Event: Rezim Orde Baru

  • Ekspresi Titiek dan Keluarga saat Soeharto Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional

    Ekspresi Titiek dan Keluarga saat Soeharto Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional

    Sebelumnya, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, Tanda Kehormatan Fadli Zon menyampaikan usulan tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional bertambah dari 40 menjadi 49 nama. Adapun 40 tokoh dianggap telah memenuhi syarat mendapat gelar Pahlawan Nasional, sementara 9 nama lainnya usulan dari tahun sebelumnya.

    “Ada 40 nama calon pahlawan nasional yang dianggap telah memenuhi syarat dan ada sembilan nama yang merupakan bawaan, carry over, dari yang sebelumnya. Jadi totalnya ada 49 nama,” kata Fadli Zon usai menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).

    Dari 49 nama itu, Fadli Zon menyampaikan kepada Prabowo bahwa ada 24 tokoh yang masuk daftar prioritas untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Dia tak menjelaskan secara rinci siapa saja 24 nama tersebut.

    “Karena kita juga mendekati Hari Pahlawan, kita telah menyampaikan ada 24 nama dari 49 itu yang menurut, Dewan Gelar Tanda Kehormatan memerlukan, telah diseleksi mungkin bisa menjadi prioritas,” ujarnya.

    Menteri Kebudayaan itu menyampaikan Presiden kedua RI Soeharto masuk dalam daftar 49 nama calon Pahlawan Nasional yang dilaporkan kepada Prabowo. Dia menuturkan Soeharto telah tiga kali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dan kembali dipertimbangkan pada tahun ini.

    “Nanti kita lihatlah ya (Soeharto). Untuk nama-nama itu memang semuanya seperti saya bilang itu memenuhi syarat ya, termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” jelas Fadli.

    Sementara itu, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masuk daftar calon Pahlawan Nasional yang diseleksi Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan. Selain itu, kata Fadli Zon, ada nama aktivis buruh perempuan yang gugur saat masa Orde Baru, Marsinah.

    “Itu (Gus Dur) juga termasuk yang kita seleksi ya, semuanya saya kira memenuhi syarat juga,” ujar dia.

  • Simbol Perlawanan Buruh Era Orba, Marsinah Dapat Gelar Pahlawan Bersanding dengan Soeharto

    Simbol Perlawanan Buruh Era Orba, Marsinah Dapat Gelar Pahlawan Bersanding dengan Soeharto

    Bisnis.com, JAKARTA – Nama Marsinah, buruh perempuan asal Jawa Timur yang menjadi simbol perjuangan kelas pekerja, resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Keputusan ini sontak menarik perhatian publik bukan hanya karena Marsinah akhirnya mendapat pengakuan negara, tapi juga karena dalam daftar yang sama, terdapat nama Jenderal Besar TNI Soeharto, sosok yang identik dengan rezim Orde Baru, masa ketika Marsinah tewas secara tragis.

    Marsinah dikenal sebagai buruh di PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo. Dia aktif memperjuangkan hak-hak pekerja, terutama soal upah dan kesejahteraan buruh. Pada Mei 1993, setelah aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah, Marsinah ditemukan meninggal dunia dengan tanda-tanda penyiksaan.

    Kasus kematiannya sempat menggemparkan Indonesia dan dunia internasional. Namun hingga kini, pelaku pembunuhannya tak pernah terungkap secara tuntas. Banyak pihak menduga keterlibatan aparat keamanan pada masa itu, mengingat konteks politik dan represi terhadap gerakan buruh di bawah kekuasaan Orde Baru. 

    Lebih dari tiga dekade berlalu, nama Marsinah kini diakui sebagai Pahlawan Nasional sebuah pengakuan moral terhadap perjuangan kaum buruh, terutama perempuan. Penghargaan ini dianggap sebagai langkah simbolis untuk mengembalikan kehormatan Marsinah dan mereka yang berjuang melawan ketidakadilan.

    Di sisi lain, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan bahwa nama aktivis buruh Marsinah sebenarnya sudah pernah diajukan untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional sejak tahun 2022. Namun, dia menyebut kelengkapan dokumen pendukung pada waktu itu masih minim.

    “Sebetulnya kalau Marsinah itu dari 2022 sudah pernah diajukan. Cuma kelengkapannya itu memang masih sangat minim,” ujar Khofifah kepada wartawan sebelum agenda Upacara Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional Tahun 2025 di Istana Negara, Senin (10/11/2025).

    Khofifah menjelaskan, pengajuan Marsinah sebagai calon pahlawan nasional mendapat dorongan kuat dari berbagai serikat buruh di Indonesia, termasuk di Jawa Timur. Menurutnya, momen peringatan Hari Buruh atau May Day menjadi salah satu saat di mana aspirasi tersebut disuarakan serentak.

    “Ketika May Day itu hampir serentaklah seluruh serikat buruh termasuk yang di Jawa Timur memasukkan salah satu rekomendasinya itu adalah pengajuan gelar pahlawan nasional bagi Marsinah. Jawa Timur juga ada, di Jakarta ini juga. Dan ketika di Jakarta langsung mendapatkan respon dari Pak Presiden Prabowo. Kata Pak Presiden, oh iya kalau itu saya juga dukung. Kira-kira begitu lah,” tuturnya.

