Event: Rezim Orde Baru

  • Survei Litbang “Kompas”: 68,6 Persen Responden Khawatir Tumpang Tindih Kewenangan TNI Masuk Lembaga Sipil

    Survei Litbang “Kompas”: 68,6 Persen Responden Khawatir Tumpang Tindih Kewenangan TNI Masuk Lembaga Sipil

    Survei Litbang “Kompas”: 68,6 Persen Responden Khawatir Tumpang Tindih Kewenangan TNI Masuk Lembaga Sipil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Litbang
    Kompas
    merilis hasil jajak pendapat pada 17-20 Maret 2025 yang memberikan hasil 68,6 responden menyatakan kekhawatiran mereka adanya tumpang tindih kewenangan ketika TNI masuk ke lembaga sipil.
    Litbang
    Kompas
    menyebut, derajat kekhawatiran paling tinggi ditujukan oleh responden dengan pendidikan tinggi.
    “Kekhawatiran yang ditunjukkan oleh kelompok responden ini mencapai 81,5 persen,” tulis peneliti Litbang
    Kompas
    , Vincentius Gitiyarko dikutip dari
    Kompas.id
    , Jumat (28/3/2025).
    Sedangkan untuk responden berpendidikan dasar juga masih khawatir dengan isu timpang tindih tersebut dengan angka 64,5 persen.

    Berdasarkan hasil Litbang
    Kompas
    , kekhawatiran tinggi yang ditunjukkan oleh responden berpendidikan tinggi lumrah terjadi karena paparan informasi dan derajat pengetahuan mereka mengenai isu revisi
    UU TNI
    yang telah disahkan.
    “Apalagi jika ditarik dalam konteks sejarah, sangat mungkin ada trauma terulangnya pendekatan militer dilakukan secara masif semasa Orde Baru,” tulis Vincentius.
    Contoh kasus kehawatiran ini terjadi ketika seorang perwira tinggi militer berada di posisi starategis, perumusan masalah kebijakan sipil akan berpotensi bias.
    Bias bisa terjadi ketika kebijakan yang diambil dengan pertimbangan demokratis dan profesional justru menerapkan pendekatan hierarki komando dan militeristik.
    Adapun jajak pendapat Litbang
    Kompas
    ini dilakukan melalui telepon pada 17-20 Maret 2025. Terdapat 535 responden dari 38 provinsi yang diwawancara.
    Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang
    Kompas
    sesuai proporsi jumlah penduduk tiap provinsi.
    Menggunakan metode ini, tingkat kepercayaan hasil jajak pendapat mencapai 95 persen dengan
    margin of error
    lebih kurang 4,25 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana.
    Jajak pendapat ini sepenuhnya dibiayai oleh PT Kompas Media Nusantara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Demo Tolak UU TNI yang Terus Berlanjut, tapi DPR Abai

    Demo Tolak UU TNI yang Terus Berlanjut, tapi DPR Abai

    Demo Tolak UU TNI yang Terus Berlanjut, tapi DPR Abai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Massa kembali menggelar demonstrasi menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di depan Gedung DPR/MPR RI, Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (27/3/2025).
    Peserta aksi tiba secara bertahap, menggunakan pakaian serba hitam, penutup wajah, hingga pelindung kepala.
    Begitu tiba, massa langsung menempelkan sejumlah stiker di
    barrier
    beton yang melintang di gerbang utama Gedung DPR/MPR RI.
    Bukan hanya itu, sejumlah poster turut ditempelkan di pilar dan tiang-tiang area gerbang masuk kantor parlemen tersebut.
    Poster, stiker, hingga selebaran itu berisi ekspresi serta keresahan terhadap situasi sosial dan politik di Tanah Air.
    Pemicu utamanya adalah Revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang disahkan menjadi UU TNI melalui rapat paripurna DPR RI, Kamis (20/3/2025).
    Massa khawatir dwifungsi TNI yang pernah terjadi pada era Orde Baru akan terulang di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 
    Salah satu stiker yang menggambarkan kondisi Ibu Pertiwi menyinggung Sapta Marga, kode kehormatan sekaligus pedoman bagi TNI dalam menjalankan tugas dan kehidupan sehari-hari.
    “Negara ini asanya Pancasila, bukan Sapta Marga!” demikian bunyi salah satu stiker berlatar biru muda tersebut.
    Melalui aksi ini, massa menuntut DPR RI mencabut UU TNI. Massa meminta seruan “kembalikan TNI ke barak” terealisasi.
    Massa tidak ingin lagi TNI terlibat dalam urusan politik atau pemerintahan sipil, serta fokus pada tugas utamanya, yaitu mempertahankan negara.
    Selain menolak pengesahan RUU TNI, massa juga menyoroti RUU Polri yang dikabarkan sedang dibahas anggota parlemen.
    “Buka mata, UU TNI dan RUU Polri mengancam keselamatan kita semua. #semuabisadiculik,” demikian bunyi narasi pada stiker berwarna merah tersebut.
    Menuju petang, massa aksi semakin ramai. Massa memadati gerbang masuk Gedung DPR/MPR RI, menyampaikan orasi, hingga membakar ban.
    Jalan Gatot Subroto arah Semanggi, Jakarta Selatan, menuju Slipi, Jakarta Barat pun sempat ditutup. Hal yang sama juga berlaku untuk Tol Dalam Kota dengan arah serupa.
    Begitu juga dengan ikrar Sumpah Pemuda dan tembang “Buruh Tani” yang turut dikumandangkan. Tidak lupa, massa mengangkat tangan kiri sebagai simbol perlawanan.
    Namun, tak ada satu pun perwakilan DPR RI yang menemui massa aksi. Oleh karenanya, massa menaiki pagar dan menembakkan petasan ke arah polisi yang tengah berjaga di dalam area kantor parlemen.
    Polisi pun langsung menembakkan
    water cannon
    melalui kendaraan taktis yang telah disiapkan. Beberapa peserta aksi lantas menyingkir dari pagar.
    Namun, tak lama, massa kembali mendekat. Mereka kompak mengeluarkan payung agar
    water cannon
    tak langsung mengenai badan.
    Momen buka puasa di depan Gedung DPR RI sore itu pun sempat diiringi dentuman petasan. Tak berselang lama, sekitar pukul 18.30 WIB, mobil taktis datang dari arah Slipi untuk membubarkan massa.
    Polisi menyusuri Jalan Gatot Subroto hingga Jembatan Ladokgi, menembakkan
    water cannon
     agar massa bubar. 
    Namun, tindakan ini mendapat perlawanan dari peserta aksi.
    Beberapa demonstran sempat menembakkan petasan dan melemparkan molotov ke arah polisi. Massa juga meneriakkan “revolusi” dan “alerta” sambil melempar berbagai benda ke
    water cannon
    milik polisi.
    “Woy, gue bayar pajak!” teriak salah satu peserta aksi.
    Meski mendapat perlawanan, polisi terus merangsek mendekat ke arah massa.
    Sementara itu, peserta aksi perlahan mundur sambil melemparkan berbagai barang ke arah polisi yang berupaya membubarkan mereka.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Arah pembangunan desa berbasis kekuatan kolektif masyarakat

