Event: Rezim Orde Baru

  • Di Haul Ke-15 Gus Dur, Yenny Wahid Suarakan Pentingnya Reformasi Kepolisian Agar Tak Cepat “Main Dor”

    Di Haul Ke-15 Gus Dur, Yenny Wahid Suarakan Pentingnya Reformasi Kepolisian Agar Tak Cepat “Main Dor”

    Di Haul Ke-15 Gus Dur, Yenny Wahid Suarakan Pentingnya Reformasi Kepolisian Agar Tak Cepat “Main Dor”
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur),
    Yenny Wahid
    mengatakan, aparat kepolisian perlu melakukan reformasi menyeluruh dalam lembaganya.
    Reformasi ini menurutnya penting untuk memastikan bahwa kepolisian tidak lagi “trigger happy” atau mudah menarik pelatuk pistol.
    “Tugas kita bersama adalah mengembalikan polisi dan semua lembaga negara pada fitrahnya: menjadi pelindung rakyat, bukan pelindung kepentingan segelintir orang,” ujar Yenny dalam sambutannya pada acara
    Haul ke-15 Gus Dur
    di Ciganjur, Sabtu (21/12/2024).
    Yenny mengungkapkan, salah satu keputusan terbesar Gus Dur dalam menegakkan demokrasi di Indonesia adalah memisahkan kepolisian dari Tentara Nasional Indonesia (TNI).
    Langkah ini, menurut Yenny, bukanlah keputusan yang mudah, mengingat pada masa Orde Baru, kepolisian dan TNI berada dalam satu komando, yang menciptakan potensi penyalahgunaan kekuasaan serta represi terhadap masyarakat.
    “Gus Dur dengan kejernihan pikirannya, memahami bahwa untuk mewujudkan negara yang benar-benar demokratis, kita harus memastikan bahwa kepolisian menjadi institusi sipil yang berfungsi untuk rakyat, bukan sebagai alat kekuasaan yang menindas,” tegasnya.
    Yenny juga memberikan apresiasi terhadap TNI yang telah belajar dari kesalahan masa lalu dan kini menerapkan disiplin diri yang kuat agar tidak terlibat dalam politik praktis.
    Bahkan, menurut Yenny, pemilihan Presiden Prabowo Subianto yang terpilih melalui mekanisme demokrasi adalah bukti bahwa TNI kini lebih berhati-hati dalam hal politik.
    Namun, fenomena yang berbeda terjadi pada aparat kepolisian. Polisi yang seharusnya melindungi rakyat justru kini menjadi ancaman bagi masyarakat.
    Yenny menyebutkan beberapa kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian, seperti peristiwa di SMKN 4 Semarang, Jawa Tengah, serta pembunuhan seorang warga di Palangkaraya.
    “Mereka adalah contoh-contoh kecil dari para korban abuse of power dari aparat kepolisian,” ujarnya.
    Amnesty Internasional mencatat bahwa pada 2024 terdapat 116 kasus yang melibatkan polisi, dengan 29 di antaranya berupa pembunuhan di luar hukum dan 26 kasus lainnya terkait penyiksaan dan tindakan kejam. Selain itu, Kontras mencatat 645 kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian.
    Yenny mengajak semua orang untuk merasakan sejenak apa yang dirasakan Gus Dur ketika ia melihat ketidakadilan, kebrutalan, serta masyarakat yang terabaikan dan tertindas.
    “Bayangkanlah sejenak bagaimana perasaan kita jika kita berada di posisi mereka yang selalu dipinggirkan—mereka yang suaranya tak didengar, yang hak-haknya diinjak-injak. Apakah kita akan diam begitu saja? Apakah kita akan membiarkan mereka terus berada dalam kesulitan?” tandasnya.

    Haul Ke-15 Gus Dur
    bertemakan “Menajamkan Nurani, Membela yang Lemah” dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional, di antaranya Menteri Agama Nasaruddin Umar, Wakil Ketua Umum PBNU Zulfa Mustofa, Zawawi Imron, Mahfud MD, KH Musthofa Bisri (Mustasyar PBNU), Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi.
    Terlihat juga Gubernur DKI terpilih Pramono Anung dan Wakilnya Rano Karno, Wakil Bupati Cianjur terpilih Ramzi. Penyanyi Yuni Shara, Krisdayanti, Ketua KPU RI Afifuddin, mantan Menag Lukman Hakim Saifuddin, KH Husein Muhammad.
    Haul ke-15 Gus Dur diharapkan menjadi momen untuk menghidupkan kembali nilai-nilai perjuangan Gus Dur serta mempererat silaturahmi antar masyarakat dari berbagai latar belakang.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ingatkan Semangat Gus Dur, Yenny Wahid Tolak Wacana Polisi di Bawah TNI dan Kementerian – Halaman all

    Ingatkan Semangat Gus Dur, Yenny Wahid Tolak Wacana Polisi di Bawah TNI dan Kementerian – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, putri dari almarhum Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara tegas menyatakan tidak setuju dengan wacana institusi kepolisian berada di bawah TNI atau kementerian tertentu.

    Hal ini disampaikan Yenny dalam sambutan pada acara Haul ke-15 Gus Dur di Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu malam (21/12/2024).

    Ia mengungkit salah satu keputusan terbesar Gus Dur dalam menegakkan reformasi di Indonesia adalah memisahkan kepolisian dari TNI. Langkah Gus Dur itu ditempuh tidak mudah, mengingat pada masa Orde Baru, kepolisian dan TNI berada dalam satu komando yang membuat terciptanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan represi terhadap masyarakat.

    “Gus Dur dengan kejernihan pikirannya, memahami bahwa untuk mewujudkan negara yang benar-benar demokratis, kita harus memastikan bahwa kepolisian menjadi institusi sipil yang berfungsi untuk rakyat, bukan sebagai alat kekuasaan yang menindas,” kata Yenny.

    Ia menyatakan saat ini tugas semua pihak adalah mengembalikan polisi dan semua lembaga negara pada fitrahnya, yakni sebagai pelindung rakyat bukan pelindung segelintir orang untuk kepentingan kelompok.

