Event: Rezim Orde Baru

  • Dilarang Prabowo, Begini Awal Tradisi Pengerahan Siswa Sambut Presiden

    Dilarang Prabowo, Begini Awal Tradisi Pengerahan Siswa Sambut Presiden

    Jakarta, Beritasatu.com – Pengerahan massa siswa atau pelajar sekolah untuk menyambut setiap kunjungan presiden ke daerah sudah lazim terjadi di Indonesia. Tradisi yang dilestarikan oleh pemerintah sejak Orde Baru ini baru ini sepertinya bakal berakhir. Presiden Prabowo Subianto menyurati kepala daerah untuk menghentikan kebiasaan itu.

    Setiap ada kunjungan presiden ke daerah, biasanya para siswa tingkat SD hingga SMA dimobilisasi oleh pemda bekerja sama dengan aparat TNI/Polri akan berjejer di pinggir jalan di bawah terik matahari, memegang bendera merah putih, dan melambaikan tangan saat rombongan presiden melintas. 

    Pemandangan tersebut masih terjadi sampai hari ini dan tidak ada siswa yang berani menolak karena akan berhadapan dengan aparat. Tujuannya tentu saja pemda dan aparat setempat ingin membuat suasana penyambutan yang meriah dan menampilkan masyarakat setempat seolah menerima kunjungan presiden dengan baik.

    Saat Presiden Prabowo berkunjung ke Kota Solo, Jawa Tengah untuk meresmikan Rumah Sakit Kardiologi Emirates Indonesia (RS KEI), Rabu (19/11/2025), para siswa SD berjejer di pinggir Jalan Ki Hajar Dewantara menyambut kedatangannya. 

    Begitu rombongan presiden melintas, para siswa langsung kompak melambai-lambaikan bendera merah putih dan meneriakkan nama “Pak Prabowo”.

    Presiden Prabowo Subianto menyapa anak-anak SD yang menyambutnya dari atas mobil Maung RI 1 saat melintas menuju RS KEI di Kota Solo, Jawa Tengah, Rabu, 19 November 2025. – (Beritasatu.com/Wijayanti Putri)

    Riuh sambutan para pelajar membuat Prabowo yang berada dalam mobil Maung berpelat RI 1 senang dan melambaikan tangan ke arah siswa dari balik jendela mobil. Tak hanya itu, Prabowo lalu membuka sunroof di atap mobil dan mengeluarkan sebagian tubuhnya untuk menyapa para siswa sambil melambaikan tangan.

    Para siswa tentu saja senang melihat langsung presiden secara dekat. Seperti diungkap Muhammad, seorang siswa SDN Tugu Kota Solo. “Senang bisa lihat Pak Presiden Prabowo langsung, keren banget,” katanya.

    Dari Solo, Prabowo lanjut ke Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk meresmikan Jembatan Kabanaran yang mengubungkan Bantul dan Kulon Progo. Kedatangan Prabowo juga mendapat sambutan meriah.

    Dalam pidato sambutannya, Prabowo mengaku terkesan dengan sambutan hangat para pelajar kepada dirinya saat berkunjung ke daerah, tetapi dia menginginkan agar para pelajar lebih baik bersekolah saja, tidak perlu sibuk dalam urusan seremonial penyambutan pejabat.

    Prabowo lantas meminta Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya untuk mengirimkan surat kepada seluruh kepala daerah agar tidak perlu lagi mengerahkan para pelajar untuk penyambutan dirinya.

    “Kalau seandainya saya kunjungan kerja mohon anak-anak sekolah tidak perlu menyambut saya di pinggir jalan, biarlah mereka di sekolah masing-masing,” ujar Prabowo.

    Prabowo memahami kalau banyak anak-anak ingin melihatnya secara langsung, tetapi dia tak mempermasalahkannya apabila mereka tidak menunggu sampai terlalu lama di bawah terik matahari. 

    “Saya senang setiap kali lihat wajah wajah rakyat, wajah anak-anak itu. Saya juga tambah semangat, saya tambah muda karena energi dari mereka,” ujarnya.

    Pelajar menyambut pemimpin negara, tamu peserta Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di depan Jakarta Convention Center, 22 April 2015. – (Suara Pembaruan/Joanito De Saojoao)

    Prabowo menyarankan para siswa apabila ingin melihat dirinya cukup melalui televisi saja, tidak perlu harus capek-capek berdiri menunggu di bawah terik matahari di pinggir jalan.

    “Saya kasihan mereka menunggu lama di bawah panas terik matahari. Saya khawatir mengurangi waktu jam sekolah mereka,” sambung Prabowo.

    Prabowo menginstruksikan kepada kepala daerah untuk tidak lagi memobilisasi siswa dalam menyambut kunjungan presiden di daerah.

    “Saya mohon para bupati selanjutnya bupati di seluruh Indonesia, wali kota,  kalau saya datang tidak perlu anak-anak sekolah untuk dikerahkan,” tukasnya.

    Pengerahan anak sekolah untuk menyambut kunjungan presiden di daerah selama ini sering menimbulkan kontroversi karena dinilai tak ada urgensinya dengan dunia pendidikan, kecuali hanya sebatas pencitraan pejabat elite saja.

    Pengamat politik sekaligus filsuf Rocky Gerung mengkritik keras tradisi memobilisasi anak-anak sekolah untuk menyambut setiap kunjungan presiden dan para pejabat elite di daerah. 

    Menurutnya, kebiasaan ini sebagai cerminan praktik feodalistik yang tidak sejalan dengan pendidikan modern. Dia menuding langkah itu sebagai pelanggaran atas hak anak untuk belajar dan bermain.

    “Anak-anak seharusnya tidak dijadikan alat untuk pencitraan politik. Mereka memiliki hak untuk bersekolah dan mendapatkan gizi yang baik, bukan dilibatkan dalam aktivitas seremonial yang tidak mendidik,” ujarnya dikutip dari video di kanal YouTubenya.

    Tradisi orde baru

    Praktik pengerahan pelajar untuk menyambut kunjungan presiden di daerah telah berlangsung lama di Indonesia, meskipun tidak ada tanggal pasti kapan dimulainya. Tidak ada aturan tertulis mengenai hal ini, tetapi praktiknya sudah mengakar dalam pemerintahan.

    Setiap presiden berkunjung ke daerah, pemda akan sibuk mempersiapkan penyambutan meriah dengan melibatkan berbagai kalangan, bahkan mobilisasi siswa. Para pelajar sering diminta berpakaian rapi, memegang bendera merah putih, berjejer di pinggir jalan untuk menyambut rombongan presiden. 

    Aparat bahkan tak segan menutup jalan yang akan dilalui rombongan presiden, tanpa peduli kalau rakyat yang sudah membayar pajak untuk membiaya pembangunan jalan itu berhak untuk menggunakannya kapan saja.

  • Poin-poin Pasal Kontroversi UU KUHAP Baru, dari Penggeledahan hingga Sadap

    Poin-poin Pasal Kontroversi UU KUHAP Baru, dari Penggeledahan hingga Sadap

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang pada Selasa (18/11/2025).

    Meski begitu, pengesahan tersebut masih menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama pada sejumlah pasal yang menyangkut wewenang penyelidikan.

    Gelombang penolakan RKUHAP telah menggema di jagat media sosial, jauh sebelum aturan peninggalan zaman kolonial itu disahkan. Poster-poster terkait dengan pasal kontroversial banyak diunggah oleh warganet.

    Ketua DPR, Puan Maharani menegaskan laporan hasil pembahasan KUHAP yang disampaikan oleh Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman sudah cukup jelas.

    Pimpinan DPR pun berharap publik yang masih menolak proses legislasi tersebut tidak termakan hoaks terkait substansi KUHAP baru yang disahkan.

    “Penjelasan dari Ketua Komisi III saya kira cukup bisa dipahami dan dimengerti sekali, jadi hoaks-hoaks yang beredar itu, semua hoaks itu tidak betul, dan semoga kesalahpahaman dan ketidakmengertian kita sama-sama bisa pahami,” kata Puan pada Selasa (18/11/2025).

    Sementara itu, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menegaskan poster yang beredar di media sosial mengenai RKUHAP adalah hoaks.

