Alissa Wahid: 32 Tahun Kita Berjuang Wujudkan Supremasi Sipil, Bukan Supremasi Senjata
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Direktur Jaringan Gusdurian,
Alissa Wahid
, mengingatkan, masyarakat Indonesia sudah berjuang selama 32 tahun untuk menurunkan rezim Orde Baru (Orba) demi mewujudkan
supremasi sipil
dan hukum, bukan
supremasi senjata
.
Hal ini disampaikannya merespons revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang tinggal disahkan dalam rapat paripurna DPR.
RUU TNI
dinilai membuka pintu supremasi senjata karena perluasan penempatan jabatan sipil untuk TNI aktif.
“Dan inilah yang ingin kita ingatkan. Jangan sampai kita kembali justru mengulang kesalahan yang sama. Dulu 32 tahun kita harus berjuang untuk mewujudkan supremasi sipil dan supremasi hukum, bukan supremasi senjata,” kata Alissa dalam jumpa pers di STF Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
“Jangan sampai kita kemudian justru menegasikan pengalaman 32 tahun itu dan memberikan ruang,” tambahnya.
Alissa khawatir jika RUU TNI justru melegitimasi masuknya mereka yang memegang senjata pada ruang-ruang sipil.
Padahal, menurutnya, RUU TNI semestinya dilakukan untuk tujuan memperkuat profesionalitas TNI.
“Bukan untuk mengembalikan peran-peran (dwifungsi ABRI) tersebut. Walaupun namanya bukan dwifungsi ABRI, tapi kalau esensinya membawa senjata ke ruang sipil, itu sama saja,” imbuh putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.
Lebih lanjut, Alissa melihat poin penempatan jabatan sipil untuk TNI yang diperluas memberikan banyak arti.
Pertama, tentara aktif yang bisa menduduki jabatan sipil artinya mereka masih memiliki jalur kepada angkatan bersenjata.
“Orang-orang yang memegang senjata ini masih ada jalur koordinasi, jalur komando, dan seterusnya. Betapa berbahayanya ketika nanti rakyat tidak berkehendak yang sama dengan penguasa,” ujar Alissa.
“Jaringan Gusdurian yang saya adalah emboknya (ibunya) ini, kami banyak sekali mendampingi warga masyarakat yang terdampak langsung proyek strategis nasional. Dengan siapa mereka berhadapan? Dengan yang memegang senjata. Ini dalam kondisi mereka (angkatan bersenjata) tidak punya wewenang. Nah, kalau diberikan jalur ini, akses ini, maka kehadiran mereka kemudian menjadi legal,” sambungnya.
Untuk diketahui, Komisi I DPR RI menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk dibawa ke tingkat II atau rapat paripurna.
Kesepakatan ini diambil dalam rapat pleno RUU TNI antara Komisi I DPR RI dan Pemerintah yang digelar pada Selasa (18/3/2025).
Adapun perubahan UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 akan mencakup penambahan usia dinas keprajuritan hingga peluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga.
Secara spesifik, revisi ini bertujuan menetapkan penambahan usia masa dinas keprajuritan hingga 58 tahun bagi bintara dan tamtama, sementara masa kedinasan bagi perwira dapat mencapai usia 60 tahun.
Selain itu, ada kemungkinan masa kedinasan diperpanjang hingga 65 tahun bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional.
Kemudian,
revisi UU TNI
juga akan mengubah aturan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga, mengingat kebutuhan penempatan prajurit TNI di kementerian/lembaga yang semakin meningkat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Event: Rezim Orde Baru
-
/data/photo/2025/03/18/67d95c2f49c64.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Alissa Wahid: 32 Tahun Kita Berjuang Wujudkan Supremasi Sipil, Bukan Supremasi Senjata
-

Soeharto hingga Gus Dur Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional Tahun Ini
Bisnis.com, JAKARTA – Nama Presiden ke 2 Jenderal Purn Soeharto dan Presiden ke 4 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur masuk dalam daftar 10 tokoh yang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional.
Soeharto dikenal sebagai tokoh penuh kontroversi. Pada era kekuasaannya yang berlangsung selama 32 tahun, Soeharto menerapkan sensor yang sangat ketat terhadap media, bahan bacaan, hingga dugaan melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Sementara itu, Gus Dur adalah presiden pertama yang memimpin Indonesia pasca Pemilu 1999. Gus Dur dikenal sebagai bapak toleransi dan memulai proses transisi demokratisasi dari era otoritarianisme Orde Baru warisan Soeharto.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf alias Gus Ipul mengemukakan bahwa pihaknya bersama dengan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) telah membahas pengusulan calon Pahlawan Nasional tahun 2025.