    “Tugas kita bersama adalah mengembalikan polisi dan semua lembaga negara pada fitrahnya, menjadi pelindung rakyat, bukan pelindung kepentingan segelintir orang,” ujar Yenny.

    Aktivis Nahdlatul Ulama (NU) ini pun membandingkan beda nasib TNI dan kepolisian di era sekarang. Menurutnya TNI sudah banyak belajar dari kesalahan masa lalu dan menerapkan disiplin kuat agar tidak terlibat dalam poliitik praktis.

    Bahkan menurutnya Pilpres 2024 dan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden adalah cermin dari TNI yang kini lebih berhati – hati dalam persoalan politik.

    Tapi di sisi lain fenomena berbeda terjadi di tubuh kepolisian. Polisi yang seharusnya menjadi pelindung rakyat, kini justru menjadi ancaman. Terlebih beberapa waktu ke belakang terjadi sejumlah kasus yang melibatkan kepolisian. Misalnya, peristiwa di SMKN 4 Semarang dan pembunuhan seorang warga di Palangkaraya.

    Selain itu catatan Amnesty Internasional juga menunjukkan kekerasan aparat kepolisian di mana 116 kasus dengan 29 diantaranya berupa pembunuhan di luar hukum dan 26 kasus lainnya terkait penyiksaan dan tindakan kejam. Selain itu KontraS juga mencatat ada 645 kasus kekerasan yang melibatkan kepolisian.

    “Mereka adalah contoh-contoh kecil dari para korban abuse of power dari aparat kepolisian,” kata dia.

    “Bayangkanlah sejenak bagaimana perasaan kita jika kita berada di posisi mereka yang selalu dipinggirkan—mereka yang suaranya tak didengar, yang hak-haknya diinjak-injak. Apakah kita akan diam begitu saja? Apakah kita akan membiarkan mereka terus berada dalam kesulitan?” tandasnya.

    Dalam Haul ke-15 ini, turut hadir Menteri Agama Nasaruddin Umar, Wakil Ketua Umum PBNU KH Zulfa Mustofa, KH D Zawawi Imron, mantan Menko Polhukam Mahfud MD, KH Musthofa Bisri, Menteri PPPA Arifatul Choiri Fauzi dan wakilnya Veronica Tan, Gubernur DKI terpilih Pramono Anung dan Wakilnya Rano Karno, Wakil Bupati Cianjur terpilih Ramzi. 

    Kemudian turut hadir juga penyanyi Yuni Shara, Krisdayanti, Ketua KPU RI Mochammad Afifudin, mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, KH Husein Muhammad. 

     

     

  • Yenny Wahid Sindir Polisi di Haul Gus Dur: Harusnya Melindungi Rakyat

    Yenny Wahid Sindir Polisi di Haul Gus Dur: Harusnya Melindungi Rakyat

    Jakarta, CNN Indonesia

    Putri Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yenny Wahid, menyinggung sejumlah kasus melibatkan aparat kepolisian dalam beberapa waktu terakhir. Menurut dia kepolisian harus kembali ke fitrahnya sebagai pelindung masyarakat.

    Dalam Haul ke-15 Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu (21/12) malam, Yenny awalnya menyinggung keputusan Gus Dur yang memisahkan Polri dari TNI.

    Ia mengatakan meski susah, Gus Dur berani mengambil tindakan itu untuk menegakkan demokrasi.

    “Pada masa lalu, di bawah kekuasaan Orde Baru, tentara dan polisi berada dalam satu komando, yang memberikan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan represi terhadap masyarakat,” kata Yenny.

    “Gus Dur, dengan visi jernihnya, tahu bahwa untuk negara yang benar-benar demokratis, kita harus memastikan bahwa kepolisian menjadi institusi sipil yang berfungsi untuk melindungi rakyat, bukan sebagai alat kekuasaan yang menindas,” imbuh dia.

    Ia memuji TNI kini yang telah belajar dari masa lalu dan menerapkan disiplin untuk tidak cawe-cawe dalam politik. Bahkan, menurut dia, Prabowo Subianto terpilih melalui mekanisme demokrasi.

    Namun, kata dia, fenomena sebaliknya terjadi di Polri. Ia menyinggung banyak kasus yang melibatkan aparat kepolisian.

    Mulai dari penembakan siswa SMK di Semarang hingga penembakan warga sipil di Kalimantan Tengah.

    “Polisi yang seharusnya melindungi rakyat justru menjadi ancaman di masyarakat. Gamma Rizkynata, siswa SMK 4 Semarang, Budiman Arisandi warga Palangkaraya, Haryono, saksi pelapor yang saat ini malah dijadikan tersangka. Kasus-kasus abuse of power terjadi di depan mata kita,” katanya.

    Ia mengatakan Amnesti Internasional mencatat ada 116 kasus penganiayaan yang dilakukan oleh aparat polisi sepanjang 2024. 29 diantaranya adalah extra judicial killing atau pembunuhan diluar hukum.

    “Saya ingin mengajak kita semua untuk merasakan sejenak apa yang Gus Dur rasakan, ketika ia melihat ketidakadilan, ketika ia melihat kebrutalan, ketika ia melihat masyarakat yang terabaikan dan tertindas. Bayangkanlah sejenak bagaimana perasaan kita jika kita berada di posisi mereka yang selalu dipinggirkan,” ujarnya.

    Yenny mengaku tidak setuju dengan wacana mengembalikan Polri di bawah TNI atau kementerian tertentu.

    Namun, kata dia, aparat kepolisian perlu diingatkan melakukan reformasi menyeluruh dalam lembaganya agar tidak lagi mudah menarik pelatuk pistol.

    “Tugas kita bersama adalah mengembalikan polisi dan semua lembaga negara pada fitrahnya: menjadi pelindung rakyat, bukan pelindung kepentingan segelintir orang,” katanya.

    (yoa/fea)

    [Gambas:Video CNN]

  • Sosok Yos Suprapto, Pelukis yang Kerap Angkat Isu Kritik Sosial Kini Pameran Tunggalnya Ditunda

    Sosok Yos Suprapto, Pelukis yang Kerap Angkat Isu Kritik Sosial Kini Pameran Tunggalnya Ditunda

    TRIBUNJATIM.COM – Sosok Yos Suprapto, pelukis yang dijadwalkan akan mengadakan pameran tunggal.