    Poster tersebut menuding jika RKUHAP disahkan, aparat kepolisian dapat melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penangkapan tanpa izin hakim. Menurut Habiburokhman, seluruh isi poster itu tidaklah benar.

    “Ada semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar. Disebutkan kalau RKUHAP disahkan, polisi bisa melakukan (hal-hal tertentu) ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” ujar Habiburokhman Selasa (18/11/2025).

    Menanggapi klaim bahwa polisi bisa menyadap dan mengutak-atik komunikasi tanpa izin, Habiburokhman menjelaskan bahwa KUHAP yang baru justru menegaskan mekanisme yang jauh lebih ketat.

    Dia menyebut Pasal 135 ayat (2) di UU KUHAP yang baru menyatakan bahwa penyadapan akan diatur secara khusus melalui undang-undang tersendiri, yang baru akan dibahas setelah RKUHAP disahkan.

    “Semua fraksi menyadari bahwa penyadapan itu harus diatur secara hati-hati dan harus dilakukan dengan izin pengadilan. Jadi, undang-undangnya belum ada, tapi sikap politiknya sudah ada soal penyadapan,” ujarnya.

    Lebih lanjut, poster hoaks itu juga menyebut polisi bisa membekukan rekening dan jejak digital secara sepihak. Habiburokhman menyebut narasi tersebut keliru.

    Menurutnya, Pasal 139 ayat (2) RKUHAP dengan jelas menyatakan bahwa semua bentuk pemblokiran, baik rekening maupun data online, harus mendapatkan izin hakim. 

    Tudingan bahwa penyidik bisa mengambil HP atau laptop tanpa izin hakim juga dibantah oleh Komisi III. Menurut Habiburokhman, semua bentuk penyitaan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, baik itu penyitaan handphone, laptop, dan lain sebagainya.

    Habiburokhman juga menepis klaim bahwa KUHAP baru memungkinkan penangkapan tanpa dasar tindak pidana.

    Dia menegaskan bahwa penangkapan baru dapat dilakukan setelah seseorang resmi ditetapkan sebagai tersangka, dan penetapan itu mensyaratkan dua alat bukti.

    Adapun penahanan memiliki syarat yang jauh lebih objektif dibanding KUHAP lama yang kerap dipakai pada masa Orde Baru.

    Dalam KUHAP baru, tambahnya, penahanan hanya bisa dilakukan apabila tersangka mengabaikan panggilan dua kali, tersangka memberikan keterangan yang tidak sesuai fakta, tersangka menghambat proses pemeriksaan (obstruction of justice), tersangka berupaya melarikan diri, mengulangi tindak pidana, menghilangkan alat bukti, atau keselamatannya terancam.

    “Kelima, tersangka mempengaruhi saksi untuk berbohong yang juga termasuk obstruction of justice,” jelas Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.

    Pasal Kontroversi Jadi Sorotan

    Masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai pemerintah bersama dengan DPR tengah merancang dan mempercepat proses pengesahan KUHAP yang akan memperkuat monopoli kewenangan dan diskresi kepolisian sehingga semakin menjadikannya lembaga superpower.

    Di sisi lain, mekanisme check and balances atau pengawasan terhadap kepolisian kian diperlemah. Situasi ini justru berlangsung belum lama berselang pasca komite yang bertujuan untuk melakukan pembenahan menyeluruh terhadap kepolisian ini ditetapkan.

    Bahwa kegagalan praktik pemolisian yang profesional dan akuntabel serta gagalnya upaya reformasi kepolisian selama ini, tidak dapat dilepaskan dari kegagalan dalam mengatur kewenangan kepolisian dan mendesain mekanisme pengawasan terhadap kepolisian yang selama ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

    Dalam pernyataan resminya, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai rancangan KUHAP baru dinilai memperkuat kendali dan monopoli kewenangan serta memperluas diskresi polisi, justru akan melanggengkan berbagai praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power), kegagalan penegakan hukum, hingga praktik impunitas oleh kepolisian.

    “Sehingga rencana Pemerintah dan DPR untuk mengesahkan KUHAP yang baru hanya akan menciptakan jalan buntu, menutup rapat pintu, bahkan menjegal wacana reformasi Polri yang digadang-gadangkan,” sebut pernyataan resmi yang diterbitkan pada Selasa (18/11/2025).

    Sebagai informasi, selama pembahasan, Panitia Kerja RUU KUHAP menyepakati 14 substansi utama yang menjadi kerangka pembaruan hukum acara pidana.

    Berikut 14 poin substansi revisi KUHAP yang disepakati DPR: 

    1. Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional. 

    2. Penyesuaian nilai hukum acara pidana sesuai KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif. 

    3. Penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat. 

    4. Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga. 

    5. Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman dan kekerasan. 

    6. Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana.

    7. Pengaturan mekanisme keadilan restoratif. 

    8. Perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, anak, dan lansia.

    9. Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan. 10. Perbaikan pengaturan upaya paksa dengan memperkuat asas due process of law. 11. Pengenalan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi.

    12. Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi.

    13. Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan.

    14. Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

     

  • Perjalanan Pindah Ibu Kota Dalam 4 Dekade

    Perjalanan Pindah Ibu Kota Dalam 4 Dekade

    Bisnis.com, JAKARTA — Wacana memindahkan ibu kota negara (IKN) sesungguhnya bukan cerita baru. Rencana itu sudah mengalir jauh, melewati tujuh presiden, dan menyisakan jejak panjang yang kerap muncul–tenggelam mengikuti arah zaman.

    Semua bermula pada 1957, ketika Soekarno menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Palangkaraya. Kota yang baru lahir itu langsung memantik gagasannya, Jakarta kelak akan terlalu berat menanggung beban sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi.

    Perlu “saudara” yang bisa ikut memikul tanggung jawab itu. Palangkaraya pun menjadi nama yang berulang kali disebut sebagai calon masa depan ibu kota.

    Mengutip laman resmi Kota Palangkaraya, Soekarno pertama kali menginjakkan kakinya di kota itu pada 17 Juli 1957, ketika meresmikan pembangunan Kota Palangka Raya. Kunjungan Soekarno itu satu-satunya dan terakhir ke Palangkaraya.

    Ketua Badan Anggaran, Said Abdullah dalam tulisannya menyebutkan rencana Soekarno itu pada dasarnya tidak menggantikan Jakarta sebagai IKN. Namun perannya hanya berbagi beban terhadap kebutuhan daya tampung Jakarta. Bung Karno berpandangan tidak ada tempat, selain Jakarta di Indonesia ini yang memiliki jejak sejarah dan saksi bisu perjuangan merebut kemerdekaan.

    Pandangan ini tentu tidak dimaksudkan untuk mengerdilkan jejak sejarah kota-kota lain seperti Bandung, Surabaya, dan kota-kota lainnya dalam perannya sebagai saksi sejarah perjuangan kemerdekaan.

    Jakarta begitu memorable bagi tokoh-tokoh pergerakan bangsa. Pertimbangan inilah yang agaknya menjadi faktor batalnya rencana pemindahan IKN pada masa Bung Karno. Apalagi beban Jakarta pada masa itu tidak seberat Jakarta saat ini, apalagi Jakarta ke depan.

    Gagasannya tak pernah benar-benar padam, meski akhirnya terkubur oleh dinamika politik pada akhir masa jabatannya.

    Waktu berlalu, pada era Soeharto, rencana itu kembali muncul ke permukaan. Kali ini bukan Palangkaraya, melainkan Jonggol—sebuah wilayah yang dianggap strategis untuk mengimbangi tekanan urbanisasi Jakarta. Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1997 diterbitkan, memandatkan Jonggol sebagai kota mandiri lengkap dengan rencana fasilitas modern.

    Pemerintah orde baru menimbang peningkatan kegiatan ekonomi dan perkembangan penduduk yang tinggi di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) perlu diimbangi dengan pengembangan pusat-pusat permukiman baru yang dilengkapi dengan sistem prasarana dan sarana serta fasilitas pendukung yang mandiri di wilayah Jabotabek.

    Di samping itu, dalam rangka pengembangan pusat-pusat permukiman baru di wilayah Jabotabek tersebut, dipandang perlu mengembangkan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Pertimbangan lainnya adalah pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peningkatan kualitas ruang wilayah Jabotabek dalam upaya menciptakan perkembangan wilayah yang lebih seimbang.

    Pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dimaksudkan untuk mengurangi kepadatan penduduk dan kegiatan masyarakat di kota besar yang sudah padat, meningkatkan pengelolaan sumber daya air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menterpadukan pemanfaatan ruang di sekitarnya, dan meningkatkan fungsi ruang yang lebih seimbang.

    Namun, hanya setahun kemudian, badai Reformasi mengakhiri rencana itu bahkan sebelum sempat benar-benar dimulai.

    Setelah terdiam 11 tahun, Susilo Bambang Yudhoyono kembali meniupkan angin segar wacana perpindahan ibu kota pada 2009. Dari Palangkaraya—kota yang pernah menjadi impian Soekarno—SBY menyampaikan kekhawatirannya atas beban Jakarta yang semakin berat.

    Mengutip kajian Asisten professor dan koordinator program studi perencanaan dan studi perkotaan di Savannah State University, Deden Rukmana, menjelaskan Presiden SBY mulai membicarakan wacana pemindahan ibukota negara dari Jakarta ketika menghadiri Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Palangkaraya pada awal Desember 2009.

    Menurut SBY, beban fungsi pelayanan dan kelayakan Jakarta sebagai ibukota negara makin berat.

    Pembahasan pemindahan ibukota negara harus dikaji dari berbagai aspek dan tidak hanya melihat faktor kemacetan di Jakarta sebagai alasan pemindahan ibukota negara, tetapi juga dilihat sebagai upaya strategis untuk mendistribusikan pembangunan secara merata.

    Presiden SBY mengemukakan pembentukan tim kecil yang ditugaskan untuk mengkaji ide pemindahan ibukota negara.

    Kemudian muncul tiga skenario dalam pemindahan ibu kota negara, yakni tetap mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota negara dan dilakukan pembenahan terhadap semua permasalahan, memindahkan pusat pemerintahan dari Jakarta ke lokasi baru yang tetap berada di pulau Jawa, memindahkan ibukota negara dan pusat pemerintahan ke lokasi baru di luar pulau Jawa.

    Namun hingga dua periode pemerintahannya berakhir, rencana itu tetap hanya sampai di meja diskusi.

    Baru pada 2019, di era Presiden Joko Widodo, gagasan lama itu menemukan momentum terbesarnya. Di hadapan sidang DPR–DPD, Jokowi menyatakan bahwa ibu kota negara akan pindah ke Kalimantan.

    Nama “IKN Nusantara” pun diperkenalkan sebagai simbol identitas baru bangsa—sebuah kota yang digadang-gadang lebih hijau, lebih modern, dan berada di tengah Indonesia agar pembangunan lebih merata.

    Sejumlah infrastruktur mulai dibangun. Jalan, gedung pemerintahan, hingga kawasan inti peradaban dirancang sebagai wujud awal dari masa depan yang diimpikan. Namun perjalanan itu tetap panjang dan berliku.

    Hingga akhir masa jabatan Jokowi, Nusantara belum benar-benar menyandang status sebagai ibu kota baru Indonesia.

    Dari Palangkaraya ke Jonggol, dari wacana ke wacana, perjalanan IKN menunjukkan satu hal: gagasan memindahkan ibu kota selalu hidup—kadang redup, kadang kembali bersinar—menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar terwujud.

  • Komisi III Sebut Syarat Penangkapan-Penahanan di KUHAP Baru Lebih Berat

    Komisi III Sebut Syarat Penangkapan-Penahanan di KUHAP Baru Lebih Berat

    Komisi III Sebut Syarat Penangkapan-Penahanan di KUHAP Baru Lebih Berat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengeklaim, syarat penangkapan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jauh lebih banyak dan lebih berat dibandingkan dengan KUHAP lama.
    Hal ini disampaikan
    Habiburokhman
    merespons poster di media sosial yang menyatakan bahwa polisi bisa menangkap, melarang meninggalkan tempat, menggeledah, bahkan melakukan penahanan tanpa konfirmasi tindak pidana dengan adanya revisi KUHAP
    “Soal
    penangkapan
    , tadi katanya bisa ditangkap tanpa konfirmasi tindak pidana. Ini mengacu kepada bahwa penyelidik atas perintah penyidik bisa melakukan penangkapan,” kata Habiburokhman dalam konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (18/11/2025).
    “Penahanan itu ya, syaratnya ini jauh lebih berat ya, jauh lebih objektif dibandingkan dengan apa yang diatur di KUHAP Orde Baru,” imbuh dia.
    Politikus Partai Gerindra lalu menjelaskan,
    KUHAP baru
    mengatur ada sejumlah syarat yang perlu dipenuhi kepolisian sebelum menangkap dan menahan seseorang.
    Pertama, penangkapan harus dilakukan setelah adanya penetapan tersangka.
    Penetapan tersangka juga mensyaratkan dua alat bukti.
    Sementara, penahanan baru dilakukan apabila tersangka mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut; apabila tersangka memberikan informasi yang tidak sesuai fakta; apabila tersangka menghambat proses pemeriksaan; apabila tersangka berupaya melarikan diri, melakukan ulang tindak pidana, menghilangkan alat bukti, dan terancam keselamatannya; atau yang terakhir, apabila mempengaruhi saksi untuk berbohong.
    Sedangkan dalam
    KUHAP lama
    , seseorang bisa ditahan hanya dengan tiga syarat, yakni apabila tersangka dikhawatirkan melakukan diri, menghilangkan alat bukti, dan mengulangi tindak pidana.
    Ketiga unsur itu dapat terpenuhi dengan subjektivitas penyidik.
    “Nah, kalau di KUHAP baru, ini sangat objektif, sangat bisa dinilai, gitu lho,” bebernya.
    Tak hanya itu, ia juga menjelaskan pernyataan yang beredar di media sosial terkait kesewenang-wenangan polisi dalam KUHAP, termasuk melakukan penyadapan, membekukan tabungan, hingga mengambil alat komunikasi bahkan ketika tidak berstatus tersangka, adalah tidak benar.
    Ia menjelaskan bahwa seluruh aktivitas itu tetap harus mendapat izin dari pengadilan.
    Sedangkan untuk penyadapan, peraturannya akan terpisah dalam rancangan UU lain, yang akan dibahas setelah revisi KUHAP disahkan menjadi undang-undang.
    “Jadi belum ada (aturan itu). Penyadapan itu memang ada hak bebas menyadap, tapi pelaksanaan dan pengaturannya akan diatur dengan Undang-Undang tersendiri soal penyadapan yang akan dibahas kalau KUHAP-nya nanti disahkan,” jelasnya.
    Sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan revisi KUHAP menjadi undang-undang dalam rapat paripurna pada Selasa hari ini.
    Pengesahan dilakukan setelah sebelumnya pada Kamis (13/11/2025), Komisi III DPR RI dan pemerintah telah resmi menyepakati seluruh substansi perubahan
    RKUHAP
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
    Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
    melalui donasi.
    Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
    akun kamu.