“Nah, semangatnya Presiden sekarang ini kan semangat kerukunan, semangat kebersamaan, semangat merangkul, semangat persatuan. Mikul duwur mendem jero,” kata Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) dilansir dari laman resmi Kementerian Sosial, Rabu (19/3/2025).
Adapun usulan itu akan diseleksi dan digodok oleh anggota TP2GP yang terdiri dari Staf Ahli, akademisi, budayawan, perwakilan BRIN, TNI, serta Perpustakaan Nasional. Selain lintas unsur sosial, mekanisme pengusulan Pahlawan Nasional juga harus melalui tahapan berjenjang dari tingkat daerah hingga ke pemerintah pusat.
“Jadi memenuhi syarat melalui mekanisme. Ada tanda tangan Bupati, Gubernur, itu baru ke kita. Jadi memang prosesnya dari bawah,” kata Mensos Gus Ipul.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengungkapkan sudah ada 10 nama yang masuk dalam daftar usulan calon Pahlawan Nasional 2025. Dari jumlah tersebut, empat nama merupakan usulan baru, sementara enam lainnya merupakan pengajuan kembali dari tahun-tahun sebelumnya.
“Untuk tahun 2025 sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira Riyati.
Adapun tokoh yang kembali diusulkan, antara lain:
1. K.H. Abdurrahman Wahid (Jawa Timur)
2.Jenderal Soeharto (Jawa Tengah)
3. K.H. Bisri Sansuri (Jawa Timur)
4. Idrus bin Salim Al-Jufri (Sulawesi Tengah),
5. Teuku Abdul Hamid Azwar (Aceh)
6 K.H. Abbas Abdul Jamil (Jawa Barat).4 tokoh yang baru diusulkan tahun ini:
1. Anak Agung Gede Anom Mudita (Bali)
2. Deman Tende (Sulawesi Barat)
3. Prof. Dr. Midian Sirait (Sumatera Utara)
4. K.H. Yusuf Hasim (Jawa Timur). -

Mahfud MD Nilai Revisi UU TNI Tak Kembalikan Dwifungsi ABRI, Lebih Proporsional
loading…
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyambut baik hasil Revisi Undang-Undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI). FOTO/BINTI MUFARIDA
JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyambut baik hasil Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia ( RUU TNI ). Menurutnya, hasil revisi UU TNI tetap sejalan dengan prinsip reformasi dan tidak menghidupkan kembali dwifungsi ABRI sebagaimana berjalan di era Orde Baru.
“Hasil yang terakhir ini cukup fair, cukup fair tidak tidak terlalu mengambil banyak dari apa namanya desain politik kita yang didiamkan sejak zaman Reformasi,” kata Mahfud MD dalam keterangannya dikutip, Rabu (18/3/2025).
Mahfud MD menegaskan, isu RUU TNI untuk mengembalikan dwifungsi ABRI tidak terbukti. Dia menjelaskan terkait dwifungsi ABRI di era Orde Baru, di mana keputusan-keputusan politik penting hanya ditentukan oleh tiga elemen, yakni ABRI, birokrasi, dan Partai Golkar, sehingga membatasi partisipasi publik dalam demokrasi.
“Karena begini, isunya mau mengembalikan dwifungsi, isunya semula bukan banyak hal, misalnya kalau dwifungsi itu apa sih? Dwifungsi ABRI itu dulu di zaman Orde Baru keputusan-keputusan politik penting hanya dilakukan oleh ABG, ABG itu hanya tiga institusi yang boleh menentukan keputusan politik yaitu ABRI, Birokrasi, dan Golkar. Di luar itu tidak boleh ikut menentukan, sangat mencekam zaman dulu,” kata Mahfud.
Kini, Mahfud menilai, kondisi tersebut sudah berubah, dan landasan hukum yang membatasi peran TNI dalam politik tetap terjaga, termasuk TAP MPR Nomor 6 dan Nomor 7 Tahun 2000.
“Kemudian dwifungsi itu memberikan ruang kepada ABRI, TNI, dan Polri untuk masuk di DPR tanpa ikut Pemilu jumlah suaranya 28% waktu itu. Terus DPR langsung diberikan ke TNI=Polri. Jabatan-jabatan di pemerintahan bisa dimasuki oleh anggota TNI-Polri pada waktu itu, terutama gubernur dan bupati, wali kota, itu semuanya ditentukan, meskipun ada DPR-nya ya tetap dipaksa gitu. Nah sekarang itu sudah tidak ada, itu sudah tidak ada,” katanya.
