Event: Rezim Orde Baru

  • Kritik DPR Soal Revisi UU TNI, Anas Urbaningrum: Tidak Perlu Terlalu Terburu-buru dan Terkesan Tertutup

    Kritik DPR Soal Revisi UU TNI, Anas Urbaningrum: Tidak Perlu Terlalu Terburu-buru dan Terkesan Tertutup

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Anas Urbaningrum menyampaikan urun Rembug Tentang Revisi UU TNI. 

    Dia menyarankan agar tidak apriori dengan revisi UU TNI. Tidak perlu berburuk sangka dengan revisi atau perbaikan atau penyempurnaan UU TNI untuk disesuaikan dengan perkembangan keadaan dan tantangan baru. 

    “Jangan pula serta-merta menjatuhkan vonis akan mengembalikan Dwifungsi dan atau langkah mundur ke zaman Orde Baru,” kata Anas Urbaningrum melalui akun X pribadiny dikutip Senin, (17/3/2025). 

    Mantan Ketua Umum Partai Demokrat ini mengatakan, Pemerintah dan DPR juga jangan apriori dengan pendapat publik. Jangan menutup diri terhadap diskusi publik. Justru perlu sungguh-sungguh meminta pandangan atau pendapat masyarakat. 

    “Sebab itu, tidak perlu terlalu terburu-buru dan terkesan tertutup. UU TNI dan dan kelak UU TNI baru hasil revisi haruslah milik seluruh rakyat, milik seluruh anak bangsa, milik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan hanya milik Pemerintah, DPR dan TNI,” ujarnya. 

    Dia menegaskan bahwa TNI adalah tentara rakyat. Sejarahnya yang “self created army” dan perjalanan panjang perjuangannya adalah bukti bahwa TNI adalah tentara rakyat. Tidak boleh berjarak dengan rakyat, apalagi terpisah dari rakyat. 

    Dengan sengaja dan terbuka melibatkan pemikiran lanjutnya, gagasan dan masukan publik adalah pilihan yang terbaik. Public hearing yang subtantif adalah kelaziman di dalam pembentukan atau revisi UU. Para ahli dari berbagai perspektif penting diminta pandangan dan pendapatnya. 

  • 68 Perwira Dimutasi, Dirut Bulog Mayjen Novi jadi Staf Khusus Panglima TNI

    68 Perwira Dimutasi, Dirut Bulog Mayjen Novi jadi Staf Khusus Panglima TNI

    Bisnis.com, JAKARTA — Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya dimutasi dari Danjen Akademi TNI menjadi Staf Khusus Panglima TNI untuk penugasan sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum (Perum) Bulog. 

    Mutasi Novi sendiri tertuang dalam Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/333/III/2025 tanggal 14 Maret 2025, mengenai pemberhentian dan pengangkatan dalam jabatan di tubuh TNI. 

    “Rotasi dan mutasi ini telah ditetapkan oleh Panglima TNI, sebanyak 86 Perwira Tinggi (Pati) dari 53 Pati TNI AD, 12 Pati TNI AL, dan 21 Pati TNI AU,” ucap Kapuspen TNI Mayjen Hariyanto dalam pernyataannya di Markas Besar TNI pada Minggu (16/3/2025).

    Mutasi ini terjadi setelah sebelumnya nama Novi sempat ramai dibicarakan terkait isu tentang TNI aktif di kementerian atau lembaga sipil, yang memicu banyak komentar.

    Panglima TNI telah menegaskan prajurit entah itu perwira atau siapapun, yang mengisi jabatan institusi sipil wajib mengundurkan diri. 

    Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 47 ayat (1) UU TNI yang mengatur: “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan,”. 

    Meski demikian, pada ayat (2) diatur bahwa prajurit aktif dapat menduduki sejumlah jabatan sipil tetapi terbatas. 

    Kepala Staf TNI AD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak mengemukakan bahwa TNI AD akan tunduk pada hasil akhir dari pembahasan revisi Undang-Undang TNI yang sedang bergulir di DPR.