    Arah pembangunan desa berbasis kekuatan kolektif masyarakat

    Jakarta (ANTARA) – Kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang hendak membentuk koperasi desa sebagai pilar ekonomi rakyat di tingkat bawah patut diapresiasi.

    Koperasi desa yang berbasis pada kekuatan kolektif masyarakat diharapkan mampu menjadi alat penting dalam menggerakkan roda ekonomi desa, utamanya memperkuat ketahanan pangan dan membuka lapangan kerja di tingkat lokal.

    Langkah ini menjadi sinyal positif bahwa pembangunan ke depan akan kembali menempatkan desa sebagai bagian penting perhatian pemerintah.

    Sudah seharusnya desa mendapatkan dukungan yang nyata dan terukur. Setidaknya ada empat alasan penting mengapa desa perlu mendapat perhatian serius dalam pembangunan nasional.

    Pertama, membangun desa artinya membangun pemerataan dan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi antara desa dengan kota.

    Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di perdesaan masih lebih tinggi dibanding perkotaan, yakni 12,22 persen di desa dan 7,29 persen di kota.

    Ketimpangan pembangunan yang terlalu terpusat di perkotaan telah menyebabkan desa tertinggal dalam banyak aspek, mulai dari infrastruktur, pendidikan, hingga akses ekonomi.

    Pembangunan desa secara langsung akan memperkecil jurang kesenjangan ini dan menciptakan keadilan sosial.

    Kedua, pembangunan desa berarti mencegah urbanisasi yang akan terus terjadi. Fenomena urbanisasi yang terus meningkat menjadi bukti bahwa desa gagal menyediakan ruang hidup dan lapangan kerja yang layak bagi warganya.

    Data BPS mencatat penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan meningkat dari 49,8 persen pada tahun 2010 menjadi 56,7 persen pada tahun 2020.

    Angka ini diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 66,6 persen pada tahun 2035. Jika tidak diatasi, urbanisasi bukan hanya menguras tenaga produktif desa, tetapi juga membebani kota dengan berbagai persoalan sosial baru, seperti kemiskinan urban, pengangguran, dan meningkatnya kawasan kumuh.

    Membangun desa dengan memperluas kesempatan kerja dan dunia usaha adalah jawaban penting untuk menahan laju urbanisasi ini.

    Ketiga, pembangunan desa adalah memperkuat basis agraris dan ketahanan pangan nasional. Desa adalah tempat para petani dan nelayan menggantungkan hidup, sekaligus penghasil utama kebutuhan pangan bangsa.

    Hanya saja, sektor pertanian sering kali terabaikan dalam prioritas pembangunan. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional terus menurun, sementara kesejahteraan petani masih rendah.

    Membangun desa berarti juga membangun pertanian dan menyejahterakan petani. Hal ini penting demi menjamin ketahanan pangan nasional, sekaligus mengangkat harkat hidup petani.

    Keempat, pembangunan desa adalah merawat identitas dan kebudayaan bangsa. Desa merupakan ruang hidup dari budaya asli Nusantara yang masih lestari. Tradisi, adat istiadat, dan nilai-nilai gotong royong tumbuh subur di desa.

    Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, membangun desa juga berarti merawat akar budaya bangsa agar tidak tercerabut dari nilai-nilai luhur warisan nenek moyang.

    Membangun desa juga berarti masyarakat tumbuh beriring dengan nilai-nilai budaya, sekaligus memberi rasa bermakna dalam kehidupan, lebih dari sekadar urusan ekonomi dan hal-hal yang sifatnya material.