    Khofifah menambahkan, untuk memperkuat proses pengajuan, pihaknya bersama pemerintah daerah membentuk posko Marsinah dan melakukan penelusuran langsung ke lapangan.

    “Setelah itu kita bikin posko lah posko Marsinah. Saya sudah pernah dua kali ya dulu ke makamnya Marsinah, ke rumahnya gitu. Jadi gitu sih kawan-kawan, tapi kita menunggu saja nanti setelah diumumkan,” ujarnya.

    Saat ditanya apakah dirinya yang mengajukan langsung nama Marsinah, Khofifah membenarkan bahwa proses pengajuan dilakukan bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) Kabupaten Nganjuk serta pihak pemerintah provinsi.

    “Ya terakhir ya prosesnya begitu. TP2GD dari Kabupaten Nganjuk, Pak Bupatinya juga sangat proaktif. Kemudian kami, kemudian kita mencarikan data-data primer. Karena kan tidak bisa di-googling gitu ya, jadi kita mesti ke beberapa media untuk mencari dokumen-dokumen supaya kita mendapatkan data primer gitu. Insya Allah sangat lengkap,” katanya.

    Marsinah dikenal sebagai aktivis buruh perempuan yang memperjuangkan hak-hak pekerja pada awal 1990-an.

    Dia ditemukan meninggal dunia secara tragis pada 1993 setelah memimpin aksi mogok kerja di Sidoarjo, Jawa Timur. Kasusnya hingga kini masih menjadi simbol perjuangan buruh perempuan di Indonesia.

  • Peringati Hari Pahlawan, Sekjen PDI Perjuangan: Teladani Keteguhan Bung Tomo dan WR Supratman

    Peringati Hari Pahlawan, Sekjen PDI Perjuangan: Teladani Keteguhan Bung Tomo dan WR Supratman

    Surabaya (beritajatim.com) – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memimpin tabur bunga dalam rangka memperingati Hari Pahlawan di Makam Bung Tomo di Jalan Ngagel dan Makam WR Supratman di Rangkah, Surabaya, Senin (10/11/2025). Kegiatan ini digelar sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang kemerdekaan yang telah memberi teladan keberanian dan integritas moral bagi bangsa.

    Pada kunjungan pertama di Makam Bung Tomo, Hasto menyampaikan bahwa sosok Bung Tomo bukan hanya tokoh sejarah, tetapi sumber inspirasi yang hidup dalam ingatan kolektif Bangsa Indonesia. Dia menegaskan bahwa gelora “merdeka atau mati” yang dikobarkan Bung Tomo menjadi energi penting dalam perlawanan rakyat Surabaya pada 10 November 1945.

    “Pada pagi hari ini, kita akan mendoakan Bung Tomo pahlawan nasional kita. Bung Tomo yang telah menggelorakan suatu semangat merdeka atau mati,” ujar Hasto.

    Hasto menambahkan bahwa keberanian Bung Tomo menjadi contoh bagaimana tekad dapat menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih besar. Menurut dia, semangat itu lahir dari keyakinan membela rakyat tanpa sedikit pun rasa takut.

    “Yang bertindak dengan penuh keberanian menggelorakan suatu semangat juang dan menjadi suri tauladan bagi kita semuanya. Dan bagaimana dengan gelora merdeka atau mati yang disampaikan Bung Tomo itu menjadi energi yang menggelorakan suatu semangat perlawanan terhadap kolonialisme,” tutur Hasto.

    Hasto juga menekankan dimensi moral para pahlawan yang berjuang tanpa kepentingan pribadi. Dia menyebut perjuangan mereka sebagai pengorbanan tulus, bukan untuk gelar atau pengakuan.

    “Ini integritas moral yang juga digerakkan oleh manusia. Para pahlawan yang tidak pernah menyakiti rakyatnya sendiri,” kata dia.

    Hasto menyinggung bahwa Bung Tomo sendiri pernah menjadi korban represi Orde Baru, setelah ditahan tanpa proses pengadilan pada 1978 karena kritiknya terhadap kekuasaan saat itu.

    “Seorang pahlawan adalah mereka yang berjuang untuk rakyat, berintegritas moral, tidak menyakiti rakyatnya, dan tidak berharap pujian,” tegasnya.

    Usai dari Makam Bung Tomo, rombongan kemudian menuju Makam WR Supratman. Di sana, Hasto mengingatkan bahwa lagu Indonesia Raya bukan hanya lagu kebangsaan, tetapi penanda lahirnya kesadaran politik bangsa menuju kemerdekaan.

    Hasto menegaskan agar semangat perjuangan itu tidak berhenti menjadi sebatas cerita sejarah. Dia mengingatkan kembali momen heroik perobekan bendera di Hotel Yamato sebagai simbol bahwa harga diri bangsa tidak boleh ditawar.

    “Perjuangan arek-arek Surabaya adalah akumulasi keberanian yang luar biasa. Itu adalah penegasan bahwa Sang Saka Merah Putih harus berkibar di seluruh pelosok Indonesia,” pungkas Hasto.[asg]

    Surabaya (beritajatim.com) – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto memimpin tabur bunga dalam rangka memperingati Hari Pahlawan di Makam Bung Tomo di Jalan Ngagel dan Makam WR Supratman di Rangkah, Surabaya, Senin (10/11/2025). Kegiatan ini digelar sebagai bentuk penghormatan terhadap para pejuang kemerdekaan yang telah memberi teladan keberanian dan integritas moral bagi bangsa.