  • Menghentikan Dwifungsi Polri, Mengembalikan Meritokrasi

    Menghentikan Dwifungsi Polri, Mengembalikan Meritokrasi

    Menghentikan Dwifungsi Polri, Mengembalikan Meritokrasi
    Direktur Eksekutif Migrant Watch
    MAHKAMAH
    Konstitusi (MK) kembali mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai lembaga yang berani meruntuhkan persoalan laten yang selama ini merusak kesehatan sistem kenegaraan Indonesia: rangkap jabatan dalam birokrasi.
    Setelah sebelumnya membatalkan praktik rangkap jabatan wakil menteri yang merangkap komisaris BUMN, kini MK menghentikan salah satu bentuk rangkap jabatan paling serius dan paling mengakar: penguasaan ruang sipil oleh polisi aktif.
    Praktik rangkap jabatan oleh anggota Polri melalui skema “penugasan”—yang selama ini dianggap sah secara administratif dan kian meluas pada era Joko Widodo—akhirnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi.
    MK menegaskan bahwa siapa pun anggota Polri yang ingin menduduki jabatan di luar institusinya harus mengundurkan diri atau pensiun terlebih dahulu, dan tidak boleh lagi mengandalkan penugasan internal kepolisian.
    Temuan adanya 4.351 anggota Polri aktif yang menduduki jabatan sipil menunjukkan betapa dalam distorsi tata kelola negara kita.
    Angka ini bukan sekadar penyimpangan kecil, tetapi menggambarkan fenomena struktural yang telah menciptakan ketimpangan serius dalam pasar kerja publik.
    Secara hukum, Polri memang dikategorikan sebagai lembaga sipil sejak dipisahkan dari TNI pada era reformasi. Namun, status ini hanya menyentuh karakter institusional, bukan fungsi kekuasaan.
    Dalam teori administrasi publik, lembaga pemegang kewenangan koersif—seperti penyidikan, penangkapan, dan penggunaan kekuatan—harus dibatasi aksesnya terhadap jabatan sipil guna menjaga netralitas pemerintahan dan mencegah dominasi kelompok keamanan dalam administrasi negara.
    Polri adalah lembaga sipil, tetapi anggotanya bukan ASN. Mereka berada dalam struktur komando tersendiri, tunduk pada kode etik internal kepolisian, dan menjalankan fungsi penegakan hukum yang bersifat koersif.
    Karena itu, ketika anggota Polri aktif mengisi jabatan sipil melalui mekanisme penugasan, muncul inkonsistensi sistem kepegawaian, tumpang tindih otoritas, dan terkikisnya prinsip netralitas birokrasi.
    Dalam kajian
    civil–police relations
    , penempatan aparat aktif pada jabatan sipil menyebabkan perembesan kekuasaan koersif ke dalam struktur administratif negara.
    MK menangkap substansi persoalan ini dengan sangat tepat: jabatan sipil harus diisi oleh aparatur sipil dalam sistem kepegawaian sipil, bukan oleh aparat penegak hukum yang masih berada dalam garis komando lembaganya.
    Koreksi konstitusional ini dituangkan secara tegas dalam
    Putusan MK
    Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang dibacakan pada 13 November 2025, dalam pengujian Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.
    MK menyatakan bahwa penempatan anggota Polri aktif pada jabatan sipil tidak memiliki dasar konstitusional dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
    Konsekuensinya, praktik yang belakangan dikenal sebagai Dwifungsi Kepolisian—yang pengaruhnya justru semakin menguat selama beberapa tahun terakhir—harus dihentikan sepenuhnya.
    Putusan ini menegaskan bahwa seluruh jabatan sipil harus kembali diisi melalui jalur rekrutmen meritokratis, tanpa campur tangan institusi penegak hukum yang masih aktif menjalankan fungsi koersif.
    Putusan MK ini bersifat final dan mengikat, dan wajib segera diadopsi dalam tata kelola birokrasi nasional.
    Lebih dari sekadar pembatalan norma, putusan ini merupakan koreksi mendalam atas distorsi panjang dalam manajemen jabatan publik—distorsi yang selama bertahun-tahun menggerus keadilan, profesionalisme, dan kesetaraan kesempatan bagi warga negara.
    Ruang eksklusif dalam birokrasi Indonesia tidak hanya terjadi di tubuh Polri; ia telah mengakar dalam berbagai institusi negara.
    Selama puluhan tahun, Indonesia menghadapi kondisi yang dalam literatur administrasi publik dikenal sebagai
    institutional capture
    —suatu keadaan ketika jabatan publik dikuasai oleh kelompok institusional tertentu sehingga akses kompetisi tertutup bagi masyarakat sipil.
    Rangkap jabatan merupakan salah satu bentuk bahaya laten tersebut. Ia dibiarkan menggerogoti fondasi negara secara perlahan, menutup ruang bagi talenta sipil, dan menghambat proses regenerasi birokrasi.
    Akses terhadap jabatan publik tidak pernah sepenuhnya terbuka; ia dipagari oleh jaringan institusional, diperkuat oleh pola patronase, serta dilestarikan oleh korporatisme profesi yang membatasi tumbuhnya kompetensi dari luar lingkaran kekuasaan.
    Pada masa Orde Baru, Indonesia menyaksikan dominasi militer melalui Dwifungsi ABRI, di mana ruang sipil dikuasai oleh struktur militer. Reformasi 1998 meruntuhkan struktur tersebut sebagai syarat fundamental menuju demokratisasi.
    Namun ironisnya, setelah dominasi TNI dibongkar, praktik serupa justru bergeser ke tubuh kepolisian. Sekarang melalui dalih “penugasan”, anggota Polri aktif mulai mengisi berbagai jabatan sipil.
    Dalam senyap, bangkitlah “Dwifungsi gaya baru”, yang mengaburkan batas antara fungsi penegakan hukum dan administrasi pemerintahan.
    Dampaknya sangat nyata: ribuan peluang jabatan bagi ASN dan profesional sipil tertutup oleh skema yang seharusnya tidak pernah eksis dalam sistem birokrasi modern.
    Fenomena eksklusivitas ini tidak hanya terjadi di kepolisian—meskipun Polri merupakan institusi dengan skala rangkap jabatan terbesar.
    Pola serupa terlihat dalam tubuh Kejaksaan, yang cenderung beroperasi sebagai korps tertutup, serta di berbagai kementerian dan lembaga yang mempromosikan “orang dalam” tanpa membuka seleksi yang kompetitif dan transparan.
    Namun, temuan bahwa
    4.351 anggota Polri aktif
    menduduki jabatan sipil menegaskan bahwa masalah tersebut telah mencapai tingkat yang paling masif dan paling struktural di institusi kepolisian.
    Ini bukan deviasi kecil, tetapi tanda jelas dari kegagalan sistemik dalam tata kelola jabatan publik.
    Fenomena ini bukan sekadar persoalan hukum administrasi. Ia merupakan krisis ketenagakerjaan publik modern.
    Dalam teori manajemen sumber daya manusia sektor publik, pengisian jabatan sipil seharusnya mengikuti prinsip-prinsip dasar: keterbukaan seluas-luasnya, kompetisi yang adil, kesetaraan kesempatan, dan perlindungan terhadap setiap bentuk monopoli dalam perekrutan.
    Namun, penugasan anggota Polri aktif ke posisi sipil justru melanggar seluruh prinsip tersebut. Mekanisme ini merusak seleksi terbuka, menghilangkan proses uji kompetensi yang objektif, dan mencederai prinsip
    meritokrasi
    yang seharusnya menjadi fondasi pengisian jabatan publik.
    Rangkap jabatan pada akhirnya menciptakan ruang peluang jabatan yang tertutup, di mana akses terhadap posisi strategis hanya tersedia bagi kelompok tertentu dan tidak terbuka bagi publik luas.
    Kondisi ini menghasilkan ketidakseimbangan serius dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebab pengisian jabatan tidak lagi bertumpu pada prinsip keterbukaan, objektivitas, dan kesetaraan hak warga negara.
    Praktik semacam ini melemahkan profesionalisme birokrasi secara sistematis. Ketika kandidat-kandidat kompeten dari kalangan sipil terhalang untuk berkompetisi, proses regenerasi dan pengembangan talenta nasional menjadi macet.
    Akibatnya, kualitas kelembagaan dan efektivitas pelayanan publik terancam menurun.
    Lebih jauh, pembatasan akses terhadap jabatan publik ini merusak asas keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara.
    Jabatan publik adalah amanat konstitusional yang wajib diisi melalui mekanisme transparan, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan.
    Ketika jabatan tersebut didominasi oleh pihak tertentu melalui mekanisme non-meritokratis, hak warga negara untuk memperoleh kesempatan yang setara turut dilanggar.
    Dengan demikian, rangkap jabatan bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia merupakan persoalan fundamental yang berdampak langsung pada kualitas demokrasi, integritas kelembagaan, serta kemampuan negara memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh rakyatnya.
    Tantangan ke depan jauh lebih besar daripada sekadar menerima putusan Mahkamah Konstitusi sebagai kemenangan normatif.
    Persoalan utamanya kini adalah memastikan agar reruntuhan ruang eksklusif birokrasi tidak kembali dibangun melalui celah regulasi, rekayasa administratif, atau kompromi politik yang kerap muncul setelah praktik dinyatakan inkonstitusional.
    Indonesia memiliki pengalaman panjang dalam hal ini: ketika satu pintu penyimpangan ditutup oleh hukum, pintu lain sering dibuka oleh siasat birokrasi. Karena itu, implementasi putusan MK membutuhkan pengawasan publik yang intensif dan konsisten.
    Pembukaan ruang sipil setelah dihentikannya rangkap jabatan anggota Polri aktif merupakan momen penting dalam memperbaiki tata kelola negara. Ini bukan hanya persoalan kepatuhan pada konstitusi, tetapi juga pemulihan kesempatan kerja yang adil bagi warga negara.
    Jabatan publik yang selama ini terblokir oleh skema penugasan institusional kini kembali terbuka bagi ASN, profesional muda, dan talenta dari berbagai daerah.
    Temuan 4.351 jabatan sipil yang sebelumnya ditempati anggota Polri aktif menunjukkan betapa besar jumlah peluang yang selama ini tertutup dan dampak pemerataannya bagi generasi muda Indonesia.
    Dalam konteks negara yang masih menghadapi ketimpangan antardaerah, pembukaan kembali jalur meritokratis ini merupakan langkah penting untuk memastikan setiap warga negara memiliki peluang yang setara dalam jabatan publik.
    Rekrutmen pejabat negara dapat kembali bertumpu pada kompetensi, bukan pada kedekatan institusional yang selama ini menciptakan hambatan struktural.
    Prinsip dasar bernegara harus ditegakkan, bahwa jabatan publik adalah amanat rakyat, dan tidak boleh dibiarkan berubah menjadi hak istimewa bagi kelompok tertentu ataupun institusi tertentu yang memanfaatkan posisi strukturalnya dalam negara.
    Meski demikian, sejarah administrasi publik Indonesia mengajarkan bahwa setiap koreksi besar selalu diikuti upaya penyiasatan.
    Pola-pola baru dapat muncul, seperti perubahan bentuk penugasan menjadi jabatan non-struktural—penasihat teknis, pejabat penghubung, atau staf khusus—yang meski tidak disebut jabatan sipil, tetap memiliki pengaruh strategis.
    Kemungkinan lain adalah munculnya gelombang pensiun cepat agar eks anggota Polri tetap dapat mengisi jabatan sipil tanpa melalui seleksi terbuka.
    Bahkan lembaga semi-sipil seperti BUMN, BLU (Badan Layanan Umum), atau badan ad hoc bisa menjadi saluran baru untuk mempertahankan dominasi struktural yang sebelumnya ditopang oleh mekanisme penugasan.
    Jika pola-pola tersebut dibiarkan, semangat putusan MK dapat digerogoti dari dalam. Reformasi tinggal menjadi formalitas administratif, sementara substansi ketidakadilan tetap berlangsung.
    Karena itu, implementasi putusan MK sering berujung pada permainan “kucing-kucingan” antara regulator dan pihak yang ingin mempertahankan status quo. Secara administratif tampak patuh, tetapi secara substansial tetap melanggar.
    Untuk menghindari hal ini, diperlukan pengawasan kuat dari lembaga kepegawaian, Ombudsman, DPR, akademisi, media, dan masyarakat sipil.
    Reformasi birokrasi adalah proses panjang yang harus dijaga. Negara yang kuat dibangun bukan melalui dominasi satu institusi, tetapi oleh aparatur sipil yang kompeten, netral, dan berintegritas.
    Jabatan publik tidak boleh didominasi oleh lembaga pemegang kewenangan koersif, karena hal itu bertentangan dengan prinsip demokrasi modern dan berpotensi menciptakan subordinasi ruang sipil pada kekuatan penegak hukum.
    Penegakan putusan MK adalah langkah penting untuk memastikan bahwa jabatan publik dikembalikan pada jalur yang benar—jalur meritokrasi, transparansi, dan keadilan.
    Dengan dihapusnya rangkap jabatan dan dibukanya kembali ruang sipil secara adil, Indonesia tidak hanya memperbaiki kualitas birokrasi, tetapi juga menciptakan peluang besar bagi anak bangsa untuk berkarier dalam struktur negara.
    Talenta dari berbagai daerah kini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk tampil, berkembang, dan mengambil posisi kepemimpinan tanpa menghadapi tembok struktural seperti sebelumnya.
    Hal ini menandai dimulainya regenerasi birokrasi yang lebih sehat, lebih berintegritas, dan lebih inklusif.
    Esensi reformasi adalah mengembalikan keadilan sebagai prinsip utama dalam tata kelola negara. Negara yang sehat adalah negara yang menjamin kesempatan setara bagi seluruh warganya untuk berkontribusi, bukan negara yang mempertahankan kenyamanan sekelompok kecil pemilik kekuasaan.
    Implementasi putusan MK harus menjadi tonggak untuk membawa Indonesia menuju birokrasi yang lebih terbuka, lebih meritokratis, dan lebih adil bagi seluruh anak bangsa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
    Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
    melalui donasi.
    Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
    akun kamu.

