak di Sumenep.
    Jumlah kasus terus bertambah dari waktu ke waktu. Hingga 24 Agustus 2025, kasus campak tercatat naik menjadi 2.105.
    Sebelumnya, jumlah kasus masih di kisaran 2.035.
    “Kenaikan kasus ini yang membuat vaksinasi harus dilakukan segera. Tanpa itu, risiko penyebaran bisa makin luas,” ujar Syamsuri.
    Pelaksanaan vaksinasi massal digelar serentak di 26 puskesmas.
    Layanan mencakup wilayah daratan maupun kepulauan Sumenep.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 31 Desa di Sikka Masuk Kategori Desa Tertular Rabies, Anjing Liar Terancam Dieliminasi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        26 Agustus 2025

    31 Desa di Sikka Masuk Kategori Desa Tertular Rabies, Anjing Liar Terancam Dieliminasi Regional 26 Agustus 2025

    31 Desa di Sikka Masuk Kategori Desa Tertular Rabies, Anjing Liar Terancam Dieliminasi
    Tim Redaksi
    SIKKA, KOMPAS.com
    – Sebanyak 31 desa di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT),  masuk dalam kategori daerah tertular rabies. Anjing-anjing di lokasi tersebut bisa menjadi sasaran eliminasi selektif.
    Desa-desa ini tersebar di 13 kecamatan, yakni Nele, Waigete, Hewokloang, Talibura, Magepanda, Mego, Nita, Koting, Doreng, Tanawawo, Waiblama, Bola, dan Lela.
    Penyebaran virus rabies, yang terdeteksi pada anjing dan menyebabkan beberapa kasus kematian pada manusia, menjadi perhatian serius pemerintah setempat.
    Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Sikka Albertus MW Gobang menjelaskan, pihaknya mengambil langkah untuk menekan penyebaran virus mematikan ini.
    “Sejak diterbitkannya Instruksi Bupati Nomor 5 pada Maret 2025, kami telah menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk desa-desa yang terkonfirmasi positif rabies,” ujar Albertus saat ditemui di Sikka, Selasa (26/8/2025).
    Langkah penanganan dimulai dengan pembentukan Tim Reaksi Cepat (TRC) di tingkat desa.
    Setiap kali kasus rabies terdeteksi, pemerintah daerah segera berkoordinasi dengan pihak kecamatan dan desa.
     
    Camat kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) untuk menutup wilayah desa dari lalu lintas hewan penular rabies (HPR), terutama anjing.
    “Penutupan ini bertujuan membatasi pergerakan hewan yang berpotensi menularkan virus,” kata Albertus.
    Berdasarkan SK camat inilah, pemerintah desa lalu membentuk TRC yang dikukuhkan melalui SK kepala desa. Tim ini terdiri dari tiga kelompok kerja (pokja) dengan tugas spesifik:
    Albertus menambahkan, penutupan wilayah diberlakukan selama tiga bulan untuk memantau penyebaran virus.
     
    Setelah periode ini, vaksinasi HPR dilakukan, meskipun terkendala keterbatasan stok vaksin.
    “Vaksinasi diprioritaskan untuk wilayah yang paling membutuhkan. Selain itu, beberapa desa juga telah melakukan eliminasi anjing liar,” kata dia.
    Beberapa desa yang telah membentuk TRC antara lain Kajowair, Baomekot, Watukobu, Kopong, Iligai, dan Waturupa.
    “Kami berharap langkah ini dapat menekan penyebaran rabies dan melindungi masyarakat,” ujar Albertus. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah targetkan Indonesia bebas penyakit mulut dan kuku pada 2035

    Pemerintah targetkan Indonesia bebas penyakit mulut dan kuku pada 2035

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah menargetkan Indonesia bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) pada 2035 sebagai bagian dari upaya untuk mencapai swasembada pangan serta meningkatkan investasi di sektor peternakan.

    Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Agung Suganda, di Jakarta, Selasa, mengatakan pemerintah telah meluncurkan peta jalan pemberantasan PMK pada 2023 dan menargetkan Indonesia bebas PMK tanpa vaksinasi pada 2035.