    Pameran itu bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional Indonesia (GNI).

    Jika mengacu pada jadwal pameran tunggal Yos Suprapto sebenarnya digelar pada 19 Desember 2024 hingga 19 Januari 2025.

    Pameran itu bertempat di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta Pusat.

    Bahkan, Yos Suprapto sudah menyiapkan lebih dari 30 lukisan dengan tema kedaulatan pangan dan budaya agraris Indonesia untuk tampil dalam pameran yang disiapkan sejak 2023 tersebut.

    Namun sayangnya, pameran Yos Suprapto yang digelar dengan bantuan kurator Suwarno Wisetrotomo itu ditunda karena ada faktor teknis soal kurasinya.

    Lalu, siapakah sosok Yos Suprapto yang lukiasannya dipamerkan Galeri Nasional Indonesia tersebut?

    Sosok Yos Suprapto

    Yos Suprapto lahir di Surabaya pada 26 Oktober 1952.

    Ia dikenal sebagai seniman, peluki, serta pernah menjadi konsultan lepas untuk teknologi tepat guna dan pertanian biodinamik.

    Dikutip dari tesis Pembuatan Buku Biografi: Yos Suprapto Naskah Akademik Skripsi Berbasis Karya (2018) karya Dorothy Ryani Honesty dari Universitas Multiedia Nusantara (UMN), Yos merupakan pelukis yang kerap menyuarakan kritik sosial melalui karyanya. 

    Lukisannya kerap memiliki makna simbolis yang abstrak dengan garis dan warna khas, seperti hitam, merah, biru, hijau, coklat, kuning, dan putih.

    Pelukis yang menekuni dunia seni sejak SMA ini, sedari dulu peduli terhadap isu sosial dan lingkungan. Yos Suprapto pernah belajar di ASRI Yogyakarta pada 1970. Namun, dia keluar pada 1973.   

    Dia pernah terlibat sebagai aktivis mahasiswa yang menentang rezim Orde Baru. 

    Saat itu, Yos juga menjadi kontributor majalah bawah tanah independen sebagai ilustrator sampul. 

    Yos kemudian menyandang gelar PhD bidang Sosiologi Kebudayaan dari Southern James Cook University, North Queensland, Australia dan pernah tinggal di sana selama lebih dari 25 tahun. 

    Selain pelukis, dia juga dikenal sebagai ahli pertanian yang meneliti kandungan mineral selama lebih dari 10 tahun dan memahami penerapan teknologi pertanian. 

    Kemampuannya dalam pertanian tampak dalam buku yang ditulis bersama penulis-penulis lain berjudul Aplikasi Pupuk Kandang yang Ramah Lingkungan dalam Persepktif Budaya (2022). 

    Yos juga pernah menjadi ketua umum The Rainforest Information Centre di Lismore, NSW Australia, sebuah organisasi yang bekerja sama dengan Walhi, CUSO organisasi sosial Kanada, dan NGO lain.

    Pameran Yos Suprapto

    Sepanjang kariernya, Yos sudah beberapa kali menggelar pameran yang mengangkat isu kritik sosial dan lingkungan.

    Seperti pada 1994, ia menggelar pameran tunggal bertajuk “Bersatu Dengan Alam” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. 

    Dia kembali menggelar pameran tunggal bertema “Barbarisme: Perjalanan Anak Bangsa” di Galeri Nasional Indonesia pada 2001. 

    Setahun kemudian, pameran “Mata Hati Demokrasi” digelar di Taman Budaya Surakarta, Jawa Tengah. 

    Pada 2005, dia kembali mengangkat isu sosial berupa kritikan atas korupsi di lingkungan elit birokrasi dalam pameran tunggal bertajuk “Republik Udang” di Tembi Gallery, Yogyakarta. 

    Pameran tersebut mengkritik praktik korupsi di kalangan elite rezim Presiden Soeharto. 

    Tindakannya kala itu sempat membuat nyawanya terancam, meski dia berada di Australia. 

    Yos terakhir menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional Indonesia pada 2017 bertema evaluasi mendalam perjanan budaya bangsa, terutama budaya maritim dengan judul “Arus Balik Cakrawala”. 

    Pameran-pameran lukisan yang digelarnya hampir semuanya menunjukkan ekspresi keprihatinan terhadap kondisi bangsa yang terpecah, serta mengkritik pemerintah yang korup. 

    Salah satu lukisannya berjudul “Adu Domba” yang dipamerkan pada 2017 menggambarkan masyarakat Indonesia saat ini suka adu domba untuk mendapatkan kekuasaan politik.

    Penjelasan Galeri Nasional

    Penanggung Jawab Unit Galeri Nasional Indonesia, Jarot Mahendra mengatakan, pameran tunggal Yos Suprapto ditunda karena mempertimbangkan faktor teknis. 

    “Yakni mundurnya kurator pameran, Suwarno Wisetrotomo akibat ketidaksepakatan antara kurator dan seniman mengenai karya-karya yang akan dipamerkan,” ujar Jarot dalam keterangan resmi yang diterima , Jumat (20/12/2024), dikutip dari Kompas.com.

    Pihak galeri menjelaskan, pameran tunggal Yos Suprapto telah disetujui sejak 2023 dan direncanakan dengan tema awal “BANGKIT!”. 

    Pameran ini bertujuan menyajikan karya seni lukis dan instalasi dari Yos Suprapto dengan fokus pada tema kedaulatan pangan dan budaya agraris Indonesia. 

    Usai proses seleksi dan evaluasi kuratorial, tema pameran dipertegas bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan”. 

    Tema ini dipilih karena mencerminkan pesan pembangunan dan kerja pemerintahan saat 

    “Dalam proses penataan karya-karya Yos Suprapto di area tata pamer, terdapat beberapa karya yang ditampilkan tanpa melalui persetujuan dan kesepakatan antara seniman dan kurator pameran terlebih dahulu,” terang Jarot. 

