Event: Rezim Orde Baru

  • Kisah Hidup dan Dedikasi Ketua Dewan Pers Pertama

    Kisah Hidup dan Dedikasi Ketua Dewan Pers Pertama

    Jakarta: Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja (86) meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, setelah menjalani perawatan intensif. Ia dirawat lantaran gagal ginjal.

    “Ayah sempat dirawat di ICU RSCM Kencana lantai 3 karena gagal ginjal. Mohon doa bagi ayah, semoga amal dan perbuatan selama hidupnya dikenang dan bermanfaat bagi semua yang ditinggalkan,” kata putra kedua Atmakusumah, Rama Ardana Astraatmadja, dilansir Antara, Kamis 2 Januari 2025. 

    Perjalanan hidup Atmakusumah tidak hanya membentang dalam dunia jurnalistik tetapi juga dalam perjuangan menegakkan kebebasan pers. Ia adalah Ketua Dewan Pers pertama yang independen setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jabatan ini menjadikannya tokoh penting dalam transisi kebebasan pers Indonesia pasca-Reformasi.

    Baca juga: Media Indonesia Gelar Uji Kompetensi Wartawan ke-4, Ini Tujuannya

    Semangatnya mengabdi dalam dunia jurnalistik dimulai sejak usia 20-an ketika bekerja di harian Indonesia Raya medio 1950-an. Atmakusumah menjadi saksi sejarah, dari penerbitan kembali koran tersebut pada 1968 hingga pemberedelan oleh Orde Baru pada 1974 akibat pemberitaan terkait Malapetaka 15 Januari (Malari).

    Tidak hanya menjadi jurnalis, Atmakusumah juga aktif sebagai komentator isu dalam negeri dan luar negeri di media internasional seperti Radio Australia dan Deutsche Welle. Ia bahkan menjadi pemenang Anugerah Ramon Magsaysay pada tahun 2000 atas dedikasinya dalam dunia jurnalistik dan komunikasi.

    Hingga akhir hayat, “Pak Atma,” demikian sapaan akrabnya, masih tercatat aktif mengasuh kanal “Atma Menjawab” di situs LPDS. Ia dikenal sebagai pendidik yang mencetak banyak jurnalis berbakat melalui Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS).

    Dalam usia senjanya, penghargaan terus menghampiri. Ia menerima Anugerah Lifetime Achievement dari Dewan Pers pada 2023, menjadi bukti nyata pengabdian tak tergoyahkan seorang maestro pers bagi Indonesia.

    Kini, sosok Atmakusumah telah berpulang, meninggalkan jejak panjang perjuangan dan inspirasi yang tak lekang oleh waktu. Semoga amal dan dedikasinya menjadi teladan bagi generasi penerus pers Indonesia.

    Jakarta: Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja (86) meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, setelah menjalani perawatan intensif. Ia dirawat lantaran gagal ginjal.
     
    “Ayah sempat dirawat di ICU RSCM Kencana lantai 3 karena gagal ginjal. Mohon doa bagi ayah, semoga amal dan perbuatan selama hidupnya dikenang dan bermanfaat bagi semua yang ditinggalkan,” kata putra kedua Atmakusumah, Rama Ardana Astraatmadja, dilansir Antara, Kamis 2 Januari 2025. 
     
    Perjalanan hidup Atmakusumah tidak hanya membentang dalam dunia jurnalistik tetapi juga dalam perjuangan menegakkan kebebasan pers. Ia adalah Ketua Dewan Pers pertama yang independen setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Jabatan ini menjadikannya tokoh penting dalam transisi kebebasan pers Indonesia pasca-Reformasi.
    Baca juga: Media Indonesia Gelar Uji Kompetensi Wartawan ke-4, Ini Tujuannya
     
    Semangatnya mengabdi dalam dunia jurnalistik dimulai sejak usia 20-an ketika bekerja di harian Indonesia Raya medio 1950-an. Atmakusumah menjadi saksi sejarah, dari penerbitan kembali koran tersebut pada 1968 hingga pemberedelan oleh Orde Baru pada 1974 akibat pemberitaan terkait Malapetaka 15 Januari (Malari).
     
    Tidak hanya menjadi jurnalis, Atmakusumah juga aktif sebagai komentator isu dalam negeri dan luar negeri di media internasional seperti Radio Australia dan Deutsche Welle. Ia bahkan menjadi pemenang Anugerah Ramon Magsaysay pada tahun 2000 atas dedikasinya dalam dunia jurnalistik dan komunikasi.
     