    Langkah-langkah yang dilakukan meliputi program vaksinasi berbasis risiko, menetapkan zona prioritas, memperketat biosekuriti, meningkatkan kapasitas petugas kesehatan hewan, memperkuat surveilans, hingga melibatkan publik melalui kampanye edukasi.

    Selain itu, Agung mengatakan Kementan juga akan mengajukan agar Indonesia diakui sebagai negara yang memiliki program pengendalian PMK yang terarah ke Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH).

    “Tahun depan kami akan mengusulkan pengakuan secara negara bahwa Indonesia memiliki program pengendalian PMK yang terkendali. Pengakuan ini penting untuk menuju Indonesia bebas PMK pada 2035,” ucap Agung.

    Tak hanya itu, Indonesia juga telah mengajukan dokumen ke WOAH pada 13 Agustus 2025 lalu untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara dengan zona bebas PMK tanpa vaksinasi di sembilan provinsi, yang terdiri dari enam provinsi di Papua, dua provinsi di Maluku, dan satu provinsi di Nusa Tenggara Timur.

    Agung mengatakan Kementan terus mengintensifkan program vaksinasi PMK dengan harapan kasus bisa ditekan hingga nol (zero case), yang akan mempermudah upaya pemberantasan.

    Ia mengakui bahwa pengendalian PMK tidak mudah, tetapi bisa diselesaikan melalui kerja sama yang kuat dan kesadaran dari para peternak.

    Ia menyebut sebagai contoh, di negara dengan kasus PMK yang tinggi seperti India dan Pakistan, populasi ternak tetap meningkat karena adanya kesadaran peternak untuk melakukan vaksinasi secara terkendali. Menurut dia, ini menunjukkan bahwa kesadaran peternak menjadi kunci utama.

    Saat ini, Indonesia juga berupaya mendapatkan pengakuan internasional sebagai negara dengan zona bebas PMK, mencontoh Brasil yang telah berhasil meraih status tersebut setelah melalui proses bertahun-tahun.

    PMK yang kembali muncul pada 2022 setelah lebih dari tiga dekade Indonesia berstatus bebas penyakit telah menimbulkan kerugian ekonomi. Kementan memperkirakan potensi kerugian akibat wabah PMK pada 2022 mencapai sekitar Rp9 triliun.

    Agung menyebut saat ini kasus PMK di Indonesia mulai terkendali, bahkan beberapa daerah seperti Bali dan Nusa Tenggara Barat sudah mencapai nol kasus.

    Kementan mencatat kasus PMK per Agustus 2025 mencapai 593 ekor. Kasus terbanyak ada di Sulawesi Selatan dengan 323 ekor, diikuti Jawa Tengah 110 ekor, dan Jawa Timur 109 ekor.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kementan genjot vaksinasi PMK untuk jaga kesehatan hewan ternak

    Kementan genjot vaksinasi PMK untuk jaga kesehatan hewan ternak

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Pertanian terus mengintensifkan program vaksinasi penyakit mulut dan kuku (PMK) untuk mencegah lonjakan kasus terhadap hewan ternak, khususnya menjelang perayaan Idul Adha.

    Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Agung Suganda, di Jakarta, Selasa, mengatakan program vaksinasi massal PMK dilakukan dua periode dalam setahun.

    Periode pertama telah berlangsung pada Januari hingga Maret 2025 dengan mengalokasikan vaksin 2,1 juta dosis dan telah berhasil mengendalikan kasus PMK, terutama saat mobilisasi ternak untuk kurban Idul Adha.

    “Alhamdulillah, dampaknya terasa pada saat mobilisasi ternak, kasus dapat kita kendalikan,” kata dia.

    Ia menjelaskan saat ini periode kedua vaksinasi masih berlangsung, dari Juni hingga September. Meskipun realisasi vaksinasi periode kedua masih rendah, pemerintah optimistis dapat mengejar ketertinggalan dalam satu bulan ke depan.

