Event: Rezim Orde Baru

  • Natalius Pigai Sebut RI Tak Mungkin Kembali ke Orba Fedi Nuril: Sulit untuk Tidak Khawatir

    Natalius Pigai Sebut RI Tak Mungkin Kembali ke Orba Fedi Nuril: Sulit untuk Tidak Khawatir

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai, mengungkapkan Indonesia tidak mungkin kembali ke sistem militerisme dan otoritarianisme seperti yang terjadi di masa orde baru.

    Natalius Pigai dengan tegas mengatakan hal ini tidak mungkin dan tidak mungkin bisa terjadi.

    “Kalau militerisasi, kembali seperti nuansa orde baru, saya katakan sangat tidak mungkin. Tidak mungkin,” ujar Pigai

    Ia menyebut beberapa alasan yang membuat hal ini mustahil terjadi.

    Diantaranya, para menteri yang ada dalam kabinet Presiden Prabowo Subianto beberapa di antaranya berasal dari kalangan aktivis yang memperjuangkan reformasi.

    “Hampir lebih dari 30 persen wakil menteri adalah aktivis civil society yang pernah jatuh bangun membangun peradaban demokrasi dengan cara reformasi,” ungkap Pigai.

    “Saya, Agus Jabo, Budiman Sudjatmiko, Nezar Patria, coba cek semua wamen adalah kelompok-kelompok civil society,” tuturnya.

    Karena pernyataannya itulah, Artis Kondang sekaligus pemain Film, Fedi Nuril menyoroti.

    Melalui cuitan di akun X pribadinya, Fedi Nuril menyebut atasanya adalah jebolan orde baru.

    Karena hal itulah Fedi mengaku begitu sulit untuk tidak khawatir.

    “Kepada Bapak @NataliusPigai2,” tulisnya dikutip Kamis (13/3/2025).

    “30% Wamen dijabat aktivis, tapi presidennya (atasan Wamen) jebolan Orde Baru. Sulit untuk tidak khawatir,” tuturnya.

    (Erfyansyah/fajar)

  • Ketua Komisi I DPR Tegaskan Revisi UU TNI Tidak Akan Kembalikan Dwifungsi ABRI – Halaman all

    Ketua Komisi I DPR Tegaskan Revisi UU TNI Tidak Akan Kembalikan Dwifungsi ABRI – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Komisi I DPR RI Fraksi PDIP Utut Adianto menegaskan, bahwa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) tidak akan mengembalikan peran Dwifungsi ABRI yang berlaku pada masa Orde Baru (Orba).

    Hal ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap kekhawatiran sejumlah pihak, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menganggap bahwa revisi UU TNI berpotensi membawa kembali dwifungsi ABRI.

    “Beberapa teman-teman dari LSM, seperti Setara dan Imparsial, sudah kami undang untuk berdiskusi. Mereka khawatir bahwa dwifungsi ABRI akan kembali seperti masa Orba. Namun, menurut saya, hal tersebut bisa dibatasi melalui undang-undang yang ada,” kata Utut di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (13/3/2025).

    Utut menambahkan bahwa perubahan sejarah tidak bisa diputar balik, seperti halnya di negara-negara lain yang pernah mengalami perubahan sistem politik.

    Dia juga memberi contoh negara-negara yang tidak dapat kembali ke sistem politik yang telah berubah.

    “Saya minta maaf, saya lebih tua dari adik-adik sekalian, dan tidak ada yang bisa mengembalikan jarum jam. Seperti di Soviet, meskipun yang tua-tua masih ingin kembali ke komunisme, itu tidak mungkin terjadi,” ucap Utut.

    Terkait pembahasan revisi UU TNI, Utut menyebutkan bahwa perdebatan tentang perubahan tersebut akan dilanjutkan dalam rapat Panitia Kerja (Panja) yang rencananya digelar pada besok.

