PDI-P Hanya Terima Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Bagi 9 Tokoh
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Politikus PDI-P Guntur Romli menyatakan, pihaknya hanya menerima gelar pahlawan nasional yang diberikan Presiden Prabowo Subianto kepada sembilan tokoh.
Sementara itu, untuk penganugerahan gelar
pahlawan nasional
kepada Presiden ke-2 RI Soeharto, mereka tak menerimanya.
”
PDI Perjuangan
menerima gelar
pahlawan
bagi Gus Dur, Marsinah, dan lain-lain, kecuali kepada Soeharto. Kami menolak gelar pahlawan pada Soeharto,” ujar Guntur kepada
Kompas.com
, Selasa (11/11/2025).
Menurutnya, pemberian gelar pahlawan ke Soeharto sama saja dengan pengkhianatan terhadap Reformasi ’98.
“Bagaimana mungkin sosok yang sudah digulingkan rakyat Indonesia, tiba-tiba disebut pahlawan? Bagaimana mungkin Marsinah dan Gus Dur yang menjadi sasaran kekerasan di era Orde Baru, pelaku (Soeharto) dan korbannya sama-sama ditempatkan sebagai pahlawan?” tuturnya.
“Negara/pemerintah harusnya menagih kepada Soeharto dan ahli warisnya ganti rugi triliunan sebagaimana putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, bukan malah memberikan gelar pahlawan dan tunjangan tahunan, belum lagi proses pengadilan HAM berat,” imbuh Guntur.
Sebelumnya, Presiden
Prabowo
Subianto menganugerahkan
gelar pahlawan nasional
kepada 10 tokoh di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Senin (10/11/2025).
Adapun acara penganugerahan dimulai dengan pengumandangan lagu “Indonesia Raya”.
Kemudian, dilanjutkan dengan prosesi mengheningkan cipta yang dipimpin oleh Presiden Prabowo, diiringi dengan lagu mengheningkan cipta.
“Marilah kita sejenak mengenang arwah dan jasa-jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan kehormatan bangsa Indonesia yang telah memberi segala-galanya agar kita bisa hidup merdeka dan kita bisa hidup dalam alam yang sejahtera,” kata Prabowo saat mengheningkan cipta.
Penganugerahan ini diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2025.
“Menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mereka yang namanya tersebut dalam lampiran keputusan ini sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi, atas jasa-jasanya yang luar biasa, untuk kepentingan mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa,” bunyi kutipan Keppres.
Berikut ini 10 nama yang dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Prabowo:
1. Abdurrahman Wahid, tokoh dari Jawa Timur
2. Jenderal Besar TNI Soeharto, tokoh dari Jawa Tengah
3. Marsinah, tokoh dari Jawa Timur
4. Mochtar Kusumaatmaja, tokoh dari Jawa Barat
5. Hajjah Rahma El Yunusiyyah, tokoh dari Sumatera Barat
6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, tokoh dari Jawa Tengah
7. Sultan Muhammad Salahuddin, tokoh dari NTB
8. Syaikhona Muhammad Kholil, tokoh dari Jawa Timur
9. Tuan Rondahaim Saragih, tokoh dari Sumatera Utara
10. Zainal Abisin Syah, tokoh dari Maluku Utara.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Event: Rezim Orde Baru
-
/data/photo/2025/06/05/684111600e17c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 PDI-P Hanya Terima Pemberian Gelar Pahlawan Nasional Bagi 9 Tokoh Nasional
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5408140/original/021836000_1762764721-1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kabar Mbak Tutut Hari ini, Tetap Setia di Samping Pak Harto
Liputan6.com, Jakarta – Di ruang megah Istana Negara, Senin pagi, 10 November 2025, sorotan muncul ketika nama Presiden Indonesia ke-2, Soeharto disebut sebagai salah satu penerima gelar Pahlawan Nasional. Momen selama lebih dari satu dekade itu akhirnya tiba tepat pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November.
Di antara barisan tamu undangan, Siti Hardijanti Rukmana, atau akrab disapa Mbak Tutut, tampak menunduk haru. Dengan tenang, ia menyeka sudut matanya, barangkali mengingat kembali begitu banyak kenangan bersama ayahnya, dari masa keemasan Orde Baru, hingga hari-hari ketika sang ayah mengumumkan pengunduran diri dari kursi kepresidenan 27 tahun silam.
Kini, di ruang yang sama, sejarah seakan berputar. Soeharto, yang dulu turun di tengah badai kritik, kini diakui negara sebagai salah satu pahlawan bangsa.
Penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto bukan tanpa perdebatan. Selama lebih dari 10 tahun, nama Soeharto selalu muncul dalam daftar usulan, namun urung ditetapkan karena perbedaan pandangan di masyarakat. Mbak Tutut, yang sejak muda menjadi tangan kanan sekaligus bayang-bayang setia ayahnya, menanggapi dinamika itu dengan bijak.
“Untuk yang kontra, kami keluarga tidak merasa dendam atau kecewa. Negara kita ini kan Bineka, banyak macamnya. Monggo-monggo saja,” ujarnya lembut usai upacara di Istana.
Ia memahami bahwa warisan sejarah tak pernah hitam putih. Bagi sebagian orang, Pak Harto, biasa Soeharto disapa, adalah Bapak Pembangunan yang menegakkan stabilitas dan swasembada pangan. Bagi yang lain, masa pemerintahannya diingat dengan luka dan pembatasan kebebasan.
Namun bagi Tutut, semuanya adalah bagian dari perjalanan bangsa yang harus diterima dengan lapang dada.
“Yang penting kita jaga persatuan dan kesatuan. Pro dan kontra itu wajar, yang penting jangan ekstrem,” katanya dengan nada teduh.
Presiden ke-2 Indonesia Soeharto mendapat anugerah Pahlawan Nasional dari Presiden RI Prabowo Subianto.
-

Netizen Sebut Bapak Pembangunan Vs Diktator
Jakarta –
Pemerintah resmi menetapkan Presiden kedua RI, Jenderal Besar TNI H.M. Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional pada peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025). Pengangkatan ini diumumkan dalam upacara di Istana Negara dan diserahkan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto kepada keluarga Cendana.
Keputusan tersebut disambut dengan reaksi publik yang terbelah di media sosial. Sebagian menganggap Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan”, sementara yang lain mengkritiknya sebagai pemimpin otoriter yang meninggalkan rekam jejak pelanggaran HAM dan korupsi.