    Hingga akhir hayat, “Pak Atma,” demikian sapaan akrabnya, masih tercatat aktif mengasuh kanal “Atma Menjawab” di situs LPDS. Ia dikenal sebagai pendidik yang mencetak banyak jurnalis berbakat melalui Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS).
     
    Dalam usia senjanya, penghargaan terus menghampiri. Ia menerima Anugerah Lifetime Achievement dari Dewan Pers pada 2023, menjadi bukti nyata pengabdian tak tergoyahkan seorang maestro pers bagi Indonesia.
     
    Kini, sosok Atmakusumah telah berpulang, meninggalkan jejak panjang perjuangan dan inspirasi yang tak lekang oleh waktu. Semoga amal dan dedikasinya menjadi teladan bagi generasi penerus pers Indonesia.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • Atmakusumah Astraatmadja, Tokoh Pejuang Kemerdekaan Pers Indonesia

    Atmakusumah Astraatmadja, Tokoh Pejuang Kemerdekaan Pers Indonesia

    Jakarta, CNN Indonesia

    Ketua Dewan Pers pertama Atmakusumah Astraatmadja yang menjabat periode 2000-2003, meninggal dunia, hari ini Kamis (2/1).

    Atmakusumah adalah sosok yang telah malang melintang di dunia jurnalisme Indonesia. Tak sekadar bekerja, Ia dikenal dengan kegigihannya dalam memperjuangkan kemerdekaan pers di Indonesia.

    Perjuangan pria kelahiran Labuan, Banten 20 Oktober 1938, dalam kemerdekaan pers di Indonesia itu telah dimulai sejak era Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

    Pada 1968, Atmakusumah memimpin Harian Indonesia Raya bersama jurnalis cum sastrawan senior Mochtar Lubis. Harian itu mengalami pembredelan oleh Presiden Soekarno dan Soeharto.

    Perjuangan Atmakusumah terus berlanjut. Ia menjadi salah satu pelopor Undang-undang pers tahun 1999 yang dianggap sebagai tonggak kebebasan pers Indonesia.

    Pada tahun 2000, Atmakusumah menerima penghargaan Raymon Magsaysay dalam bidang jurnalisme, literatur dan seni komunikasi kreatif.

    Atmakusumah menjadi jurnalis Indonesia ketiga yang menerima penghargaan prestis yang kerap disebut penghargaan nobel di tataran Asia itu.

    Kala menerima penghargaan itu, Atmakusumah menceritakan upaya pembredelan Harian Indonesia Raya di Orde Lama dan Orde Baru.

    “Akan tetapi, semangat kemerdekaan pers semangat kemerdekaan dan kebebasan pers tidak pernah mati,” kata dia saat menerima penghargaan itu.

    Tak hanya itu, Atmakusumah juga banyak menerima penghargaan lain dalam bidang kemerdekaan pers.

    Pria yang sempat aktif mengajar hingga menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dokter Soetomo LPDS pada 1993-2002 itu pernah meraih Lifetime Achievement Awards dalam Anugerah Dewan Pers 2023.

    (mab/isn)

    [Gambas:Video CNN]

  • Tokoh Pers Indonesia Atmakusumah Astraatmadja Meninggal Dunia

    Tokoh Pers Indonesia Atmakusumah Astraatmadja Meninggal Dunia

    Jakarta: Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja meninggal dunia sekitar pukul 13.05 WIB, Kamis, 2 Januari 2025. Atmakusumah wafat setelah menjalani perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, akibat penyakit gagal ginjal.

    “Mohon doa bagi ayah, semoga amal dan perbuatan selama hidupnya dikenang dan bermanfaat bagi semua yang ditinggalkan,” ujar Putra kedua Atmakusumah, Rama Ardana Astraatmadja, dalam keterangannya, Kamis, 2 Januari 2025. 

    Rama berterima kasih kepada Tim Tenaga Kesehatan RSCM. Tim dokter dan paramedis RSCM sempat memberikan perawatan ke Atmakusumah menggunakan alat terapi untuk melanjutkan fungsi ginjal (continues renal replacement theraphy/CRRT).

    Atmakusumah yang akrab disapa Atma, lahir di Labuan, Banten, pada 20 Oktober 1938. Atmakusumah merupakan Ketua Dewan Pers periode 2000-2003.