    Saat ditanya soal target penyelesaian revisi ini sebelum masa reses, seperti yang diusulkan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Utut menekankan pentingnya pembahasan yang cermat dan mendalam.

    “Jika kita mengerjakan undang-undang, kita harus teliti, mulai dari konsep dasar. Misalnya, usia pensiun yang berkaitan dengan keuangan negara,” ucapnya.

    Utut juga menyampaikan tanggapannya mengenai wacana penambahan lima jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit TNI aktif.

    Dia menjelaskan bahwa secara praktis, baru satu jabatan yang benar-benar diisi, yaitu di sektor kelautan dan perikanan.

    Sementara itu, jabatan lainnya, seperti yang ada di Bakamla dan BNPB, sudah lama diisi oleh personel TNI.

    Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menegaskan komitmen TNI untuk menjaga supremasi sipil dalam pengaturan penempatan prajurit TNI aktif di jabatan publik di luar bidang pertahanan.

    Penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga negara adalah salah satu poin yang akan mengalami penyesuaian dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

    Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR RI pada Kamis (13/3/2025).

    “Dalam menghadapi ancaman non-militer, TNI menerapkan konsep penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga di luar bidang pertahanan. Namun, prinsip supremasi sipil tetap menjadi elemen fundamental yang harus dijaga dalam negara demokrasi, dengan memastikan pemisahan yang jelas antara militer dan sipil,” kata Agus di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

  • Pernyataan KSAD dan Menteri HAM Soal Kontroversi Prajurit TNI Isi Jabatan Sipil

    Pernyataan KSAD dan Menteri HAM Soal Kontroversi Prajurit TNI Isi Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA – Isu tentang TNI aktif di kementerian atau lembaga sipil memicu banyak komentar. Ada yang mengaitkannya dengan dwifungsi ABRI, doktrin militer yang pernah hidup di era Orde Lama dan Orde Baru.

    Panglima TNI telah menegaskan prajurit entah itu perwira atau siapapun, yang mengisi jabatan institusi sipil wajib mengundurkan diri.

    Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengatur: “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,”. 

    Meski demikian, pada ayat (2) diatur bahwa prajurit aktif dapat menduduki sejumlah jabatan sipil tetapi terbatas. 

    Perinciannya adalah kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

    Adapun isu tentang TNI mengisi jabatan sipil terjadi di tengah upaya pemerintah dan DPR untuk mengamandemen Undang-undang TNI. Ada banyak substansi dalam amandemen tersebut, termasuk soal perluasan institusi sipil yang bisa diduduki militer hingga usia pensiun militer. 

    Komentar KSAD 

    Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengemukakan bahwa TNI AD akan tunduk pada hasil akhir dari pembahasan revisi Undang-Undang TNI yang sedang bergulir di DPR.

    “Kalau nanti keputusannya seperti itu, ya kami ikut. Kami akan loyal seratus persen dengan keputusan,” kata Maruli dilansir dari Antara.

    Menurut Maruli, ketakutan yang dibangun di tengah masyarakat akan kembalinya Indonesia ke masa dwifungsi ABRI era Orde Baru terlalu berlebihan.

    “Jadi tidak usah ramai bikin ribut di media, ini itu lah, orde baru lah. Menurut saya itu pemikiran yang tidak baik,” tegas Maruli. 

    Maruli menilai isu-isu tersebut terkesan menyerang institusi TNI AD sehingga membuat persepsi masyarakat akan jajarannya memburuk.

    Menurut Maruli, selama ini seluruh perwira aktif yang masuk ke institusi sipil memiliki latar belakang prestasi yang baik dan sesuai dengan institusi sipil terkait.

    Maruli melanjutkan, mereka juga telah melalui prosedur seleksi yang semestinya sehingga dianggap layak untuk menempati jabatan-jabatan di posisi instansi sipil tersebut.

    “Kami melihat anggota anggota TNI AD punya potensi, silahkan didiskusikan, apakah kami boleh mendaftar atau ada sidangnya atau ditentukan oleh Presiden, silahkan saja. Tapi jangan menyerang institusi,” kata Maruli.