Saking ramainya yang membahas, nama Soeharto masih memuncaki daftar trending topic di X.com hingga Selasa pagi (11/10/2025). Lebih dari 115 ribu postingan membahas polemik pengangkatan pahlawan nasional tersebut.
Bapak Pembangunan
Pendukung pengangkatan ini banyak yang menyoroti era Orde Baru sebagai masa stabilitas politik, ekonomi, dan sosial.
“soeharto bukan sekadar presiden, ia adalah bapak pembangunan yang membawa indonesia dari ketidakpastian menuju kemajuan. dari swasembada pangan hingga listrik masuk desa, karya nyatanya tak terbantahkan,” ujar @textcicicuit.
Sementara @pranatadayken menambahkan “Soeharto dikenal sebagai Bapak Pembangunan yang telah memberikan fondasi kuat bagi kemajuan bangsa, dengan berbagai karya dan kebijakan yang membawa Indonesia menuju era pertumbuhan dan stabilitas.”
Akun @are_inismyname juga membela, “Suka atau tidak dia pernah memimpin di negeri ini dan Indonesia menjadi negara macan asia. Stabilitas tercapai saat itu baik bidang politik, ekonomi dan sosial budaya.”
Diktator
Di sisi lain, gelombang penolakan turut membanjiri X. “Benar-benar berita di luar nalar: Soeharto dikabarkan memperoleh gelar pahlawan nasional! Sudah mempersekusi etnis Tionghoa, melarang jilbab di sekolah, melakukan tindakan penghilangan orang dan penangkapan tanpa pengadilan, parahnya belum diadili semasa hidupnya terus tau-tau jadi pahlawan nasional,” kata @erlanishere.
“Resmi sudah, Orde Baru hidup kembali. Soeharto jadi pahlawan nasional. Pembunuh begitu banyak orang, diktator yang mengurung begitu banyak tahanan politik, jadi pahlawan,” ujar @sunatlaserbeam.
“Kau bisa aja mengangkat Soeharto sebagai Pahlawan. Tapi bagi kami yg pernah ikut peristiwa Trisakti, Soeharto adalah DIKTATOR yang tangannya berlumuran darah.!!!” ucap @pejuang_nasib.
Penetapan Pahlawan Nasional
Penetapan Soeharto jadi pahlawan nasional. Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Diberitakan sebelumnya oleh detiknews, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional ke sepuluh tokoh. Penetapan tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Pemberian gelar pahlawan nasional ini diselenggarakan di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Dari sepuluh tersebut, terdapat nama Presiden ke-2 Soeharto.
Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) menegaskan bahwa Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, memenuhi seluruh persyaratan untuk dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Pernyataan tersebut disampaikan Fadli seusai melaporkan 40 nama calon penerima gelar Pahlawan Nasional yang baru diusulkan, serta 9 nama tambahan hasil lanjutan dari tahun sebelumnya, kepada Presiden RI Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta.“Seluruh nama yang diajukan telah melalui penelitian dan pengkajian mendalam oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), melibatkan pakar lintas disiplin ilmu, serta disinergikan antara pemerintah daerah dan pusat. Proses ini dilakukan secara ketat, objektif, dan transparan,” ujar Fadli, dalam keterangan tertulis.
Menurut Fadli, pemberian gelar Pahlawan Nasional merupakan wujud penghormatan negara kepada tokoh-tokoh yang telah memberikan jasa besar bagi bangsa dan negara.
Dukungan terhadap penilaian tersebut datang dari berbagai kalangan, termasuk organisasi keagamaan. Ketua Umum Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr Adian Husaini, turut menyatakan dukungannya terkait penetapan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional.
Menurut Fadli, nama Soeharto telah diusulkan sebanyak tiga kali, termasuk pengusulan sebelumnya pada 2011 dan 2015, dan semua pengusulan tersebut telah memenuhi syarat. Dalam usulan tahun 2025 ini, nama Soeharto menjadi salah satu dari 40 usulan nama penerima gelar pahlawan nasional dari Menteri Sosial RI Saifullah Yusuf.
Fadli menjelaskan proses pengkajian gelar kehormatan tersebut melibatkan sinergi antara pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Pengkajian turut melibatkan para ahli dari berbagai bidang ilmu.
Bambang Trihatmodjo dan Tutut Soeharto di Istana (Eva/detikcom) Foto: Bambang Trihatmodjo dan Tutut Soeharto di Istana (Eva/detikcom)
Menanggapi polemik di masyarakat terkait penetapan Soeharto jadi pahlawan nasional, Siti Hardijanti Hastuti Rukmana, mengaku tak masalah dengan pro dan kontra yang terjadi.
“Masyarakat Indonesia itu kan macam-macam ya, ada yang pro ada yang kontra itu wajar-wajar saja,” ujar sosok yang dikenal Tutut Soeharto ini di Istana Negara, Senin (10/11/2025).
Dia mengajak semua pihak melihat apa yang telah dikerjakan Soeharto. Dia menyebut Soeharto, yang menjabat sebagai Presiden selama 32 tahun, telah banyak berjuang untuk negara dan masyarakat Indonesia.
“Yang pentingkan kita melihat apa yang telah dilakukan bapak saya dari sejak muda sampai beliau wafat itu semua perjuangan untuk negara dan masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Tutut berharap pihak yang kontra dengan Soeharto menjadi pahlawan tak bersikap ekstrem. Dia mengajak semua pihak menjaga persatuan.
“Jadi boleh-boleh saja kontra, tapi juga jangan ekstrem, yang penting kita jaga persatuan dan kesatuan,” ujarnya.
Halaman 2 dari 2
Simak Video “Video: Mengulik Sejarah dan Syarat Pemberian Gelar Pahlawan Nasional”
[Gambas:Video 20detik]
(afr/afr) -
/data/photo/2025/11/10/691196bfdef94.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Marsinah Pahlawan Nasional, "Palu Godam" bagi Perjuangan Buruh Surabaya 10 November 2025
Marsinah Pahlawan Nasional, “Palu Godam” bagi Perjuangan Buruh
Tim Redaksi
NGANJUK, KOMPAS.com
– Pemberian gelar Pahlawan Nasional di Bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan kepada Marsinah, aktivis buruh asal Nganjuk yang meninggal dunia pada 1993, dinilai sebagai langkah tepat dan bersejarah.