    Karier jurnalistik Atmakusumah bermula di usia 20 tahunan di harian Indonesia Raya medio 1950-an hingga tutup pada 1958. Atmakusumah kembali bergabung menjadi redaktur pelaksana saat harian Indonesia Raya terbit kembali pada 1968 hingga dibredel pemerintah orde baru pada 1974 dikaitkan dengan pemberitaan Malapetaka 15 Januari (Malari).

    Dia juga sempat berkarier menjadi koresponden Pers Biro Indonesia (Press Indonesia Agency/PIA) pada 1960, yang melebur ke Kantor Berita Antara pada 1962. Bahkan, dia menjadi ketua Serikat Sekerja Antara pada 1966-1968.

    Atmakusumah juga pernah menjadi komentator isu dalam negeri dan luar negeri di RRI, Radio Australia (ABC) di Melbourne, Radio Jerman (Deutsche Welle), asisten pers dan spesialis di Layanan Informasi Amerika Serikat (United States Information Service/USIS, 1974-1992).

    Semangat Atmakusumah dalam pendidikan jurnalistik dan hubungan masyarakat kian tercurahkan saat mengajar hingga menjadi direktur eksekutif Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS, 1993-2002). Hingga akhir hayatnya, dia masih tercatat mengasuh kanal “Atma Menjawab” seputar kasus jurnalistik di laman lpds.or.id, dikelola lembaga yang didirikan Dewan Pers pada 23 Juli 1988 tersebut.

    Dia juga penulis kolom di sejumlah media cetak nasional dan internasional. Dia menulis dan menyunting buku, termasuk Tahta untuk Rakyat yang mengisahkan Sultan Hamengku Buwono IX. Melalui LPDS, dia menulis dan menyunting belasan buku mengenai dunia jurnalistik dan hubungan masyarakat.

    Atmakusumah meraih Anugerah Ramon Magsaysay untuk kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif dari The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, Filipina, pada 31 Agustus 2000. Dia juga menerima Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One/PCNO) dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 2010, Medali Emas Kemerdekaan Pers HPN 2011, dan Anugerah Pengabdian Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) Dewan Pers 2023.

    Jakarta: Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja meninggal dunia sekitar pukul 13.05 WIB, Kamis, 2 Januari 2025. Atmakusumah wafat setelah menjalani perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU) Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, akibat penyakit gagal ginjal.
     
    “Mohon doa bagi ayah, semoga amal dan perbuatan selama hidupnya dikenang dan bermanfaat bagi semua yang ditinggalkan,” ujar Putra kedua Atmakusumah, Rama Ardana Astraatmadja, dalam keterangannya, Kamis, 2 Januari 2025. 
     
    Rama berterima kasih kepada Tim Tenaga Kesehatan RSCM. Tim dokter dan paramedis RSCM sempat memberikan perawatan ke Atmakusumah menggunakan alat terapi untuk melanjutkan fungsi ginjal (continues renal replacement theraphy/CRRT).
    Atmakusumah yang akrab disapa Atma, lahir di Labuan, Banten, pada 20 Oktober 1938. Atmakusumah merupakan Ketua Dewan Pers periode 2000-2003.
     
    Karier jurnalistik Atmakusumah bermula di usia 20 tahunan di harian Indonesia Raya medio 1950-an hingga tutup pada 1958. Atmakusumah kembali bergabung menjadi redaktur pelaksana saat harian Indonesia Raya terbit kembali pada 1968 hingga dibredel pemerintah orde baru pada 1974 dikaitkan dengan pemberitaan Malapetaka 15 Januari (Malari).
     
    Dia juga sempat berkarier menjadi koresponden Pers Biro Indonesia (Press Indonesia Agency/PIA) pada 1960, yang melebur ke Kantor Berita Antara pada 1962. Bahkan, dia menjadi ketua Serikat Sekerja Antara pada 1966-1968.
     
    Atmakusumah juga pernah menjadi komentator isu dalam negeri dan luar negeri di RRI, Radio Australia (ABC) di Melbourne, Radio Jerman (Deutsche Welle), asisten pers dan spesialis di Layanan Informasi Amerika Serikat (United States Information Service/USIS, 1974-1992).
     
    Semangat Atmakusumah dalam pendidikan jurnalistik dan hubungan masyarakat kian tercurahkan saat mengajar hingga menjadi direktur eksekutif Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS, 1993-2002). Hingga akhir hayatnya, dia masih tercatat mengasuh kanal “Atma Menjawab” seputar kasus jurnalistik di laman lpds.or.id, dikelola lembaga yang didirikan Dewan Pers pada 23 Juli 1988 tersebut.
     