    Namun, jika menengok ke belakang, upaya pembangunan desa sesungguhnya bukan hal baru.

    Rezim Orde Baru, dengan segala kekurangan dan kelebihannya, pernah menempatkan desa sebagai pusat perhatian pembangunan.

    Program strategis

    Pemerintah, saat itu meluncurkan berbagai program strategis perdesaan yang sebagian besar masih terasa manfaatnya hingga kini.

    Di bidang pertanian, Orde Baru membangun bendungan, irigasi, serta memperkuat penyuluh lapangan dan distribusi pupuk serta benih.

    Puncaknya, pada tahun 1984, Indonesia berhasil mencapai swasembada pangan dan mendapat pengakuan dari Food and Agriculture Organization (FAO).

    Selain itu, pemerintah membentuk koperasi unit desa (KUD) sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berperan penting di perdesaan.

    Di sektor kesehatan, dibangun puskesmas dan posyandu untuk menjangkau layanan kesehatan dasar bagi masyarakat desa.

    Program Keluarga Berencana (KB) juga berjalan efektif di desa dengan melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama, yang sukses menekan laju pertumbuhan penduduk dan diakui sebagai salah satu program paling berhasil di dunia.

    Di bidang pendidikan, pemerintah Orde Baru juga meluncurkan program sekolah dasar inpres yang membuka akses pendidikan dasar secara merata di seluruh pelosok negeri.

    Kebijakan ini berdampak pada meningkatnya angka partisipasi kasar pendidikan dasar dan mempercepat penurunan angka buta huruf di desa-desa.

    Pendekatan pembangunan, kala itu juga masih kental dengan sentuhan budaya. Gotong royong dijadikan bagian integral dalam setiap program pembangunan, mulai dari pembangunan jalan desa hingga program kesehatan dan pendidikan.

    Kerja kolektif

    Pelibatan tokoh masyarakat dan agama dalam berbagai kebijakan menjadi kunci keberhasilan pendekatan partisipatif yang diterapkan pemerintah.

    Tidak hanya itu, salah satu keberhasilan besar Orde Baru yang jarang disorot adalah kemampuannya menekan angka inflasi dari era sebelumnya yang sempat tidak terkendali.

    Selain itu, stabilitas ekonomi terjaga dengan laju inflasi rendah, pertumbuhan ekonomi sempat menyentuh angka 7 persen, dan angka kemiskinan berhasil ditekan.

    Pembangunan desa, waktu itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari strategi besar negara dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

    Meskipun demikian, tentu saja Orde Baru memiliki banyak kekurangan, mulai dari sentralisasi kekuasaan, hingga praktik korupsi yang merajalela.

    Di balik semua itu, ada satu hal penting yang patut dicatat, negara terasa hadir di masyarakat. Kehadiran negara itu memberi rasa aman, baik dari sisi keamanan fisik, psikis, maupun sosial budaya.

    Mengambil pelajaran dari sejarah, pembangunan desa ke depan harus dilakukan secara lebih bijak dan terukur. Desa bukan sekadar objek pembangunan yang bisa didikte dari atas.

    Desa adalah entitas hidup dengan dinamika dan kekuatan lokalnya sendiri. Membangun desa membutuhkan pendekatan yang memahami kultur, kebutuhan, dan potensi desa secara utuh.

    Keberhasilan pembangunan desa hanya akan terwujud jika program yang dicanangkan benar-benar dilakukan secara komprehensif, hati-hati, melibatkan berbagai ahli di bidangnya, seperti para ekonom, budayawan, sosiolog, anthropog, serta melibatkan unsur perguruan tinggi dan pegiat perdesaan.

    Pendeknya, membangun arah pembangunan desa merupakan kerja kolektif, saintis, teknokratis, dan bukan keputusan yang selesai di meja rapat birokrasi.

    *) Adib Achmadi, S.Pt, M.Pd adalah Ketua STMIK YMI Tegal dan pemerhati sosial budaya, pegiat di Padepokan Kalisoga, sebuah lembaga sosial yang berfokus pada pendidikan kepemimpinan dan penguatan kelembagaan desa

    Copyright © ANTARA 2025

  • Kepala BNPT sebut dialog kebangsaan sarana krusial perkuat persatuan

    Kepala BNPT sebut dialog kebangsaan sarana krusial perkuat persatuan

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono menyebutkan bahwa program dialog kebangsaan menjadi sarana krusial untuk memperkuat persatuan dan kebangsaan.

    Sebab, kata dia, paham radikal terorisme masih menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan perdamaian di bumi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

    “Karena itu, masyarakat harus terus diberikan edukasi dan literasi terhadap bahaya paham kekerasan tersebut,” kata Eddy dalam acara Dialog Kebangsaan dalam Rangka Memperkuat Persaudaraan untuk Menjaga Bangsa di Pekanbaru, Riau, Rabu (26/3), seperti dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.

    Maka dari itu, BNPT dan Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus memperkuat kolaborasi untuk memperkuat ketahanan masyarakat dengan edukasi dan literasi bahaya radikal terorisme masyarakat Riau melalui kegiatan Dialog Kebangsaan.

    Adapun Komisi XIII DPR RI menangani beberapa isu krusial seperti Hak Asasi Manusia (HAM), keimigrasian, pemasyarakatan, dan penanggulangan terorisme.