    Maruli meyakini perwira TNI yang saat ini menempati jabatan sipil telah mengemban tanggung jawabnya dengan baik.

    Komentar Menteri HAM

    Menteri Hak Asasi Manusia mendukung pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subianto yang akan memastikan prajurit aktif yang kini menjabat di instansi dan lembaga lain harus pensiun diri atau mengundurkan diri.

    “Ikuti saja apa yang disampaikan oleh panglima TNI dengan kepala staf angkatan darat,” ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Kamis (13/3/2025). 

    Meski demikian, Pigai hanya tersenyum ketiga ditanya mengenai status Direktur Utama Bulog, Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya yang juga menjabat sebagai Danjen Akademi TNI.

  • Anggota DPR: TNI isi jabatan sipil harus disertai pembatasan ketat

    Anggota DPR: TNI isi jabatan sipil harus disertai pembatasan ketat

    Penempatan prajurit TNI di ranah sipil harus tetap melalui pembahasan dan pertimbangan yang matang agar masyarakat tidak antipati dengan TNI.

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi I DPR RI Syamsu Rizal mengemukakan bahwa wacana perluasan ruang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil melalui revisi Undang-Undang (UU) TNI harus disertai dengan pembatasan yang ketat.

    Penempatan individu dalam suatu jabatan, kata dia, idealnya didasarkan prinsip meritokrasi. Selain itu, perlu ada analisis kebutuhan bagi suatu unit jabatan yang memiliki kualifikasi tertentu.

    “Fungsi TNI sebagai garda depan pertahanan negara. Jangan sampai peran itu tumpang tindih dengan profesionalisme di ranah sipil,” kata Syamsu Rizal di Jakarta, Rabu.

    Syamsu mengutarakan bahwa analisis kebutuhan tersebut bisa menjadi landasan jika prajurit TNI hendak menduduki jabatan sipil dan mendapat persetujuan dari Presiden.

    Dengan adanya landasan, menurut dia, pengisian jabatan sipil oleh prajurit TNI tidak terkesan berorientasi “bagi-bagi jabatan”, tetapi harus menjadi semangat pengabdian.

    Di samping itu, dia mengatakan bahwa upaya menjaga keseimbangan antara optimalisasi peran TNI dan prinsip supremasi sipil sangat penting dalam menghadapi wacana perluasan penempatan prajurit TNI pada jabatan sipil.

    “Penempatan prajurit TNI di ranah sipil harus tetap melalui pembahasan dan pertimbangan yang matang agar masyarakat tidak antipati dengan TNI,” kata dia.

    Wakil rakyat yang berada di komisi yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, dan intelijen ini mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 34 tentang TNI yang masih berlaku saat ini pun sudah mengamanatkan agar TNI yang menduduki jabatan sipil harus memiliki syarat kompetensi dan transparansi seleksi yang terukur.

    Mekanisme seleksinya pun, kata dia, perlu melibatkan tim verifikasi independen guna menghindari praktik nepotisme atau intervensi politik.

    “Pembahasan ini harus dengan hati-hati untuk mempertahankan kesatuan dan keutuhan bangsa. Bagaimanapun jangan melupakan esensi reformasi TNI pasca-Orde Baru,” katanya.

    Sebelumnya, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin mengusulkan agar 15 kementerian/lembaga bisa diisi oleh prajurit TNI aktif, dalam pembahasan revisi UU TNI bersama Komisi I DPR pada hari Selasa (11/3). Dalam undang-undang yang masih berlaku, hanya ada 10 bidang atau institusi yang bisa diisi oleh prajurit TNI aktif.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • KSAD pastikan TNI AD tunduk pada hasil pembahasan revisi UU TNI

    KSAD pastikan TNI AD tunduk pada hasil pembahasan revisi UU TNI

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak memastikan jajarannya akan tunduk pada hasil akhir dari pembahasan revisi Undang-Undang TNI yang sedang bergulir di DPR.