  • “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    MENTERI
    Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentil pers yang “mingkem”, tidak berani melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritik itu disampaikan Purbaya dalam acara yang digelar Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, Minggu 16 November 2025.
    Kritik Purbaya ini menarik dan mengandung separuh kebenaran.  PK Ojong punya pandangan yang senada.
    Pers
    dibuat bukan untuk menjilat kekuasaan.  Kritik pers memang dibutuhkan karena kekuasaan itu  cenderung korup. Pada saat ini, kritik pers justru amat dibutuhkan ketika bangsa sedang mengalami krisis representasi.  
    DPR mengalami apa yang disebut Carl Schmitt sebagai telah kehilangan dasar moral dan spiritualnya. Itu ditulis Schmitt dalam buku
    The Crisis of Parliamentary Democracy
    , 1923. Selain pers yang “mingkem”, DPR, DPD, ormas pun sebenarnya “mingkem” melihat praktik politik penuh ketidakadilan. Dalam bahasa pemikir kebhinekaan, Sukidi, bangsa sedang dibangun dalam situasi republik ketakutan (
    republic of fear
    ).
    Gejala pers yang “mingkem” sudah ditengarai Daniel Dhakidae dalam disertasinya di Cornel tahun 1991. Dalam disertasi
    The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry
    , Daniel memprediksi sistem pers Orde Baru dengan kontrol kertas di tangan pemerintah akan menciptakan situasi menjadi akhir dari jurnalisme politik (
    the end of political journalism
    ).
    Kritik Purbaya disebut sebagai separuh kebenaran karena sebenarnya ada juga pers, katakan Tempo, yang berani mengkritik pemerintahan secara lugas dan tegas terhadap tata kelola pemerintahan. Namun kini, Tempo tengah menghadapi gugatan ganti rugi Rp 200 miliar oleh Menteri Pertanian. Bisa saja pandangan Purbaya adalah pandangan pribadi seorang menteri berbeda dengan menteri yang lain.
    Dalam praktik selama ini, dalam lingkungan komunitas pers, tertangkap suasana kebatinan bahwa pemerintah lebih suka dengan berita-berita positif, terlebih  pujian. Dalam beberapa kejadian selalu ada upaya tangan tak kelihatan untuk mengendalikan pers bebas yang memang sedang dalam tahapan
    survival mode
    . “Padahal, pujian adalah
    silent killer
    ,” kata Sukidi, dalam sebuah pernyataan di Forum Warga Negara.
    Ini berbeda misalnya dengan pandangan Ali Sadikin. Ali Sadikin dalam satu wawancara pernah mengatakan, “… wartawan itu karyawan pemerintah yang tidak dibayar negara. Tugasnya justru mengkritik kebijakan pemerintah….,” kata Ali Sadikin.
    Tapi apakah pejabat kita seterbuka Ali Sadikin menerima kritik dari
    media
    sebagaimana disampaikan Purbaya.
    Sejak lama, media disebut sebagai pilar keempat demokrasi—
    the fourth estate
    —setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media dimandatkan untuk mengawasi kekuasaan, menyediakan informasi publik, dan menjadi forum deliberasi bagi warga negara.
    Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menulis: “Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan kesetiaan pertamanya adalah kepada warga.”
     Namun kini, secara umum posisi media itu goyah. Bukan karena hilangnya idealisme, tetapi karena dua tekanan besar: krisis ekonomi di dalam industri media, dan dominasi algoritma di luar ruang redaksi. Media berdiri di persimpangan: antara bisnis dan etika, antara klik dan kebenaran.
    Industri media kini menghadapi guncangan struktural yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pendapatan iklan berpindah ke platform digital seperti Google, Meta, dan TikTok. Ruang redaksi kehilangan kemandirian ekonomi, sementara pemilik modal semakin berkuasa menentukan arah pemberitaan. Robert McChesney menyebut fenomena ini sebagai
    market censorship
    — sensor pasar—di mana bukan negara yang menekan
    kebebasan pers
    , tetapi logika bisnis yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
    Konsentrasi kepemilikan membuat media kerap kehilangan keberanian moral. Liputan investigative berkurang.  Isu publik tergantikan oleh sensasi politik. Kecenderungan media menjadi pelapor fakta. Namun, tentunya masih ada media yang mencoba menjalankan jurnalisme advokatif.
    Selain krisis ekonomi, kita juga menghadapi krisis suara. Manuel Castells, dalam
    Communication Power
    , mengatakan: “Kekuasaan di era informasi adalah kekuasaan untuk memprogram arus komunikasi.”
    Buzzer politik, influencer, dan mesin algoritma kini bertindak sebagai “editor baru” ruang publik. Mereka menentukan apa yang trending, bukan apa yang penting. Mereka menyebarkan emosi, bukan pengetahuan. Kita hidup dalam demokrasi simulatif: terlihat ramai, tapi kehilangan kedalaman. Setiap warga seolah punya suara, tapi suara-suara itu dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat— oleh mesin, oleh modal, oleh kepentingan politik. Buzzer telah menjadi industri. Tapi apakah itu kebenaran? Belum tentu.
    Saat Revisi UU KPK (2019) terjadi, bagaimana
    cyber troops
    dikerahkan untuk mendelegitimasi KPK dengan narasi “KPK sarang Taliban” dan narasi lain untuk menggolkan agenda politik revisi UU KPK dan kemudian berhasil. KPK berhasil dilumpuhkan melalui operasi kartel partai politik dalam lima hari.
    Krisis media juga merupakan krisis relasi kekuasaan. Media tidak lagi di luar kekuasaan, tetapi menjadi bagian dari arena kekuasaan itu sendiri. Kita menyaksikan munculnya oligarki informasi— di mana konglomerasi media dan politik menyatu dalam kepentingan yang sama.
    Hasilnya: ruang redaksi kehilangan otonomi, dan kebebasan pers berubah menjadi kebebasan bagi pemilik modal. McChesney pernah mengingatkan: “Kebebasan pers tanpa kebebasan ekonomi redaksi adalah kebebasan semu.”
    Inilah paradoks media hari ini: secara hukum bebas, tetapi secara struktural terpenjara. Ketika kekuatan politik, kekuatan ormas, kekuatan media berada dalam satu tangan, bukankah  itu merupakan tanda-tanda awal dari totalitarianisme?
    Namun, krisis ini bukan akhir. Ia bisa menjadi awal kebangkitan baru bagi media— jika media berani kembali pada akarnya: etika, empati, dan keberpihakan serta dukungan publik.
    Apakah publik mendukung jurnalisme yang sehat? Jurnalisme bukanlah propaganda. Jurnalisme yang membuka ruang perdebatan publik.  Esensi jurnalisme adalah mengingatkan yang mapan (
    polite watch dog
    ), menghibur yang papa. Namun itu juga sepenuhnya tergantung pengurus negara. 
    Ada empat langkah yang harus ditempuh.
    Media harus kembali pada misi moralnya: berpihak pada publik, bukan kekuasaan. Mengutip Budayawan/Rohaniawan GP Sindhunata: bagaimana menjaga agar “danyang” jurnalisme tidak
    oncat
    atau mencelat dari ruang jurnalisme. “Danyang” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang cenderung ada unsur mistis dan magis. Tapi “danyang” bisa diartikan sebagai roh yang menggerakan jurnalisme, nilai yang diperjuangkan dalam jurnalisme. Apakah “danyang” jurnalisme masih ada? Ada untuk beberapa media.
    Bill Kovach menulis, “Verifikasi lebih penting daripada viralitas.” Kecepatan bukan ukuran profesionalisme; integritaslah yang utama.
    Kemandirian ekonomi adalah syarat mutlak bagi independensi redaksi. Model
    membership journalism
    atau
    public funding
    bisa menjadi jalan keluar. Kita bisa belajar dari The Guardian, ProPublica, atau di Indonesia— Tempo Investigasi, Project Multatuli. Itu sekadar contoh. Tapi intinya, perkembangan media membutuhkan dukungan publik dan  pemerintah. Perjuangan Forum Pemred memperjuangkan
    No Tax For Knowledge
    perlu dipertimbangkan Purbaya. Industri media yang sejatinya adalah industri pengetahuan masih dibebani begitu banyak pajak-pajak yang memberatkan.
    Kebenaran adalah hasil kerja kolektif. Ekosistem kolaboratif—antara redaksi, universitas, dan NGO— akan memperkuat
    fact checking
    dan literasi publik. Dukungan pelanggan amat sangat menentukan. 
    Negara harus hadir bukan untuk membungkam, tetapi melindungi jurnalisme dari tirani algoritma. Transparansi konten politik berbayar dan keadilan algoritmik adalah prasyarat demokrasi digital yang sehat.
    Media boleh lemah secara industri, tetapi jika ia teguh pada moralitas kebenaran, ia tetap akan menjadi penjaga rasionalitas bangsa. Justice Hugo Black pernah berkata: “
    Freedom of the press is not for the press itself, but for the people to know
    .”
    “Kebenaran adalah pekerjaan rumah harian demokrasi.”
    Tugas media bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menjaga nurani bangsa agar tetap waras dan  mengerakkan semangat berbela rasa, mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa, di tengah kebisingan digital. Di era suara sintesis, media sejati bukan yang paling keras, tetapi yang paling jujur. Namun itu semua membutuhkan dukungan publik.
    Kritik Purbaya harus diterima. Namun, Purbaya perlu mengambill  langkah  melonggarkan beban pajak yang melilit industri pers. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dilaporkan ke Polisi, Ini Tanggapan Ribka Tjiptaning Terkait Gelar Pahlawan Soeharto