    Dia juga penulis kolom di sejumlah media cetak nasional dan internasional. Dia menulis dan menyunting buku, termasuk Tahta untuk Rakyat yang mengisahkan Sultan Hamengku Buwono IX. Melalui LPDS, dia menulis dan menyunting belasan buku mengenai dunia jurnalistik dan hubungan masyarakat.
     
    Atmakusumah meraih Anugerah Ramon Magsaysay untuk kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif dari The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, Filipina, pada 31 Agustus 2000. Dia juga menerima Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One/PCNO) dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 2010, Medali Emas Kemerdekaan Pers HPN 2011, dan Anugerah Pengabdian Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) Dewan Pers 2023.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (AZF)

  • Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja tutup usia

    Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja tutup usia

    Sebutan “independen” tersebut karena Dewan Pers pertama kalinya diketuai tokoh masyarakat.

    Jakarta (ANTARA) – Tokoh pers Atmakusumah Astraatmadja (86) meninggal dunia pada hari Kamis pukul 13.05 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana, Jakarta, setelah menjalani perawatan di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit/ICU).

    “Ayah sempat dirawat di ICU RSCM Kencana lantai 3 karena gagal ginjal. Mohon doa bagi ayah, semoga amal dan perbuatan selama hidupnya dikenang dan bermanfaat bagi semua yang ditinggalkan,” kata putra kedua Atmakusumah, Rama Ardana Astraatmadja, kepada ANTARA, Kamis.

    Rama juga menyampaikan bahwa keluarga berterima kasih kepada Tim Tenaga Kesehatan RSCM. Tim dokter dan paramedis RSCM sempat memberikan perawatan terhadap Atmakusumah menggunakan alat terapi untuk melanjutkan fungsi ginjal (continues renal replacement theraphy/CRRT).

    Atmakusumah adalah Ketua Dewan Pers 2000—2003, yang disebut pula Dewan Pers “independen” hasil Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dari Gerakan Reformasi.

    Sebutan “independen” tersebut karena Dewan Pers pertama kalinya diketuai tokoh masyarakat. Sebelumnya, berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers (UU Pokok Pers) Dewan Pers notabene diketuai Menteri Penerangan Republik Indonesia.

    Karier jurnalistik Atmakusumah bermula pada usia 20 tahunan di harian Indonesia Raya medio 1950-an hingga tutup pada tahun 1958.

    Atmakusumah bergabung kembali menjadi redaktur pelaksana saat harian Indonesia Raya terbit kembali pada tahun 1968 hingga dibredel Pemerintah Orde Baru pada tahun 1974 dikaitkan dengan pemberitaan Malapetaka 15 Januari (Malari).

    Ia sempat berkarier menjadi koresponden Pers Biro Indonesia (Press Indonesia Agency/PIA) 1960 yang melebur ke Kantor Berita ANTARA pada tahun 1962 saat berkelana di Benua Eropa, bahkan menjadi ketua Serikat Sekerja ANTARA saat kembali ke Jakarta pada tahun 1966—1968.

    Atmakusumah juga pernah komentator isu dalam negeri dan luar negeri di RRI, Radio Australia (ABC) di Melbourne, Radio Jerman (Deutsche Welle), asisten pers dan spesialis di Layanan Informasi Amerika Serikat (United States Information Service/USIS, 1974—1992).

    Semangat Atmakusumah dalam pendidikan jurnalistik dan hubungan masyarakat kian tercurahkan saat mengajar hingga menjadi Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS, 1993—2002). Hingga akhir hayatnya, ia masih tercatat mengasuh kanal “Atma Menjawab” seputar kasus jurnalistik di laman lpds.or.id dikelola lembaga yang didirikan Dewan Pers pada tanggal 23 Juli 1988 itu.

    Ia juga penulis kolom di sejumlah media massa cetak nasional dan internasional. Selain menulis, juga menyunting buku, termasuk Tahta untuk Rakyat yang mengisahkan Sultan Hamengku Buwono IX.

    Melalui LPDS, ia pun menulis dan menyunting belasan buku mengenai dunia jurnalistik dan hubungan masyarakat.

    Atmakusumah meraih Anugerah Ramon Magsaysay pada tanggal 31 Agustus 2000 untuk kategori Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif dari The Ramon Magsaysay Award Foundation di Manila, Filipina.