“Sehingga landasannya itu adalah TAP MPR Nomor 6 dan Nomor 7 tahun 2000, di mana UU TNI-Polri disahkan kemudian Panglima dan Kapolri berada di bawah Presiden. Dan itu yang berlaku sampai sekarang,” tambah Mahfud.
Mahfud mengapresiasi peran aktif masyarakat sipil, media, dan mahasiswa yang terus mengawal proses revisi RUU ini.
-

Pesan Megawati Soal Revisi UU TNI, Jangan Sampai Dwifungsi ABRI Kembali!
PIKIRAN RAKYAT – Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri disebut berharap Dwifungsi ABRI era Orde Baru jangan dibangkitkan lagi lewat Revisi Undang-undang (UU) Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Kalau ibu (Megawati) tuh cuman jangan sampai dwifungsi kembali lagi, supremasinya tetap sipil,” kata Politikus PDIP sekaligus Ketua Komisi I DPR Utut Adianto di DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 18 Maret 2025.
Kendati demikian, dia juga menyampaikan pesan dari Presiden ke-5 RI itu agar negara memperhatikan kesejahteraan para prajurit TNI.
“Kalau sama prajurit, berilah perhatian,” ujarnya.
Menurutnya, terkait Revisi UU TNI, PDIP memperjuangkan agar supremasi sipil tetap berlaku. Namun, perjuangan itu tak hanya dilakukan oleh partainya, tetapi juga oleh partai-partai lainnya di parlemen.
“Ya kalau saya bilang PDIP aja kan kasihan partai lain. Setiap kebaikan itu kan napasnya sama, partai lain juga gitu kok. Tapi Kalau ibu jangan kembali ke Orde baru, konsepnya TNI jadi sangat kuat dan militeristik. Jadi ini supremasi sipil,” tuturnya
“Dan yang terakhir, beri perhatian kepada prajurit. Udah ya udah,” ujarnya.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-
/data/photo/2025/03/18/67d97c7829e47.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kamis Lusa, RUU TNI Akan Disahkan dalam Rapat Paripurna DPR
Kamis Lusa, RUU TNI Akan Disahkan dalam Rapat Paripurna DPR
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di
DPR
RI Jazuli Juwaini menyebut bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan disahkan pada rapat paripurna pada Kamis (20/3/2025) lusa.
Menurut anggota Komisi I DPR RI ini, pembahasan
RUU TNI
sudah selesai dan diputuskan dibawa ke paripurna.
“Mudah-mudahan, kalau tadi sudah dirapatkan. Itu selesai. Hari Kamis insya Allah diparipurnakan,” kata Jazuli di Kawasan Pejaten, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
Jazuli menegaskan bahwa Fraksi PKS menyatakan untuk mendukung dan setuju terhadap RUU TNI yang dibahas di DPR.
Pasalnya, PKS ingin posisi TNI diperkuat. Jazuli menilai, sebagai bangsa yang ingin bermarwah tinggi, maka tentaranya harus kuat.
“Negara kalau enggak ada tentaranya, kuat enggak dia? Berwibawa apa enggak? Ya kan. Tentara harus kuat. Tetapi tentara kuat itu tidak boleh melanggar supremasi sipil seperti apa yang terjadi masa lalu,” ujarnya.
Selama proses revisi, Jazuli memastikan bahwa tidak ada upaya menghidupkan lagi dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru.
Perubahan revisi
UU TNI
, menurut Jazuli, hanya terkait peran dan batas usia pensiun TNI.
“Polri pensiunnya sudah naik umurnya. Hakim, jaksa sudah naik umurnya. Tentara belum naik umurnya. Maka kita dalam rangka menjaga prinsip keadilan antara lembaga-lembaga ini, nah itu kita ubah, kita naikkan usia pensiun,” katanya.
Poin revisi lainnya soal posisi TNI di jabatan sipil. Jazuli menyebut, TNI aktif bisa mengisi 14 jabatan di kementerian/lembaga yang ditentukan.
“Sudah tinggal 14 (kementerian/lembaga). Yang beririsan sama polisi sudah ditarik seperti tadi, narkotika, KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dan saya menjamin tidak akan ada dwifungsi ABRI yang direvisi itu cuma untuk penguatan,” ujar Jazuli menegaskan.
Sebelumnya, Komisi I DPR RI menyepakati RUU TNI untuk dibawa ke tingkat II atau rapat paripurna.
Kesepakatan ini diambil dalam rapat pleno RUU TNI antara Komisi I DPR RI dan Pemerintah yang digelar pada Selasa, 18 Maret 2025.