    Dilaporkan ke Polisi, Ini Tanggapan Ribka Tjiptaning Terkait Gelar Pahlawan Soeharto

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua PDI Perjuangan, Dr. Ribka Tjiptaning, menyatakan kesiapannya menghadapi pemeriksaan di Bareskrim Polri terkait laporan terhadap dirinya setelah menyebut Soeharto tidak layak dianugerahi gelar pahlawan nasional.

    Ribka menegaskan bahwa pernyataannya didasarkan pada pengalaman pribadi sebagai korban dan hasil penyelidikan resmi yang pernah dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

    “Selain pengalaman saya sendiri sebagai korban, saya juga akan meminta kesaksian Tim Ad Hoc bentukan Komnas HAM yang menyelidiki peristiwa 1965. Kita bisa dengar kesaksian bagaimana mereka menemukan korban-korban pelanggaran HAM Soeharto itu. Apa benar atau cuma fiksi?” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (15/11).

    Menurut Ribka, temuan utama Tim Ad Hoc Komnas HAM menunjukkan adanya pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara luas dan sistematis pada masa tersebut. Pelanggaran itu meliputi pembunuhan massal, penghilangan orang secara paksa, penahanan sewenang-wenang terhadap sekitar 41 ribu orang, penyiksaan, perampasan kemerdekaan fisik, hingga kekerasan seksual.

    Ia menambahkan, data investigasi Komnas HAM mencatat sekitar 32.774 orang hilang, sementara sejumlah lokasi di berbagai daerah diidentifikasi sebagai tempat pembantaian.

    Masih merujuk laporan Komnas HAM, Ribka menegaskan bahwa pihak yang dianggap paling bertanggung jawab adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib), lembaga yang berada langsung di bawah kendali Soeharto.

    “Itu bisa di-googling dan diunduh hasil laporannya. Dan itu penyelidikan pro yustisia lho. Itu sesuai perintah undang-undang, tetapi sampai sekarang belum ditindaklanjuti oleh negara. Silakan cari, ada itu ‘ringkasan eksekutif tim ad hoc peristiwa 65’.” tegasnya.