    Menurutnya, karya-karya yang dipamerkan atas inisiatif pribadi Yos. 

    Namun setelah dievaluasi kurator, karya-karya tersebut dianggap tidak sesuai tema pameran yang ditetapkan. 
    Atas kondisi ini, Yos Suprapto dan Suwarno Wisetrotomo melakukan proses mediasi. 

    Sayangnya, tidak tercapai kesepakatan mengenai karya-karya yang akan ditampilkan.

    Karena itu, kurator Suwarno Wisetrotomo pun menyatakan mundur dari tugasnya dalam pameran Yos Suprapto.

    “Sebagai langkah untuk menjaga keselarasan kuratorial dan memastikan kualitas pameran, Galeri Nasional Indonesia memutuskan untuk menunda acara ini,” tegas Jarot. 

    Jarot memastikan, hubungan GNI dengan Yos Suprapto dan Suwarno Wisetrotomo sangat dihargai. 

    GNI pun berkomitmen berkoordinasi dan berkomunikasi dengan kedua pihak untuk mencari solusi yang kolektif dan konstruktif. 

    Penundaan pameran tersebut juga mencerminkan prinsip good governance yang selalu dijunjung tinggi oleh Galeri Nasional Indonesia. 

    Dia menekankan, setiap keputusan diambil dalam tahap penyelenggaraan pameran selalu dengan prioritas untuk mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan profesionalisme. 

    “Sejalan dengan itu, kami juga berkomitmen untuk memastikan bahwa proses kuratorial dilakukan dengan integritas dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, serta serta memastikan keberagaman ekspresi seni di ruang publik kami,” lanjut Jarot. 

    “Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ditimbulkan akibat penundaan ini dan berharap dapat menyambut publik kembali di pameran Galeri Nasional Indonesia lainnya di masa depan,” imbuhnya.

    Kurator Suwarno Wisetrotomo buka suara

    Jurator Suwarno Wisetrotomo turut buka suara atas keputusannya tidak menerima beberapa karya Yos Suprapto dalam proses kurasi pameran. 

    Suwarno menuturkan, dirinya mengusulkan tema “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” untuk pameran tersebut. 

    Tema itu pun telah disepakati. 

    “Yos Suprapto telah menghasilkan instalasi tanah dan sejumlah lukisan yang berasal dari riset yang memadai dan relevan untuk tema yang disepakati ini,” terangnya dalam rilis resmi yang diterima, Jumat. 

    Menurut Suwarno, terdapat dua karya Yos Suprapto yang menggambarkan opini seniman tentang praktik kekuasaan. 

    Namun, dia tidak mengungkapkan karya mana yang dipersoalkan. 

    Suwarno lalu menyampaikan kepada Yos perihal karya tersebut yang dinilai tidak sejalan dengan tema kuratorial pameran. 

    Dia menganggap keberadaan karya itu berpotensi merusak fokus seniman terhadap pesan yang sangat kuat dan bagus dari tema pameran tersebut. 

    “Menurut pendapat saya, dua karya tersebut ‘terdengar’ seperti makian semata, terlalu vulgar sehingga kehilangan metafora yang merupakan salah satu kekuatan utama seni dalam menyampaikan perspektifnya,” jelasnya. 

    “Saya tidak menyetujui dua karya tersebut untuk dipajang dalam pameran ini,” tegas Suwarno.

    Meski begitu, dia menyebutkan bahwa Yos tetap mempertahankan keinginannya untuk memamerkan dua karya tersebut. 

    Perbedaan pendapat ini bahkan terjadi selama proses kurasi yang dimulai secara intensif sejak Oktober 2024 hingga hari H pembukaan pameran pada Kamis (19/12/2024). 

    “Karena tidak ada kesepahaman yang berhasil dicapai, saya menyampaikan kepada seniman, disaksikan rekan-rekan Galeri Nasional Indonesia, meski saya menghargai pendirian seniman, namun saya tetap memutuskan mundur sebagai kurator pameran,” lanjutnya. 

    Suwarno menambahkan, rencana mundur dari pameran itu pertama kali disampaikan kepada Yos Suprapto pada Senin (16/12/2024). 

    Pernyataan pengunduran diri Suwarno sebagai kurator ini disampaikan tidak dengan maksud menghentikan pameran Yos Suprapto. 

    Menurutnya, seorang kurator bertanggung jawab terhadap kesesuaian antara tema yang disepakati dengan materi pameran. 

    “Bagi saya, sebagai seorang kurator, pendapat saya penting untuk dipertimbangkan oleh seniman,” tandas Suwarno.

    Mendadak ditunda

    Ada pun, acara pameran tunggal Yos Suprapto menjadi pembicaraan lantaran penundaannya disebut terkesan penuh tekanan. 

    Saat hendak pembukaan acara, pameran tiba-tiba tak bisa digelar karena adanya kendala teknis berupa lima karya dari 30 lukisan diminta diturunkan, tapi Yos Suprapto menolak. 

    Pengunjung pameran tunggal Yos Suprapto yang telah hadir pada 19 Desember malam pun tak bisa memasuki area pameran karena pintu masuknya dikunci. 

    Lima lukisan yang diminta diturunkan itu disebut berkaitan dengan sosok yang pernah sangat populer di masyarakat Indonesia. 

    Yos Suprapto pun enggan mengikuti permintaan diturunkannya lima lukisan tersebut dan memilih membawa pulang semua karya lukisannya ke Yogyakarta.

  • Wujudkan Food Estate, Pemerintah Diminta Optimalkan Lahan Pertanian

    Wujudkan Food Estate, Pemerintah Diminta Optimalkan Lahan Pertanian

    loading…

    Pengamat Ekonomi dan Pertanian Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Khudori. Foto: Ist

    JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto berkomitmen mewujudkan Program Food Estate . Hal itu sebagai upaya pemerintahan untuk mencapai swasembada pangan.

    Termasuk sebagai salah satu elemen kunci dalam cita-citanya mewujudkan kedaulatan pangan dengan pengembangan pertanian skala besar di berbagai daerah.

    Namun demikian, penggunaan lahan pertanian dalam rangka mendukung Program Food Estate dinilai belum dilakukan secara optimal. Terbukti, pemerintah cenderung mengedepankan membuka lahan baru dari hutan.