    Pada kunjungan pertama di Makam Bung Tomo, Hasto menyampaikan bahwa sosok Bung Tomo bukan hanya tokoh sejarah, tetapi sumber inspirasi yang hidup dalam ingatan kolektif Bangsa Indonesia. Dia menegaskan bahwa gelora “merdeka atau mati” yang dikobarkan Bung Tomo menjadi energi penting dalam perlawanan rakyat Surabaya pada 10 November 1945.

    “Pada pagi hari ini, kita akan mendoakan Bung Tomo pahlawan nasional kita. Bung Tomo yang telah menggelorakan suatu semangat merdeka atau mati,” ujar Hasto.

    Hasto menambahkan bahwa keberanian Bung Tomo menjadi contoh bagaimana tekad dapat menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih besar. Menurut dia, semangat itu lahir dari keyakinan membela rakyat tanpa sedikit pun rasa takut.

    “Yang bertindak dengan penuh keberanian menggelorakan suatu semangat juang dan menjadi suri tauladan bagi kita semuanya. Dan bagaimana dengan gelora merdeka atau mati yang disampaikan Bung Tomo itu menjadi energi yang menggelorakan suatu semangat perlawanan terhadap kolonialisme,” tutur Hasto.

    Hasto juga menekankan dimensi moral para pahlawan yang berjuang tanpa kepentingan pribadi. Dia menyebut perjuangan mereka sebagai pengorbanan tulus, bukan untuk gelar atau pengakuan.

    “Ini integritas moral yang juga digerakkan oleh manusia. Para pahlawan yang tidak pernah menyakiti rakyatnya sendiri,” kata dia.

    Hasto menyinggung bahwa Bung Tomo sendiri pernah menjadi korban represi Orde Baru, setelah ditahan tanpa proses pengadilan pada 1978 karena kritiknya terhadap kekuasaan saat itu.

    “Seorang pahlawan adalah mereka yang berjuang untuk rakyat, berintegritas moral, tidak menyakiti rakyatnya, dan tidak berharap pujian,” tegasnya.

    Usai dari Makam Bung Tomo, rombongan kemudian menuju Makam WR Supratman. Di sana, Hasto mengingatkan bahwa lagu Indonesia Raya bukan hanya lagu kebangsaan, tetapi penanda lahirnya kesadaran politik bangsa menuju kemerdekaan.

    Hasto menegaskan agar semangat perjuangan itu tidak berhenti menjadi sebatas cerita sejarah. Dia mengingatkan kembali momen heroik perobekan bendera di Hotel Yamato sebagai simbol bahwa harga diri bangsa tidak boleh ditawar.

    “Perjuangan arek-arek Surabaya adalah akumulasi keberanian yang luar biasa. Itu adalah penegasan bahwa Sang Saka Merah Putih harus berkibar di seluruh pelosok Indonesia,” pungkas Hasto.[asg/aje]

  • Prabowo Tetapkan 10 Tokoh Jadi Pahlawan Nasional: Soeharto, Gus Dur hingga Marsinah

    Prabowo Tetapkan 10 Tokoh Jadi Pahlawan Nasional: Soeharto, Gus Dur hingga Marsinah

    Sebelumnya, Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, Tanda Kehormatan Fadli Zon menyampaikan usulan tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional bertambah dari 40 menjadi 49 nama. Adapun 40 tokoh dianggap telah memenuhi syarat mendapat gelar Pahlawan Nasional, sementara 9 nama lainnya usulan dari tahun sebelumnya.

    “Ada 40 nama calon pahlawan nasional yang dianggap telah memenuhi syarat dan ada sembilan nama yang merupakan bawaan, carry over, dari yang sebelumnya. Jadi totalnya ada 49 nama,” kata Fadli Zon usai menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).

    Dari 49 nama itu, Fadli Zon menyampaikan kepada Prabowo bahwa ada 24 tokoh yang masuk daftar prioritas untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Dia tak menjelaskan secara rinci siapa saja 24 nama tersebut.

    “Karena kita juga mendekati Hari Pahlawan, kita telah menyampaikan ada 24 nama dari 49 itu yang menurut, Dewan Gelar Tanda Kehormatan memerlukan, telah diseleksi mungkin bisa menjadi prioritas,” ujarnya.

    Menteri Kebudayaan itu menyampaikan Presiden kedua RI Soeharto masuk dalam daftar 49 nama calon Pahlawan Nasional yang dilaporkan kepada Prabowo. Dia menuturkan Soeharto telah tiga kali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dan kembali dipertimbangkan pada tahun ini.

    “Nanti kita lihatlah ya (Soeharto). Untuk nama-nama itu memang semuanya seperti saya bilang itu memenuhi syarat ya, termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” jelas Fadli.

    Sementara itu, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masuk daftar calon Pahlawan Nasional yang diseleksi Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan. Selain itu, kata Fadli Zon, ada nama aktivis buruh perempuan yang gugur saat masa Orde Baru, Marsinah.

    “Itu (Gus Dur) juga termasuk yang kita seleksi ya, semuanya saya kira memenuhi syarat juga,” ujar dia.