    Ribka juga menyampaikan bahwa anggota Tim Ad Hoc Komnas HAM yang menyusun laporan tersebut masih hidup dan dapat dimintai keterangan apabila proses hukum memerlukan. “Ketua timnya adalah Nur Kholis, wakilnya Kabul Supriadi, dan ada juga Johny Nelson Simanjuntak serta Yosep Adi Prasetyo,” paparnya.

    Ia menilai, kesaksian tidak hanya bisa datang dari tim penyelidik Komnas HAM, namun juga dari korban penculikan era Orde Baru yang hingga kini masih hidup—termasuk yang kini berada dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto.

    “Ini kesempatan bangsa ini kembali membuka sejarah kelam yang sedang berusaha ditutup oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon,” pungkasnya. (ted)

  • Rocky Gerung Akui Soeharto Bapak Infrastruktur, Bukan Jokowi

    Rocky Gerung Akui Soeharto Bapak Infrastruktur, Bukan Jokowi

    GELORA.CO – Kiprah Presiden ke-2 RI Soeharto dalam membangun infrastruktur di Indonesia diakui pengamat politik Rocky Gerung. 

    “Tentu ada catatan jujur dari sejarah buat Presiden Soeharto sungguh melampaui semua predikat yang pernah diberikan pada semua mantan presiden dalam soal pembangunan. Apalagi kalau cuma soal infrastruktur, bukan Jokowi yang jadi bapak infrastruktur, tapi Soeharto,” kata Rocky dikutip dalam kanal YouTube pribadinya, Rabu, 12 November 2025.

    Hal ini sebagai respons Rocky secara objektif terlepas bahwa rezim Soeharto juga memiliki banyak catatan hitam. 

    “Soeharto yang membawa negeri ini ke dalam ide-ide modern sejak Orde Baru didirikan tahun 67-68. Dan hasilnya adalah Indonesia tumbuh 78 persen dan itu yang menyebabkan ekstraktif industri berhasil dialihkan menjadi sekolah inpres, menjadi jalan, menjadi irigasi, semua hal yang memungkinkan Indonesia pada waktu itu dihitung sebagai negara yang sukses,” jelasnya.

    Namun, akademisi yang dikenal kritis ini menyebut ide pembangunan Soeharto yang bertumpu pada Teori Rostow akhirnya membuat mahasiswa banyak melakukan protes. Seperti misalnya yang terjadi pada Peristiwa Malari tahun 1974 dan munculnya Gerakan Mahasiswa 1977/78.   

    “Kita tahu juga pada waktu itu mahasiswa berupaya untuk menandingi sukses itu dengan catatan-catatan ideologis bahwa kapitalisme tumbuh di bawah kendali otoriteranisme militeristik dan kita tahu trilogi pembangunan pada waktu itu adalah stabilitas politik, pembangunan ekonomi dan pemerataan,” pungkasnya.

  • Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa

    Soeharto dan Marsinah dalam Ingatan Bangsa
    Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute
    PADA
    peringatan Hari Pahlawan tahun ini, Indonesia menambah 10 nama baru dalam daftar Pahlawan Nasional. Sejak gelar itu dianugerahkan pertama kali pada 1959 hingga 2023, negeri sudah memiliki 206 orang pahlawan nasional.
    Menariknya, dari daftar 10 nama baru itu, terselip dua nama yang jalan hidupnya berseberangan dalam panggung sejarah: Soeharto dan
    Marsinah
    .
    Soeharto adalah pendiri sekaligus penguasa tertinggi rezim Orde Baru yang mengangkangi negeri ini selama 32 tahun. Sebaliknya, Marsinah adalah sosok rakyat jelata yang dibunuh secara keji oleh sistem Orde Baru.
    Bayangkan, dalam beberapa tahun ke depan, ketika pelajaran sejarah akan dituturkan kepada generasi baru, bagaimana menceritakan Soeharto dan Marsinah?
    Bisahkah kisah Marsinah, yang dibunuh secara keji pada awal Mei 1993, dituturkan tanpa menyebut Soeharto dan Orde Baru-nya?
    Marsinah, yang lahir pada 10 April 1969 di Desa Nglundo, Nganjuk, Jawa Timur, lahir dari keluarga miskin. Ia kemudian diasuh oleh nenek dan bibinya. Marsinah muda merasakan pahit-getirnya terlempar dari bangku sekolah karena biaya pendidikan.
    Marsinah adalah satu contoh dari mereka yang tersisih dari derap pembangunan era Orde Baru. Lahir dari keluarga miskin, bukan keluarga PNS atau ABRI, pilihan Marsinah untuk menaiki tangga sosial sangatlah terbatas. Pilihan yang terbuka hanya menjadi buruh pabrik.
    Awalnya, ia bekerja di pabrik sepatu bata di Surabaya. Lalu, setahun berselang, ia pindah tempat bekerja: menjadi buruh PT Catur Putra Surya (PT. CPS), pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
    Namun, ketika bekerja sebagai buruh, ia diperhadapkan dengan sistem perburuhan Orde Baru: politik upah murah, hubungan industrial Pancasila, dan pelibatan militer dalam konflik industrial (Dwi-Fungsi ABRI).
    Saat itu, upah Marsinah hanya Rp 1.700 per hari. Di tahun yang sama, harga beras adalah Rp 700/kg. Artinya, 41,18 persen upah hari buruh habis hanya untuk satu kilogram beras.
    Pada 1993, upah pekerja naik sebesar 20 persen berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur. Seharusnya upah Marsinah dan kawan-kawannya naik menjadi Rp 2.250 per hari. Namun, perusahan tempat Marsinah bekerja tak mengindahkan beleid itu.
    Situasi itulah yang membuat Marsinah dan kawan-kawannya memakai cara yang diakui oleh hukum perburuhan negara beradab: mogok kerja.
    Namun, politik perburuhan Orde Baru menekankan stabilitas di bawah panji-panji hubungan industrial Pancasila: buruh, bersama pengusaha dan pemerintah, dianggap ”satu keluarga besar” yang seharusnya hidup harmonis.
    Dalam cara pandang itu, aksi mogok dianggap sebagai tindakan yang tidak pancasilais dan tidak indonesia (Vedi Hadiz, 1998).
    Pada masa itu, untuk menegakkan politik stabilitas, termasuk menegakkan hubungan industrial Pancasila, penguasa Orde Baru melibatkan tentara. Dan itu dimungkinkan karena ada doktrin Dwifungsi ABRI.
    Pada 1986, Menteri Tenaga Kerja Sudomo mengeluarkan Keputusan Menteri 342/1986 yang mengharuskan aparat keamanan (Kodim dan Korem) terlibat dalam penyelesaian penyelesaian industrial.
    Bahkan, petugas Depnaker perlu berkoordinasi dengan Pemda, Polres dan Kodim ketika menanggulangi ancaman tindakan fisik dalam pemogokan (Rudiono, 1992: 80).
    Tahun 1990-an, ketika aksi mogok buruh mulai berkembang karena kondisi kerja yang buruk dan politik upah murah, Bakorstanas melalui Surat Keputusan Nomor 02/Satnas/XII/1990 memberi wewenang kepada militer untuk mendeteksi, mencegah, dan menekan gejolak buruh.
    Situasi itulah yang memberi pintu pada Koramil Porong dan Kodim Sidoarjo untuk bergerak mengintervensi aksi mogok yang digelar oleh Marsinah dan kawan-kawannya.
    Pada 5 Mei 1993, hari ke-3 aksi mogok kerja, sebanyak 13 buruh ditangkap dan digelandang ke Kodim Sidoarjo.
    Hari itu, Marsinah sempat mendatangi markas Kodim Sidoarjo untuk menanyakan nasib kawan-kawannya. Namun, setelah itu, keberadaan Marsinah tak diketahui lagi.
    Hingga, pada 8 Mei 1993, jenazah Marsinah ditemukan di hutan jati Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur. Sebelum meninggal, Marsinah mengalami penganiayaan dan penyiksaan super berat. Ia bahkan diperkosa sebelum dibunuh.
    Di sini jelas sekali bahwa Marsinah adalah korban dari sistem politik perburuhan Orde Baru. Dan penanggung jawab tertinggi dari sistem itu adalah Soeharto.
    Tentu saja, kita tak bisa hidup dalam situasi yang disebut oleh Paul Ricœur (2000) sebagai ”ingatan berlebihan”, yang membuat kita hanya berkutak dengan masa lalu dan tak berusaha mencari jalan keluar untuk menatap masa depan.
    Namun, ingatan bangsa tak boleh mengabaikan ”luka sejarah” atau ”memoria passionis” tetap menjadi luka yang menganga dan tak tersembuhkan.
    Di sini, Ricœur (2000) menawarkan dua jalan. Pertama, narasi sejarah yang benar, berpijak pada fakta-fakta yang bisa diuji secara ilmiah, sebagai jalan mengubur hantu-hantu masa lalu.
    Pemahaman sejarah yang benar akan menuntun kita untuk tidak mengulang kesalahan yang sama di masa depan.
    Kedua, pemulihan keadilan dengan meruntuhkan tembok impunitas dan pengakuan bersalah dari pelaku. Tanpa keduanya, rekonsoliasi nasional hanya ”kosmetik politik” dan proyek politik yang rapuh.
    Namun, keputusan mengangkat Marsinah bersanding dengan Soeharto justru berusaha menyusun ingatan bangsa dalam narasi sejarah yang bermasalah, mempertebal impunitas, dan memperlebar luka sejarah yang belum tersembuhkan.
    Tanpa narasi sejarah yang benar, Marsinah adalah korban politik perburuhan dan doktrin Dwifungsi ABRI era Orde Baru, bangsa ini tidak pernah belajar dari masa lalu.
    Dan seperti dikatakan penulis Spanyol, George Santayana, ”mereka yang tak mengingat masa lalu dikutuk untuk mengulanginya.”
    Selain itu, mengangkat Soeharto sebagai pahlawan, tokoh yang bertanggung-jawab terhadap banyak kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, hanya mempertebal tembok impunitias dan membuka luka sejarah semakin menganga.
    Kasus pembunuhan Marsinah, yang terjadi pada 32 tahun yang lampau, sampai sekarang belum terang-benderang. Saat itu, ada sembilan orang ditangkap, yang sebagian besar petinggi PT CPS dan Satpam.
    Pada tingkat kasasi, keputusan Mahkamah Agung mememutuskan para tersangka bebas murni karena tak terbukti membunuh Marsinah. Dalam kesaksiannya, para tersangka mengaku disiksa oleh aparat militer setempat untuk mengaku sebagai pembunuh Marsinah.
    Padahal, dari kronologi hingga temuan forensik, ada peran aparat yang sangat besar dalam kasus tersebut.
    Abdul Mun’im Idries, seorang saksi ahli yang menuliskan temuannya dalam Indonesian X-Files (2013), penyebab kematian Marsinah bukan karena sodokan balok tumpul, melainkan senjata api yang ditembakkan ke rongga kemaluan dan menghancurkan tulang di sekelilingnya.
    Padahal, Ricœur mengingatkan, ingatan kolektif bukan sekadar mengingat beberapa potongan kejadian di masa lalu, tetapi ingatan yang menagih agar kejahatan masa lalu diselesaikan secara adil.
    ”Setiap orang berhak atas keadilan, bahkan ketika ia sudah tiada,” kata Ricœur.
    Tentu saja, keputusan mengangkat Soeharto sebagai pahlawan tak hanya melukai rasa keadilan bagi Marsinah, tapi juga membuat luka
    memoria passionis
    yang diderita oleh mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dari peristiwa 1965 hingga peristiwa Mei 1998, semakin mengangaga.
    Sebagai bangsa, ia hanya mempertebal ingatan kelam kita pada kebijakan pembangunan yang sentralistik (bertumpu di Jawa), politik pembangunan
    top-down
    yang menggilas rakyat jelata atas nama pembangunan, kapitalisme kroni, praktik KKN yang dianggap lumrah, budaya asal bapak senang (ABS), dan pembungkaman kebebasan berserikat dan berpendapat.
    Akhirnya, ingatan bangsa tak membuat kita melangkah maju, tetapi hanya berkutat dalam pertempuran masa lalu.
    Sebab, ada tagihan masa lalu, dalam hal ini pengungkapan kebenaran dan tegaknya keadilan, yang belum dibayar tunai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kata Zulhas 28 Tahun Ekonomi RI Terlalu Liberal, Prabowo Mau Luruskan