    Ia juga menerima Kartu Pers Nomor Satu (Press Card Number One/PCNO) dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 2010, Medali Emas Kemerdekaan Pers HPN 2011, dan Anugerah Pengabdian Sepanjang Hayat (Lifetime Achievement) Dewan Pers 2023.

    Pak Atma, demikian sapaan akrab Atmakusumah oleh berbagai kalangan, lahir pada tanggal 20 Oktober 1938 di Labuan, Banten, dari keluarga Joenoes Astraatmadja yang pernah menjadi asisten wedana, wedana, dan pejabat Bupati Bekasi.

    Pasangan suami istri Atmakusumah-Sri Rumiati dikarunai tiga putra, Kresnahutama Astraatmadja alias Tamtam (produser film dan pendiri Pikser Indonesia Production di Jakarta), Rama Ardana Astraatmadja (produser film dan penyunting buku di Yogayakarta), dan Tri Laksmana Astraatmadja (doktor astrofisika partikel di Baltimore, AS).

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Tolak Pilkada Dipilih DPRD, Ahok: Rakyat Cuma jadi Penonton, Kayak Zaman Orde Baru

    Tolak Pilkada Dipilih DPRD, Ahok: Rakyat Cuma jadi Penonton, Kayak Zaman Orde Baru

    Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menolak wacana pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang ditunjuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 

    Ahok menilai bahwa sistem pilkada yang ditunjuk oleh DPRD sama seperti zaman orde baru. Dengan demikian, maka masyarakat dinilai hanya akan menjadi penonton saja. 

    “Iya dong [menolak]. Alasan paling penting kan kita harus mengalami zaman orde baru. Hasilnya apa? Rakyat kan cuma jadi penonton, nggak peduli. Kita cuma deal-dealan sesama ketua umum partai,” terangnya ketika ditemui di  Balai Kota Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (31/12/2024).

    Menurutnya, sistem tersebut juga memicu adanya penggunaan uang diantara para oknum sehingga dapat mengatur siapa sosok yang akan memenangkan Pilkada. 

    “Deal-dealan juga bisa pakai duit juga. Oknum DPRD dibagi, diatur Atau diancam untuk pilih orang tertentu yang sudah ditentukan,” jelas Ahok. 

    Terlebih, politisi PDIP tersebut juga menekankan bahwa sistem tersebut sudah dirasakan sebelumnya. 

    “Kita pernah ngalamin kok, zaman orde baru kok. Mungkin kalian masih kecil pada waktu itu ya,” ucapnya. 

    Diberitakan sebelumnya, ide sistem tersebut diungkapkan oleh Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya di acara HUT ke-60 Golkar. 

    Dia menyoroti mekanisme pemilihan kepala daerah alias Pilkada secara langsung yang menurutnya tidak efisien dan cenderung berbiaya tinggi. Padahal uang tersebut seharusnya bisa digunakan untuk program-program yang lebih bermanfaat. 

    Adapun Prabowo kemudian mencontohkan mekanisme pemilihan di negara-negara seperti Malaysia dan India yang menerapkan sistem bahwa pemilihan pemimpin daerah melalui lembaga legislatif.

    “Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India. Sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah. DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati. Efisien, enggak keluar duit,” tuturnya. 

    Prabowo kemudian menilai bahwa anggaran yang dikeluarkan tersebut dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sekolah hingga perbaikan irigasi. 

  • Ahok tolak wacana Gubernur DKI Jakarta dipilih oleh DPRD

    Ahok tolak wacana Gubernur DKI Jakarta dipilih oleh DPRD

    Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) saat dijumpai di Pendopo Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12/2024). ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.

    Ahok tolak wacana Gubernur DKI Jakarta dipilih oleh DPRD
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 31 Desember 2024 – 20:40 WIB

    Elshinta.com – Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menegaskan bahwa dirinya menolak wacana Gubernur DKI Jakarta kembali dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

    “Kan dari dulu saya tolak,” kata Ahok saat dijumpai di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12).

    Ahok menilai, jika wacana itu terwujud, maka Indonesia akan kembali ke zaman Orde Baru. Menurut dia, masa Orde Baru sudah pernah dirasakan dan merugikan masyarakat luas.

    Jika kembali ke Orde Baru, maka rakyat tidak lagi memiliki hak suara karena pemilihan gubernur diwakilkan oleh para legislator sehingga kepala daerah bukan dipilih berdasarkan aspirasi rakyat, melainkan kesepakatan antara partai politik.