    “Kami sudah mengalokasikan 1,9 juta dosis vaksin di periode kedua, namun realisasinya masih di angka 31,4 persen. Artinya, kita masih punya 70 persen vaksin yang harus segera diberikan,” ujar Agung.

    Selain menggenjot vaksinasi, Kementan juga menjalankan berbagai strategi lain untuk mengendalikan PMK. Salah satu upayanya adalah mendorong penerapan biosekuriti secara maksimal, terutama bagi peternak sapi perah, kambing, domba, dan babi, untuk mencegah masuk dan penyebaran penyakit.

    Kemudian, Agung menjelaskan Kementan juga memperketat pengawasan lalu lintas ternak dengan mewajibkan sertifikat kesehatan hewan atau Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH) yang diterbitkan oleh dinas setempat.

    Pemerintah juga berfokus pada kolaborasi multistakeholder dengan melibatkan perguruan tinggi, asosiasi profesi seperti Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI), serta para peternak untuk meningkatkan kesadaran dan kemandirian dalam program vaksinasi dan penanganan kesehatan hewan.

    Kementan telah membagi zona pengendalian PMK di Indonesia menjadi tiga: zona pemberantasan (Lampung, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat), zona pencegahan (Sumatera, Sulawesi, Kalimantan), serta zona bebas PMK tanpa vaksinasi (Maluku, Papua, dan NTT).

    Indonesia juga telah mengajukan dokumen ke Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) pada 13 Agustus lalu untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara dengan zona bebas PMK tanpa vaksinasi di sembilan provinsi, yang terdiri dari enam provinsi di Papua, dua provinsi di Maluku, dan satu provinsi di NTT.

    “Pengakuan ini sangat penting untuk menjaga status bebas PMK kita. Kami menargetkan pengakuan secara nasional bahwa Indonesia memiliki program pengendalian PMK yang terkendali pada 2026, menuju Indonesia bebas PMK tanpa vaksinasi di tahun 2035,” kata Agung.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kementan Mau Ajukan RI Zona Bebas PMK, Ini Tujuannya

    Kementan Mau Ajukan RI Zona Bebas PMK, Ini Tujuannya

    Jakarta

    Kementerian Pertanian (Kementan) sedang mengajukan agar Indonesia mendapatkan pengakuan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) sebagai negara yang memiliki zona bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) serta negara dengan pengendalian PMK yang terarah.

    Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan Agung Suganda mengatakan pihaknya telah mengirimkan dokumen ke WOAH pada 13 Agustus lalu. Dokumen itu berisi data surveilans dari sembilan provinsi yang masih bebas PMK tanpa vaksinasi.

    “Untuk mendapatkan pengakuan itu kita harus menyampaikan dossier atau dokumennya ke mereka untuk dinilai. Kita harapkan target tahun ini kita mendapatkan pengakuan memiliki zona bebas tanpa vaksinasi 9 wilayah itu,” kata Agung usai ditemui dalam acara Strategi Nasional Pengendalian PMK di Jakarta Selatan, Selasa (26/8/2025).

    PMK di Indonesia Terkendali

    Agung menyebut, wabah PMK di Indonesia berhasil terkendali. Beberapa daerah, seperti Bali, Nusa Tenggara Barat, serta Jawa Barat sudah hampir mendekati tidak ada insiden wabah PMK. Dari situ, Agung menilai upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mengendalikan wabah PMK sudah benar.

    “Artinya, pendekatan yang kita lakukan sudah on the track tinggal bagaimana penguatan kita di lapangan dan campaign kita di masyarakat agar memberikan semangat ke peternak kita sehingga menarik investasi peternakan yang saat ini dicanangkan oleh bapak presiden dan bapak mentan. Karena kita berharap Indonesia bisa mengurangi ketergantungan impor dari daging sapi dan susu segar,” imbuh Agung.