Dalam rapat pleno, delapan Fraksi di Komisi I DPR RI menyatakan sepakat membawa RUU TNI ke pembahasan tingkat dua atau rapat paripurna DPR RI untuk disahkan.
“Selanjutnya, saya mohon persetujuannya apakah RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI untuk selanjutnya dibawa pada pembicaraan tingkat 2 dalam rapat paripurna DPR RI untuk disetujui menjadi UU. Apakah dapat disetujui?” tanya Ketua Panja, Utut Adianto, Selasa.
“Setuju,” jawab seluruh peserta rapat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pesan Megawati untuk RUU TNI: Jangan Sampai Dwifungsi ABRI Kembali Lagi
Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Komisi I DPR sekaligus Ketua Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) di DPR, Utut Adianto mengungkapkan pesan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri terhadap revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).
Utut menyampaikan, sebenarnya Megawati hanya ingin agar dwifungsi ABRI tidak kembali lagi. Di samping itu, memang Presiden ke-5 RI itu juga setuju untuk prajurit TNI harus diberi perhatian.
“Kalau Ibu [Megawati] tuh cuma jangan sampai dwifungsi kembali lagi, supremasinya tetap sipil. Kalau sama prajurit, berilah perhatian,” terangnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (18/3/2025).
Utut tak mengklaim bahwa hanya partainya saja yang memikirkan tentang kesejahteraan prajurit TNI, sehingga harus diberi perhatian. Dia menyebut semua partai lain juga menganggap hal yang sama.
“Setiap kebaikan itu ‘kan nafasnya sama, partai lain juga gitu ‘kok. Tapi kalau Ibu jangan kembali ke Orde baru, konsepnya TNI jadi sangat kuat dan militeristik. Jadi ini supremasi sipil dan yang terakhir, beri perhatian kepada prajurit,” tukas legislator PDIP itu.
Sementara itu, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Puan Maharani mengungkapkan posisi partainya dalam pembahasan revisi Undang-Undang No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
PDIP sebelumnya sempat menolak amandemen UU TNI. Namun belakangan, salah satu anggota fraksi partai banteng, Utut Adianto, bahkan menjadi Ketua Panitia Kerja alias Panja revisi UU TNI.
Adapun, Puan berdalih bahwa partisipasi PDIP untuk terlibat dalam panitia kerja (Panja) revisi UU TNI untuk memastikan rancangan beleid tersebut benar-benar dibahas dengan sebaik-baiknya.
“Kehadiran PDI justru untuk meluruskan jika kemudian ada hal-hal yang kemudian tidak sesuai dengan apa yang kemudian kami anggap itu tidak sesuai,” katanya kepada wartwan, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (17/3/2025).
-
/data/photo/2025/03/18/67d96816eb590.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pemerintah Sebut Tak Ada Dwifungsi ABRI dalam RUU TNI, Gerakan Nurani Bangsa: Apa Jaminannya?
Pemerintah Sebut Tak Ada Dwifungsi ABRI dalam RUU TNI, Gerakan Nurani Bangsa: Apa Jaminannya?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Anggota
Gerakan Nurani Bangsa
, Pendeta
Darwin Darmawan
, mempertanyakan apa jaminan pemerintah bahwa revisi Undang-Undang (RUU) TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti pada masa
Orde Baru
(Orba).
Hal ini disampaikan sebagai respons terhadap pernyataan Menko Polkam
Budi Gunawan
yang menyebutkan bahwa
RUU TNI
tidak dimaksudkan untuk mengembalikan
dwifungsi ABRI
.
Sebelum mengajukan pertanyaan tersebut, Darwin mengajak semua orang untuk melihat bagaimana RUU TNI dibahas secara diam-diam di hotel mewah yang dijaga dengan kendaraan taktis (rantis) TNI.
“Kita dengar rapat di Hotel Fairmont itu katanya dijaga rantis Koopssus. Ini sedang membuat undang-undang untuk negara dan betul-betul sedang dikritisi oleh rakyat, lalu ada rantis. Rekan-rekan bisa membayangkan logikanya kan? Belum legitimasi terlibat dalam ruang publik yang lebih luas saja itu sudah jalan,” kata Darwin, dalam jumpa pers di STF Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/3/2025).
“Lalu, apa jaminannya (RUU TNI tidak mengembalikan dwifungsi ABRI),” tanya dia.
Darwin berharap pemerintah bisa memberikan jawaban terkait kekhawatiran masyarakat tersebut.
Jika tidak, menurut dia, lebih baik RUU TNI dibatalkan.