    Eddy menuturkan bahwa sejatinya bangsa Indonesia memiliki sejarah panjang terhadap ancaman terorisme di tiga era, mulai dari masa orde lama, orde baru, dan reformasi.

    Pada masa orde lama, ia menjelaskan Indonesia diuji dengan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), sedangkan pada masa orde baru muncul kelompok residu dari DI/TII yang bermetamorfosis atau membentuk generasi baru dan pencegahannya lebih kepada pendekatan intelijen bernama Bakorstanasda (Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional tingkat Daerah).

    Setelah itu pada era reformasi tahun 1999 ke atas, menurutnya, mulai terjadi lagi pengeboman di berbagai daerah, seperti bom malam Natal, Bom Bali I, Bom Bali II, dan sebagainya.

    “Saat itu pemerintah seperti kaget, sehingga muncul Desk Terorisme di bawah Menko Polkam. Hingga akhirnya dilakukan operasi penegakan hukum hingga saat ini,” tuturnya menjelaskan.

    Ia menyampaikan bahwa BNPT juga mempunyai program Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme (RAN-PE) berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme.

    BNPT turut melaksanakan Astacita Presiden RI Prabowo Subianto dan prioritas RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional).

    Untuk itu, dirinya mengimbau masyarakat agar selalu meningkatkan kewaspadaan dari potensi ancaman penyebaran paham radikal terorisme, di mana radikalisme itu tumbuh dari intoleransi.

    “Maka dari itu kami berpesan agar budaya toleransi beragama antar-suku bangsa itu harus terus dipelihara. Ini penting agar tidak terjadi intoleransi yang dapat berujung pada tindakan terorisme,” ujar Eddy.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Komisi XIII DPR RI Willy Aditya mengatakan bahwa penting bagi seluruh masyarakat untuk berdiskusi tentang persatuan pada bulan Ramadan kali ini agar masyarakat tidak lupa bagaimana Indonesia hadir sebagai sebuah bangsa.

    “Sangat relevan untuk mengingat bagaimana Indonesia terbentuk sebagai sebuah bangsa dengan kontribusi besar dari bangsa Melayu, karena masyarakat Indonesia memiliki dua konsep penting, yakni persaudaraan dan kebangsaan,” ucap Willy.

    Dalam memerangi terorisme dan memperkuat persaudaraan, dirinya berpendapat tidak cukup jika hanya dengan seminar atau pembelajaran kognitif, tetapi harus melalui dialog dan kerja bersama.

    Dengan demikian, dia berharap dialog tersebut bida memberikan manfaat dalam memperkuat persatuan dan kebangsaan.

    Dialog Kebangsaan dalam Rangka Memperkuat Persaudaraan untuk Menjaga Bangsa tersebut dihadiri sebanyak 240 peserta yang terdiri atas unsur tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi masyarakat, partai politik, dan mahasiswa.

    Dialog Kebangsaan merupakan wadah atau forum diskusi yang digagas BNPT dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, kesadaran, dan semangat kebangsaan, serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, yang biasanya melibatkan berbagai pihak untuk membahas isu-isu penting terkait bangsa dan negara.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Mengukur dengan tepat melepaskan kita dari simpulan sesat

    Mengukur dengan tepat melepaskan kita dari simpulan sesat

    Jakarta (ANTARA) – Dalam dunia yang semakin kompleks dan banjir informasi, kemampuan untuk mengukur dan menilai dengan tepat menjadi sangat penting, tetapi juga semakin sulit.

    Butuh kemauan untuk menggali dan mendalami informasi untuk bisa menemukan tolok ukur yang tepat yang membawa kita kepada kesimpulan yang akurat.

    Seperti pepatah lama yang mengatakan, “Jika Anda mengukur sesuatu dengan cara yang salah, hasilnya juga pasti akan salah.”

    Coba bayangkan jika kita diminta untuk mengukur jumlah air di waduk Jatiluhur menggunakan sendok kecil. Atau, kita diminta untuk mengukur sekarung beras menggunakan timbangan bayi. Tentu saja, usaha kita akan sia-sia karena alat dan metode yang digunakan sangat tidak sesuai dengan tujuan tersebut. Jadi, jika waktu, metode, dan pembanding yang digunakan tidak tepat, maka kesimpulan yang kita ambil pun niscaya tidak akan tepat.

    Fenomena inilah yang seringkali terjadi ketika kita mencoba untuk menilai kebijakan pemerintah atau isu-isu sosial lainnya tanpa alat ukur yang tepat, kita akhirnya bisa terjebak dalam penilaian yang sesat.

    Oleh karena itu, kita harus lebih teliti dalam memilih metode pengukuran dan pembanding yang digunakan.

    Salah satu contoh nyata dari pengukuran yang tidak tepat bisa kita temukan dalam perdebatan seputar RUU TNI yang sudah disahkan DPR pada 20 Maret 2025. Beberapa pihak menilai dengan adanya penambahan 40 persen jumlah kementerian yang bisa dijabat oleh TNI aktif, menunjukkan bahwa pemerintah dan DPR mau mengembalikan praktik dwifungsi TNI, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.