    “Kalau nanti keputusannya seperti itu, ya kami ikut. Kami akan loyal seratus persen dengan keputusan,” kata Maruli dilansir dari Antara.

    Menurut Maruli, ketakutan yang dibangun di tengah masyarakat akan kembalinya Indonesia ke masa dwifungsi ABRI era Orde Baru terlalu berlebihan.

    Kemudian,  Menteri Hak Asasi Manusia mendukung pernyataan Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subianto yang akan memastikan prajurit aktif yang kini menjabat di instansi dan lembaga lain harus pensiun diri atau mengundurkan diri.

    “Ikuti saja apa yang disampaikan oleh panglima TNI dengan kepala staf angkatan darat,” ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian HAM, Jakarta Selatan, Kamis (13/3/2025). 

    Meski demikian, Pigai hanya tersenyum ketiga ditanya mengenai status Direktur Utama Bulog, Mayjen TNI Novi Helmy Prasetya yang juga menjabat sebagai Danjen Akademi TNI.

  • 34 Organisasi Sipil Tolak Pembahasan RUU TNI, Ini Segudang Masalahnya

    34 Organisasi Sipil Tolak Pembahasan RUU TNI, Ini Segudang Masalahnya

    Bisnis.com, JAKARTA – 34 organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi masyarakat sipil untuk Advokasi HAM Internasional (HRWG) mengecam pembahasan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI).

    Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra menilai bahwa revisi ini tidak hanya mengancam profesionalisme militer, tetapi juga mengkhianati komitmen Indonesia dalam menjalankan berbagai rekomendasi PBB dan kewajiban hukum HAM internasional.

    “Draf revisi ini bertentangan dengan rekomendasi Komite Hak Sipil dan Politik [CCPR], Universal Periodic Review [UPR], serta instrumen HAM global seperti Statuta Roma ICC dan Konvensi Anti-Penyiksaan [CAT],” ujarnya dalam keterangan resmi, Minggu (16/3/2025)

    Apalagi, belum lama ini Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM inti, termasuk Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Anti-Penyiksaan (CAT), yang mewajibkan negara memastikan akuntabilitas militer dan perlindungan hak sipil

    Dia melanjutkan bahwa revisi UU TNI justru bertentangan dengan rekomendasi dari Komite HAM PBB (2023) yang menuntut Indonesia mengakhiri imunitas TNI, mengadili pelanggaran HAM di pengadilan sipil, dan menghentikan operasi militer berlebihan di Papua.   

    Belum lagi, aturan ini juga bertentangan dengan UPR 2022 yang merekomendasikan penghapusan bisnis militer dan pembatasan peran TNI hanya untuk ancaman eksternal.  

    Termasuk turut bertentangan dengan laporan Khusus PBB tentang penyiksaan yang menyoroti praktik penyiksaan oleh aparat militer di wilayah konflik.   

    Koalisi masyarakat sipil juga menolak rencana revisi UU TNI dengan alasan berikut adanya pelanggaran Terhadap Rekomendasi CCPR/UPR yang tertuang dalam Pasal 65 UU TNI yang mempertahankan yurisdiksi pengadilan militer untuk kasus HAM bertentangan dengan rekomendasi CCPR (No. 45/2023) dan Prinsip Yurisdiksi Universal Statuta Roma ICC.

    Pembiaran operasi militer di Papua tanpa protokol HAM melanggar rekomendasi UPR 2022 tentang perlindungan masyarakat adat dan Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP).   

    Belum lagi, aturan ini diyakini mengabaikan Prinsip Pemisahan Fungsi Militer-Sipil: Keterlibatan TNI dalam program pembangunan dan keamanan dalam negeri melanggar Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Peran Militer, yang ditegaskan kembali dalam rekomendasi UPR 2017.  

    Termasuk akan adanya ancaman terhadap Prinsip PBB tentang Bisnis dan HAM Kegagalan revisi UU TNI menghapus bisnis militer bertentangan dengan UN Guiding Principles on Business and Human Rights dan rekomendasi UPR agar Indonesia menghentikan eksploitasi sumber daya alam oleh aktor militer.  