“Rasanya, jauh lebih bijaksana sebagai bagian dari warga bangsa ini, kita bertanggung jawab lebih baik enggak perlu kalau memang enggak ada niat-niat tertentu,” ujar Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) ini.
Kendati begitu, Darwin menegaskan bahwa apa yang disampaikan bukan berarti menilai negatif pemerintahan saat ini.
Sebaliknya, hal ini dianggap sebagai bentuk tanggung jawab karena merupakan bagian dari anak bangsa.
“Kita sama sekali tidak negatif terhadap pemerintah dan pengelola negara yang sudah dipilih rakyat. Tetapi kita punya tanggung jawab untuk memastikan kita bagian dari pengelola negara yang ingin negara ini dikelola secara demokratis,” pungkas dia.
Diberitakan sebelumnya, Budi Gunawan menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir mengenai proses pembahasan revisi Undang-Undang TNI.
Ia menekankan bahwa revisi ini tidak dimaksudkan untuk mengembalikan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) seperti pada era Orde Baru.
“Revisi UU TNI ini tidak dimaksudkan mengembalikan TNI pada dwifungsi militer seperti masa lalu. Jadi, tegasnya seperti itu, jangan khawatir akan hal itu,” kata Budi, saat ditemui di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri, Jakarta, pada Senin (17/3/2025) malam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Akademisi UGM Kompak Tolak RUU TNI, Beri 5 Catatan Kritis
Bisnis.com, JAKARTA — Civitas Akademika Universitas Gadjah Mada atau UGM mengeluarkan pernyataan bersama untuk memprotes proses pembahasan amandemen undang-undang UU TNI.
Mereka meminta agar DPR membatalkan pembahasan amandemen UU tersebut yang dinilai tidak transparan ke publik.
Berdasarkan pernyataan bersama yang dikeluarkan hari ini, Selasa (18/3/2025), Civitas Akademika UGM mengingatkan bahwa supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum menjadi prinsip mendasar yang harus diletakkan dalam pikiran kenegarawanan. Itu merupakan prinsip Negara Hukum demokratis dan dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia atau UUD 1945.
“Tentara Nasional Indonesia-TNI dan ketentuan yang mengaturnya, harus tunduk pada konstitusi,” ujar para civitas akademika kampus Bulaksumur itu dalam keterangan tertulis yang diterima Bisnis, Selasa (18/3/2025).
Mereka turut mengingatkan bahwa keutamaan prinsip itu menjadi bagian dari semangat Reformasi 1998 dan tertuang pada TAP MPR No.10/1998, TAP MPR No.6/1999 serta TAP MPR No.7/2000.
Di sisi lain, mereka turut menyinggung pelanggaran hukum yang dilakukan militer harus tunduk di bawah sistem hukum pidana sipil. Para akademisi UGM menilai hal tersebut mendasar dan tidak pernah diupayakam secara sungguh-sungguh.
Konsekuensinya, TNI akan banyak melakukan kesewenang-wenangan serta tanpa dimintai pertanggungjawaban hukum alias impunitas. Oleh sebab itu, urgensi membahas revisi UU TNI pun dinilai nihil.
“Selama ada sistem hukum impunitas terhadap TNI, maka pembicaraan apapun tentang peran TNI menjadi tak relevan dan tak pernah bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, tidak ada urgensinya membahas perubahan UU TNI,” bunyi pernyataan tersebut.
Secara substantif, Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM RUU TNI yang menyebutkan perluasaan posisi jabatan oleh TNI termasuk di ranah peradilan dipandang tidak mencerminkan prinsip dasar supremasi sipil. Pada akhirnya, revisi UU pun dikhawatirkan mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas kekebalan hukum anggota TNI.
Para akademisi UGM pun merasa bahwa usulan revisi UU TNI tak hanya kemunduran dalam berdemokrasi, melainkan juga merusak tatanan agenda reformasi TNI. Upaya menarik kembali peran TNI ke dalam jabatan kekuasaan sosial, politik, dan ekonomi dinilai justru akan semakin menjauhkan TNI dari profesionalisme yang diharapkan.
“Ini bertentangan dengan prinsip Negara Hukum demokratis dan akan membawa bangsa ini kembali pada keterpurukan otoritarianisme seperti pada masa Orde Baru,” ujar pernyataan bersama itu.
Selain isi dari amandemen, prosesnya yang dinilai ditutup-tutupi oleh DPR dinilai mengingkari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal “partisipasi publik yang bermakna”.