    Kesembilan provinsi itu tersebar di 6 provinsi di Papua, 2 provinsi di Maluku, dan 1 provinsi di Nusa Tenggara Barat (NTB). Selain itu, pihaknya tahun depan juga mengajukan agar Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara dengan pengendalian PMK yang terarah.

    Direktur Kesehatan Hewan Kementan Hendra Wibawa menyampaikan pemerintah telah melakukan upaya pengendalian PMK sejak dua tahun lalu. Targetnya, Indonesia mengantongi pengakuan WOAH tahun depan.

    Keuntungan Zona Bebas PMK

    Ada sejumlah keuntungan yang didapatkan jika Indonesia mendapat pengakuan dari WOAH, seperti menarik investasi. Menurut Hendra, Indonesia dapat mengekspor hewan ternak dari daerah-daerah yang bebas kasus PMK dan diakui oleh WOAH jika ketersediaan hewan ternak berlebih.

    “Bisa, bisa (menarik investasi). Jadi investasi bagusnya dari daerah-daerah yang kalau mau ya daerah bebas. Jadi, sebenarnya fungsinya itu,” ujar Hendra.

    Hendra menyebut negara-negara lain yang mengajukan bebas PMK memang dilakukan secara bertahap. Pertama dimulai dari pengakuan melalui zona bebas PMK baik dengan vaksinasi maupun tanpa vaksinasi.

    “Tahun ini kita mengajukan yang bebas dulu, tahun ini kita mengajukan yang bebas 90%. Tahun depan kita mengajukan program kita di-recognize,” imbuh Hendra.

    Lihat juga Video: Wamentan Terus Awasi Wabah PMK: Sediakan 4 Juta Vaksin

    (rea/ara)

  • Indonesia ajukan status zona bebas PMK tanpa vaksinasi ke WOAH

    Indonesia ajukan status zona bebas PMK tanpa vaksinasi ke WOAH

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian sedang berupaya mendapatkan pengakuan dari Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) sebagai negara yang memiliki zona bebas penyakit mulut dan kuku (PMK) tanpa vaksinasi.

    Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Agung Suganda di Jakarta, Selasa, mengatakan pengakuan tersebut menjadi bagian dari strategi pengendalian PMK di Indonesia.

    Agung mengatakan dokumen (dosir) yang berisi data dan informasi mengenai status bebas PMK telah dikirimkan kepada WOAH pada 13 Agustus. Dokumen tersebut mencakup data surveilans dari sembilan provinsi yang hingga kini masih bebas dari wabah PMK.

    “Saat ini kita berada di tahap ketiga, yaitu mencanangkan untuk mendapatkan pengakuan dari WOAH,” kata Agung.

    Selain mengupayakan pengakuan internasional, Agung menyebut pemerintah juga terus menjalankan program vaksinasi massal PMK. Program ini dilakukan dua periode dalam setahun. Periode pertama pada Januari hingga Maret 2025 telah berhasil mengendalikan kasus PMK, terutama saat mobilisasi ternak untuk kurban Idul Adha.

    “Alhamdulillah, dampaknya terasa pada saat mobilisasi ternak, kasus dapat kita kendalikan,” katanya.

    Saat ini periode kedua vaksinasi masih berlangsung, dari Juni hingga September. Vaksinasi ini bertujuan mencegah munculnya kasus PMK saat mobilisasi ternak yang biasanya terjadi pada November dan Desember, sebagai persiapan untuk hewan kurban tahun berikutnya, katanya, menjelaskan.

    Adapun sembilan provinsi yang diusulkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai zona bebas PMK tanpa vaksinasi adalah enam provinsi di Papua, dua provinsi di Maluku, dan satu provinsi di Nusa Tenggara Timur. Provinsi-provinsi tersebut dikategorikan sebagai zona hijau dalam peta pengendalian PMK nasional.

    Secara nasional, zona pengendalian PMK dibagi menjadi tiga kategori. Zona merah meliputi Lampung, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

    Zona kuning mencakup Pulau Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Zona hijau terdiri dari Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Maluku.