    “Pasal-pasal revisi UU TNI yang melegalkan intervensi TNI dalam urusan sipil, misalnya program TNI Manunggal Membangun Desa dan operasi keamanan domestik, mengembalikan praktik dwifungsi yang menjadi ciri represif Orde Baru,” ujarnya.

    Padahal, dia melanjutkan UU No 34/2004 telah membatasi peran TNI hanya untuk pertahanan eksternal. Menurutnya, dwifungsi militer terbukti menjadi akar pelanggaran HAM, korupsi, dan kontrol militer atas politik sipil pada masa lalu.  

    “Revisi UU TNI ini tidak hanya merusak agenda reformasi sektor keamanan, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional,” imbuhnya. 

    Tak hanya itu, dia melanjutkan bahwa koalisi yang tergabung pun meminta agar pemerintah segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang cacat prosedur dan bertentangan dengan rekomendasi CCPR/UPR.   

    Kemudian, dorongan lainnya adalah membentuk panitia independen untuk meninjau ulang draf dengan melibatkan Komnas HAM, korban pelanggaran HAM, dan masyarakat sipil. Serta, mendesak Komnas HAM dan Kementerian HAM memberikan desakan kepada DPR agar menjalankan rekomendasi-rekomendasi dan menolak RUU TNI. 

    “Koalisi memandang, jika draft revisi RUU TNI dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik dan penurunan peringkat kebebasan sipil,” pungkasnya. 

    Sekadar informasi, HRWG adalah koalisi 34 masyarakat sipil Indonesia yang berkomitmen mendorong akuntabilitas Indonesia dalam menjalankan prinsip dan komitmen terhadap hukum HAM internasional, di antaranya: Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Arus Pelangi, Asosiasi LBH APIK Indonesia, ELSAM, GAYa Nusantara, Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (GANDI), HuMa, IKOHI, ILRC, IMPARSIAL, INFID.

    Selain itu, koalisi lainnya adalah Institute for Ecosoc Rights, JATAM, Koalisi Perempuan Indonesia, LBH Banda Aceh, LBH Jakarta, LBH Pers, Migrant Care, Mitra Perempuan, PBHI, RPUK Aceh, SBMI, SETARA Institute, SKPKC Papua, Solidaritas Perempuan, TURC, WALHI, YAPPIKA, Yayasan Kalyanamitra, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Yayasan Pulih.

  • Revisi UU TNI Dikhawatirkan Mengarah ke Dwifungsi TNI, Apa Arti Konsep Ini?

    Revisi UU TNI Dikhawatirkan Mengarah ke Dwifungsi TNI, Apa Arti Konsep Ini?

    PIKIRAN RAKYAT – Proses legislasi revisi UU TNI pada Sabtu, 15 Maret 2025 menuai ragam kritik. Banyak pihak menilai hal tersebut berpotensi mengarah ke kebijakan dwifungsi TNI yang dampak negatifnya mengarah ke tata kelola pemerintahan sipil dan HAM.

    Hal tersebut sebagaimana dikritisi oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Jepang. 

    Ketua Umum PPI Jepang Prima Gandhi mengatakan, RUU TNI tersebut berpotensi mengancam demokrasi dan penegakan HAM di Indonesia karena kemungkinan besar mengembalikan dwifungsi TNI.

    “Terlepas dari manfaat yang sebelumnya disampaikan oleh Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin bahwa revisi UU TNI diperlukan untuk menghadapi dinamika geopolitik, kompleksitas ancaman, dan perkembangan teknologi militer global,” katanya, Minggu, 16 Maret 2025.

    Lantas, apa itu dwifungsi TNI yang dicemaskan oleh sekelompok masyarakat sipil?

    Penjelasan Dwifungsi TNI

    Dwifungsi TNI adalah konsep yang pernah diterapkan di Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru, yang memberikan peran ganda kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Peran ganda ini mencakup, antara lain:

    1. Fungsi pertahanan dan keamanan

    Ini adalah peran utama TNI, yaitu menjaga kedaulatan negara dan keamanan nasional dari ancaman militer.