Atas dasar tersebut, para Civitas Akademika UGM mengingatkan, menasehatkan, pula mendesak, pemerintah dan DPR maupun TNI beberapa hal berikut, yakni:
1. Menuntut pemerintah dan DPR membatalkan revisi UU TNI yang tidak transparan, terburu-buru, dan mengabaikan suara publik karena hal tersebut merupakan kejahatan konstitusi;
2. Menuntut Pemerintah dan DPR untuk menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati Agenda Reformasi dengan menjaga prinsip supremasi sipil dan kesetaraan di muka hukum, serta menolak dwifungsi TNI/Polri;
3. Menuntut TNI/Polri, sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik;
4. Mendesak seluruh insan akademik di seluruh Indonesia segera menyatakan sikap tegas menolak sikap dan perilaku yang melemahkan demokrasi, melanggar konstitusi, dan kembali menegakkan Agenda Reformasi;
5. Mendorong dan mendukung upaya Masyarakat Sipil menjaga Agenda Reformasi dengan menjalankan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja Pemerintah dan DPR;
Adapun pernyataan bersama akademisi UGM itu meliputi Pusat Studi Pancasila PSP UGM, Pusat Kajian Anti Korupsi-Pukat UGM, Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian-PSKP UGM, Serikat Pekerja UGM, Serikat Pekerja FISIPOL UGM, Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial -LSJ UGM, Pusat Kajian Demokrasi Konstitusi dan HAM Kaukus Indonesia untuk kebebasan Akademik, Dewan Mahasiswa Justicia Fakultas Hukum UGM serta Collective for Critical Legal Studies Fakultas Hukum UGM.
Perubahan UU TNI
Sebagaimana diketahui, DPR menyatakan bahwa revisi UU TNI hanya meliputi tiga pasal. Perinciannya, Pasal 3 tentang kedudukan TNI, Pasal 53 tentang Usia Pensiun, dan Pasal 47 tentang prajurit dapat menduduki jabatan pada kementerian atau lembaga (K/L).
Pernyataan itu disampaikan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad pada konferensi pers bersama dengan Komisi I DPR, Senin (17/3/2025), usai pada akhir pekan sebelumnya rapat tingkat Panja di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, diinterupsi oleh KontraS. Rapat itu digelar tertutup di Hotel Fairmont sehingga memicu spekulasi publik.
Kini, Komisi I DPR telah menyetujui untuk membawa RUu Perubahan atas UU No.34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke tingkat paripurna.
Ketua Panita Kerja (Panja) revisi UU TNI, politisi PDI Perjuangan (PDIP) yakni Utut Adianto menjelaskan, usai persetujuan ini RUU TNI selanjutnya akan dibahas pada pembicaraan tingkat II dalam Rapat Paripurana DPR RI untuk kemudian dapat disahkan menjadi Undang-Undang.
“Sekali lagi kami meminta persetujuan yang terhormat Bapak Anggota Komisi I dan Pemerintah apakah RUU tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dapat kita setujui untuk selanjutnya dibawa pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR RI untuk disetujui menjadi Undang-Undang?,” tanya Utut dan dijawab setuju oleh para anggota rapat.
Rencananya, sidang paripurna untuk mengesahkan amandemen tersebut akan digelar Kamis 20 Maret 2025 esok lusa.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5142799/original/000750200_1740472158-image__5_.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Istana soal TNI Bisa Isi 16 Jabatan Sipil: Keahlian Mereka Diperlukan – Page 3
Menurutnya, dengan Revisi UU TNI dijelaskannya, pembatasan penempatan prajurit aktif TNI semakin jelas dan tegas.
“Saat ini terdapat pembahasan, wacana pengaturan penugasan TNI dari 10 kementerian dan lembaga menjadi 16. Yaitu di Polkam, Kementerian Pertahanan, Dewan Pertahanan Negara, Sekretariat Negara, Intelijen, Sandi Negara, Lemhanas, SAR, kemudian Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Pengelola Perbatasan KKP, BNPB, BNPT, Bakamla, Kejagung, dan Mahkamah Agung,” jelasnya.
Ia menegaskan, Revisi UU TNI tidak bermaksud untuk mengembalikan dwifungsi ABRI atau militer seperti yang terjadi di era Orde Baru. Karena itu, pria akrab disapa BG ini meminta semua pihak tidak lagi khawatir.
Menurutnya, tujuan Revisi UU TNI adalah untuk menyesuaikan kebutuhan atas perkembangan zaman. Sehingga, TNI akan semakin profesional.