    Namun, mari kita lihat dulu alat ukur yang digunakan. Jika kita bandingkan dengan UU Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI tidak ada batasan bagi anggotanya untuk berperan di mana saja bahkan di ruang politik. Mereka juga bisa menjabat sebagai anggota DPR maupun kepala daerah sesuai dengan pasal 6 tentang Dwifungsi ABRI. Sementara dalam UU TNI terbaru, anggota TNI aktif sangat dibatasi hanya bisa ditugaskan ke dalam 14 kementerian dan lembaga saja yang terkait dengan bidang yang relevan dengan tugas dan kapasitas TNI, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

    Dengan alat ukur tadi, jelas bisa disimpulkan, Pemerintah dan DPR justru sedang berusaha menjaga konsistensi terhadap perjuangan reformasi dengan menjaga supremasi sipil melalui penebalan batas bagi anggota TNI di ranah sipil.

    Contoh lain yang dapat kita cermati adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Beberapa pihak menyimpulkan program ini gagal hanya karena sampai pertengahan Maret realisasi belanja MBG baru mencapai kurang dari 1 persen dari anggaran yang dialokasikan. Manfaat dari program ini juga baru diterima sekitar tiga juta anak. Pengukuran yang digunakan sangat tidak tepat.

    Coba kita ganti alat ukurnya bukan melihat dari jangka pendek, tetapi jangka panjang.

    Pemerintah memang merencanakan agar program MBG dijalankan secara bertahap karena menyasar skala yang sangat besar. Pada akhir Februari, targetnya adalah 2,2 juta penerima, dan pada akhir April ditargetkan enam juta penerima. Sementara itu, pada akhir Oktober, jumlah penerima akan meningkat menjadi 45 juta penerima. Nantinya, pada akhir Desember 2025, pemerintah menargetkan ada 82 juta anak dapat merasakan manfaatnya.

    Dengan kata lain, realisasi tiga juta penerima pada pertengahan Maret sudah sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, klaim bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan program ini jelas tidak tepat.

    Satu lagi contoh pengukuran yang tidak tepat sehingga berakhir dengan simpulan sesat.

    Pembentukan Danantara, Sovereign Wealth Fund (SWF) milik Indonesia. Sejak 1 Januari sampai 18 Maret 2025, terjadi penurunan harga saham di beberapa sektor, termasuk saham bank-bank BUMN, dan juga net sell asing dari pasar saham Indonesia mencapai 1,6 miliar dolar AS atau sekitar Rp26 triliun. Beberapa pihak langsung menarik kesimpulan bahwa Danantara gagal karena tidak ada kepercayaan dari investor global. Namun, pengukuran ini pun tidak tepat.

    Mari kita gunakan alat ukur yang tepat, yakni membandingkan dengan negara-negara lain secara global pada waktu yang sama. Kita akan menemukan fakta bahwa sejak 1 Januari sampai 18 Maret 2025 terjadi net sell asing dari bursa saham India (15,9 miliar dolar AS), Jepang (14,1 miliar dolar AS), dan Korea Selatan (5 miliar dolar AS).

    Sementara, Indonesia di waktu yang sama, net sell asing dari bursa Indonesia sebesar 1,6 miliar dolar AS. Ini menunjukkan bahwa adanya realokasi aset global, di mana net sell asing terjadi di berbagai bursa, berpindah ke bursa Tiongkok dan komoditas emas. Bisa disimpulkan fenomena ini bukan karena pendirian Danantara, tetapi realokasi aset oleh fund manager besar sedang terjadi secara global.

    Sudah saatnya kita membongkar cara ukur yang tidak tepat. Memberikan kritik yang konstruktif tentang kebijakan pemerintah adalah suatu kebajikan. Namun, jika caranya salah maka justru bisa merugikan banyak pihak.

    *) Noudhy Valdryno adalah Deputi Bidang Diseminasi dan Media Informasi Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO)

    Copyright © ANTARA 2025

  • Revisi UU TNI Harusnya Fokus pada Reformasi Peradilan Militer

    Revisi UU TNI Harusnya Fokus pada Reformasi Peradilan Militer

    Jakarta, Beritasatu.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan revisi UU TNI harusnya difokuskan pada reformasi peradilan militer serta mengatur mekanisme peradilan bagi prajurit yang melakukan tindak pidana umum, bukan memperluas kewenangan militer dalam jabatan sipil.

    Dalam reformasi peradilan militer, revisi UU TNI harus memastikan transparansi dan akuntabilitas hukum bagi prajurit yang melanggar hukum, serta mengembalikan TNI pada tugas utamanya sebagai penjaga pertahanan negara, bukan alat politik atau kekuasaan.

    Dalam catatan AJI, berdasarkan data kekerasan terhadap jurnalis pada 2024 saja, TNI menduduki posisi kedua sebagai pelaku. Sementara hingga Maret 2025, institusi TNI sudah melakukan kekerasan pada jurnalis sebanyak satu kali.

    Saat ini, anggota TNI yang melakukan kekerasan terhadap warga sipil, termasuk jurnalis, hanya diadili di peradilan militer dengan hukuman yang ringan dan jauh dari efek jera. Seharusnya, anggota TNI yang melanggar hukum pidana diadili di pengadilan sipil, bukan militer.

    “Jika mereka melakukan tindak pidana umum, seperti kekerasan terhadap jurnalis, maka (seharusnya) pengadilan yang berwenang adalah pengadilan sipil,” kata Ketua Umum AJI Indonesia Nany Afrida dalam keterangannya, Rabu (26/3/2025).