    “Sampai saat ini, kita masih memiliki sembilan provinsi yang bebas PMK tanpa vaksinasi, dan kita akan terus menjaga status ini,” kata Agung.

    Pemerintah berharap pengakuan dari WOAH dapat diraih pada 2025 sebagai bentuk apresiasi atas kerja keras dalam mengendalikan PMK.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kasus Kematian Campak di Sumenep Tembus 17, Usia Pasien Terbanyak 0-4 Tahun

    Kasus Kematian Campak di Sumenep Tembus 17, Usia Pasien Terbanyak 0-4 Tahun

    Jakarta

    Sebanyak 78.569 anak di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menjadi sasaran vaksinasi campak massal. Langkah ini dilakukan untuk menekan penyebaran penyakit yang sejauh ini telah menginfeksi sekitar 2.000 anak.

    “Vaksinasi akan digelar di 26 puskesmas, baik di wilayah daratan maupun kepulauan, serta di tiga rumah sakit. Pelaksanaan dimulai pada 25 Agustus 2025, sesuai hasil rapat lintas sektor,” ujar Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (Dinkes-P2KB) Kabupaten Sumenep, Achmad Syamsuri, dikutip dari ANTARA, Selasa (26/8/2025).

    Program vaksinasi massal atau Outbreak Response Immunization (ORI) tersebut berlangsung hingga 14 September 2025. Sasaran utama adalah anak berusia 9 bulan hingga 6 tahun.

    Dalam pelaksanaannya, setiap anak akan mendapat satu dosis vaksin MR tanpa memperhitungkan riwayat imunisasi sebelumnya. Usai ORI, pemerintah daerah juga akan melaksanakan imunisasi kejar bagi anak-anak yang belum mendapatkan vaksin sesuai jadwal.

    Kementerian Kesehatan RI merinci jumlah kasus kematian kasus suspek campak di Kabupaten Sumenep berdasarkan kecamatan.

    Berdasarkan data Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (SKDR), sejak Januari hingga Agustus 2025 tercatat ada 2.035 kasus suspek campak di Sumenep. Dari jumlah itu, 17 pasien meninggal dunia.

    Terbanyak ada di wilayah Rubaru dengan laporan tiga kasus. Berikut rinciannya:

    Rubaru: 3 kasus suspekLenteng: 3 kasus suspekTalango: 2 kasus suspekDasuk: 2 kasus suspekManding: 2 kasus suspekAmbunten: 2 kasus suspekBluto: 1 kasus suspekPasongsongan: 1 kasus suspekGapura: 1 kasus suspekbaca juga

    Usia anak yang meninggal

    Dari total laporan tersebut, 16 di antaranya merupakan usia 0 hingga 4 tahun. Sementara sisa 1 kasus berada di rentang 5 hingga 9 tahun. Sebagian besar di antaranya adalah anak laki-laki.

    Dari 17 kasus kematian, 16 di antaranya tidak diimunisasi. Sementara satu kasus hanya menjalani imunisasi campak rubella satu kali.

    Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan 3 kasus kematian yang dilaporkan positif terpapar campak. Namun, 14 kasus kematian lainnya belum sempat dilakukan pemeriksaan.

    “Kecamatan Rubaru dan Kecamatan Lenteng melaporkan kematian kasus campak tertinggi, masing-masing tiga kasus. Kematian tertinggi terdapat pada balita yaitu sebanyak 16 kasus,” demikian lapor Kemenkes RI dalam grafik yang diterima detikcom Selasa (26/8).

    “Mayoritas kasus tidak mendapatkan imunisasi dan tidak melakukan pemeriksaan spesimen di laboratorium,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Wabah Campak Serang Bangkalan, Ratusan Balita Terinfeksi dan 1 Orang Meninggal

    Wabah Campak Serang Bangkalan, Ratusan Balita Terinfeksi dan 1 Orang Meninggal

    Jakarta

    Kasus infeksi campak di Bangkalan, Madura, Jawa Timur tergolong cukup tinggi. Ada ratusan balita pasien campak dan satu di antaranya meninggal dunia.