    Sebelumnya, pemerintah hendak membuka lahan hingga 3 juta hektare (Ha) di Merauke. Bahkan, dalam visi misi Presiden Prabowo ditargetkan ada tambahan lahan minimal 4 juta Ha hingga 2029 untuk padi, jagung, singkong, dan tebu.

    Pengamat Ekonomi dan Pertanian dari Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengungkapkan, jika dilihat lahan untuk program food estate yang sudah dibuka di tahun-tahun sebelumnya belum dapat dioptimalkan.

    “Food estate bagi Indonesia bukan hal baru. Sejak era kolonial Belanda sudah ada upaya membangun lumbung pangan atau kawasan pangan berskala luas. Langkah serupa berlanjut di zaman Orde Baru, yang pada 1970-an membuka Palembang Rice Estate dilanjutkan pembukaan lahan gambut sejuta hektare,” ujarnya, Sabtu (21/12/2024).

    Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) food estate dibuka di Merauke dengan Merauke Integrated Food adan Energy Estate (MIFEE) di Bulungan dan Ketapang. Lalu, di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali dilanjutkan dengan membuka di Humbang Hasundutan (Sumut), kemudian di Kalimantan Tengah, dan Merauke.

    “Jadi, sejarah food estate sudah panjang dan lama. Apakah berhasil? Tidak. Tingkat keberhasilannya kecil, kalau tidak dikatakan gagal. Nah, lahan-lahan eks food estate ini kan banyak dan luas. Juga tersebar di banyak wilayah,” kata Khudori.

    Sementara, di bekas pembukaan lahan gambut yang dibuka pada 1995-1996 itu luasnya 1,4 juta Ha. Sebagian kecil sudah ditempati transmigran sampai saat ini. Tapi, sisanya publik tidak tahu.

  • Pembentukan DPN Dinilai Tidak Sejalan dengan UU Pertahanan Negara.

    Pembentukan DPN Dinilai Tidak Sejalan dengan UU Pertahanan Negara.

    loading…

    Koalisi Masyarakat Sipil menilai pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) tidak sejalan dengan Undang-undang Pertahanan Negara. Foto/istimewa

    JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil menilai pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) tidak sejalan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Hal itu lantaran terlalu luasnya kewenangan DPN.

    Seperti diketahui, pada 16 Desember 2024 Presiden Prabowo Subianto membentuk Dewan Pertahanan Nasional (DPN) sekaligus melantik Menhan Sjafrie Sjamsuddin menjadi ketua harian Dewan Pertahanan Nasional.

    UU No. 3 Tahun 2002 memang mengatur tentang pembentukan Dewan Pertahanan Nasional. Dalam undang-undang itu, fungsi DPN hanya sebagai lembaga penasihat Presiden dalam membantu merumuskan kebijakan pertahanan. Pasal 15 UU Pertahanan disebutkan “Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara, Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional”.

    DPN berfungsi hanya sebatas penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan komponen pertahanan serta bertugas untuk menelaah, menilai dan menyusun kebijakan terpadu di bidang pertahanan.

    Namun demikian, berdasarkan Perpres DPN kewenangannya menjadi sangat luas dan multi interpretatif yakni DPN juga memiliki fungsi pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden sebagaimana disebut dalam Pasal 3 huruf F Perpres.

    “Penambahan wewenang ini tidak sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara,” katanya, Jumat (20/12/2024).

    Selain itu penambahan wewenang yang luas untuk melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Presiden sesungguhnya bersifat karet sehingga dapat menimbulkan multi interpretasi. Luasnya kewenangan DPN memiliki potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi.

    Dengan kewenangan yang luas dan multi interpretasi tersebut maka DPN berpotensi menjadi lembaga superbody yang akan membahayakan kehidupan demokrasi dan HAM. Dengan kewenangan multitafsir itu, DPN potensial di salahgunakan untuk kepentinhan kepentingan tertentu.

    “Perlu kami ingatkan pada masa Orde Baru terdapat lembaga serupa yang memiliki kewenangan luas seperti Dewan Pertahanan Nasional yakni Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang pada praktiknya menjadi lembaga yang melindungi kekuasaan otoriter Orde Baru dan melakukan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM,” katanya.

    (cip)

  • Doli Kurnia: Pilkada Bukan Semata Kembali ke DPRD Tapi untuk Perbaiki Sistem Agar Bangsa Tak Hancur – Halaman all

    Doli Kurnia: Pilkada Bukan Semata Kembali ke DPRD Tapi untuk Perbaiki Sistem Agar Bangsa Tak Hancur – Halaman all

    Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra 

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyatakan, sejatinya wacana Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendatang dipilih DPRD adalah untuk perbaikan sistem Pemilu di Indonesia.

    Pernyataan itu didasari Doli dengan berkaca soal tingginya biaya politik yang terjadi saat ini.

    Kata dia, biaya politik untuk Pemilu seperti Pilpres, Pileg maupun Pilkada cukup fantastis, namun tidak bisa menjamin soal kenaikan demokrasi justru kebalikannya.

    “Saya bilang, politik biaya tinggi. Kenapa? Kalau kita biarkan terus menurus, at the end, moral bangsa ini akan hancur,” kata Doli saat hadir dalam agenda Rilis Survei Nagara Institut, di Kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2024).

    Atas adanya biaya politik atau politik uang saat Pemilu itu, akhirnya menimbulkan ketagihan di masyarakat untuk memilih siapa sosok calon pemimpin atau wakil rakyat yang memberikan uang.

    Sehingga kata dia, Pemilu menjadi tidak lagi rasional dan justru menghadirkan pemimpin yang tidak memiliki kapabilitas.

    “Dan akhirnya apa? Kita akan, masyarakat akan memilih, calon atau memilih wakilnya yang tidak rasional, yang mungkin tidak kapabel, yang pada akhirnya, juga akhirnya, memarakan korupsi. Karena dia akan balikin cair duitnya. Balik,” kata dia.