    “Kita harus mengalami zaman Orde Baru. Hasilnya apa? Rakyat cuma jadi penonton, nggak peduli. Kita cuma ‘deal-deal’-an sesama ketua umum partai. ‘Deal-deal’-an juga bisa pakai duit juga,” katanya.

    Oknum DPRD dibagi, diatur atau diancam untuk pilih orang tertentu yang sudah ditentukan. “Kita pernah ngalamin kok, zaman Orde ba6ru,” kata Ahok.

    Sumber : Antara

  • Tolak Kepala Daerah Dipilih DPRD, Ahok: Rakyat Cuma Jadi Penonton

    Tolak Kepala Daerah Dipilih DPRD, Ahok: Rakyat Cuma Jadi Penonton

    loading…

    Gubernur Jakarta 2014-2017, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara tegas menolak wacana kepala daerah dipilih DPRD di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12/2024). Foto/Muhammad Refi Sandi

    JAKARTA – Gubernur Jakarta periode 2014-2017, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok secara tegas menolak wacana kepala daerah dipilih DPRD. Hal itu disampaikan usai menghadiri acara Bentang Harapan ‘JakAsa’ di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12/2024).

    “Kan dari dulu saya tolak,” kata Ahok.

    Baca Juga

    Dia pun menyinggung zaman Orde Baru dimana rakyat hanya menjadi penonton saat penunjukkan kepala daerah. Ia juga menyoroti potensi praktik deal-dealan menggunakan uang terjadi apabila kepala daerah dipilih DPRD.

    “Iya dong. Alasan paling penting kan kita harus mengalami zaman Orde Baru. Hasilnya apa? Rakyat kan cuma jadi penonton, nggak peduli. Kita cuma deal-dealan sesama ketua umum partai. Deal-dealan juga bisa pakai duit juga,” sebutnya.

    Baca Juga

    “Oknum DPRD dibagi, diatur atau diancam untuk pilih orang tertentu yang sudah ditentukan. Kita pernah ngalamin kok, zaman Orde Baru kok. Mungkin kalian masih kecil pada waktu itu ya,” ungkapnya.

    (shf)

  • Tunggu Tanggal Main Bulan Depan

    Tunggu Tanggal Main Bulan Depan

    Jakarta, CNN Indonesia

    Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok merahasiakan isi obrolannya dengan mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan saat bertemu dalam rangkaian acara tahun baru di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12).

    “Nanti sama Pak Anies punya urusan, tunggu bulan depan, tanggal main,” kata Ahok.

    Pada kesempatan yang sama, Anies juga irit bicara ketika ditanya obrolan dengan Ahok.

    “Nanti dong, kan sudah dibilang tunggu. Kalau tunggu ya harus tunggu dong kita,” kata Anies.

    Ahok dan Anies sempat bertarung di Pilgub Jakarta 2016. Saat itu, Ahok yang merupakan petahana kalah dari Anies.

    Hari ini, Pemprov DKI Jakarta menggelar acara Bentang Harapan JakASA di Balai Kota Jakarta. Sejumlah mantan gubernur dan wakil hadir di antaranya Anies,Ahok, Fauzi Bowo, Sutiyoso, Djarot Saiful Hidayat hingga Ahmad Riza Patria.

    Hadir juga gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta terpilih Pramono Anung dan Rano Karno. Terlihat ada juga kontestan Pilgub Jakarta 2024 Suswono dan Kun Wardana.

    Mereka yang hadir ini lalu menuliskan harapannya untuk Jakarta di kain putih yang disiapkan.

    Ahok tolak wacana kepala daerah dipilih lewat DPRD

    Pada kesempatan itu Ahok selaku Ketua DPP PDIP mengutarakan penolakannya terhadap wacana kepala daerah dipilih oleh DPRD yang dilontarkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

    “Kan dari dulu saya tolak,” kata Ahok di Balai Kota Jakarta, Selasa (31/12).

    Ahok mengatakan kepala daerah dipilih DPRD sudah pernah diterapkan di masa orde baru. Menurutnya, saat itu rakyat hanya jadi penonton.

    Ahok menyebut sistem itu juga bakal membuat adanya kesepakatan antara ketua umum partai dan DPRD,

    “Cuma deal-dealan sesama ketua umum partai. Deal-dealan juga bisa pakai duit juga. Oknum DPRD dibagi, diatur atau diancam untuk pilih orang tertentu yang sudah ditentukan. Kita pernah ngalamin kok, zaman orde baru kok,” katanya.