Menurut Ketua Prodi Pendidikan Sejarah Universitas Nusantara PGRI (UNP) Kediri, Nara Setya Wiratama, penetapan ini bukan hanya bentuk penghormatan terhadap keberanian
Marsinah
, tetapi juga dapat menjadi legitimasi moral dan politik bagi perjuangan kaum buruh di Indonesia.
“Pemberian gelar
pahlawan nasional
ini adalah legitimate, sudah diakui oleh nasional. Meskipun itu seakan-akan hanya hitam di atas putih, tetapi itu menjadi fondasi (perjuangan buruh),” kata Nara kepada
Kompas.com
, Senin (10/11/2025).
Nara mengatakan, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Marsinah dapat menjadi “palu godam” bagi para buruh, ketika hak-hak mereka tidak dipenuhi atau bahkan didiskriminasi oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.
“Dengan Marsinah yang saat ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, itu menjadi palu godam yang bisa digunakan oleh teman-teman buruh ketika suatu saat nasib buruh itu dipontang-panting atau didiskriminasi,” tuturnya.
Pria yang juga menjadi anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten
Nganjuk
ini sangat setuju dengan langkah pemerintah menetapkan Marsinah sebagai pahlawan nasional.
Bagi Nara, keberanian Marsinah yang memperjuangkan hak-haknya sebagai buruh pada masa akhir pemerintahan Orde Baru merupakan tindakan yang luar biasa.
“Waktu itu pemerintahannya begitu sentralistik dan cenderung otoriter, tidak ada siapa pun yang berani. Siapa pun yang yang berani ya risikonya dibungkam atau hilang,” ucap Nara.
“Nah, Marsinah ini sosok yang berani, dia adalah salah satu contoh perjuangan, apalagi dia adalah seorang wanita,” kata dia.
Menurut Nara, sosok Marsinah menembus batas sosial dan politik zamannya, apalagi sebagai seorang perempuan.
Ia memperjuangkan nasib buruh yang kala itu bekerja dengan tekanan tinggi, tetapi menerima upah tidak layak.
“Saya sangat cocok dan sepakat Marsinah menjadi pahlawan nasional, dan memang harusnya seperti itu, dan itu layak disandangkan untuk Marsinah,” kata dia.
Meski menyambut positif penetapan Marsinah sebagai pahlawan nasional, Nara menilai masih ada “utang sejarah” yang belum dituntaskan, yaitu pengungkapan dalang di balik pembunuhannya.
Untuk itu, ia mendorong agar dibentuk tim ahli atau tim khusus untuk mengungkap dalang di balik terbunuhnya Pahlawan Nasional Marsinah.
“Sebenarnya perlu ada tim khusus ya, atau tim ahli yang memang secara khusus untuk menyelidiki ini,” kata dia.
Kendati demikian, Nara menyadari bahwa untuk mengungkap kasus ini tidak akan mudah.
“Marsinah wafat tahun 1993, sudah 32 tahun kalau ditarik dari 2025. Artinya kalau mencari dalang siapa, itu sebenarnya sudah ada, banyak hipotesa yang menyatakan dalang si A, si B, dan sebagainya,” ujar dia.
“Tapi lagi-lagi ini kaitannya dengan kemauan pemerintah sendiri, itu mau atau tidak, gitu aja,” kata dia.
Pada Senin (10/11/2025), Presiden Prabowo Subianto resmi memberikan gelar pahlawan nasional di bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan kepada aktivis buruh, Marsinah.
Pemberian gelar ini dilakukan Prabowo kepada ahli waris Marsinah di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
Dalam proses pemberian gelar pahlawan ini, narator di Istana menyebutkan Marsinah sebagai simbol keberanian, moral, dan perjuangan hak asasi manusia (HAM).
“Pahlawan bidang perjuangan sosial dan kemanusiaan. Marsinah adalah simbol keberanian, moral, dan perjuangan HAM dari kalangan rakyat biasa,” ujar narator di Istana.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

ProMeg96 Jatim Kritik Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto
Surabaya (beritajatim.com) – Barisan Pro Megawati (ProMeg)96 Jawa Timur mengkritik keputusan pemerintah yang resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2, Soeharto. Mereka menilai terdapat ironi dalam penghargaan tersebut, karena dasar peringatan perjuangan Hari Pahlawan belum memiliki payung hukum setingkat undang-undang.
“Memorial pengingat perjuangan para pahlawan yang gugur begitu banyak dalam merebut kemerdekaan lho belum ditetapkan secara undang-undang. Ini kok justru pemberian gelar untuk Pak Harto yang didahulukan,” ujar Ketua ProMeg96 Jatim, Jagad Hariseno usai menjadi Inspektur Upacara peringatan Hari Pahlawan di halaman Posko Pandegiling, Surabaya, Senin (10/11/2025).
Menurut Jagad, meski pemberian gelar pahlawan memiliki dasar hukum melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009, esensi peringatan 10 November sebagai tonggak sejarah perjuangan melawan penjajah justru belum dikukuhkan secara legislatif.
“Undang-undang pemberian gelar itu ada, tapi dasar pengingat perjuangannya malah belum ditetapkan,” ucapnya.
Jagad menilai bahwa peneguhan Hari Pahlawan sebagai memori kolektif bangsa jauh lebih penting untuk memastikan nilai perjuangan terus hidup di masyarakat. Dia menyebut bahwa penghormatan sejarah tidak boleh bergeser dari substansinya.
“Peringatan ini-lah yang seharusnya dikuatkan melalui undang-undang,” ujar dia.
Dia mengatakan, ProMeg96 lahir sebagai gerakan rakyat yang aktif menyuarakan perlawanan terhadap praktik kekuasaan yang dianggap sewenang-wenang pada masa Orde Baru. Karena itu, Jagad menilai pemberian gelar kepada Soeharto memiliki sensitivitas sejarah yang tidak bisa diabaikan.
“Gerakan ini muncul sebagai gerakan rakyat yang aktif dalam menentang kesewenangan saat Rezim Orde Baru,” katanya.
Jagad berharap keputusan ini tidak melupakan luka sejarah masyarakat dan perjuangan kelompok yang pernah mengalami tekanan politik pada masa tersebut.
“Kami hanya ingin sejarah dilihat secara jernih, agar penghormatan kepada pahlawan tidak kehilangan maknanya,” tutupnya. [asg/ian]
-

Jadi Pahlawan Nasional, Ini Perjalanan Soeharto 31 Tahun Membentuk Indonesia Modern
Jakarta: Setelah tiga kali diusulkan, Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto akhirnya resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Senin, 10 November 2025.
Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara di Istana Negara. Soeharto menjadi satu dari sepuluh tokoh yang mendapat penghargaan tersebut tahun ini.
Lebih dari dua dekade setelah lengser, nama Soeharto tetap menjadi salah satu yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Ia dikenal sebagai pemimpin terlama dalam sejarah republik, memegang tampuk kekuasaan selama 31 tahun (1967–1998) sebuah periode yang membentuk wajah politik, ekonomi, dan sosial Indonesia hingga kini.
Lahirnya Orde Baru: Dari Krisis ke Kekuasaan
Kisah kebangkitan Soeharto bermula dari gejolak 1965, ketika peristiwa G30S mengguncang Indonesia dan menggiring negeri ini ke jurang perpecahan. Saat negara terbelah antara pendukung dan penentang PKI, Mayor Jenderal Soeharto, kala itu Panglima Kostrad, bergerak cepat mengambil alih kendali keamanan.Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan stabilitas nasional. Namun surat tersebut menjadi pintu masuk konsolidasi kekuasaan. Dalam waktu singkat, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia, menangkap tokoh-tokoh pro-Soekarno, dan membangun struktur politik baru yang disebut Orde Baru.
Tahun 1967, MPRS secara resmi mencabut kekuasaan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden, yang kemudian disahkan penuh setahun kemudian.
Fokus utamanya sederhana: menyelamatkan ekonomi nasional yang kala itu terpuruk oleh inflasi hingga 600%.Soeharto menunjuk kelompok ekonom muda lulusan Universitas California, yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley, untuk merumuskan kebijakan baru. Investasi asing dibuka, hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat dipulihkan, dan kebijakan fiskal mulai diperketat.
Di saat yang sama, Soeharto membangun kekuatan politik melalui Golongan Karya (Golkar). Dukungan militer, birokrasi, dan aparatur negara memastikan kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971, sekaligus mengokohkan posisi Soeharto sebagai figur sentral negara.
Dekade Kejayaan: Pembangunan dan Pengendalian
Tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an menjadi masa keemasan Orde Baru. Lonjakan harga minyak dunia membuat kas negara berlimpah. Soeharto meluncurkan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) untuk mengejar swasembada pangan dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.Pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencapai rata-rata 7% per tahun, inflasi menurun tajam, dan kemiskinan berhasil ditekan. Tahun 1984, Indonesia bahkan diakui FAO sebagai negara swasembada beras, pencapaian besar yang menegaskan citra Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan.”
Namun, di balik kemajuan ekonomi itu, kekuasaan politik semakin tersentralisasi. Seluruh organisasi masyarakat diwajibkan mengadopsi asas tunggal Pancasila, media dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah seringkali dianggap ancaman negara.
Demonstrasi mahasiswa seperti Peristiwa Malari 1974 menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi dan dominasi modal asing, namun berakhir dengan penangkapan dan pembredelan media.
Pada periode ini pula keluarga Cendana sebutan untuk lingkaran inti keluarga Soeharto mulai membangun kerajaan bisnis di berbagai sektor strategis: dari kehutanan, tambang, hingga telekomunikasi.
Menjelang Runtuhnya Rezim: Krisis dan Reformasi
Memasuki akhir 1980-an, harga minyak anjlok. Soeharto merespons dengan mendorong industrialisasi dan membuka sektor keuangan. Namun liberalisasi ini justru memperlebar jurang ketimpangan dan memperkuat jaringan bisnis kroni.Di era 1990-an, Soeharto semakin bergantung pada keluarga dan para konglomerat dekatnya. Anak-anaknya menguasai berbagai sektor ekonomi, sementara partai oposisi dan media tetap dikontrol ketat.
MPR secara rutin memilihnya kembali sebagai presiden tanpa pesaing berarti. Semua berubah ketika krisis moneter Asia 1997 menghantam Indonesia. Nilai tukar rupiah jatuh bebas dari Rp 2.400 menjadi Rp 17.000 per dolar AS dan inflasi menembus dua digit. Gelombang PHK massal dan kemiskinan membuat kepercayaan publik runtuh.Desakan reformasi datang dari segala arah: mahasiswa, tokoh masyarakat, dan bahkan sebagian elite militer. Tragedi Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat mahasiswa mempercepat kejatuhan rezim.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah tiga dekade berkuasa, mengakhiri satu bab besar dalam sejarah politik Indonesia.
Soeharto wafat pada 27 Januari 2008, meninggalkan warisan yang terus diperdebatkan hingga kini. Bagi sebagian warga, ia adalah pembangun ekonomi dan pencipta stabilitas. Namun bagi korban represi politik dan pelanggaran HAM, Soeharto adalah simbol otoritarianisme dan korupsi sistemik.
Warisan Orde Baru masih terasa dalam birokrasi, politik, dan budaya ekonomi Indonesia modern. Banyak struktur kekuasaan, praktik patronase, dan cara pandang terhadap stabilitas nasional yang terbentuk pada masa pemerintahannya, masih memengaruhi cara negara ini dijalankan.
Kini, dua puluh tujuh tahun setelah lengser, nama Soeharto kembali muncul di ruang publik bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tapi juga sebagai pengingat betapa panjang bayangan Orde Baru membentuk Indonesia hari ini.
Jakarta: Setelah tiga kali diusulkan, Presiden ke-2 Republik Indonesia Soeharto akhirnya resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada Senin, 10 November 2025.
Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam upacara di Istana Negara. Soeharto menjadi satu dari sepuluh tokoh yang mendapat penghargaan tersebut tahun ini.
Lebih dari dua dekade setelah lengser, nama Soeharto tetap menjadi salah satu yang paling kontroversial dalam sejarah Indonesia.
Ia dikenal sebagai pemimpin terlama dalam sejarah republik, memegang tampuk kekuasaan selama 31 tahun (1967–1998) sebuah periode yang membentuk wajah politik, ekonomi, dan sosial Indonesia hingga kini.