“Utamanya dalam menjalankan tugas pokoknya di bidang pertahanan negara sekaligus menyesuaikan peran TNI ke depan sesuai dengan kebutuhan perkembangan zaman, khususnya seperti dalam situasi darurat bencana. Tidak ada (dwifungsi TNI),” pungkas dia.
-
/data/photo/2025/03/15/67d5608e03282.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif
RUU TNI dan Dialog Tidak Konstruktif
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
DISKURSUS
revisi Undang-Undang TNI di ruang publik terlihat kontraproduktif. Di satu sisi, sejumlah kelompok masyarakat sipil bersikeras menolak peran lebih luas militer dalam kehidupan politik, karena masih dihantui trauma masa Orde Baru.
Di sisi lain, militer justru tampil terbuka meminta peran lebih luas, seolah-olah ingin mengulang romantisme dwifungsi yang telah ditinggalkan pasca-Reformasi 1998.
Mandegnya diskursus ini berakar pada cara pandang hubungan sipil-militer yang saling bertolak belakang, namun sama-sama ketinggalan zaman.
Kelompok pertama sejalan dengan garis pemikiran Jenderal A.H. Nasution, bersikukuh pada keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi.
Sayangnya mereka abai terhadap konsensus bahwa pembangunan nasional hari ini bertumpu pada fondasi supremasi sipil yang kompeten dan profesional di bidang masing-masing.
TNI tetap, bahkan wajib ambil bagian dalam pembangunan nasional, namun dengan tupoksi utama di sektor pertahanan negara yang diterjemahkan ke dalam kerangka operasi militer perang.
TNI bisa ikut serta dalam sektor-sektor non-pertahanan, dengan catatan diminta oleh otoritas sipil dan berada dalam kerangka operasi militer selain perang.
Supremasi sipil dikedepankan karena militer sadar dengan keterbatasan sumber daya dan keahlian mereka di sektor-sektor non-pertahanan.
Dalam rangka membangun sektor non-pertahanan seperti kelautan dan perikanan, misalnya, masuk akal untuk berpikir bahwa seorang nelayan yang terbiasa memegang jaring dan pancing lebih kompeten mengelola kekayaan laut untuk tujuan ekonomi, dibandingkan tentara yang lebih terlatih memegang senjata di pertempuran.
Kelompok kedua, yang terpengaruh kuat oleh Samuel Huntington, melihat militer sebagai entitas terpisah yang profesional. Namun, mereka berat untuk mengakui bahwa keterlibatan dan pengaruh militer dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat sipil tetap ada, dan bahkan meningkat pasca-Reformasi.
Mereka mengabaikan survei-survei beberapa tahun belakangan yang menunjukkan tingkat kepercayaan publik yang tinggi terhadap TNI.
Eksistensi organisasi masyarakat sipil di tengah masyarakat yang menggunakan atribut-atribut ala militer. Serta kondisi lingkungan strategis di negara demokrasi lainnya di mana diskursus hitam putih perlahan ditinggalkan.
Padahal kontrol sipil di kementerian tertentu yang beririsan dengan militer tidak selalu baik. Seperti dicatat Mukherjee (2020), Kementerian Pertahanan India lebih didominasi birokrat sipil yang berpindah-pindah instansi tanpa pengalaman dan kepakaran militer, dibandingkan anggota aktif militer sendiri.
Dampaknya, militer menjadi tidak optimal dalam menjalankan tupoksi, salah satu yang esensial adalah pengadaan alutsista.
Sebagai solusi, otoritas sipil tetap memimpin kementerian, namun keterlibatan militer aktif didorong untuk menambah kepakaran.
Memaksa militer untuk kembali ke barak dengan alasan profesionalisme ala Huntington bisa kontraproduktif dengan tujuan profesionalisme itu sendiri.
Di Amerika Serikat, tempat gagasan ini lahir dan berkembang, profesionalisme ala Huntington malah menciptakan paradoks di internal militer sendiri.
Salah satu paradoks ini, seperti ditulis Risa Brooks (2020), adalah kecenderungan anggota aktif di sana lebih terbuka untuk terlibat dalam politik praktis.
Mereka sulit menahan godaan kebebasan berekspresi di media sosial, serta rentan dipolitisasi penguasa sipil yang melihat mereka sebagai konstituten politik.
Di Indonesia, paradoks ini terlihat dalam banyak hal. Para purnawirawan militer aktif berperan dalam suksesi kepemimpinan nasional melalui partai politik dan pemilu.
Sementara itu, partai politik sendiri mulai mengadopsi kaderisasi semi-militer dan membentuk sayap-sayap organisasi yang menggunakan atribut serta simbol-simbol militer.