    Sebelumnya, wacana tersebut dilempar Prabowo saat berpidato di puncak perayaan HUT ke-60 Partai Golkar di Sentul, pada Kamis (12/12).

    Ia menilai Pilkada melalui DPRD lebih efisien. Ia mengambil contoh sejumlah negara tetangga yang dinilai telah berhasil mempraktikan hal tersebut.

    “Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien, Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Prabowo.

    (yoa/gil)

    [Gambas:Video CNN]

  • Tetap Berkarya Meski Terkurung, Ini 7 Penjara yang Pernah Ditempati Pramoedya Ananta Toer

    Tetap Berkarya Meski Terkurung, Ini 7 Penjara yang Pernah Ditempati Pramoedya Ananta Toer

    Liputan6.com, Yogyakarta – Pramoedya Ananta Toer, atau yang lebih dikenal dengan nama Pram, adalah salah satu sastrawan legendaris Indonesia yang lahir di Blora pada tanggal 6 Februari 1925. la telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.

    Pramoedya Ananta Toer juga seorang sastrawan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui karyanya. Ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif dan aktif menulis kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia.

    Pram menempuh pendidikan di berbagai sekolah, termasuk Instituut Boedi Oetomo di Blora, Sekolah Teknik Radio Surabaya, Taman Siswa, Sekolah Stenografi, dan Sekolah Tinggi Islam Jakarta. Kariernya sebagai penulis dimulai pada masa penjajahan Jepang, di mana ia bekerja sebagai wartawan di Kantor Berita Domei.

    Pada 1958, Pram bergabung dengan Lekra, organisasi kesenian yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Keputusan ini menjadi awal polemiknya dengan pemerintah dan seniman lain.

    Pada masa Orde Baru, Pram ditangkap dan dipenjara selama 10 tahun di Pulau Buru. Pramoedya Ananta Toer tak lepas dari kisah kelam masa penahanannya.

    Sejak masa pergerakan kemerdekaan hingga era Orde Baru, Pram harus mendekam di balik jeruji besi di berbagai penjara. Mengutip dari berbagai sumber, berikut tujuh penjara Pramoedya Ananta Toer:

    1. Penjara Pertama: Salemba (1947-1949)

    Pramoedya Ananta Toer, salah satu sastrawan besar Indonesia, memang pernah dipenjara di Penjara Salemba pada periode 1948-1949. Penahanannya terkait dengan tuduhan keterlibatannya dalam perlawanan terhadap Belanda selama masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.

    Menariknya, masa tahanan ini justru menjadi periode yang produktif bagi Pramoedya dalam berkarya. Ia menulis beberapa karya penting selama di penjara, termasuk novel pertamanya yang berjudul Perburuan (1950). Novel ini bahkan memenangkan hadiah pertama dari Balai Pustaka. Selain itu, ia juga menulis kumpulan cerpen Percikan Revolusi selama masa penahanannya.

    2. Penjara Kedua: Bukittinggi (1949-1951)

    Perjalanan hidup Pramoedya memang penuh dengan berbagai penahanan dan pemenjaraan. Setelah dibebaskan dari Penjara Salemba, ia kemudian ditangkap lagi dan ditahan di Bukittinggi oleh pasukan Belanda. Ini menunjukkan bagaimana situasi politik yang tidak stabil pada masa itu sangat mempengaruhi kehidupan para aktivis dan intelektual Indonesia.

    Penahanan di Bukittinggi ini terjadi karena wilayah Sumatera Barat masih berada di bawah kendali Belanda pada waktu itu, meskipun di tempat lain perlawanan terhadap Agresi Militer Belanda II telah berhasil ditumpas. Belanda masih berupaya mempertahankan kekuasaannya di beberapa wilayah strategis, termasuk Bukittinggi yang merupakan salah satu pusat pemerintahan darurat Republik Indonesia.

    Meskipun mengalami penahanan berulang kali, semangat Pramoedya untuk menulis dan berjuang melalui karya-karyanya tidak pernah padam. Pengalaman-pengalaman penahanan ini justru memperkaya perspektifnya dan tercermin dalam karya-karya yang ditulisnya kemudian

    3. Penjara Ketiga: Glodok (1951-1952)

    Pemindahan Pramoedya dari Bukittinggi ke Penjara Glodok di Jakarta terjadi setelah Konferensi Meja Bundar dan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda. Meski Indonesia telah merdeka secara de jure, Pramoedya tetap harus menjalani sisa masa tahanannya di Penjara Glodok sampai akhirnya dibebaskan pada tahun 1952.