    Ia menjelaskan, hukuman yang dijatuhkan di pengadilan sipil bisa mencapai tahunan, menciptakan efek jera yang lebih kuat dan memastikan keadilan bagi korban. Berbeda dengan pengadilan militer, yang hukumannya pasti lebih rendah.

    Untuk itu, AJI menolak tegas hasil revisi UU TNI yang sudah disahkan DPR pada Kamis (20/3/2025), karena dinilai sebagai bentuk kemunduran demokrasi Indonesia.

    “Disahkannya RUU TNI ini merupakan tanda kemunduran demokrasi,” kata Nany.

    AJI menilai UU TNI yang sudah disahkan DPR tersebut sebagai upaya memperluas kewenangan militer dalam jabatan sipil dan berpotensi mengancam prinsip supremasi sipil dalam demokrasi, sekaligus membuka ruang bagi keterlibatan militer dalam ranah pemerintahan yang seharusnya dijalankan oleh warga sipil.

    Menurut AJI, kehadiran UU TNI makin menunjukkan keinginan untuk memperkuat posisi kekuasaan dengan cara melibatkan militer dalam ranah sipil.

    AJI juga menyoroti proses pengesahan RUU TNI yang mengabaikan aspirasi dan partisipasi publik. Sejumlah aksi di berbagai kota, seperti Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Manado, Purwokerto, Bandung, dan lainnya membuktikan rakyat tidak menghendaki pengesahan revisi UU TNI.

    Tagar #TolakRUUTNI menyatukan masyarakat sipil prodemokrasi di media sosial.

    Menurut Nany, yang menyedihkan adalah anggota DPR justru amnesia terhadap sejarah buruk dwifungsi ABRI/TNI yang terjadi saat era Orde Baru. “Mereka seolah melupakan perjuangan reformasi untuk mengembalikan militer kembali ke barak dan menjadi tentara professional,” ujarnya.

    AJI mengingatkan Indonesia pernah mengalami pengalaman buruk terkait situasi kemerdekaan pers pada masa rezim militer Orde Baru. Kebebasan berekspresi dihambat dan belasan media massa dibredel. Puncaknya adalah pembredelan majalah Tempo, Editor, dan Detik yang memberitakan soal korupsi pembelian kapal perang bekas dari Jerman Timur pada 1994.

    Kekerasan terhadap jurnalis juga terjadi, salah satunya pembunuhan wartawan Bernas Udin yang mengkritisi bupati Bantul, seorang militer aktif. Aktivis buruh, seperti Marsinah juga dihabisi oleh tentara yang jadi beking perusahaan.

    “Keterlibatan militer dalam ranah sipil hampir tidak mungkin berjalan bersama dengan kebebasan pers. Militer mempunyai budaya komando dan tidak memberi ruang pada kritik yang menjadi isi berita media massa sebagai lembaga kontrol sosial,” kata Nany.

    Menurutnya Revisi UU TNI seharusnya bukan tentang memperluas jabatan sipil bagi militer, tetapi memastikan bahwa anggota TNI agar tetap profesional dan berada di barak untuk mengurusi persoalan pertahanan.

    Alasan AJI Indonesia Menolak Pengesahan Revisi UU TNI:

    1. UU TNI menandai ancaman serius masa depan demokrasi, supremasi sipil, dan kebebasan pers.

    2. Menghambat profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan karena sibuk mengurusi urusan sipil dan melalaikan tugas utamanya untuk pertahanan negara.

    3. UU TNI memperlambat proses reformasi di tubuh TNI.

    AJI menyerukan agar seluruh lapisan masyarakat secara bersama-sama menolak UU TNI agar Indonesia tidak kembali ke masa Orde Baru yang mengarah pada rezim junta militer ala Thailand atau Myanmar.

  • Investor Korea Selatan Resah, Investasi Puluhan Triliun Rupiah Terancam Imbas Revisi UU TNI Disahkan

    Investor Korea Selatan Resah, Investasi Puluhan Triliun Rupiah Terancam Imbas Revisi UU TNI Disahkan

    PIKIRAN RAKYAT – Indonesia kembali menjadi sorotan internasional, khususnya bagi investor asing asal Korea Selatan. Hal ini terjadi setelah parlemen Indonesia resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025.

    Revisi ini memungkinkan personel militer aktif menduduki jabatan strategis di berbagai lembaga pemerintahan tanpa harus pensiun terlebih dahulu. Kebijakan ini menimbulkan gelombang kekhawatiran, terutama di kalangan investor Korea yang telah menanamkan triliunan won di Indonesia.

    Kembali ke Bayang-Bayang Orde Lama?

    Revisi ini menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat sipil di Indonesia. Banyak pihak menilai aturan baru ini membawa Indonesia kembali ke masa kelam di era Soeharto, di mana militer memiliki pengaruh besar dalam pemerintahan.

    Selama 30 tahun, dari 1967 hingga 1998, pemerintahan Soeharto dikenal dengan sistem otoriter yang menempatkan militer di berbagai lini pemerintahan dan ekonomi.

    “Revisi ini seakan membuka jalan bagi kembalinya pengaruh militer di sektor sipil, mirip dengan masa Orde Baru. Kami khawatir ini akan mengganggu iklim investasi dan kebebasan ekonomi,” ujar salah satu aktivis dari kelompok sipil lokal.