    Kata Zulhas 28 Tahun Ekonomi RI Terlalu Liberal, Prabowo Mau Luruskan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas, menilai bahwa selama hampir tiga dekade terakhir, arah pembangunan ekonomi Indonesia telah menyimpang dari cita-cita awal kemerdekaan. Ia menyebut masa reformasi membuat Indonesia terlalu bergantung pada pasar bebas dan impor. Padahal pada zaman orde baru di Bawah rezim Soeharto impor pakan bisa ditekan.

    “Bapak-bapak tahu, 28 tahun memang kita ini dirusak betul-betul. Saya berani katakan melalui yang pahamnya kurang lah, saya berani katakan itu. Sekarang kita impor gandum 13 juta ton per tahun, pakan kita pindah ke gandum, kita nggak bisa bikin, kita nggak bisa tanam. Kita impor gula 6 juta, kita impor kedelai 3 juta, dulu Pak Harto bisa produksi kedelai 2 juta per tahun. Kita impor garam 2,8 juta, kita impor jagung 3 juta, kita impor beras tahun lalu 4,5 juta,” kata Zulhas pada Hari Ritel Nasional, Selasa (11/11/2025).

    Ia menyoroti kondisi sektor pangan dan industri dalam negeri yang kini banyak bergantung pada impor. Menurutnya, kondisi ini membuat ekonomi nasional rapuh dan mudah dipengaruhi modal asing.

    “Kita mau gagal dari mana? Ritel mau gagal dari mana, wong hasil di ritel dari impor semua. Apalagi minyak, minyak produksi turun terus, 70-80% kita impor semua,” ujarnya.

    Situasi ini merupakan dampak dari sistem ekonomi pasar bebas dan politik liberal yang berjalan selama 28 tahun terakhir.

    “Kita udah 28 tahun reformasi, semua yang kita lakukan itu ekonomi pasar bebas, politik sangat liberal. Tentu kalau pasar bebas, politiknya liberal, pasti semua akan dipengaruhi oleh modal, dan sebagainya, neolib dan lain-lain. Modal segalanya, karena kita pasar bebas, itu 28 tahun,” jelasnya.

    Namun, Zulhas mengatakan bahwa arah kebijakan ekonomi kini mulai dikoreksi setelah terpilihnya Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, perubahan ini menjadi langkah besar untuk mengembalikan Indonesia pada prinsip ekonomi Pancasila.

    “Setelah Pak Prabowo terpilih, ini dikoreksi. Karena itu kebijakan mendasar, besar, luas, dan berdampak signifikan. Karenanya nggak mudah. Saya perlu jelaskan karena perlu dipahami, nggak separuh-separuh nanti paham salah atau salah paham,” tegasnya.

    Ia juga meminta masyarakat memahami bahwa perubahan besar seperti ini membutuhkan waktu dan proses penyesuaian. Melalui koreksi kebijakan ini, Zulhas optimistis Indonesia bisa kembali menjadi negara yang berdaulat secara ekonomi dan berpihak pada kepentingan rakyat, bukan semata pada kekuatan modal.

    “Karenanya, koreksi kebijakan yang sangat liberal itu hari-hari ini mungkin seperti orang baru ganti sesuatu, ada sedikit-sedikit perubahan, mungkin kerasa, mungkin ada oleng dikit, mungkin bertanya-tanya,” ujar Zulhas.

    Lebih lanjut, arah kebijakan baru di bawah pemerintahan Prabowo diklaim akan menyesuaikan diri dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang berlandaskan keadilan sosial dan gotong royong.

    “Pertama ingin kebijakan disesuaikan, diluruskan sesuai cita-cita Indonesia merdeka. Harus seiring sejalan, nggak bisa lari dari cita-cita Indonesia merdeka, kesepakatan waktu kita merdeka. Ada UUD, ekonomi Pancasila, kesetaraan, keadilan, kebersamaan, gotong royong – itu prinsip dasar. Karena itu negara mesti kuat,” pungkasnya.

    (fys/wur)

    [Gambas:Video CNBC]