    Spesialis anak, dr Mega Malynda, SpA dari RSUD Syarambu Bangkalan mencatat ada sekitar 275 pasien campak hingga akhir Agustus ini. Sementara, pasien meninggal terjadi di awal tahun.

    “Di RSUD pasien campak meningkat drastis. Mulai Januari sampai Agustus ini tercatat ada 275 pasien positif campak. Untuk kematian hanya 1 di Januari lalu,” kata dr Mega dikutip dari detikJatim, Selasa (26/8/2025).

    Kasus campak di Bangkalan didominasi oleh anak-anak berusia 2-3 tahun. Mereka umumnya mengalami gejala yang serupa seperti demam di hari pertama, keluar bintik-bintik merah di belakang telinga hingga sekujur tubuh.

    Pada beberapa balita yang terinfeksi campak, biasanya disertai dengan batuk dan pilek.

    “Saat ini yang masih kami rawat ada 17 pasien campak terdiri dari balita semua. Di Agustus ini ada 50 pasien, dan rata-rata dari Kecamatan Geger Bangkalan,” kata dr Mega.

    Banyak Anak Tak Diimunisasi di Madura

    dr Mega mengatakan kasus campak berat yang dialami pasien mayoritas karena mereka belum mendapatkan imunisasi, sehingga tubuh tidak memiliki perlindungan yang baik pada campak.

    Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengatakan ada banyak faktor yang saat ini memengaruhi mengapa orang tua tidak memberikan imunisasi ke anak-anak mereka.

    “Banyak (alasan keluarga nggak mau vaksinasi anak). Ada yang dikaitkan soal agama, takut karena nanti ada efek samping,” kata Prof Dante kepada wartawan di Kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).

    “Sebenarnya ini sudah kami kaji, vaksinasi-vaksinasi yang kami berikan ke masyarakat itu sudah dikaji secara empiris dalam waktu lama, sehingga aman untuk diberikan ke anak,” sambungnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Upaya Kemenkes Cegah Misinformasi Seputar Imunisasi”
    [Gambas:Video 20detik]
    (dpy/kna)

  • Gen Z Borong Obat Cacing untuk Dikonsumsi, Amankah? Ini Pendapat Para Pakar

    Gen Z Borong Obat Cacing untuk Dikonsumsi, Amankah? Ini Pendapat Para Pakar

    Jakarta

    Belakangan ramai soal generasi Z memborong obat cacing untuk dikonsumsi. Hal ini menyusul kasus balita di Sukabumi, Raya, mengalami cacingan yang kemudian meninggal akibat infeksi. Banyak dari netizen lantas mengaku parno sehingga memilih untuk mengonsumsi obat cacing.

    “Jangan lupa minum obat cacing 6 bulan sekali. Terakhir minum pas SD, sekarang umur 26 baru minum lagi,” tulis narasi video viral di TikTok, dikutip detikcom, Senin (25/8/2025).

    “Para Gen Z ketar-ketir dan langsung memberanikan diri minum obat cacing lagi, terakhir minum pas SD,” tulis narasi lain.

    Aman Dikonsumsi Asal Sesuai Aturan

    Guru Besar Parasitologi Fakultas Kesehatan Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr Dra Taniawati Supali, menjelaskan obat cacing yang belakangan diborong Gen Z dan mudah ditemukan di apotek sebenarnya aman dikonsumsi oleh orang dewasa, asalkan diminum sesuai aturan dan tidak berlebihan.

    Prof Tania menekankan saat ini yang terpenting adalah memberikan edukasi kepada para orang tua untuk memberikan obat cacing pada anak setidaknya setiap enam bulan.

    “Aman sih sebetulnya, asal sesuai aturan ya minumnya. Kalau dia makannya cuman satu-satu gitu tidak apa-apa (jangan kebanyakan),” kata Prof Tania saat ditemui di Jakarta Pusat, Senin (25/8/2025).