    2. Fungsi sosial-politik

    Peran tambahan yang memberikan TNI hak untuk berpartisipasi dalam bidang politik dan sosial, seperti menduduki jabatan di pemerintahan dan lembaga negara lainnya.

    Sejarah dan Kontroversi

    Konsep Dwifungsi TNI memiliki sejarah panjang dan kontroversial di Indonesia. 

    Pada masa Orde Baru, Dwifungsi TNI menjadi dasar bagi keterlibatan luas militer dalam politik dan pemerintahan. Namun, Setelah reformasi 1998, konsep ini dihapuskan, dan peran TNI dikembalikan pada fungsi utamanya sebagai kekuatan pertahanan negara.

    Dampak dwifungsi TNI

    Selama orde baru, penerapan dwifungsi TNI memiliki implikasi dan dampak yang signifikan, antara lain:

    1. Keterlibatan militer dalam politik dapat membatasi ruang gerak demokrasi dan partisipasi sipil.

     2. Dwifungsi TNI juga dikritik karena dianggap dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. 

    Secara Keseluruhan, dwifungsi TNI adalah konsep yang telah mengalami perubahan signifikan dalam sejarah Indonesia, mencerminkan dinamika hubungan antara militer dan politik.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • YLBHI Tolak Revisi UU TNI, Wanti-wanti RI Kembali ke Neo Orde Baru

    YLBHI Tolak Revisi UU TNI, Wanti-wanti RI Kembali ke Neo Orde Baru

    Bisnis.com, JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak revisi Undang-Undang atau RUU TNI lantaran dianggap melegitimasi praktik dwifungsi militer dan membawa Indonesia kembali ke rezim Neo Orde Baru.

    “DPR RI dan Presiden melalui usulan revisinya justru akan menarik kembali TNI ke dalam peran sosial-politik bahkan ekonomi-bisnis yang di masa Orde Baru terbukti tidak sejalan dengan prinsip dasar negara hukum dan supremasi sipil serta merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi,” ujar perwakilan YLBHI dalam pernyataan resminya, Minggu (16/3/2025).

    Selain itu, YLBHI juga menyoroti bahwa revisi UU TNI justru mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum anggota TNI.

    Apalagi, YLBHI juga melihat revisi UU TNI ini tidak dapat dilepaskan politik hukum Pemerintahan Rezim Prabowo-Gibran dengan melabrak prinsip supremasi sipil dan konstitusi.

    Hal itu terjadi seiring dengan penempatan TNI setidaknya dalam 13 kementerian strategis berhubungan dengan transmigrasi, pertanahan, hingga politik yang tidak sejalan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

    “Di saat bersamaan, mereka juga menempatkan tentara aktif di Bulog serta purnawirawan mengisi hampir seluruh struktur di Badan Gizi Nasional,” tulis YLBHI. 

    Selain itu, YLBHI mengaku menyayangkan TNI juga sedang melakukan penambahan komando teritorial sebanyak: 3 di Pulau Sumatra, 5 (4 Kodam 1 Konstrad) di Pulau Jawa, 1 di Pulau Bali, 2 di Pulau Kalimantan, 2 di Pulau Sulawesi, 1 di Pulau Maluku, dan 2 di Pulau Papua.

    Jika dibiarkan, YLBHI mengingatkan hal ini dapat berdampak serius pada masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum, serta meningkatkan eskalasi pelanggaran berat HAM di masa mendatang.

    Selain proses pembahasannya yang dinilai tertutup dan minim partisipasi publik, YLBHI mencatat adanya empat poin bermasalah dalam substansi RUU TNI. Pertama, dengan memperpanjang masa pensiun yang dinilai dapat menambah persoalan penumpukan perwira non-job dan penempatan ilegal perwira aktif di jabatan sipil.

    Kedua, perluasan jabatan sipil bagi perwira TNI aktif yang berpotensi mengancam supremasi sipil, menggerus profesionalisme, dan independensi TNI. 

    Ketiga, dengan membuka ruang bagi TNI untuk ikut campur dalam politik dan keamanan negara yang bertentangan dengan prinsip netralitas militer dalam sistem demokrasi.