    Penjara Glodok menjadi penjara ketiga yang ditempati Pramoedya dalam rentang waktu yang relatif singkat (Salemba – Bukittinggi – Glodok). Pengalaman dipindah-pindahkan dari satu penjara ke penjara lain ini tentunya memberikan perspektif yang unik bagi Pramoedya tentang sistem penahanan di masa transisi kemerdekaan Indonesia.

    Masa antara 1948-1952 ini bisa dibilang menjadi periode yang sangat menentukan dalam membentuk cara pandang Pramoedya terhadap perjuangan kemerdekaan dan kondisi sosial-politik Indonesia. Meski berada dalam tahanan, semangatnya untuk menulis tetap terjaga, dan pengalaman-pengalaman ini kemudian banyak tercermin dalam karya-karya sastranya. Setelah dibebaskan pada 1952, Pramoedya kemudian aktif dalam kegiatan kepenulisan dan jurnalistik, meski perjalanan hidupnya masih akan diwarnai berbagai penahanan di masa-masa selanjutnya.

     

  • 30 Desember 1904: Lahirnya Pahlawan Nasional KH Masjkur

    30 Desember 1904: Lahirnya Pahlawan Nasional KH Masjkur

    Liputan6.com, Yogyakarta – KH Masjkur merupakan tokoh ulama yang mendapat gelar pahlawan nasional. Ia merupakan tokoh NU ke-3 yang mengemban amanat sebagai menteri agama setelah KH Wahid Hasyim dan KH Fathurrahman Kafrawi.

    Mengutip dari kemenag.go.id, KH Masjkur dibesarkan di lingkungan Islam yang taat. Saat usia 9 tahun, ia telah menunaikan ibadah haji.

    Tokoh dari Jawa Timur ini diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Amir Syarifudin II (reshuffle). Pada Januari 1948, kabinet tersebut jatuh.

    Meski Kabinet Amir hanya berlangsung selama dua setengah bulan, tetapi KH Masjkur berhasil membuat Peraturan Menteri Agama yang sangat penting. Ia membuat peraturan bahwa biaya Pengadilan Agama disetor ke Kas Negara.

    KH. Masjkur kemudian kembali terpilih menjadi Menteri Agama pada kabinet berikutnya. Pada Kabinet ini, KH. Masjkur memberlakukan peraturan bahwa perkara perdata di kalangan umat Islam diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Agama.

    Pada periode ini pula, KH Masjkur membentuk misi haji ke Saudi. Langkah tersebut dilakukan atas perintah Bung Hatta.

    Dengan misi ini, dunia internasional mengetahui bahwa ada negara baru bernama Republik Indonesia yang telah merdeka. Dunia internasional juga mengetahui bahwa mayoritas penduduknya beragama Islam.

    Selama hidupnya, KH. Masjkur pernah menjabat sebagai Menteri Agama RI pada empat periode, yakni Kabinet Amir Syarifuddin II (11 November 1947-29 Januari 1948), Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949), Kabinet Hatta II (4 Agustus 1949-20 Desember 1949), dan Kabinet Ali Sastroamijoyo (30 Juli 1953-12 Agustus 1955). KH. Masjkur pernah terpilih menjadi Ketua Sarekat Buruh Muslimin Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru.

    Berkat kemajuan lembaga yang dipimpinnya, mereka pun diundang untuk berkunjung ke Uni Soviet. Kunjungan tersebut bertujuan untuk meninjau kegiatan kaum buruh sekaligus perkembangan Islam di negara komunis.

    KH. Masjkur juga pernah menjabat sebagai Ketua fraksi PPP DPR pada masa pembahasan RUU tentang perkawinan. Ia juga dipilih sebagai Ketua Dewan Presidium Pengurus Besar NU pada 1952.

    Kontribusi terbesarnya merupakan proyek prestisius Al-Qur’an raksasa yang menjadi Al-Qur’an pusaka. Saat ini, Al-Qur’an tersebut tersimpan di Masjid Baiturrahim, Istana Negara, Jakarta.

    Pada 8 November 2019, Presiden Joko Widodo didampingi Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin menganugerahkan gelar Pahlawanan Nasional kepada KH. Masjkur beserta lima tokoh dari berbagai bidang. Gelar ini diberikan kepada para tokoh yang semasa hidupnya berjasa dalam merebut dan mengisi kemerdekaan serta mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa

     

    Penulis: Resla