  • Drone Emprit Ungkap Data Perbincangan di Medsos soal Gelar Pahlawan Nasional

    Drone Emprit Ungkap Data Perbincangan di Medsos soal Gelar Pahlawan Nasional

    Liputan6.com, Jakarta – Percakapan tentang rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk mantan Presiden Soeharto menunjukan tren positif pada media sosial dan media online.

    Founder Drone Emprit Ismail Fahmi mengungkap data perbincangan platform sosial media dan media daring soal perbincangan terhadap pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto.

    Hasilnya, kata dia, ada tone positif yang bergerak dan juga sebaliknya. Khususnya pada platform X atau yang dulu dikenal dengan Twitter.

    “Dari hasil pemantauan Drone Emprit, tampak bahwa setiap platform memilik karakter dan nada emosinya sendiri. Menariknya, hampir semua platform digital dan media online memperlihatkan kecenderungan positif terhadap wacana ini kecuali X,” ujar Ismail Fahmi melalui keterangan tertulis diterima, Senin (10/11/2025).

    Dia merinci, pada platform Facebook, 80% percakapan memiliki sentimen positif dan 20% bernada negatif. Dengan 174 juta penggunanya di Indonesia, Facebook masih menjadi ruang utama bagi generasi yang pernah hidup di masa Orde Baru.

    “Di platform ini, 80% sentimen positif, menonjolkan Soeharto sebagai tokoh sentral sejarah modern Indonesia, pemimpin yang berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan swasembada pangan,” terang Ismail.

    Kemudian, lanjut dia, di platform Instagram dengan pengguna 103 juta, terdapat 56% percakapan positif dan 29% memiliki sentimen negatif.

    “Narasi yang populer menyoroti kontribusi Soeharto dalam pembangunan ekonomi dan infrastruktur, serta dukungan dari berbagai pihak terhadap gelar pahlawan nasional. Hal ini memunculkan interpretasi bahwa anak muda Indonesia mengakui kontribusi pembangunan Soeharto, tetapi juga tetap kritis,” kata Ismail.

    “Generasi muda di Instagram menilai dengan cara berbeda, yakni mereka mengakui kontribusi, tetapi tetap menuntut nilai moral dan keadilan sejarah,” sambungnya.

     

    Pada peringatan Hari Pahlawan 10 November 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menganugerahi enam tokoh yang dianggap berjasa bagi bangsa dan negara semasa hidupnya sebagai Pahlawan Nasional. Dari enam tokoh tersebut satu di antaranya adalah toko…

  • Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah melalui tiga rezim pemerintahan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mewujudkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. 

    Keputusan tersebut akan diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025) yang kabarnya akan dilaksanakan di Istana Kepresidenan, Jakarta.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan hal itu usai menghadiri rapat terbatas di kediaman Presiden, Jalan Kertanegara IV, Jakarta, Minggu (9/11/2025) malam.

    “Iya,” ujar Prasetyo saat dikonfirmasi apakah rapat tersebut berkaitan dengan Hari Pahlawan.

    Dia menjelaskan, rapat malam itu membahas proses finalisasi daftar tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini. 

    “Bapak Presiden juga mendapatkan masukan dari Ketua MPR, kemudian juga dari Wakil Ketua DPR. Karena memang cara bekerja beliau, menugaskan beberapa untuk berkomunikasi dengan para tokoh, mendapatkan masukan dari berbagai pihak sehingga diharapkan apa yang nanti diputuskan Presiden, oleh pemerintah, sudah melalui berbagai masukan,” jelasnya.

    Ketika ditanya apakah pengumuman itu akan disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo, Prasetyo membenarkan hal tersebut.

    Menurutnya, bahkan ada sekitar sepuluh nama tokoh yang akan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

    Saat ditanya apakah di antara nama-nama tersebut termasuk Soeharto, Prasetyo menegaskan bahwa nama Bapak Pembangunan itu masuk dalam daftar.

    “Ya, masuk, masuk [dari 10 nama yang akan dapat gelar pahlawan],” ucapnya.

    Dia menambahkan, keputusan ini merupakan bentuk penghormatan negara terhadap jasa para pendahulu bangsa. 

    “Itu kan bagian dari bagaimana kita menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin kita, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” tuturnya.

    Langkah ini menandai pertama kalinya pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, setelah wacana tersebut sempat muncul sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, tetapi tak pernah terealisasi.

    Dinamika Panjang Menuju Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

    Perjalanan untuk menjadikan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional bukanlah proses yang singkat. Wacana ini telah bergulir lebih dari dua dekade, melewati tiga rezim pemerintahan berbeda—Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo (Jokowi), hingga akhirnya terealisasi di era Presiden Prabowo Subianto.

    Setelah lengser pada 1998 di tengah krisis multidimensi dan gelombang reformasi, figur Soeharto kerap menimbulkan perdebatan di ruang publik. Di satu sisi, banyak kalangan menilai Soeharto sebagai tokoh pembangunan yang berhasil membawa Indonesia pada masa stabilitas ekonomi dan pertumbuhan pesat selama tiga dasawarsa kepemimpinannya. Namun di sisi lain, warisan pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman politik, dan praktik korupsi yang melekat pada rezim Orde Baru membuat wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional selalu menjadi isu sensitif.

    Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah organisasi masyarakat dan tokoh politik pernah mengusulkan agar Soeharto mendapat pengakuan sebagai pahlawan. Namun, pemerintah kala itu memilih bersikap hati-hati, dengan alasan perlu menyeimbangkan pandangan publik dan memastikan proses seleksi tetap sesuai dengan prinsip keadilan sejarah.

    Wacana serupa muncul kembali di masa Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Beberapa menteri bahkan sempat mengonfirmasi bahwa nama Soeharto masuk dalam pembahasan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun hingga akhir masa jabatan Jokowi, keputusan itu tidak pernah diambil, dengan alasan masih adanya perbedaan pandangan yang tajam di masyarakat.

    Baru di era Presiden Prabowo Subianto—mantan perwira TNI yang dikenal dekat secara personal dan ideologis dengan Soeharto—keputusan itu akhirnya terealisasi. Melalui pendekatan konsultatif dengan berbagai tokoh nasional, lembaga legislatif, dan Dewan Gelar, pemerintah menilai bahwa Soeharto layak mendapat pengakuan atas jasa-jasanya dalam menjaga keutuhan bangsa dan meletakkan dasar pembangunan nasional.

    Misalnya, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyatakan sepakat atas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto, terlepas dari kontroversinya.

    Dia mengatakan bahwa Partai NasDem melihat sisi positif terhadap pemberian gelar pahlawan tersebut. Meskipun ada kekurangan, tetapi dia menilai Soeharto telah memberikan peran dan dan arti terhadap pembangunan negara.

    “Sukar juga kita menghilangkan objektivitas bahwa sosok Soeharto telah memberikan posisi, peran, dan arti, keberadaan beliau sebagai Presiden yang membawa progres pembangunan nasional kita cukup berarti, seperti apa yang kita nikmati hari ini,” kata Surya Paloh usai acara FunWalk HUT Ke-14 NasDem di Jakarta, Minggu (9/11/2025).

    Selama 32 tahun memimpin Indonesia, menurut dia, Soeharto pasti tak lepas dari kekurangan, kesalahan, dan kesilapan. Namun jika ingin membawa gerakan perubahan, dia mengatakan bahwa faktor objektif atas peran Soeharto juga harus dihargai bersama.

    “Saya pikir memang kalau sudah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk konsekuensi pro dan kontra, polemik yang terjadi, bagi NasDem melihat sisi positifnya saja,” tuturnya.

    Senada, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menanggapi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang menuai perdebatan publik.

    Dia menilai, perbedaan pendapat terkait hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam demokrasi, tetapi bangsa Indonesia tetap harus menghargai jasa para tokoh yang telah berkontribusi besar bagi negara.

    “Bagi kami, Pak Harto adalah seorang tokoh, kemudian pemimpin bangsa 32 tahun yang mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100% kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujarnya.

    Meski begitu, menurut Bahlil, tidak ada manusia yang sempurna, termasuk para pemimpin bangsa. Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak untuk menilai jasa para tokoh secara proporsional dan menghargai kontribusi positif yang telah mereka berikan bagi kemajuan Indonesia.

    Bahkan, Bahlil menilai bahwa apabila perlu partainya menyarankan agar seluruh tokoh-tokoh bangsa terkhusus mantan-mantan presiden agar dapat dipertimbangkan untuk meraih gelar pahlawan nasional.

    “Kalau kita mau bicara tentang manusia yang sempurna, kesempurnaan itu cuma Allah Subhanahu wa taala. Semua masih ada plus minus, sudahlah yang yang baik ya kita harus hargai semua para pendiri dan para tokoh bangsa,” imbuhnya.

    Termasuk saat ditanya mengenai usulan agar Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga diberi gelar serupa, Bahlil menegaskan bahwa Golkar bersikap terbuka terhadap penghargaan bagi seluruh mantan presiden yang telah wafat.

    Dia juga menilai Gus Dur dan BJ Habibie merupakan tokoh besar yang turut memberikan kontribusi penting bagi perjalanan bangsa.

    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanyalah ya,” pungkas Bahlil

    Pro dan Kontra di Lapangan

    Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia menuturkan bahwa dalam aturan tersebut, untuk memperoleh gelar tanda jasa harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur di Pasal 24, yakni WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    “Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” ujar Ketua Dewan Setara Institute Hendardi.

    Hendardi juga menyinggung putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.

    Selain itu, Soeharto turut didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta pihak-pihak terdekat Cendana

    “Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan,” tegasnya.

    Berbeda pandangan, Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) menyebut bahwa mayoritas responden setuju pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Kesimpulan itu diungkapkan KedaiKOPI ketika merilis hasil survei terbarunya mengenai persepsi publik terhadap wacana pengangkatan Presiden RI ke-2, Soeharto, dan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai Pahlawan Nasional.

    Survei dilaksanakan dengan metode CASI (Computer Assisted Self Interviewing) pada 5-7 November 2025 dengan melibatkan 1.213 responden.

    Founder Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menyebut 80,7% publik setuju Presiden ke-2 Soeharto mendapatkan gelar pahlawan, 15,7% tidak mendukung, dan 3,6% tidak tahu.

    Dia menjelaskan alasan publik mendukung Soeharto adalah karena keberhasilannya dalam program swasembada pangan 78% dan Pembangunan Indonesia 77,9%.