    Dampak Besar bagi Investor Korea

    Kekhawatiran ini semakin terasa di kalangan investor asing, khususnya dari Korea Selatan. Indonesia merupakan pusat produksi penting bagi perusahaan Korea, terutama di sektor kendaraan listrik dan baterai.

    Beberapa nama besar seperti Hyundai Motor Company, LG Energy Solution, dan EcoPro telah menanamkan investasi besar-besaran.

    Hyundai Motor Company, misalnya, telah menyelesaikan pabrik otomotif di Indonesia dengan kapasitas produksi 150.000 unit per tahun sejak 2022. Perusahaan tersebut bahkan berencana memperluas kapasitas produksi hingga 250.000 unit dengan total investasi mencapai 2,27 triliun won (Rp22,9 triliun).

    Selain itu, Hyundai dan LG Energy Solution juga membangun pabrik baterai melalui perusahaan patungan HLI Green Power dengan nilai investasi sekitar 1,5 triliun won (Rp11,3 triliun) dan kapasitas produksi tahunan 10 GWh, cukup untuk menyuplai 150.000 mobil listrik.

    EcoPro Group pun tak ketinggalan. Lewat anak usahanya, EcoPro Materials, perusahaan ini telah berinvestasi di kilang nikel Indonesia sebagai bagian dari strategi ‘integrasi vertikal’ untuk mendukung produksi baterai.

    Namun, semua rencana besar itu kini terancam. Kebijakan Baru, Ancaman Regulasi BaruPresiden Prabowo Subianto, mantan jenderal militer yang menjabat sejak Oktober 2024, diperkirakan akan mendapat dorongan besar dari revisi UU TNI ini.

    Dengan militer yang diizinkan duduk di 14 lembaga pemerintah, ada kekhawatiran peraturan di sektor lingkungan, tenaga kerja, dan perpajakan akan semakin ketat.

    “Kami khawatir aturan ini akan membawa dampak besar bagi iklim bisnis di Indonesia. Perusahaan Korea yang telah menanamkan modal besar bisa terjebak dalam regulasi yang lebih ketat, baik dari segi operasional maupun finansial,” kata seorang analis industri yang enggan disebutkan namanya.

    Selain regulasi yang lebih ketat, kebijakan populis yang diusung Presiden Prabowo Subianto, seperti program makan siang gratis untuk anak sekolah, diperkirakan membutuhkan sumber daya finansial besar. Hal ini membuka kemungkinan pemangkasan insentif pajak bagi perusahaan asing demi menutup anggaran belanja negara.

    “Ada kemungkinan besar keuntungan pajak yang selama ini dinikmati perusahaan asing akan berkurang atau bahkan dicabut untuk mendanai program kesejahteraan pemerintah,” tutur sang analis.

    Investor Diharapkan Waspada

    Sejumlah pengamat menilai bahwa perusahaan-perusahaan Korea yang masih dalam proses ekspansi atau baru memulai investasi harus lebih berhati-hati.

    “Perusahaan seperti EcoPro yang belum sepenuhnya mengeksekusi investasinya perlu mempertimbangkan ulang strategi mereka. Jangan sampai mereka hanya menjadi pion dalam rezim baru ini,” ujar salah satu sumber dari kalangan industri, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari NewDaily Korea.

    Dengan situasi yang terus berkembang, para investor, khususnya dari Korea Selatan, dihadapkan pada ketidakpastian yang kian besar. Apakah revisi UU ini akan benar-benar membebani investor atau justru membuka peluang baru di bawah pemerintahan militer? Semua mata kini tertuju pada langkah selanjutnya dari Presiden Prabowo dan jajaran pemerintahannya.

    Indonesia masih memiliki daya tarik besar di mata investor global, terutama dengan kekayaan sumber daya nikel yang krusial bagi industri baterai. Namun, dengan revisi UU TNI yang kontroversial ini, jalan menuju masa depan investasi di Indonesia sepertinya akan lebih berliku dari sebelumnya.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • TNI Bakal Lakukan Operasi di Ruang Siber, Zainal Arifin Muchtar Soal UU TNI: Masih Percaya Tak Ada Relasinya dengan Kebebasan Berekspresi?

    TNI Bakal Lakukan Operasi di Ruang Siber, Zainal Arifin Muchtar Soal UU TNI: Masih Percaya Tak Ada Relasinya dengan Kebebasan Berekspresi?

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Militer bakal melakukan operasi informasi di ruang siber. Itu setelah revisi Undang-Undang (UU) TNI terbaru.

    Hal tersebut kini menjadi sorotan. Salah satunya datang dari Pakar Hukum Tata Negara Zainal Arifin Mochtar.

    Ia mengajukan pertanyaan spekulasi. Bahwa apakah revisi UU TNI benar-benar tak berpengaruh ke ruang sipil.

    “Masih percaya tak ada relasinya dengan ruang sipil dan kebebasan berekspresi?” kata Zainal dikutip dari unggahannya di X, Rabu (26/3/2025).

    Dosen Universitas Gadjah Mada itu menyoal operasi tersebut. Menurutnya bisa saja menjadi hal yang diartikan semaunya.

    Pasalnya, pihak TNI mengatakan operasi siber menyasar pihak yang mengancam kedaulatan bangsa.

    “Bayangkan jika ancaman kedaulatan bangsa itu diterjemahkan serampangan? Camkan, kisanak,” terangnya.