    Keempat, aturan ini diyakini turut menganulir peran DPR dalam persetujuan operasi militer selain perang yang dinilai mengurangi mekanisme pengawasan terhadap penggunaan kekuatan militer.

    YLBHI bersama elemen masyarakat sipil lainnya mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan revisi UU TNI ini dan membuka ruang diskusi yang lebih luas bagi publik.

    “DPR dan Presiden harus terbuka dan memastikan ruang partisipasi bermakna Masyarakat dan memastikan revisi TNI dilakukan untuk memperkuat agenda reformasi TNI dalam kerangka tegaknya supremasi sipil, konstitusi, demokrasi dan perlindungan HAM,” pungkas YLBHI.

  • Wakil Ketua MPR Tegaskan Revisi UU TNI Tak Khianati Reformasi

    Wakil Ketua MPR Tegaskan Revisi UU TNI Tak Khianati Reformasi

    Subang, Beritasatu.com – Wakil Ketua MPR Eddy Soeparno dan Anggota Komisi I DPR Fraksi PAN Farah Puteri Nahlia menegaskan, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang saat ini dibahas di DPR tidak akan mengkhianati semangat reformasi. Mereka memastikan tidak ada pasal yang berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI, seperti pada era Orde Baru.

    Polemik terkait revisi UU TNI telah memicu kekhawatiran masyarakat sipil, yang menilai adanya potensi kembalinya dominasi militer dalam pemerintahan. Bahkan, ada yang menganggap revisi ini bisa mengancam prinsip reformasi 1998.

    Menanggapi hal ini, Eddy Soeparno dan Farah Puteri Nahlia dalam acara Bazar Murah Ramadan yang digelar Partai Amanat Nasional (PAN) di Subang, Jawa Barat, pada Minggu (16/3/2025), menegaskan, revisi UU TNI tetap menjunjung tinggi supremasi sipil.

    PAN Kawal Revisi UU TNI Sesuai Reformasi

    Eddy Soeparno menegaskan PAN, sebagai partai yang lahir di era reformasi, akan terus mengawal revisi UU TNI agar tetap sesuai dengan cita-cita reformasi. Ia juga menyoroti pembahasan revisi ini dilakukan dalam rapat tertutup di hotel, yang menurutnya adalah hal yang lumrah dalam proses legislasi.

    Sementara itu, Farah Puteri Nahlia menegaskan keterbukaannya terhadap masukan masyarakat sipil yang mengkhawatirkan isi revisi tersebut.

    “Kami pastikan tidak ada pasal yang memberi keleluasaan bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan strategis di kementerian maupun lembaga negara,” jelasnya.

    Selain membahas revisi UU TNI, acara Bazar Murah Ramadan di Subang juga menyediakan 500 paket sembako bagi warga. Dalam kesempatan itu, Eddy Soeparno juga mengumumkan program mudik gratis bagi 2.000 warga yang ingin pulang ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

  • RUU TNI Sama Saja Legitimasi Dwifungsi ABRI, Demokrasi Terancam

    RUU TNI Sama Saja Legitimasi Dwifungsi ABRI, Demokrasi Terancam

    PIKIRAN RAKYAT – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menolak revisi UU TNI karena dinilai melegitimasi dwifungsi ABRI dan membawa Indonesia kembali ke era Neo Orde Baru.

    “Kami memandang bahwa usulan revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi,” ujar Ketua YLBHI Muhamad Isnur dalam siaran pers, Minggu (16/3/2025).

    Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto (kiri) bersama KSAD Jenderal TNI Maruli Simanjuntak (tengah), dan KSAU Marsekal TNI Tonny Harjono (kanan) mengikuti rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/3/2025). Rapat tersebut untuk mendapatkan masukan terkait perubahan UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI khususnya berkenaan dengan prinsip supremasi sipil yang menjadi landasan utama negara demokrasi. ANTARA FOTO

    Menurut YLBHI, revisi ini justru menarik kembali TNI ke dalam peran sosial-politik dan ekonomi-bisnis, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip negara hukum, supremasi sipil, serta merusak demokrasi. Selain itu, revisi UU TNI juga dianggap mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas bagi anggota TNI.