    Selain itu, memori akan sekolah dan sembako murah 63,2% serta stabilitas politik yang baik 59,1% juga menjadi pertimbangan penting bagi responden yang mendukung.

    “Yang terbanyak karena berhasil membawa Indonesia swasembada pangan, kemudian berhasil melakukan pembangunan di Indonesia, karena sekolah murah dan sembako murah, karena stabilitas politik yang baik, lainnya macam-macam ada perjuangan kemerdekaan dan militer,” kata Hensa, dalam keterangan, dikutip Minggu (9/11/2025).

    Kemudian, bagi responden yang tidak mendukung, 88% beralasan bahwa Soeharto lekat dengan kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), 82,7% terkait isu pembungkaman kebebasan berpendapat dan pers, dan isu pelanggaran HAM mendapatkan respon 79,6%.

    Menurutnya, alasan ini tidak bisa dihilangkan dari ingatan masyarakat sehingga pemerintah diminta mempertimbangkan kembali pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto.

    “Ini adalah poin krusial. Dukungan pada Soeharto didasarkan pada aspek pembangunan dan kesejahteraan ekonomi, namun penolakan didominasi oleh isu KKN, pelanggaran HAM, dan kebebasan sipil. Ini adalah hal yang harus dipertimbangkan oleh Dewan Gelar,” jelas Hendri.

  • Front Pembebasan Rakyat dan Aktivis 98 Tolak Soeharto Bergelar Pahlawan Nasional

    Front Pembebasan Rakyat dan Aktivis 98 Tolak Soeharto Bergelar Pahlawan Nasional

    Surabaya (beritajatim.com) – Wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto kembali menuai penolakan. Front Pembebasan Rakyat (FPR), komunitas demokrasi partisipatoris yang beranggotakan sejumlah aktivis gerakan reformasi 1998 dari berbagai kampus, menyatakan sikap tegas menolak rencana tersebut.

    Mereka menilai bahwa pemberian gelar itu bukan hanya tidak tepat, tetapi juga berpotensi mengaburkan sejarah pelanggaran hak asasi manusia dan praktik korupsi yang terjadi selama Orde Baru.

    FPR menyampaikan bahwa gelar Pahlawan Nasional seharusnya hanya diberikan kepada figur yang memperjuangkan kemerdekaan, keadilan, dan hak asasi rakyat.

    Menurut mereka, masa kekuasaan Soeharto justru dibangun di atas prahara 1965, ditandai oleh pembungkaman kebebasan sipil, korupsi sistemik, serta kekerasan terstruktur terhadap masyarakat sipil dan lawan politik.

    Agus Wiryono, salah satu anggota FPR alumnus Unesa, mengatakan bahwa sejarah tidak boleh dipoles demi kepentingan politik sesaat.

    “Kami hidup dan menyaksikan sendiri bagaimana ruang demokrasi dicabut dari rakyat. Penangkapan tanpa proses hukum, pembredelan media, dan represi kampus adalah bagian nyata dari kehidupan di bawah pemerintahan Soeharto. Mengangkatnya menjadi Pahlawan Nasional sama saja menutupi luka dan rasa kehilangan para korban,” ujar Agus.

    Senada dengan itu, Heru Krisdianto aktivis 98 lulusan Unair, menegaskan bahwa pemberian gelar tersebut merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan reformasi.

    “Tahun 1998 bukan sekadar peristiwa politik, tapi jeritan rakyat yang sudah tidak sanggup lagi menahan penindasan. Banyak kawan kami dipenjara, diculik, atau hilang hingga kini tak kembali. Gelar pahlawan itu tidak pantas untuk orang yang kekuasaannya berdiri di atas ketakutan,” kata Heru.

    Sementara itu, aktivis jebolan UK Petra, Onny Wiranda, menambahkan bahwa penghormatan terhadap sejarah harus dilakukan melalui keberanian mengakui fakta, bukan dengan melupakan dan memutihkan masa lalu yang kelam.

    “Bukan soal dendam. Ini soal kebenaran dan rasa hormat kepada para korban. Kalau negara ingin memberi teladan, maka teladannya bukan mengangkat figur yang melanggar hak rakyat, tetapi menghormati mereka yang memperjuangkan keberanian, keadilan, dan kebebasan,” jelas Onny.

    FPR menyerukan kepada pemerintah dan masyarakat luas untuk mempertimbangkan kembali rencana tersebut dengan mengingat nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan dalam Reformasi 1998. Mereka menegaskan bahwa bangsa ini hanya bisa melangkah maju dengan cara berdamai dengan sejarah melalui pengakuan yang jujur, bukan dengan menghapus jejak penderitaan rakyat.