    Oleh karenanya, Doli menilai apa yang diwacanakan oleh Prabowo selaku Presiden RI bersama Ketua Umum DPP Partai Golkar Bahlil Lahadalia adalah untuk perbaikan sistem demokrasi.

    Dirinya lantas membantah kalau wacana dari Prabowo itu bukan untuk mengembalikan sistem demokrasi di orde baru lalu.

    “Nah, jadi oleh karena itu, apa yang disampaikan oleh Pak Bahlil, dan Pak Presiden kemarin itu, bukan mau balik ke (orde baru), bukan mau balik ke DPRD. Tapi poinnya adalah perbaikan sistem,” kata dia.

    Doli juga mengakui kalau sistem pemilu saat ini di Indonesia masih belum ideal.

    Dirinya mendapati banyaknya permasalahan termasuk soal maraknya politik uang.

    “Kita harus koreksi, gini loh, bahwa sistem politik, sistem demokrasi kita, termasuk dalamnya sistem pemilu, belum ideal di Indonesia. Masih banyak problem, masih banyak masalah, maka kita harus perbaiki sistem,” tandas dia.

    Usulan ini sebelumnya disampaikan Presiden sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, saat pidato HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Jawa Barat, Kamis (12/12/2024) malam.

    Prabowo mengajak seluruh ketua umum partai politik yang hadir dalam acara tersebut untuk mendukung wacana tersebut. Sebab, sistem politik demokrasi pemilihan langsung dianggap berbiaya mahal.

    “Ketua umum partai Golkar, salah satu partai besar, tadi menyampaikan perlu ada pemikiran memperbaiki sistem parpol, apalagi ada Mba Puan kawan-kawan dari PDIP, kawan-kawan partai-partai lain mari kita berpikir,” kata Prabowo.

    Menurutnya, sistem politik dengan pemilihan langsung menghabiskan banyak uang negara dalam hitungan hari. Tak hanya itu, para tokoh politik juga harus merogoh kocek yang tidak sedikit.

    Prabowo pun memberikan contoh Malaysia, Singapura hingga India yang sudah melakukan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Nantinya, para anggota DPRD menjadi penentu terpilihnya calon kepala daerah.

    “Sekali milih anggota DPRD, DPRD itu lah yang milih gubernur milih bupati. Efisien enggak keluar duit, efisien, kaya kita kaya,” ungkapnya.

    Dengan begitu, kata Prabowo, anggaran negara bisa dipakai untuk keperluan program pemerintah lainnya. Misalnya, makan bergizi gratis bagi anak-anak hingga perbaikan sekolah.

     

     

  • Diskusi Elsam, Komnas HAM Soroti Proses Penyelesaian Pelanggaran HAM

    Diskusi Elsam, Komnas HAM Soroti Proses Penyelesaian Pelanggaran HAM

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro mengakui bahwa persoalan hak asasi manusia (HAM) telah menjadi isu belakangan ini. Namun, pada waktu yang sama, permasalahan masa lalu di era otoriter belum kunjung selesai. 

    Hal itu disampaikan oleh Atnike pada Diskusi Publik 76 Tahun Duham dengan tajuk ‘Hak Asasi Manusia dalam Turbulensi Demokrasi’ yang diselenggarakan oleh Elsam, Jakarta, Kamis (19/12/2024). 

    Menurutnya, turbulensi demokrasi terjadi salah satunya karena kurangnya penyelesaian persoalan HAM di masa lalu, khususnya di era Orde Baru. Pada saat itu, isu HAM berkutat pada persoalan-persoalan mendasar mengenai kebebasan politik, penegakan hukum, dan hak-hak ekonomi sosial budaya yang sangat dasar seperti hak atas tanah, perumahan hingga pekerjaan. 

    “Persoalan-persoalan hak asasi sudah semakin kontemporer seperti artificial intelligence, tapi kita lupa persoalan-persoalan yang 20 tahun lalu dikerjakan itu enggak pernah selesai,” ujar Atnike.

    Ketua Komnas HAM periode 2022-2027 itu menilai masalah-masalah seperti ketimpangan dan kemiskinan ekstrem juga masih menjadi persoalan HAM mendasar yang terjadi saat ini. 

    Di sisi lain, persoalan HAM dinilai olehnya semakin canggih mulai dari artificial intelligence hingga judi online. 

    “Kita bayangkan di era bicara persoalan judi online, artificial intelligence, ada persoalan hak asasi sedemikian mendasar yang tidak tersentuh oleh politisi-politisi yang berbicara soal demokrasi. Menurut saya itulah yang memperlihatkan turbulensi, kita tidak mampu melihat persoalan-persoalan sesungguhnya. Kita bicara PSN, tapi ada orang hidupnya dari hari ke hari menunggu belas kasihan,” tuturnya.

    Pelumpuhan Civil Society

    Sementara itu, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman menyampaikan bahwa telah terjadi pelumpuhan masyarakat untuk melakukan perubahan sejak tahun 1965. Namun, penyebab pelumpuhan itu tak diketahui sampai dengam sekarang. 

    Namun, pria yang kini menjabat sebagai Ketua Misi Pencari Fakta Independen tentang Myanmar di bawah Dewan Hak Asasi Manusia PBB itu menduga, fenomena depolitisasi merupakan penyebab dari kelumpuhan yang dimaksud. 

    “Saya menduga oleh karena selama puluhan tahun terjadi depolitisasi di negara kita ini,” paparnya. 

  • Kasus Korupsi CSR: Pertaruhan Reputasi BI Ketika Kurs Kian Rontok

    Kasus Korupsi CSR: Pertaruhan Reputasi BI Ketika Kurs Kian Rontok

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah sekian lama, Bank Indonesia (BI) kembali diguncang kasus korupsi. Kasus kali ini, sejatinya tidak terkait dengan tugas dan fungsi BI, melainkan persoalan penyaluran dana corporate social responsibility atau CSR) yang belum jelas nilainya.

    Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK, bahkan telah melakukan penggeledahan kantor BI. Mereka menyisir ruangan yang diindikasikan kuat terkait dengan perkara tersebut. Salah satunya, ruang kerja milik Gubenur BI, Perry Warjiyo. 