    “Jika hal ini dibiarkan akan berdampak serius pada suramnya masa depan demokrasi, tegaknya negara hukum dan peningkatan eskalasi pelanggaran Berat HAM di masa depan,” tambah Isnur.

    YLBHI juga menyoroti proses pembahasan revisi yang tertutup dan minim partisipasi publik. Selain itu, terdapat empat poin utama yang dianggap bermasalah dalam revisi UU TNI.

    Pertama, perpanjangan masa pensiun yang bisa menambah jumlah perwira nonjob dan memperbesar peluang penempatan ilegal perwira aktif di jabatan sipil.

    Kedua, perluasan jabatan sipil bagi perwira aktif TNI yang dapat melemahkan supremasi sipil serta mengurangi profesionalisme dan independensi TNI. Ketiga, memberi peluang bagi TNI untuk terlibat dalam politik keamanan negara. Keempat, menghapus peran DPR dalam persetujuan operasi militer selain perang.***l

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • DPR Pastikan RUU TNI Tak Hidupkan Lagi Dwifungsi ABRI Era Orde Baru

    DPR Pastikan RUU TNI Tak Hidupkan Lagi Dwifungsi ABRI Era Orde Baru

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Komisi I DPR Utut Adianto memastikan RUU TNI tidak menghidupi lagi dwifungsi ABRI sebagaimana terjadi era Orde Baru. Utut mengimbau masyarakat tidak perlu khawatir atas pembahasan revisi UU TNI yang dituduh membangkitkan era militerisme.

    “Kalau TNI ditakutkan akan kembali seperti zaman Orde Baru, saya udah usia 60 tahun, supaya dipahami, di dunia ini enggak ada yang bisa membalikkan jarum jam. Semangat zamannya beda,” ujar Utut dikutip Minggu (16/3/2025).

    Utut mencontohkan revisi terkait perluasan penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga. Utut memastikan tidak semua kementerian dan lembaga boleh diisi prajurit TNI aktif. Penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga, dilakukan secara selektif dan terbatas.

    “Apakah semua diri yang diisi tentara, ya enggak. Ini kan atas permintaan kementerian, atau misalnya presiden. Presiden itu kan memang istimewa. Di Pasal 10 Undang-Undang Dasar, presiden itu pemegang kekuasaan tertinggi. Apa tuh kekuasaan? Pasal 33 Indonesia, semua judulnya dikuasai oleh negara,” jelas Utut.

    Utut juga memastikan pihaknya akan membahas revisi UU TNI secara cermat, hati-hati dan profesional. Menurut dia, revisi UU TNI juga dilakukan terbatas pada tiga isu besar, yakni kedudukan TNI dan menhan, penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan/atau lembaga, dan usia pensiun prajurit TNI.

    “Kalau ditanya klasternya tiga, soal kedudukan Kemhan dan TNI, kemudian soal lingkup baru yang TNI boleh tetap aktif, terus yang terakhir soal usia prajurit. Tiga itu, enggak ada yang lain,” pungkas Utut mengenai pembahasan RUU TNI.

  • Tepis RUU TNI Kembalikan Dwifungsi ABRI, Utut Adianto Berdalih Tak Ada yang Bisa Kembalikan Jarum Jam

    Tepis RUU TNI Kembalikan Dwifungsi ABRI, Utut Adianto Berdalih Tak Ada yang Bisa Kembalikan Jarum Jam

    loading…

    Ketua Komisi I DPR Utut Adianto saat ditemui di sela-sela pembahasan rapat RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025). FOTO/ACHMAD AL FIQRI

    JAKARTA – Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menanggapi kekhawatiran kembalinya dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru (Orba) melalui revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Menurutnya, tak ada yang bisa mengembalikan jarum jam ke era Orba.

    “Kalau TNI ditakutkan akan kembali, seperti zaman Orba, saya udah usia 60 tahun. Supaya dipahami di dunia ini nggak ada yang bisa membalikan jarum jam,” kata Utut saat ditemui di sela-sela pembahasan rapat RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu (15/3/2025).