    Ia menuturkan, di daerah dengan cakupan vaksinasi rendah, misalnya campak, penolakan terhadap obat cacing juga kerap terjadi. Banyak orang tua, terutama ibu, belum memahami cara memberikan obat cacing dengan benar kepada anak, bahkan ada yang memilih membuang obat tersebut.

    Menurutnya, edukasi sangat diperlukan terutama di wilayah endemis, seperti desa-desa di mana kebiasaan buang air besar masih dilakukan di tanah.

    “Kalau daerah endemis, kan banyak di desa-desa itu dia BAB-nya di tanah jadi nular lagi, kan cacingnya bertelur di tanah, tumbuh jadi larva terus masuk dari tangan, jadi perlu edukasi,” sambungnya.

    Senada, Pakar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati membenarkan, konsumsi obat cacing memang sebaiknya dilakukan rutin 6 bulan sekali. Terutama bagi mereka yang hidup di daerah dengan prevalensi kasus cacingan yang tinggi.

    “Mengapa perlu 6 bulan sekali? Telur cacing bisa bertahan lama di tanah dan lingkungan, sehingga mudah terjadi reinfeksi. Siklus hidup cacing memungkinkan seseorang kembali terinfeksi dalam beberapa minggu sampai bulan setelah pengobatan,” kata Prof Zullies kepada wartawan, Jumat (22/8).

    “Dosis tunggal obat cacing (albendazol 400 mg atau mebendazol 500 mg) efektif membunuh cacing dewasa, tetapi tidak mencegah telur atau larva baru masuk,” sambungnya.

    Siapa yang Diprioritaskan Minum Obat Cacing?

    Prof Zullies menambahkan, ada kelompok-kelompok yang memiliki prioritas untuk mengonsumsi obat cacing secara rutin, setidaknya enam bulan sekali. Ini disesuaikan dengan risiko yang dimiliki oleh tiap kelompok.

    Berikut kelompok-kelompok yang harus mengonsumsi obat cacing.

    ⁠Anak-anak usia prasekolah (1-5 tahun), rentan karena sering bermain di tanah tanpa alas kaki.Anak usia sekolah (6-14 tahun), termasuk target utama program pemberian obat cacing di sekolah dasarWanita usia subur, termasuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga untuk mencegah anemia akibat infeksi cacing.Orang dewasa yang tinggal di daerah endemis dengan sanitasi buruk (misalnya bekerja di sawah, perkebunan, tambang, atau pekerjaan yang sering kontak dengan tanah).Populasi dengan status gizi rendah karena cacingan memperburuk malnutrisi dan anemia.

    Namun, ada juga kelompok yang tidak diwajibkan untuk mengonsumsi obat cacing tiap 6 bulan sekali. Menurut Prof Zullies, ini bisa terjadi karena dukungan lingkungan dan kebersihan pribadi yang baik.

    “Orang dewasa di daerah perkotaan dengan sanitasi baik, air bersih, serta kebersihan pribadi terjaga, biasanya tidak perlu minum obat cacing rutin tiap 6 bulan,” kata Prof Zullies.

    “Namun tetap dianjurkan bila ada risiko tinggi atau gejala,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/kna)

    Tren Gen Z Beli Obat Cacing

    7 Konten

    Kasus meninggalnya seorang bocah di Sukabumi karena kecacingan yang tidak tertangani menuai sorotan banyak pihak. Bahkan memunculkan tren baru di kalangan Gen Z, yakni ramai-ramai beli dan minum obat cacing sendiri.

    Konten Selanjutnya

    Lihat Koleksi Pilihan Selengkapnya

  • Sederet Mitos Terkait Vaksinasi Campak dan Faktanya, Ortu Perlu Tahu!

    Sederet Mitos Terkait Vaksinasi Campak dan Faktanya, Ortu Perlu Tahu!

    Jakarta

    Kejadian luar biasa (KLB) campak di Sumenep, Jawa Timur, menyoroti pentingnya vaksinasi untuk mencegah penularan penyakit dan morbiditas akibat penyakit tersebut. Di Sumenep, mayoritas pasien berusia balita dan tidak memiliki riwayat imunisasi.