    Kalau menilik keterangan Direktur Penindakan dan Ekskusi KPK, Rudi Setiawan, penyidik lembaga antikorupsi berhasil mengamankan barang bukti saat penggeledahan tersebut. Konon, barang bukti yang diperoleh berupa dokumen fisik dan elektronik. 

    “Maksud penggeledahan tersebut kami dalam kegiatan mengungkap perkara tindak pidana terkait CSR Bank Indonesia,” ujarnya.

    Terlepas dari proses yang sedang berlangsung, penggeledahan yang dilakukan oleh penyidik KPK di ruangan Gubernur BI, tentu telah mempertaruhkan reputasi Bank Indonesia. BI adalah institusi strategis yang memiliki fungsi untuk pengelolaan bidang moneter, sistem pembayaran dan stabilitas sistem keuangan.

    Artinya tanpa transparansi penegakan hukum yang jelas, proses penanganan perkara dugaan korupsi CSR BI bisa merusak kepercayaan publik terhadap Bank Indonesia. Paling parah adalah menurunkan kepercayaan investor pasar keuangan baik lokal maupun global, yang nanti ujung-ujungnya bisa merusak reputasi BI.

    Selain itu, proses penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK itu juga terjadi ketika kondisi nilai tukar rupiah yang nyungsep sedalam-dalamnya. Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, pada hari ini, Kamis (19/12/2024), senilai Rp16.242 per US$1. Ini adalah salah satu capaian terburuk selama 10 tahun terakhir. Tahun 2014, rata-rata kurs dolar masih di kisaran Rp11.000 per dolar AS.

    Gubenur BI Perry Warjiyo mengakui aksi penggeledahan oleh Tim Penyidik KPK di kantornya memberikan pengaruh terhadap pergerakan nilai tukar rupiah pada pekan ini. “Apakah berpengaruh terhadap kondisi pasar? Segala berita akan berpengaruh terhadap kondisi pasar, termasuk nilai tukar rupiah,” ujarnya.

    Sejak Senin lalu, rupiah telah bertengger di atas Rp16.000 per dolar AS. Pada hari ini saja, rupiah sempat tembus lebih dari Rp16.100 per dolar AS.

    Namun demikian, rupiah ditutup menguat tipis 0,02% atau 3 poin ke level Rp16.097,5 per dolar AS, sejalan dengan keputusan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate di 6%. Pada saat yang sama, indeks dolar stagnan di posisi 106,96.

    Perry menyampaikan terhadap sentimen tersebut, BI tetap berkomitmen menjaga stabilitas nilai tukar rupiah melalui intervensi, pembelian Surat Berharga Negara di pasar sekunder, dan langkah lain seperti penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

    Dia juga membenarkan bahwa KPK mendatangi kantornya pada Senin (16/12/2024) malam hari dan menghormati proses tersebut. Pihaknya juga bersikap kooperatif saat KPK hendak membawa sejumlah dokumen terkait dugaan penyalahgunaan dana corporate social responsibility (CSR) yang BI salurkan.

    “Kedatangan tersebut, informasi yang kami terima KPK membawa dokumen-dokumen yang terkait dengan CSR tadi,” tutur Perry.

    Bukan Kasus Pertama

    Korupsi CSR bukan kasus atau skandal pertama yang menyeret Bank Indonesia. Jauh sebelum kasus itu terjadi, pada transisi Orde Baru ke era reformasi terjadi skandal besar dalam sejarah ekonomi Indonesia, yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI. Kasus ini ditengarai merugikan negara triliunan rupiah. 

    BLBI bermula dari keputusan Presiden Soeharto menyuntik dana Rp144,5 triliun kepada 48 bank yang hampir rontok karena kesulitan likuiditas. Sebagian besar bank tersebut didominasi milik swasta.

    Persoalan kemudian muncul setelah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikeluarkan pada 2000 menemukan BLBI merugikan keuangan negara hingga Rp138,4 triliun. Jumlah itu setara 95,78 persen dari BLBI yang disalurkan senilai Rp144,5 triliun.

    Artinya, hanya Rp6 triliun dana BLBI yang balik ke negara. Selebihnya, ‘uang panas’ itu dilarikan oleh para debitur dan obligor BLBI ke berbagai tempat. Paling lazim dana-dana tersebut dilarikan ke negara suaka pajak seperti Singapura dan Hong Kong. Kasus ini pernah dibawa ke ranah pidana. Namun kandas di Mahkamah Agung. Proses penyelesaiannya pun dialihkan ke Satgas BLBI.

    Setelah BLBI mencuat, ada kasus yang menyeret nama Syahril Sabirin. Kasus ini terkait dengan Bank Bali dan Bank Dagang Nasional Indonesia. Dilansir dari laman Antikorupsi.org, kasus itu melibatkan Syahrul Sabirin yang merupakan Gubernur BI (1998-2003) dan taipan Djojo Tjandra. Keduanya telah divonis bersalah oleh Mahkamah Agung (MA).

    Kasus Bank Century juga menjadi banyak perhatian. Perkara korupsi itu menyeret nama Bank Indonesia, termasuk salah satunya deputinya bernama Budi Mulya. Budi Mulya bahkan telah divonis dalan perkara itu. Kendati demikian, perkara Century tidak berhenti di situ dan telah menyeret nama-nama beken antara lain Sri Mulyani Indrawati hingga Budiono yang waktu itu menjabat Gubenur BI.

    Kasus lain, yang juga menyeret nama Bank Indonesia adalah perkara suap cek pelawat terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004. Salah satu terpidana kasus ini adalah, Miranda  Swaray Goeltom. Dia terbukti ikut membantu Nunun Nurbaeti Daradjatun memberikan cek pelawat ke anggota DPR dalam pemilihan deputi senior BI.

    Adapula kasus Burhanuddin Abdullah yang merupakan mantan Gubernur BI dan Deputi BI Aulia Pohan, besan dari Presiden ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang masuk penjara dalam kasus penarikan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia. 

    Modus Korupsi Dana CSR 

    Sementara itu, dalam kasus terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga aliran dana kasus korupsi corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diterima oleh yayasan.

    Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Rudi Setiawan menjelaskan, yayasan yang diduga menerima dana CSR dari BI itu tidak sesuai atau proper. 

    “Jadi BI itu punya dana CSR, kemudian beberapa persen dari pada sebagian itu diberikan ke yang tidak proper. Kurang lebihnya seperti itu,” jelasnya kepada wartawan di Gedung Juang KPK, Jakarta, Selasa (17/12/2024). 

    Rudi pun tidak menampik bahwa dana CSR yang diterima oleh yayasan-yayasan dimaksud turut berasal dari institusi negara lain, di antaranya OJK. Institusi-institusi itu diduga merupakan mitra kerja Komisi Keuangan DPR. “Ya, ya [termasuk OJK] karena ada, itu mereka adalah mitranya di beberapa tempat lah,” ungkap Perwira Polri berpangkat Inspektur Jenderal (Irjen) itu. 

    Ke depan, lanjut Rudi, lembaga antirasuah akan mencari bukti-bukti terkait kasus tersebut di berbagai tempat. Bukti utamanya akan dicari dari lembaga pemberi CSR serta penerimanya. “CSR ini di mana sumbernya, bagaimana keputusannya, berapa besarannya? Diberikan ke siapa itu pasti akan kami cari terus ke sana,” papar Rudi. 

    Adapun Rudi juga menyebut lembaganya telah menetapkan dua orang tersangka pada kasus dugaan korupsi CSR tersebut. Meski demikian, dia tidak memerinci lebih lanjut siapa saja pihak yang ditetapkan tersangka. 

    Untuk mencari bukti-bukti kasus tersebut, penyidik KPK telah menggeledah kantor BI. Salah satu ruangan yang digeledah adalah ruangan kerja Gubernur BI Perry Warjiyo, di mana ditemukan sejumlah bukti elektronik dan dokumen terkait dengan perkara.

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, KPK tengah mengusut kasus dugaan korupsi corporate social responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).  

    Sementara itu, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur mengungkap kenapa pemberian CSR itu berujung pada pengusutan secara pidana oleh KPK. Dia menjelaskan bahwa dana CSR diberikan oleh suatu institusi atau dalam hal ini perusahaan untuk kegiatan sosial yang berdampak ke masyarakat. 

    Apabila dana CSR disalurkan dengan benar, terang Asep, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Namun, ketika CSR itu disalurkan bukan untuk peruntukannya, maka di situ letak dugaan korupsinya.

    Seperti diketahui, BI dan OJK merupakan dua institusi negara yang kegiatannya berasal dari APBN. “Artinya ada beberapa, misalkan CSR ada 100, yang digunakan hanya 50. Yang 50 [lainnya] tidak digunakan. Yang jadi masalah tuh yang 50-nya yang tidak digunakan tersebut. Digunakan misalnya untuk kepentingan pribadi, nah itu yang menjadi masalah,” terang Asep.

  • Mahfud MD Blak-blakan, Sistem Pilkada Serentak Perlu Dievaluasi

    Mahfud MD Blak-blakan, Sistem Pilkada Serentak Perlu Dievaluasi

    Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyatakan bahwa sistem pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) hingga saat ini masih menjadi eksperimen yang belum selesai. 

    Dikutip dari akun YouTube Mahfud MD pada Rabu (18/12/2024), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut sempat menceritakan perjalanan Pilkada dari masa reformasi hingga saat ini. Ia juga sempat menyinggung berbagai masalah yang muncul di dalam prosesnya. 

    “Berdasar pengalaman masa lalu kan sudah pernah saya katakan, pemilihan kepala daerah itu menjadi proses eksperimen yang tidak pernah selesai,” ujar Mahfud. 

    Mahfud mengingatkan bahwa pada 2012–2014, mayoritas partai politik sempat sepakat untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah kepada DPRD, yang dikatakan sempat disepakati seluruh partai termasuk PDIP. 

    “Karena pada waktu itu dirasakan, kemahalan dan kejorokan, seperti saya katakan tadi itu, sudah parah sejak beberapa tahun sebelumnya. Kan pilkada langsung itu dimulai tahun 2006 ya. 2004 itu ada perubahan undang-undang, lalu pelaksanaan pertamanya 2006,” terangnya. 

    Namun, sistem tersebut akhirnya tak jadi diterapkan lantaran mempertimbangkan kekhawatiran rakyat. Terlebih, pada saat itu masyarakat mengkritik Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kala itu menjadi Presiden. 

    “Kritiknya luar biasa sampai Pak SBY itu dicaci maki luar biasa di medsos. Dibilang Anda ini sudah merusak demokrasi dan sebagainya. Padahal itu kesepakatan seluruh partai. Sampai akhirnya ya gitu. Pak SBY [menyatakan] saya akan ikut rakyat,” tutur Mahfud. 

    Sedangkan di lain sisi, Mahfud mengatakan bahwa Pilkada langsung tak menghilangkan persoalan. Sebaliknya, praktik politik uang justru semakin meluas setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menetapkan mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat.

    “Sejak 2006 itu pemilihan, itu politik uang luar biasa. Serangan fajar itu menjadi hal biasa. Yang di jaman Orde Baru dianggap penyakit yang sangat menjijikkan, itu muncul serangan fajar di berbagai daerah.” ucapnya. 

    Menurutnya, masyarakat juga menanti ‘serangan fajar’ tersebut. Hal ini dinilai tidak mendidik masyarakat. 

    Mahfud kemudian mengatakan bahwa jika ingin mengevaluasi Pilkada yakni bukan pada mekanisme langsung atau tidak langsung, namun pada pelaksanaan di lapangan. Ia menekankan perlunya memastikan netralitas aparat penegak hukum dan birokrasi. 

    Dia juga menyinggung persoalan penyalahgunaan fasilitas negara oleh para petahana untuk kepentingannya. 

    “Ini terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana penyalahgunaan fasilitas negara untuk kepentingan publik dan untuk kepentingan pemilihan umum. Tetapi karena penyalahgunaan ini tidak bisa secara langsung membuktikan pilihan orang di dalam bilik suara, maka pemilunya tetap sah,” jelasnya.