Lahirnya Orde Baru: Dari Krisis ke Kekuasaan
Kisah kebangkitan Soeharto bermula dari gejolak 1965, ketika peristiwa G30S mengguncang Indonesia dan menggiring negeri ini ke jurang perpecahan. Saat negara terbelah antara pendukung dan penentang PKI, Mayor Jenderal Soeharto, kala itu Panglima Kostrad, bergerak cepat mengambil alih kendali keamanan.Dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Soeharto mendapat mandat dari Presiden Soekarno untuk memulihkan stabilitas nasional. Namun surat tersebut menjadi pintu masuk konsolidasi kekuasaan. Dalam waktu singkat, Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia, menangkap tokoh-tokoh pro-Soekarno, dan membangun struktur politik baru yang disebut Orde Baru.
Tahun 1967, MPRS secara resmi mencabut kekuasaan Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden, yang kemudian disahkan penuh setahun kemudian.
Fokus utamanya sederhana: menyelamatkan ekonomi nasional yang kala itu terpuruk oleh inflasi hingga 600%.
Soeharto menunjuk kelompok ekonom muda lulusan Universitas California, yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley, untuk merumuskan kebijakan baru. Investasi asing dibuka, hubungan diplomatik dengan negara-negara Barat dipulihkan, dan kebijakan fiskal mulai diperketat.
Di saat yang sama, Soeharto membangun kekuatan politik melalui Golongan Karya (Golkar). Dukungan militer, birokrasi, dan aparatur negara memastikan kemenangan Golkar dalam Pemilu 1971, sekaligus mengokohkan posisi Soeharto sebagai figur sentral negara.Dekade Kejayaan: Pembangunan dan Pengendalian
Tahun 1970-an hingga pertengahan 1980-an menjadi masa keemasan Orde Baru. Lonjakan harga minyak dunia membuat kas negara berlimpah. Soeharto meluncurkan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) untuk mengejar swasembada pangan dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat mencapai rata-rata 7% per tahun, inflasi menurun tajam, dan kemiskinan berhasil ditekan. Tahun 1984, Indonesia bahkan diakui FAO sebagai negara swasembada beras, pencapaian besar yang menegaskan citra Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan.”
Namun, di balik kemajuan ekonomi itu, kekuasaan politik semakin tersentralisasi. Seluruh organisasi masyarakat diwajibkan mengadopsi asas tunggal Pancasila, media dibatasi, dan kritik terhadap pemerintah seringkali dianggap ancaman negara.
Demonstrasi mahasiswa seperti Peristiwa Malari 1974 menjadi simbol perlawanan terhadap korupsi dan dominasi modal asing, namun berakhir dengan penangkapan dan pembredelan media.
Pada periode ini pula keluarga Cendana sebutan untuk lingkaran inti keluarga Soeharto mulai membangun kerajaan bisnis di berbagai sektor strategis: dari kehutanan, tambang, hingga telekomunikasi.
Menjelang Runtuhnya Rezim: Krisis dan Reformasi
Memasuki akhir 1980-an, harga minyak anjlok. Soeharto merespons dengan mendorong industrialisasi dan membuka sektor keuangan. Namun liberalisasi ini justru memperlebar jurang ketimpangan dan memperkuat jaringan bisnis kroni.
Di era 1990-an, Soeharto semakin bergantung pada keluarga dan para konglomerat dekatnya. Anak-anaknya menguasai berbagai sektor ekonomi, sementara partai oposisi dan media tetap dikontrol ketat.
MPR secara rutin memilihnya kembali sebagai presiden tanpa pesaing berarti. Semua berubah ketika krisis moneter Asia 1997 menghantam Indonesia. Nilai tukar rupiah jatuh bebas dari Rp 2.400 menjadi Rp 17.000 per dolar AS dan inflasi menembus dua digit. Gelombang PHK massal dan kemiskinan membuat kepercayaan publik runtuh.
Desakan reformasi datang dari segala arah: mahasiswa, tokoh masyarakat, dan bahkan sebagian elite militer. Tragedi Trisakti (12 Mei 1998) yang menewaskan empat mahasiswa mempercepat kejatuhan rezim.
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri setelah tiga dekade berkuasa, mengakhiri satu bab besar dalam sejarah politik Indonesia.
Soeharto wafat pada 27 Januari 2008, meninggalkan warisan yang terus diperdebatkan hingga kini. Bagi sebagian warga, ia adalah pembangun ekonomi dan pencipta stabilitas. Namun bagi korban represi politik dan pelanggaran HAM, Soeharto adalah simbol otoritarianisme dan korupsi sistemik.
Warisan Orde Baru masih terasa dalam birokrasi, politik, dan budaya ekonomi Indonesia modern. Banyak struktur kekuasaan, praktik patronase, dan cara pandang terhadap stabilitas nasional yang terbentuk pada masa pemerintahannya, masih memengaruhi cara negara ini dijalankan.
Kini, dua puluh tujuh tahun setelah lengser, nama Soeharto kembali muncul di ruang publik bukan hanya sebagai tokoh sejarah, tapi juga sebagai pengingat betapa panjang bayangan Orde Baru membentuk Indonesia hari ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain diGoogle News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(SAW)
-

Umar Hasibuan Sebut Sosok Ini Lebih Layak Jadi Pahlawan Nasional
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengangkat beberapa nama jadi pahlawan nasional.
Pengangkatan tersebut dilakukan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta pada hari ini, Senin (10/11/2025).
Dalam penganugrahan Pahlawan Nasional ini ada sekitar 10 nama yang dikukuh oleh Presiden Prabowo Subianto.
Gelar pahlawan nasional ini diberikan sesuai dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116/TK Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Beberapa nama yang dikukuhkan ada Soeharto, Abdurrachman Wahid alias Gus Dur, tokoh Nahdlatul Ulama Muhammad Kholil, dan aktivis dan tokoh buruh era Orde Baru, Marsinah dan beberapa nama lainnya.
Merespons hal ini, Kader Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Umar Hasibuan punya pendapat lain.
Menurutnya nama Sumitro Djojohadikusumo juga layak untuk mendapatkan gelar tersebut.
Ini disampaikannya melalui unggahan dicuitan akun media sosial X pribadinya yang menurutnya lebih layak dari Soeharto.
Pengusulan dan pengukuhan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional memang mendapat banyak perdebatan.
“Saya pribadi jauh lbh bisa terima kalau Sumitro Djojohadikusumo yg jd pahlawan nasional drpada Soeharto,” ungkap Umar. (Erfyansyah/fajar)
-

Mengenal 6 Jenis Gelar Pahlawan Nasional di Indonesia
Jakarta: Setiap tanggal 10 November, rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hari Pahlawan menjadi momentum untuk kembali mengenang dan menghargai jasa para pejuang bangsa yang telah berkorban demi kemerdekaan dan kemajuan negara.