    “Kalau nanti keputusannya seperti itu, ya kami ikut. Kami akan loyal seratus persen dengan keputusan,” kata Maruli dalam siaran pers TNI AD kala mengunjungi Baturaja, Sumatera Selatan, Rabu.

    Pernyataan tersebut dilontarkan Maruli untuk merespons polemik yang terjadi di publik terkait beberapa poin revisi UU TNI seperti penambahan usia pensiun perwira TNI hingga prajurit aktif yang boleh masuk ke instansi pemerintahan.

    Menurut Maruli, masyarakat tidak perlu berpolemik soal kebijakan penambahan usia pensiun. Pasalnya poin tersebut masih dibahas di tingkat DPR dan belum menjadi UU yang mengikat.

    Selain itu, masyarakat melalui perwakilannya di DPR juga berhak mengkritisi poin di RUU TNI soal penambahan usia pensiun tersebut.

    “Silahkan saja nanti bagaimana kebijakan negara,” kata Maruli.

    Hal yang sama, lanjut Maruli, juga berlaku untuk poin soal jabatan sipil yang bisa dimasuki perwira aktif TNI.

    Menurut Maruli, ketakutan yang dibangun di tengah masyarakat akan kembalinya Indonesia ke masa dwi fungsi ABRI era orde baru terlalu berlebihan.

    “Jadi tidak usah ramai bikin ribut di media, ini itu lah, orde baru lah. Menurut saya itu pemikiran yang tidak baik,” tegas Maruli.

    Maruli menilai isu-isu tersebut terkesan menyerang institusi TNI AD sehingga membuat persepsi masyarakat akan jajarannya memburuk.

    Menurut Maruli, selama ini seluruh perwira aktif yang masuk ke institusi sipil memiliki latar belakang prestasi yang baik dan sesuai dengan institusi sipil terkait.

    Maruli melanjutkan, mereka juga telah melalui prosedur seleksi yang semestinya sehingga dianggap layak untuk menempati jabatan-jabatan di posisi instansi sipil tersebut.

    “Kami melihat anggota anggota TNI AD punya potensi, silahkan didiskusikan, apakah kami boleh mendaftar atau ada sidangnya atau ditentukan oleh Presiden, silahkan saja. Tapi jangan menyerang institusi,” kata Maruli.

    Maruli meyakini perwira TNI yang saat ini menempati jabatan sipil telah mengemban tanggung jawabnya dengan baik.

    Lebih lanjut, Maruli berharap proses rapat soal revisi UU TNI yang sedang dibahas di DPR dapat menghasilkan undang-undang yang tepat untuk menjawab kebutuhan bangsa.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Rangga Pandu Asmara Jingga
    Copyright © ANTARA 2025

  • Soal TNI Duduki Jabatan Sipil, KSAD: Tak Usah Ribut Kanan-Kiri, Kayak Kurang Kerjaan

    Soal TNI Duduki Jabatan Sipil, KSAD: Tak Usah Ribut Kanan-Kiri, Kayak Kurang Kerjaan

    Soal TNI Duduki Jabatan Sipil, KSAD: Tak Usah Ribut Kanan-Kiri, Kayak Kurang Kerjaan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal
    TNI