    “Dari yang meninggal dunia, umumnya tidak pernah diimunisasi campak/lainnya,” kata Kepala Biro Komunikasi Kementerian Kesehatan RI Aji Mulawarman saat dihubungi detikcom, Senin (25/8/2025).

    Data WHO tahun 2023 mencatat bahwa 14,5 juta anak di dunia tidak mendapatkan imunisasi (zero dose), dengan Indonesia menempati posisi keenam tertinggi, yaitu 1.356.367 anak tidak menerima imunisasi dasar pada periode 2019-2023.

    Dalam Survei Kesehatan Indonesia di tahun 2023, tercatat 47 persen anak tidak diimunisasi karena tidak diizinkan keluarga, 45 persen karena takut efek samping, 23 persen tidak mengetahui jadwal imunisasi, dan 22 persen menganggap imunisasi tidak penting.

    Vaksin campak telah terbukti efektif mencegah penyakit menular yang bisa berakibat serius. Sayangnya, masih banyak orang tua yang ragu atau enggan anaknya diimunisasi karena terpengaruh berbagai mitos seputar vaksin campak.

    Berikut sederet mitos vaksinasi campak dan faktanya, orang tua perlu tahu.

    1. Mitos: Vaksin campak menyebabkan autisme

    Banyak studi ilmiah selama bertahun-tahun telah menunjukkan tidak adanya hubungan antara autisme dan vaksin MMR, yang menegaskan keamanannya dan mendorong kepercayaan publik terhadap imunisasi. Namun, misinformasi terus menyebar, dan ketakutan yang tidak berdasar masih ada.

    Lebih lanjut, vaksin yang digunakan dalam setiap program imunisasi nasional telah diuji oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), lulus prakualifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), serta telah mendapatkan rekomendasi NITAG (National Immunization Technical Advisory Groups).

    2. Mitos: Vaksin campak lebih berbahaya daripada terinfeksi campak.

    Faktanya, terinfeksi campak tidak lebih aman daripada diimunisasi. Infeksi campak membawa risiko serius termasuk pneumonia, pembengkakan otak, dan bahkan kematian.

    Vaksin MMR (campak, gondongan, rubella) memberikan kekebalan yang kuat dan tahan lama tanpa membahayakan kesehatan anak. Infeksi alami memang dapat memberikan kekebalan, tetapi harganya mahal terlebih untuk kesehatan anak.

    3. Mitos: ASI bisa menjadi pengganti vaksin

    ASI mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan anak, termasuk antibodi untuk membentuk kekebalan tubuhnya. Pemberian ASI eksklusif, disertai makanan dengan gizi lengkap dan seimbang, memang dapat memberi perlindungan secara umum pada anak.

    Namun, perlindungan terhadap penyakit-penyakit tertentu hanya bisa didapatkan melalui vaksin, sehingga anak wajib mendapatkan imunisasi dasar lengkap.

    4. Mitos: Anak yang sehat tidak butuh vaksin

    Faktanya, sistem kekebalan tubuh bayi baru lahir hingga usia 2 tahun belum berkembang dengan sempurna, walaupun kondisi tubuhnya sehat dan pertumbuhannya sesuai grafik pertumbuhan anak seusianya.

    Selain itu juga, infeksi penyakit menular tidak bisa diprediksi dan bisa terjadi kapan saja, sehingga lebih baik mencegah dengan memperkuat kekebalan tubuh anak, baik yang sehat maupun tidak sehat, melalui imunisasi.

    5. Mitos: Bayi atau anak selalu mengalami demam setelah diimunisasi

    Tidak benar. Demam adalah reaksi pertahanan tubuh terhadap imunisasi yang diterima anak. Bergantung pada kondisi tubuh, anak dapat mengalami demam ringan dan dapat disimpulkan bahwa tubuhnya memiliki reaksi yang baik. Artinya, vaksin yang diberikan bekerja sesuai harapan.

    Halaman 2 dari 2

    (kna/kna)