Momen ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk Indonesia tidak berhenti pada masa perang, tetapi juga terus berlanjut dalam membangun negeri menuju masa depan yang lebih baik.
Dalam sejarahnya, negara memberikan penghargaan khusus kepada tokoh-tokoh yang berjasa besar melalui berbagai gelar kehormatan, mulai dari Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Revolusi, hingga Pahlawan Kebangkitan Nasional.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pahlawan Nasional menjadi bentuk penghormatan tertinggi yang diberikan kepada warga negara Indonesia yang terbukti memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa.
Gelar ini bukan sekadar simbol penghargaan, tetapi juga wujud penghormatan yang diharapkan dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan inspirasi bagi generasi penerus.
Setidaknya ada beberapa jenis gelar pahlawan nasional yang dianugerahkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain:
1. Pahlawan Kemerdekaan NasionalGelar ini diberikan kepada tokoh yang berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan, baik melalui perlawanan fisik, diplomasi, maupun penyebaran gagasan nasionalisme.
Mereka dikenal sebagai pelopor perlawanan dan simbol kebangkitan nasional, yang menginspirasi rakyat Indonesia untuk bersatu melawan penjajahan. Gelar ini menjadi bentuk penghargaan bagi perjuangan mereka dalam memperjuangkan, mempertahankan, dan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan bangsa.
2. Pahlawan RevolusiPahlawan Revolusi merupakan gelar yang diberikan kepada tokoh-tokoh yang gugur saat mempertahankan kemerdekaan dari ancaman pemberontakan, seperti peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Sebagian besar penerima gelar ini berasal dari kalangan militer yang rela berkorban demi menjaga ideologi dan kedaulatan Indonesia di tengah ancaman yang mengguncang stabilitas negara.
3. Pahlawan Perintis KemerdekaanGelar ini dianugerahkan kepada tokoh-tokoh yang berjuang di masa awal kebangkitan nasional. Mereka memelopori perlawanan terhadap penjajahan dan menjadi penggerak dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan hingga sosial budaya.
Kontribusi mereka menjadi pondasi awal bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa selanjutnya.
4. Pahlawan ProklamatorPahlawan Proklamator diberikan kepada tokoh yang memiliki peran langsung dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Gelar ini dianugerahkan secara khusus kepada Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai Dwitunggal Proklamator. Keduanya membacakan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945, yang menandai lahirnya Republik Indonesia.
5. Pahlawan Kebangkitan NasionalGelar ini diberikan kepada tokoh yang berperan besar dalam membangkitkan kesadaran nasionalisme dan membentuk organisasi pergerakan nasional.
Tokoh seperti Dr. Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo menjadi ikon kategori ini lewat pendirian Budi Utomo pada tahun 1908, yang dikenal sebagai tonggak awal kebangkitan nasional Indonesia.
6. Pahlawan AmperaPahlawan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) merupakan gelar yang diberikan kepada mereka yang berjuang pada masa transisi pasca peristiwa G30S/PKI, khususnya dalam menjaga persatuan dan stabilitas bangsa.
Para tokoh ini berperan penting dalam menegakkan kembali semangat kebangsaan di tengah situasi politik yang tidak menentu pada masa Orde Lama menuju masa Orde Baru.
Jakarta: Setiap tanggal 10 November, rakyat Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hari Pahlawan menjadi momentum untuk kembali mengenang dan menghargai jasa para pejuang bangsa yang telah berkorban demi kemerdekaan dan kemajuan negara.
Momen ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk Indonesia tidak berhenti pada masa perang, tetapi juga terus berlanjut dalam membangun negeri menuju masa depan yang lebih baik.
Dalam sejarahnya, negara memberikan penghargaan khusus kepada tokoh-tokoh yang berjasa besar melalui berbagai gelar kehormatan, mulai dari Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Revolusi, hingga Pahlawan Kebangkitan Nasional.Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, Pahlawan Nasional menjadi bentuk penghormatan tertinggi yang diberikan kepada warga negara Indonesia yang terbukti memberikan kontribusi luar biasa bagi bangsa.
Gelar ini bukan sekadar simbol penghargaan, tetapi juga wujud penghormatan yang diharapkan dapat menumbuhkan semangat nasionalisme dan inspirasi bagi generasi penerus.
Setidaknya ada beberapa jenis gelar pahlawan nasional yang dianugerahkan oleh pemerintah Indonesia, antara lain:
1. Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Gelar ini diberikan kepada tokoh yang berperan penting dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan, baik melalui perlawanan fisik, diplomasi, maupun penyebaran gagasan nasionalisme.
Mereka dikenal sebagai pelopor perlawanan dan simbol kebangkitan nasional, yang menginspirasi rakyat Indonesia untuk bersatu melawan penjajahan. Gelar ini menjadi bentuk penghargaan bagi perjuangan mereka dalam memperjuangkan, mempertahankan, dan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan bangsa.
2. Pahlawan Revolusi
Pahlawan Revolusi merupakan gelar yang diberikan kepada tokoh-tokoh yang gugur saat mempertahankan kemerdekaan dari ancaman pemberontakan, seperti peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Sebagian besar penerima gelar ini berasal dari kalangan militer yang rela berkorban demi menjaga ideologi dan kedaulatan Indonesia di tengah ancaman yang mengguncang stabilitas negara.
3. Pahlawan Perintis Kemerdekaan
Gelar ini dianugerahkan kepada tokoh-tokoh yang berjuang di masa awal kebangkitan nasional. Mereka memelopori perlawanan terhadap penjajahan dan menjadi penggerak dalam berbagai bidang, mulai dari pendidikan hingga sosial budaya.
Kontribusi mereka menjadi pondasi awal bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia di masa selanjutnya.
4. Pahlawan Proklamator
Pahlawan Proklamator diberikan kepada tokoh yang memiliki peran langsung dalam memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Gelar ini dianugerahkan secara khusus kepada Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta, yang dikenal sebagai Dwitunggal Proklamator. Keduanya membacakan teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945, yang menandai lahirnya Republik Indonesia.
5. Pahlawan Kebangkitan Nasional
Gelar ini diberikan kepada tokoh yang berperan besar dalam membangkitkan kesadaran nasionalisme dan membentuk organisasi pergerakan nasional.