    Maruli Simanjuntak
    meminta agar penempatan perwira atau prajurit TNI aktif pada jabatan sipil yang dibahas dalam revisi Undang-Undang TNI tidak perlu didebatkan secara berlebihan.
    Maruli mengatakan, publik dapat mengikuti proses
    revisi UU TNI
    dan TNI akan selalu patuh pada keputusan negara dan mengikuti aturan yang berlaku.
    “Silakan saja didiskusikan, apakah tentara harus alih status, apakah tentara harus pensiun? Jadi tidak usah diperdebatkan seperti ribut kanan, kiri, ke depan, kayak kurang kerjaan,” kata Maruli dalam keterangannya, Rabu (12/3/2025).
    “Nanti kan ada forumnya, kita bisa diskusikan. Kalau nanti keputusannya seperti itu, ya kami ikut. Kami (TNI AD) akan loyal seratus persen dengan keputusan,” ujar dia.
    KSAD pun heran karena isu tersebut dianggap bakal mengembalikan TNI seperti era pemerintahan Orde Baru
    “Menurut saya, otak-otak (pemikiran) seperti ini, kampungan menurut saya,” ujar dia.
    Maruli pun menuding bahwa pihak-pihak yang mempersoalkan penempatan TNI pada jabatan sipil justru ingin menyerang institusi TNI.
    Sebab, menurut dia, ada institusi lain yang personelnya ditempatkan di sejumlah kementerian, tetapi tidak dipersoalkan.
    “Ini orang waktu ada salah satu institusi masuk ke semua Kementrian, ga ribut gitu loh, apakah dia bekerja di institusi itu? nah ini perlu media media tanggap seperti itu, apakah agen asing kah atau apa?” kata Maruli.
    “Kita enggak ribut, karena kami melihat anggota-anggota TNI AD punya potensi, silakan didiskusikan, apakah kami boleh mendaftar atau ada sidangnya atau ditentukan oleh Presiden, silakan saja, tapi jangan menyerang institusi,” ujar dia menegaskan.
    Penempatan prajurit aktif di jabatan sipil kembali menjadi perbincangan seiring proses pembahasan revisi Undang-Undang TNI oleh DPR dan pemerintah.
    UU TNI yang berlaku saat ini mengatur bahwa prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
    Revisi UU TNI
    berencana memperluas kementerian/lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit aktif, dari 10 kementerian/lembaga menjadi 15 kementerian/lembaga.
    Merujuk pada revisi UU TNI, ada tambahan lima kementerian/lembaga, yakni Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pigai: Mustahil Indonesia Kembali ke Era Militerisasi seperti Orba

    Pigai: Mustahil Indonesia Kembali ke Era Militerisasi seperti Orba

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan Indonesia tidak akan kembali ke zaman militerisasi atau otoritarianisme seperti pada masa Orde Baru. 

    Menurutnya, pemerintahan saat ini tetap berpegang teguh pada prinsip demokrasi dan supremasi sipil.

    “Dalam pemerintahan saat ini, mustahil bagi militerisasi untuk kembali. Pemerintah ini adalah pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis,” ujar Natalius Pigai dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (11/3/2025).

    Pigai menyinggung banyak mantan aktivis yang sebelumnya berjuang untuk demokrasi dan HAM di Indonesia sekarang sudah masuk dalam jajaran kabinet pemerintahan Prabowo Subianto.

    “Lebih dari 30% wakil menteri adalah aktivis civil society yang pernah berjuang untuk reformasi,” ujarnya.

    Untuk mencegah terjadinya militerisasi, Pigai menegaskan pemerintah memiliki 17 program prioritas yang berorientasi pada hak asasi manusia, termasuk kebebasan pers, dan kebebasan berekspresi. 

    Pigai juga mengatakan salah satu komitmen kuat Presiden Prabowo Subianto dalam melindungi hak-hak sipil adalah membentuk Kementerian HAM. Indonesia satu dari empat negara di dunia yang memiliki Kementerian HAM.

    “Kalau ada yang mengatakan bahwa Indonesia akan kembali ke masa otoritarian, itu hanyalah asumsi yang tidak berdasar. Kami berkomitmen menjaga nilai-nilai demokrasi,” katanya.

    Dengan pernyataan ini, Pigai berharap masyarakat dapat memahami pemerintahan Prabowo tetap berada dalam jalur demokrasi dan tidak akan kembali ke praktik militerisasi seperti di masa Orde Baru.