Fenomena ini menunjukkan bahwa batas antara militer dan politik tidak selalu tegas, bahkan dalam upaya menciptakan profesionalisme.
Singkat kata, Kelompok Nasution kurang peka terhadap trauma Orde Baru yang menjadi pondasi Reformasi 1998.
Kelompok Huntington, sebaliknya, terjebak pada idealisme yang tak realistis di tengah perkembangan zaman dan sisa-sisa pengaruh sosial kultural Orde Baru.
Keterlibatan militer dalam kehidupan sosial politik tidak bisa dihindari. Namun, harus ada batas yang jelas dan tegas, ini kata kunci penting.
Revisi UU TNI
adalah momentum untuk memetakan dan menentukan ulang peran TNI, terutama di sektor-sektor non-pertahanan.
Berdasarkan draft RUU TNI yang beredar, masyarakat sipil seharusnya bisa menerima keterlibatan TNI dalam penanggulangan ancaman nontradisional -seperti bencana alam, narkoba, terorisme, hingga siber, termasuk untuk memimpin institusi-institusi terkait.
Kapasitas logistik dan koordinasi TNI dalam penanggulangan bencana telah teruji di lapangan.
Dalam konteks ancaman nontradisional lainnya, irisan antara peran TNI dengan Polri dalam upaya penanggulangan sulit dibantah.
Anggota aktif bisa menjabat di BNN atau BNPT, selama penanggulangan didasarkan pada koridor penegakan hukum dan pelibatan TNI dilakukan dengan koordinasi dengan Polri, dan pengawasan oleh DPR dan publik.
Namun, pertanyaan kritis patut diajukan ketika TNI didorong masuk ke institusi seperti Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, atau Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Rasionalisasi untuk ketiga institusi ini terlihat dipaksakan. Tak ada studi perbandingan yang kredibel dan bisa dipertanggungjawabkan, bahkan di negara otoriter seperti China dan Saudi untuk melegitimasi militer aktif menduduki posisi di lembaga penegakan hukum.
Pengecualian jika ada penjelasan spesifik bahwa anggota aktif hanya menjabat di kamar peradilan atau urusan pidana militer.
Untuk sektor kelautan dan perikanan, argumen soal pengelolaan wilayah perbatasan atau konflik kedaulatan wilayah tertentu seperti Selat Malaka dan Laut China Selatan bisa saja diajukan.
Namun, alasan ini terlalu bias dan lentur, sehingga bisa diterapkan pada sektor lain dengan logika serupa -Mengapa bukan atau tidak sekalian saja dengan Kementerian Kehutanan atau ESDM, misalnya? Inkonsistensi sulit diterima.
Lebih baik sektor-sektor ekonomi semacam ini diserahkan kepada sipil profesional yang teruji rekam jejaknya mengelola kekayaan laut untuk kesejahteraan.
Memaksakan militer ke posisi-posisi kontroversial di atas bisa menghambat implementasi makan siang gratis dan program-program prioritas Presiden Prabowo.
Sangat banyak studi kredibel yang menunjukkan kualitas demokrasi memiliki korelasi kuat dengan arus masuk penanaman modal asing.
Supremasi sipil dan pembagian kekuasaan adalah salah satu indikator utama yang menentukan kualitas tersebut.
Kemunduran demokrasi yang sering disuarakan belakangan ini bisa menjadi salah satu alasan mengapa arus masuk penanaman modal asing tidak optimal.
Selain itu, langkah tersebut bisa merusak kepercayaan publik terhadap TNI, yang notabene adalah modal sosial yang lebih berharga dibandingkan peran tambahan di sejumlah lembaga.
Memaksakan peran di lembaga-lembaga penegakan hukum hanya akan memicu resistensi, seperti yang sudah terlihat dari kelompok mahasiswa dan masyarakat sipil sejak RUU ini digaungkan.
Ironisnya, kondisi ini bisa melemahkan kekuatan nasional yang justru ingin dibangun pemerintah -suatu esensi dari dialog-dialog hubungan sipil-militer dan hubungan sipil-sektor keamanan secara umum.
Revisi UU TNI seharusnya menjadi momentum untuk memperjelas, bukan mengaburkan peran militer dalam kehidupan demokrasi.
Dialog konstruktif masyarakat sipil dan sektor keamanan, termasuk polisi dan intelijen harus kembali dibuka dengan tema utama mendengarkan aspirasi masyarakat sipil dan berikut kebutuhan strategis negara dengan sektor keamanan sebagai aktor utama.
Tanpa dialog, kondisi hanya akan jadi bom waktu: menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik, dan membuka luka lama yang (ternyata) belum sembuh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.