Tokoh seperti Dr. Soetomo dan Wahidin Soedirohoesodo menjadi ikon kategori ini lewat pendirian Budi Utomo pada tahun 1908, yang dikenal sebagai tonggak awal kebangkitan nasional Indonesia.
6. Pahlawan Ampera
Pahlawan Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat) merupakan gelar yang diberikan kepada mereka yang berjuang pada masa transisi pasca peristiwa G30S/PKI, khususnya dalam menjaga persatuan dan stabilitas bangsa.
Para tokoh ini berperan penting dalam menegakkan kembali semangat kebangsaan di tengah situasi politik yang tidak menentu pada masa Orde Lama menuju masa Orde Baru.
Cek Berita dan Artikel yang lain diGoogle News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id(PRI)
-

Profil Marsinah, Aktivis Buruh yang Resmi Jadi Pahlawan Nasional
Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto resmi menetapkan aktivis buruh, Marsinah menjadi menjadi pahlawan nasional pada 2025.
Keputusan itu tertuang dalam Keppres No.116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional tertuang 10 nama yang mendapatkan gelar pahlawan nasional.
Dalam sambutannya, Prabowo menyampaikan bahwa pemberian gelar ini merupakan bentuk penghormatan kepada para pejuang yang telah memberikan dedikasi, pengorbanan, dan keteladanan bagi bangsa.
“Marilah kita sejenak mengenang arwah dan jasa-jasa para pahlawan yang telah berkorban untuk kemerdekaan kedaulatan dan kehormatan bangsa Indonesia yang telah memberi segala-galanya agar kita bisa hidup merdeka dan kita bisa hidup dalam alam yang sejahtera,” ujar Prabowo di Istana Negara, Senin (10/11/2025).
Nah, bagaimana profil Marsinah?
Dalam catatan Bisnis, Marsinah lahir pada 10 April 1969 di Nganjuk, Jawa Timur. Pada zaman Pemerintahan Orde Baru, Marsinah bekerja sebagai buruh di PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Dia dikenal sebagai seorang aktivis buruh yang dikenal gigih memperjuangkan hak-hak pekerja di Indonesia. Pasalnya, Marsinah aktif memimpin aksi-aksi untuk menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja.
Kisah paling dikenang terkait Marsinah itu terjadi pada awal Mei 1993. Kala itu, dia urut serta dalam mogok kerja bersama rekan-rekannya.
Kala itu, berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jatim No 50 Tahun 1992 yang meminta para pengusaha agar menaikkan gaji karyawan mereka sebesar 20% dari gaji pokok. Hal itu membuat Marsinah dan teman-temannya menuntut upah mereka naik dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari.
Pada 3 Mei 1993, seluruh buruh PT Catur Putera Surya (CPS) memutuskan untuk mogok kerja dan berdemo menuntut kenaikan upah mereka dikabulkan. Tepat keesokan harinya pada 4 Mei 1993, buruh PT CPS benar-benar mogok kerja dan tetap berdemonstrasi di depan PT CPS.
Saat itu, pihak perusahaan bersedia melakukan perundingan. Dari hasil perundingan dengan 15 buruh, termasuk Marsinah dikatakan pihak CPS bersedia menaikkan gaji pekerja mereka.
Sayangnya, pasca perundingan tersebut atau tepatnya pada 5 Mei 2018. 13 rekan Marsinah yang ikut perundingan dengan pihak CPS digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo.
Belasan orang itu dianggap sebagai dalang dibalik unjuk rasa yang dilakukan oleh para buruh CPS. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari posisi mereka di CPS.
Mendengar kabar itu, Marsinah kaget. Dia langsung mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya itu.
Di jam-jam terakhir sebelum dirinya menghilang, Marsinah sempat bertemu dengan 13 rekannya. Mereka membahas ketidakadilan yang mereka hadapi dan sepakat untuk menemui pihak CPS atas keputusan mereka yang ‘jahat’ tersebut.
Namun siapa sangka, tepat pukul 10 malam, di hari yang sama, Marsinah tidak terlihat lagi. Marsinah dinyatakan hilang tiga hari. Marsinah pun ditemukan meninggal dunia di hutan Dusun Jagong, pada 8 Mei 1993.
Saat ditemukan, tubuh perempuan yang meninggal pada usia 24 tahun itu memiliki tanda-tanda bekas disiksa secara tidak manusiawi.
Menurut dua orang yang mengotopsi tubuh Marsinah, Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya), Marsinah meninggal karena penganiayaan berat.
-

Saat Sarwo Edhie, Gus Dur, dan Soeharto Bersanding Menyandang Gelar Pahlawan Nasional
Bisnis.com, JAKARTA – Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tahun ini menciptakan resonansi kuat di ruang publik. Dari sepuluh tokoh yang ditetapkan Presiden Prabowo Subianto, tiga nama menonjol bukan hanya karena perannya dalam sejarah, tapi juga karena hubungan kompleks dan pertentangan di antara mereka.
Ketiga nama tokoh tersebut adalah Sarwo Edhie Wibowo, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ketiganya pernah berada dalam pusaran konflik politik yang membentuk wajah Indonesia modern. Kini, sejarah menyatukan mereka di tempat yang sama dalam daftar pahlawan bangsa.
Nama Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo lekat dengan operasi penumpasan Gerakan 30 September 1965. Dia dikenal sebagai komandan RPKAD yang memimpin operasi militer terhadap kelompok yang dituduh terkait PKI.
Dalam konteks sejarah Orde Baru, perannya sangat vital Soeharto membutuhkan Sarwo Edhie untuk menegaskan legitimasi dan stabilitas kekuasaannya. Namun, setelah peran itu selesai, hubungan keduanya merenggang. Sarwo Edhie dikenal sebagai sosok yang keras, idealis, dan kritis terhadap korupsi dan penyimpangan kekuasaan Orde Baru.
Sebagai bentuk “pengamanan politik”, Soeharto kemudian mengirim Sarwo Edhie menjadi duta besar di Korea Selatan sebuah ironi, mengingat ia pernah menjadi ujung tombak pembasmi komunisme di Indonesia. Sarwo Edhie perlahan tersingkir dari lingkar kekuasaan, menutup hidupnya jauh dari pusat politik yang dulu ia bantu tegakkan.