  • Golkar Tak Masalah TNI Aktif di Jabatan Sipil, Dandhy Laksono Beri Komentar Menohok: Juara Partai Paling Korup

    Golkar Tak Masalah TNI Aktif di Jabatan Sipil, Dandhy Laksono Beri Komentar Menohok: Juara Partai Paling Korup

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Sutradara film Dirty Vote, Dandhy Laksono, mengkritik sikap Partai Golkar yang menyatakan tidak keberatan jika perwira TNI aktif menduduki jabatan sipil.

    Dikatakan Dandhy, hal ini mengingatkan pada masa Orde Baru, di mana militer memiliki peran dominan dalam pemerintahan.

    “Ada tiga pilar pendukung diktator korup Soeharto yang membuatnya berkuasa 32 tahun (6 periode),” ujar Dandhy di X @Dandhy_Laksono (12/3/2025).

    Dandhy menyinggung sejarah panjang Golkar yang disebut sebagai bagian dari tiga pilar utama pendukung rezim Soeharto.

    “ABRI, Birokrat, dan Golkar (ABG). Waspada, bahaya laten Orde Baru,” Dandhy menuturkan.

    Lebih lanjut, ia juga menyoroti rekam jejak Golkar dalam dunia politik Indonesia pasca-Reformasi.

    “Dari Pemilu 2014 sampai 2024, juara partai paling korup tetap Golkar,” tandasnya.

    Sekadar diketahui, sebuah diagram yang beredar di media sosial menampilkan daftar partai politik dengan jumlah kasus korupsi terbanyak dalam rentang waktu 2014 hingga 2017.

    Dalam data tersebut, Partai Golkar tercatat sebagai partai dengan jumlah kasus korupsi tertinggi, diikuti oleh PDIP dan Partai Demokrat.

    Berdasarkan diagram tersebut, Partai Golkar memiliki kasus korupsi yang tercatat setiap tahun dari 2014 hingga 2017, dengan total kasus mencapai sembilan.

    Sementara itu, PDIP dan Partai Demokrat masing-masing menempati posisi kedua dan ketiga, dengan jumlah kasus yang signifikan pada periode yang sama.

    Selain tiga partai besar tersebut, beberapa partai lain juga masuk dalam daftar, seperti PAN, PPP, NasDem, Hanura, Gerindra, PKS, dan PKB.

  • Menteri HAM tegaskan militerisme sangat tidak mungkin terjadi saat ini

    Menteri HAM tegaskan militerisme sangat tidak mungkin terjadi saat ini

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menegaskan bahwa militerisme seperti pada masa Orde Baru sangat tidak mungkin terjadi saat ini.

    “Kenapa tidak mungkin? Karena pemerintah sekarang adalah pemerintah sipil,” kata Pigai dalam konferensi pers di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (11/3).

    Ia menjelaskan bahwa pemerintahan sipil berkaitan dengan Presiden Prabowo Subianto yang mendirikan partai politik, yang pada Pemilu 2024 menjadi salah satu peraih suara terbanyak melalui proses demokrasi.

    “Presiden Prabowo Subianto juga terpilih melalui proses demokrasi. Ada dinamika right to vote (hak untuk memilih), ada dinamika right to take a part of government (hak untuk dipilih),” ujarnya.

    Selain itu, Pigai menjelaskan bahwa sebanyak 30 persen jajaran Kabinet Merah Putih merupakan aktivis organisasi kemasyarakatan sipil yang pernah jatuh bangun membangun demokrasi, HAM, dan reformasi di tanah air.

    Menurut ia, pemerintahan Presiden Prabowo melalui misi Astacita turut mengedepankan demokrasi dan hak asasi manusia.

    “Program-program prioritas pemerintah yang berjumlah 17, nilainya adalah nilai-nilai hak asasi manusia, termasuk kebebasan ekspresi, kebebasan pers,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, Menteri HAM menegaskan bahwa sangat tidak mungkin sistem militerisme maupun otoritarianisme akan hidup kembali di Indonesia.