    Dengan sikap ini, FPR berharap suara publik yang menginginkan keadilan sejarah tetap dijaga, sekaligus menjadi pengingat bahwa gelar pahlawan bukan sekadar gelar simbolik, melainkan tanggung jawab moral tentang siapa yang patut dikenang sebagai teladan bagi generasi masa depan. [tok/suf]

    FRONT PEMBEBASAN RAKYAT

    Heru Krisdianto (Unair)
    Agus Wiryono (Unesa)
    Onny Wiranda (UK. Petra)
    Dandik Katjasungkana (Unair)
    Aldi Karmailis (Unair)
    Andri Arianto (Unair)
    Matius Eko Purwanto (UWM)
    Eusebius Purwadi (Unair)
    Opi Maharani Banong (STIESIA)
    Andre Hapsara (UWM)

    Didik Iskandar (UWKS)
    Abdi Edison (Untag)
    Didik Nurhadi (Unesa)
    Achmad Hilmi (Unitomo)
    Rinto M Siagian (Unitomo)
    Ferry Irawan (Unitomo)
    Nina Agustin (Unitomo)
    Singgih Prayogo (Unitomo)
    Mochamad Verie (UWK)
    Moh Rouf (Unesa)

    Mei Indarwanti (Unesa)
    Yudhit Ciphardian (UK. Petra)
    Dewa Made (UWKS)
    Agatha Retnosari (ITS)
    Triyana Damayanti (Unair)
    Tita Sinta (UWKS)
    Rosallyn (UWM)
    Edwin Suryaatmaja (Unesa)
    Pramono (Unipra)
    Riyanto (Unesa)

    Moch. Irvan (Unesa)
    Winda (ITATS)
    I Putu Agus Fitrian HK (Stiesia)
    Leonardus Sugianto (Stiesia)
    Michael Kusumosularso (ITATS)

  • Survei KedaiKOPI Ungkap 80,7% Publik Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ini Sederet Alasannya

    Survei KedaiKOPI Ungkap 80,7% Publik Dukung Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Ini Sederet Alasannya

    Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, Tanda Kehormatan Fadli Zon menyampaikan usulan tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional bertambah dari 40 menjadi 49 nama. Adapun 40 tokoh dianggap telah memenuhi syarat mendapat gelar Pahlawan Nasional, sementara 9 nama lainnya usulan dari tahun sebelumnya.

    “Ada 40 nama calon pahlawan nasional yang dianggap telah memenuhi syarat dan ada sembilan nama yang merupakan bawaan, carry over, dari yang sebelumnya. Jadi totalnya ada 49 nama,” kata Fadli Zon usai menghadap Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka Jakarta Pusat, Rabu (5/11/2025).

    Dari 49 nama itu, Fadli Zon menyampaikan kepada Prabowo bahwa ada 24 tokoh yang masuk daftar prioritas untuk mendapat gelar Pahlawan Nasional tahun ini. Dia tak menjelaskan secara rinci siapa saja 24 nama tersebut.

    “Karena kita juga mendekati Hari Pahlawan, kita telah menyampaikan ada 24 nama dari 49 itu yang menurut, Dewan Gelar Tanda Kehormatan memerlukan, telah diseleksi mungkin bisa menjadi prioritas,” ujarnya.

    Menteri Kebudayaan itu menyampaikan Presiden kedua RI Soeharto masuk dalam daftar 49 nama calon Pahlawan Nasional yang dilaporkan kepada Prabowo. Dia menuturkan Soeharto telah tiga kali diusulkan menjadi Pahlawan Nasional dan kembali dipertimbangkan pada tahun ini.

    “Nanti kita lihatlah ya (Soeharto). Untuk nama-nama itu memang semuanya seperti saya bilang itu memenuhi syarat ya, termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan ya. Dan juga beberapa nama lain, ada yang dari 2011, ada yang dari 2015, semuanya yang sudah memenuhi syarat,” jelas Fadli.

    Sementara itu, Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur masuk daftar calon Pahlawan Nasional yang diseleksi Dewan Gelar dan Tanda Kehormatan. Selain itu, kata Fadli Zon, ada nama aktivis buruh perempuan yang gugur saat masa Orde Baru, Marsinah.

    “Itu (Gus Dur) juga termasuk yang kita seleksi ya, semuanya saya kira memenuhi syarat juga,” ujar dia.

    Menurut dia, nama Marsinah diusulkan oleh organisasi buruh untuk menjadi Pahlawan Nasional. Namun, nantinya Dewan Gelar tetap menyeleksi 24 nama yang masuk daftar prioritas sebelum ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional.

    “Ya itu kan termasuk yang diusulkan juga ya, diusulkan oleh tokoh-tokoh buruh ya dan banyak juga organisasi buruh yang mendukung itu dan juga diusulkan dari pemerintah, kabupaten, kota, dari provinsi. Itu termasuk nama dari 49 nama itu,” tutur Fadli Zon.

  • Jika Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Jokowi Harus Dinobatkan Pahlawan Super

    Jika Soeharto Jadi Pahlawan Nasional, Jokowi Harus Dinobatkan Pahlawan Super

    GELORA.CO –  Pro dan kontra terkait penetapan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto sebagai pahlawan nasional terus bergulir.

    Beragam pendapat hingga komentar negatif dituliskan tokoh nasional hingga masyarakat.

    Sebagian mendukung Soeharto menjadi pahlawan nasional lantaran berjasa membangun Indonesia.

    Sebagian lainnya menolak lantaran Soeharto bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) hingga dugaan korupsi selama era Orde Baru.

    Tak ingin pusing dengan argumen, Pegiat Media Sosial sekaligus seorang praktisi Teknologi Informasi, Ainun Najib menuliskan analogi ederhana.

    Lewat status twitter atau X pribadinya @ainunnajib pada Sabtu (2/11/2025), dirinya mengutarakan pendapatnya.