Sementara itu, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah sosok yang justru tumbuh menjadi penantang utama rezim Orde Baru. Sebagai Ketua Umum PBNU, Gus Dur mengubah arah organisasi Islam terbesar di Indonesia itu menjadi kekuatan moral yang kritis terhadap otoritarianisme.
Gus Dur menolak kooptasi politik rezim Soeharto, menolak intervensi pemerintah dalam urusan keagamaan, dan mendorong Islam yang inklusif dan demokratis.
Pada akhir 1990-an, dia bahkan menjadi simbol perlawanan sipil dan akhirnya menjadi Presiden ke-4 RI setelah Soeharto tumbang. Kini, ketika namanya disandingkan dengan Soeharto.
Belum lagi, nama Marsinah, buruh perempuan asal Jawa Timur yang menjadi simbol perjuangan kelas pekerja, resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto.
Keputusan ini sontak menarik perhatian publik bukan hanya karena Marsinah akhirnya mendapat pengakuan negara, tetapi juga karena dalam daftar yang sama, terdapat nama Jenderal Besar TNI Soeharto, sosok yang identik dengan rezim Orde Baru, masa ketika Marsinah tewas secara tragis.
Marsinah dikenal sebagai buruh di PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo. Ia aktif memperjuangkan hak-hak pekerja, terutama soal upah dan kesejahteraan buruh. Pada Mei 1993, setelah aksi mogok kerja menuntut kenaikan upah, Marsinah ditemukan meninggal dunia. Kasus kematiannya sempat menggemparkan Indonesia dan dunia internasional. Namun hingga kini, pelaku pembunuhannya tak pernah terungkap secara tuntas.
Meski begitu, tak bisa dimungkiri, Soeharto adalah figur paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia modern. Selama lebih dari tiga dekade memimpin, ia berhasil menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi tetapi dengan harga mahal pembungkaman kebebasan sipil, pelanggaran HAM, dan korupsi struktural.
Memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memunculkan perdebatan moral dan politik. Sebagian menilai jasanya terhadap pembangunan layak diakui sebagian lain menganggap luka sejarah Orde Baru belum sepenuhnya sembuh untuk memberi gelar kehormatan.
Sebagai Presiden, Prabowo Subianto yang juga bagian dari sejarah akhir Orde Baru tampaknya ingin mendamaikan narasi-narasi yang dulu bertentangan. Dengan menyatukan nama-nama seperti Soeharto, Sarwo Edhie, dan Gus Dur dalam satu momentum yang tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.
Berikut 10 Nama Pahlawan Nasional Indonesia pada 2025:
1. K.H. Abdurrahman Wahid dari Provinsi Jawa Timur;
Tokoh dari Provinsi Jawa Timur. Pahlawan dalam bidang perjuangan politik dan pendidikan Islam. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh bangsa yang sepanjang hidupnya mengabdikan diri memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Indonesia.
2. Jenderal Besar TNI H. M. Soeharto dari Provinsi Jawa Tengah;
Pahlawan bidang perjuangan. Jenderal Soeharto menonjol sejak masa kemerdekaan. Sebagai wakil komandan BKR Yogyakarta ia memimpin pelucutan senjata di Jepang, Kota Baru 1945
3. Marsinah dari Provinsi Jawa Timur;
Tokoh dari Provinsi Jawa Timur. Pahlawan bidang Perjuangan sosial dan kemanusian. Marsinah adalah simbol keberanian, moral, dan perjuangan Hak Asasi Manusia dari kalangan rakyat biasa. Lahir di Desa Ngunjo, Nganjuk, Jawa Timur. Ia tumbuh dalam keluarga petani miskin yang menanamkan nilai kerja dan keadilan sosial.
4. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dari Provinsi Jawa Barat;
Tokoh dari Provinsi Jawa Barat. Pahlawan dalam bidang perjuangan hukum dan politik. Riwayat perjuangan dari Mochtar Kusumaatmadja yang paling menonjol adalah gagasannya dengan konsep negara kepulauan yang digunakan oleh Djuanda Kartawijaya dalam mendeklarasikan Djuanda tahun 1953.
5. Hajjah Rahmah El Yunusiyyah dari Provinsi Sumatra Barat;
Tokoh dari Provinsi Sumatera Barat. Pahlawan dalam bidang perjuangan pendidikan Islam. Ia adalah ulama, pendidik, dan pejuang kemerdekaan yang dedikasinya paling menonjol dalam memelopori pendidikan perempuan Islam di Indonesia.
6. Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo dari Provinsi Jawa Tengah;
Tokoh dari Provinsi Jawa Tengah. Pahlawan dalam bidang bersenjata. Perjuangan militer dari Sarwo Edhie dimulai sebagai komandan Kompi dalam TKR selama periode perang kemerdekaan 1945 sampai dengan 1949.
7. Sultan Muhammad Salahuddin dari Provinsi Nusa Tenggara Barat;
Tokoh dari Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pahlawan dalam bidang Perjuangan Pendidikan dan Diplomasi. Sultan Muhammad Salahuddin berperan besar di Bidang Pendidikan dengan mendirikan HIS di Rabah, 1921. Sekolah Kejuruan Wanita 1922, sekolah agama dan umum di setiap (kejenelian) 1922.
8. Syaikhona Muhammad Kholil dari Provinsi Jawa Timur;
Tokoh dari Provinsi Jawa Timur. Pahlawan dalam bidang perjuangan pendidikan Islam. Syaikhona Muhammad Kholil merupakan ulama karismatik yang menempuh jalur pendidikan kultural, sosial, dan agama.
9. Tuan Rondahaim Saragih dari Provinsi Sumatra Utara;
Tokoh dari Provinsi Sumatera Utara. Pahlawan bidang perjuangan bersenjata. Dikenal sebagai Napoleon dari Batak. Di bawah kepemimpinan Tuan Rondahaim Saragih, Pasukan Dayak di Simalungun mencatatkan riwayat perjuangan menonjol melawan kolonialisme Belanda dengan fokus pada pertahanan kemerdekaan yang berhasil. Kemenangan signifikan terutama setelah pertempuran Dolok Merawan dan Dolok Sagala.
10. Zainal Abidin Syah dari Provinsi Maluku Utara.
Tokoh dari Provinsi Maluku Utara. Pahlawan bidang perjuangan politik dan diplomasi. Zainal Abidin Syah adalah Sultan Tidore ke-37 yang memimpin sejak tahun 1946 hingga wafatnya pada tahun 1967.