    Utut menjelaskan, saat ini adalah zaman berbeda dengan Orba. Wartawan dari latar belakang apa pun saat ini bisa mewawancarai narasumber, hal yang tidak ada di era Orba.

    “Semangat zamannya beda. Ini contoh nih, teman-teman wartawan nggak kenal saya. Congor saya dicocok gini. Kalau zaman dulu rapi, dari mana, keluarganya siapa, itu zaman Orba. Saya ngomong sedikit ke kiri diparanin Laksus,” katanya.

    Legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pun memastikan keberadaan RUU TNI tetap akan membatasi prajurit aktif bisa menduduki jabatan sipil.

    “Apakah nanti semua kementerian diisi tentara, ya enggak. Apakah semua diri yang diisi tentara, ya enggak,” tutur Utut.

    “Ini kan atas permintaan kementerian, atau misalnya presiden. Presiden itu kan memang istimewa. Di Pasal 10 UUD, Presiden itu pemegang kekuasaan tertinggi,” imbuhnya.

    Utut meminta publik tidak khawatir dengan keberadaan RUU TNI. Namun, ia tak bisa memberi kepastian bagi pihak yang punya keberpihakan dalam merespons RUU TNI, seperti orang yang punya traumatis masa lampau.

    “Jadi jangan khawatir. Tetapi kalau keberpihakan, saya enggak bisa bilang. Itu kan subjektivitas masing-masing,” tutur Utut.

    “Yang masa lampaunya traumatis, pasti kontra. Tapi kalau kita melihat ke depan, moving forward, dugaan saya ini oke-okey,” ujarnya.

    (abd)