    Menurutnya, apabila Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional, sudah sepantasnya Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo (Jokowi) dinobatkan sebagai Pahlawan Super Nasional.

    “If President Soeharto becomes National Hero, then President Joko Widodo should become National Superhero. (Jika Presiden Soeharto menjadi Pahlawan Nasional, maka Presiden Joko Widodo harus menjadi Pahlawan Super Nasional),” tulisnya sembari mengunggah gambar Jokowi mengenakan pakaian pahlawan super mirip Superman.

    Postingan Ainun Najib pun ditanggapi ramai masyarakat.

    Unggahan itu memicu reaksi beragam.

    Sebagian besar menjadikan statusnya hanya sebagai lelucon dan candaan hingga komentar sinis yang menyeret nama Jokowi dalam sejumlah kontroversi.

    @ReiMadridista: Superheronya punya kendaraan ajaib yang tidak terlihat: esemka

    @Pencari_Rezeki: Astagfirullah.. jgn sampe deh, masa superhero/pahlawan, kekuatannya suka ngibul.

    @DJ_Luvly:Aamiiin YRA , semoga dapat gelar pahlawan secepatnya. UU No 20 Thn 2009 & PP Nomor 35 Tahun 2010, cepat meninggal, cepat diproses hukum akhirat 

    @Bima_Sakti_1: Kalau ini Ahlawan Isu Ijazah!!!!

    @baiou_2829: Jokowi ? “HERO Supermarket” opini gw.., warisannya busuk semua.

    @bafarifa: Lho.. Bukannya belaww calon Nabi?

    @tobaiss13: Orang dzalim ko jadi pahlawan mas

    @SHPDCMPABABD: Kalau super hero celana dalam dipakai di luar ya..

    @By__Samarkand: Superbul

    @AMudzakir53017: MULYONO PAHLAWAN NASIGORENG….

  • Jelang Pengumuman Gelar Pahlawan, Mensos: Siapapun yang Diputuskan Sudah Memenuhi Syarat

    Jelang Pengumuman Gelar Pahlawan, Mensos: Siapapun yang Diputuskan Sudah Memenuhi Syarat

    Jelang Pengumuman Gelar Pahlawan, Mensos: Siapapun yang Diputuskan Sudah Memenuhi Syarat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, pengumuman pemberian gelar pahlawan akan diumumkan, pada Senin (10/11/2025).
    Dia menegaskan, siapapun nanti yang diumumkan oleh Presiden Prabowo Subianto sebagai penerima gelar pahlawan sudah dipastikan telah memenuhi syarat.
    “Nanti akan kita dengarkanlah pengumuman yang insya Allah akan kita ketahui secara bersama-sama, ya. Yang penting prosesnya sudah dilewati, siapapun yang diputuskan, nanti itu sudah tentu memenuhi syarat,” ucap
    Gus Ipul
    , saat ditemui di RS Yarsi, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Sabtu (8/11/2025).
    Dia mengatakan, daftar 40 nama calon penerima gelar pahlawan masih tetap sama, seperti Presiden ke-2 RI Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, dan aktivis buruh perempuan, Marsinah.
    Dia juga menyebut beberapa tokoh Nahdlatul Ulama seperti Kyai Bisri Syamsuri dan Syaikh Kholil al-Bangkalani.
    Adapun
    hari pahlawan
    yang diperingati 10 November tahun ini akan mengusung tema “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak Maju Melanjutkan Perjuangan”.
    Dalam kesempatan itu, Gus Ipul juga menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut mengheningkan cipta pada pukul 08.15 WIB saat peringatan hari pahlawan.
    “Sama-sama melakukan hening cipta di manapun kita berada selama 60 detik untuk mengirim doa kepada seluruh pahlawan-pahlawan, syuhada yang telah luar biasa mewariskan satu negara kepada kita semua. Dan sekarang kita mengisi dan melanjutkan, sekaligus menyerahkan nanti pada generasi yang akan datang,” kata dia.
    Dia meminta agar semua pihak menghormati keputusan pemerintah atas pemberian gelar pahlawan, termasuk jika ada nama-nama yang masih jadi perdebatan publik.
    “Pokoknya kita menghormati saja, jadi kita hormati ya semuanya,” ujar dia.
    Sebagai informasi, kontroversi Presiden ke-2 RI Soeharto yang diusulkan menjadi pahlawan masih terus bergulir di tengah-tengah masyarakat sipil.
    Selain nama Soeharto dinilai lekat dengan kolusi, korupsi, dan nepotisme sesuai dengan TAP MPR 11/1998, pemimpin rezim Orde Baru itu juga dilekatkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa ia memimpin.
    Atas dasar tersebut, Soeharto dinilai tak memiliki kriteria sebagai seorang pahlawan.
    Perbandingan secara ekstrem juga pernah digambarkan oleh politikus PDI Perjuangan, Guntur Romli, dengan menyebut jika Soeharto pahlawan, maka gerakan reformasi 1998 dianggap sebagai gerakan para penjahat.
    “Kalau Soeharto mau diangkat pahlawan, maka otomatis mahasiswa ’98 yang menggerakkan reformasi dan menggulingkan Soeharto akan disebut penjahat dan pengkhianat. Ini tidak bisa dibenarkan,” ujar Guntur, saat dihubungi, Kamis (23/10/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.