    “Salah satu wujud nyata menghadirkan iklim demokrasi dan HAM bangsa ini adalah menghadirkan Kementerian HAM. Indonesia adalah satu dari empat negara di dunia yang punya Kementerian Hak Asasi Manusia,” katanya menambahkan.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Awal Mula THR dan Bagaimana Bisa Menjadi Kewajiban untuk Pekerja

    Awal Mula THR dan Bagaimana Bisa Menjadi Kewajiban untuk Pekerja

    Jakarta, Beritasatu.com – Tunjangan hari raya (THR) Idulfitri menjadi momen yang dinantikan oleh pekerja setiap tahunnya. Sebagai bentuk apresiasi dari perusahaan, THR menjadi tambahan penghasilan yang membantu memenuhi kebutuhan hari raya, seperti belanja kebutuhan pokok dan persiapan mudik.

    Namun, bagaimana awal mula THR menjadi kewajiban bagi pekerja? Berikut ini sejarahnya.

    Awal Mula THR

    Pada 1951, Presiden Soekarno meresmikan Kabinet Sukiman di bawah Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo yang berasal dari Partai Masyumi, partai Islam terbesar pada masa itu. Dalam kabinet ini, muncul kebijakan pegawai negeri sipil (PNS) yang saat itu disebut Pamong Praja berhak menerima tunjangan menjelang Idulfitri.

    Saat itu, THR dikenal dengan istilah “Persekot Lebaran” yang berarti uang yang dibayarkan di muka. Namun, kebijakan ini hanya berlaku bagi PNS, sehingga buruh swasta merasa tidak mendapatkan keadilan.

    Perjuangan Buruh Swasta Mendapatkan THR

    Pada 13 Februari 1952, buruh swasta menggelar aksi mogok kerja untuk menuntut hak yang sama dalam menerima Persekot Lebaran. Setelah dua tahun memperjuangkan hak mereka, akhirnya tuntutan ini mulai mendapat perhatian pemerintah.

    Pada 1954, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri SM Abidin, pemerintah mengeluarkan surat edaran yang mengimbau perusahaan untuk memberikan hadiah lebaran kepada buruh dengan nilai 1/12 dari upah mereka.

    Namun, karena sifatnya hanya imbauan, buruh masih merasa kebijakan ini belum cukup dan kembali melakukan protes agar pemberian THR menjadi kewajiban perusahaan.

    THR Menjadi Kewajiban

    Tuntutan para buruh akhirnya dikabulkan pada era Demokrasi Terpimpin. Menteri ketenagakerjaan saat itu, Ahem Erningpraja, mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan 1961 yang menetapkan hadiah lebaran wajib diberikan kepada buruh yang telah bekerja minimal tiga bulan.

    Kebijakan ini terus diterapkan hingga masa Orde Baru. Pada 1994, saat Menteri tenaga kerja dijabat oleh Abdul Latief, istilah “tunjangan hari raya” atau THR mulai diperkenalkan secara resmi melalui peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Tenaga Kerja.

    Inisiatif Pemerintah sebelum THR

    Sebenarnya, upaya pemerintah untuk memberikan kesejahteraan menjelang Idulfitri telah dimulai sejak 1950, setahun sebelum Kabinet Sukiman memperkenalkan kebijakan THR.

    Berdasarkan laporan koran Kedaulatan Rakyat edisi 18 Juli 1950 yang berjudul “Idul Fitri Lebih Menggembirakan dari yang Sudah-sudah”, Pemerintah Indonesia melalui kantor Perwakilan Republik Indonesia Serikat (RIS) di New York mengumumkan mereka membagikan tekstil kepada sekitar 80 juta penduduk.

    Penerima bantuan ini tidak hanya umat muslim, tetapi juga pemeluk agama lain. Kebijakan tersebut menunjukkan sejak awal, pemerintah telah berusaha memberikan kebahagiaan kepada masyarakat menjelang perayaan Idulfitri yang mana THR tidak hanya berupa uang.