  • Prajurit di Balik Meja Demokrasi

    Prajurit di Balik Meja Demokrasi

    Prajurit di Balik Meja Demokrasi
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    SEJARAH
    punya cara tersendiri untuk berulang. Ada yang terang-terangan, ada yang samar-samar.
    Di negeri ini, militer dan politik adalah dua sisi mata uang yang tak pernah benar-benar terpisah.
    Reformasi 1998 mengembalikan militer ke baraknya, mengukuhkan supremasi sipil, dan menutup pintu bagi prajurit aktif untuk mengisi jabatan-jabatan sipil. Namun kini, pintu itu perlahan terbuka lagi.
    Pemerintah tengah mengajukan revisi Undang-Undang TNI, yang memungkinkan perwira militer menduduki jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri dari dinas aktif.
    Alasannya sederhana: militer memiliki disiplin tinggi, pengalaman strategis, dan manajemen krisis yang bisa memperbaiki birokrasi yang lamban.
    Namun benarkah ini soal efektivitas? Ataukah ini pertanda bahwa demokrasi kita mulai kehilangan arah, membuka kembali ruang yang telah ditutup oleh reformasi?
    Bukan kali ini saja militer masuk ke ranah sipil. Orde Baru membangun sistem di mana militer tak hanya mengamankan negara, tetapi juga mengatur kehidupan sipil.
    Dwifungsi ABRI menjadi doktrin yang melegitimasi peran ganda prajurit sebagai penjaga keamanan sekaligus pengelola negara.
    Dampaknya? Birokrasi yang kaku, kepemimpinan
    top-down
    , dan sistem yang sulit dikoreksi karena nyaris tak ada ruang bagi pengawasan dan kritik.
    Demokrasi yang kita kenal hari ini adalah hasil dari perjuangan panjang untuk memisahkan kedua dunia itu.
    Reformasi mengubah lanskap politik Indonesia. Militer kembali ke baraknya. Tentara tidak lagi diperbolehkan menduduki jabatan sipil, kecuali dalam posisi tertentu yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan. Langkah ini bertujuan mengembalikan keseimbangan dalam demokrasi kita.
    Dua puluh lima tahun kemudian, apakah kita akan kembali ke pola lama?
    Pendukung
    revisi UU TNI
    berpendapat bahwa keterlibatan militer di jabatan sipil bukanlah ancaman bagi demokrasi, melainkan solusi bagi birokrasi yang sering kali terjebak dalam korupsi dan inefisiensi.
    Mereka melihat disiplin militer sebagai sesuatu yang bisa membentuk kembali mental birokrasi, menciptakan tata kelola yang lebih tegas dan berorientasi pada hasil.
    Tidak ada yang meragukan bahwa militer memiliki sistem kerja yang tertib, hierarkis, dan terencana.
    Namun, apakah birokrasi sipil harus berjalan seperti komando militer?
    Birokrasi yang baik bukan sekadar soal kepatuhan dan efisiensi, tetapi juga soal transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik. Pemerintahan yang sehat tidak hanya membutuhkan kepatuhan terhadap instruksi, tetapi juga ruang bagi dialog dan perbedaan pendapat.
    Ketika sistem sipil mulai diisi oleh orang-orang dengan latar belakang komando, apakah mereka akan membawa semangat demokrasi? Atau justru membawa pola pikir bahwa perintah tidak untuk diperdebatkan?
    Di beberapa negara, militer tetap memiliki peran dalam pemerintahan sipil. Amerika Serikat, misalnya, mengizinkan mantan perwira militer menduduki jabatan tinggi seperti menteri pertahanan, tetapi dengan batasan ketat.
    Seorang jenderal yang ingin masuk ke politik harus terlebih dahulu melewati masa tunggu yang cukup lama untuk memastikan transisi penuh ke ranah sipil.
    Sebaliknya, di Thailand atau Myanmar, militer justru menjadi aktor utama yang mendikte arah pemerintahan. Campur tangan mereka dalam politik sering kali berujung pada kudeta atau pemerintahan yang dikendalikan oleh kepentingan militer.
    Indonesia berada di persimpangan jalan. Jika revisi ini disahkan, kita harus bertanya: ke arah mana kita melangkah? Apakah kita akan mengikuti model Amerika yang tetap mengutamakan supremasi sipil, atau justru bergerak ke arah yang lebih berbahaya?
    Mengapa wacana ini muncul sekarang? Apakah birokrasi sipil begitu lemah hingga pemerintah merasa perlu mengisi pos-pos penting dengan mantan perwira?
    Ataukah ini bagian dari pola yang lebih besar—upaya mengembalikan pengaruh militer dalam politik secara perlahan?
    Pertanyaan ini penting karena politik adalah soal momentum. Jika hari ini prajurit bisa masuk ke jabatan sipil dengan syarat mengundurkan diri, siapa yang bisa menjamin bahwa besok tidak akan ada revisi baru yang menghapus syarat tersebut?
    Demokrasi tidak runtuh dalam satu malam. Ia perlahan-lahan terkikis oleh kebijakan kecil yang tampaknya tidak berbahaya, hingga suatu hari kita terbangun dan menyadari bahwa sistem yang kita bangun telah berubah.
    Jika alasan utama revisi ini adalah inefisiensi birokrasi, maka solusinya bukan dengan membawa masuk militer, tetapi memperbaiki sistem birokrasi itu sendiri.
    Reformasi birokrasi yang nyata jauh lebih penting daripada mengandalkan solusi instan yang bisa berujung pada masalah baru.
    Militer memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan negara. Namun, peran itu harus tetap berada dalam koridor pertahanan dan keamanan, bukan merambah ke ruang-ruang sipil yang seharusnya dikelola oleh warga negara yang memahami sistem demokrasi.
    Jika kita benar-benar menghargai reformasi yang telah diperjuangkan selama dua dekade terakhir, maka keputusan ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati.
    Apakah kita ingin demokrasi yang lebih kuat? Atau kita ingin kembali ke masa di mana seragam lebih banyak terlihat di ruang-ruang pemerintahan?
    Keputusan ada di tangan kita. Namun, satu hal yang pasti: demokrasi tidak bisa dipertahankan hanya dengan niat baik. Ia harus dijaga, dipertahankan, dan terus dikawal.
    Karena jika kita lengah, kita mungkin akan kehilangan lebih banyak dari yang kita bayangkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.