    Sebelumnya, revisi UU TNI menuai penolakan dari masyarakat sipil. Karena dianggap akan mengembalikan dwifungsi TNI.

    Namun terjadi pro kontra. Pemerintah menyebut revisi UU TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi TNI seperti saat orde baru.
    (Arya/Fajar)

  • Kisah Rupiah Jatuh, Krisis Ekonomi dan Runtuhnya Suatu Rezim Politik

    Kisah Rupiah Jatuh, Krisis Ekonomi dan Runtuhnya Suatu Rezim Politik

    Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpuruk hingga mendekati kondisi ketika krisis ekonomi 1998. Pada Selasa (25/3/2025) lalu, rupiah ditutup di angka Rp16.622 per dolar AS. 

    Depresiasi rupiah yang terjadi kemarin terendah selama tahun 2025 dan mendekati titik kritis ketika krisis ekonomi menerjang pada tahun 1998 lalu. Krisis ekonomi ini berujung dengan krisis politik yang mencapai puncaknya ketika Presiden Soeharto lengser keprabon karena protes mahasiswa dan elemen sipil yang menuntut demokratisasi.

    Namun demikian, membandingkan ekonomi sekarang dengan krisis ekonomi 1998, tidak sepenuhnya tepat. Depresiasi rupiah tahun ini cenderung simultan. Sementara itu pada tahun 1998, penurunan rupiah terhadap dolar berlangsung sangat dramatis dari Rp8.000 melonjak ke angka Rp16.600-an per dolar AS. Ekonomi ambruk, rezim Orde Baru runtuh. 

    Dalam catatan Bisnis, Soeharto sejatinya muncul setelah Sukarno jatuh. Ada perbedaan orientasi yang mencolok antara rezim Sukarno dan Soeharto. Jika era Sukarno, politik sebagai panglima. Pada zaman Orde Baru atau rezim daripadanya Soeharto, perbaikan dan pembaruan orientasi ekonomi mulai menjadi fokus utama.

    Soeharto tidak sendiri untuk melakukan tugas besar itu. Dia didukung oleh orang-orang yang ‘mumpuni’. Selain tokoh intelijen, penggagas pondasi pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo, di belakangnya juga ada kalangan ekonom lulusan Berkeley, Amerika Serikat.

    David Ransom, aktivis dan penulis kiri asal Amerika Serikat dalam buku The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre menjuluki kelompok ekonom ini dengan istilah ‘Mafia Berkeley’.

    Dalam sejarah ekonomi Indonesia, ‘Mafia Berkeley’, salah satu tokohnya adalah Widjojo Nitisastro dkk. punya peran penting, bahkan hingga kini anak cucu didiknya dikenal sebagai arsitek utama ekonomi Indonesia.

    Salah satu pengaruh sekaligus warisan kelompok Berkeley dalam kebijakan Orde Baru adalah mulai terbukanya keran investasi asing dan pembangunan yang lebih terstruktur.

    Apabila pada era Sukarno ada Rencana Ekonomi Perdjoeangan, di era Soeharto mengenal istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita. Inflasi menjadi bagian paling diperhatikan oleh rezim daripadanya Soeharto.

    Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 dalam tulisan yang diterbitkan sebuah surat kabar pada 16 Juli 1969 menaruh harapan besar pada rencana Soeharto dengan repelita-nya.

    Dia menulis, melalui rencana itu, Soeharto punya cita-cita yang tak kalah besar (dari Sukarno) untuk menyejahterakan masyarakat desa. “Tahun ini adalah tahun pertama pembangunan lima tahun, tapi kesan saya masyarakat masih acuh terhadap rencana besar ini,” tulis Gie.

    Adapun, Soeharto dalam setiap kesempatan selalu menekankan bahwa repelita merupakan acuan sekaligus pegangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.

    “Sehingga akhirnya nanti sesudah melampaui kesekian banyak repelita kita tiba pada tujuan akhir yang kita cita-citakan: masyarakat maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila,” ucap Soeharto dalan pidato kenegaraan di DPR pada tahun 1972.

    Orde Baru mencapai puncak kejayaannya pada tahun 1970-an. Saat itu pendapatan negara mengalir deras karena booming minyak. Pembangunan dikebut di berbagai daerah. Jalanan aspal, listrik masuk desa, hingga waduk-waduk dibangun untuk menopang ekonomi masyarakat pedesaan.

    Sayangnya, kejayaan Orde Baru tidak berlangsung lama. Pada awal tahun 1980-an terjadi guncangan ekonomi global. Akibatnya, harga komoditas khususnya migas anjlok.

    Menuju Krisis Ekonomi

    Setelah resesi global pada 1982, arah ekonomi Indonesia mulai sedikit bergeser. Sektor nonmigas yang sebelumnya menjadi anak tiri mulai diperhatikan.

    Ekspor dan impor, reformasi pajak hingga investasi berbasis industri terus didorong. Tak heran hingga 1996 kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa di atas 6 persen.

    Thee Kian Wie, ekonom senior dalam The Soeharto Era & After: Stability, Development and Crisis 1966 – 2000 menulis bahwa perkembangan positif tersebut tak lepas dari peran tim ekonomi Orde Baru. Pertumbuhan sektor manufaktur menjadi salah satu yang paling cepat di kawasan.

    Pada tahun 1995, World Bank bahkan mencatat bahwa manufaktur Indonesia masuk tujuh kekuatan terbesar di antara negara-negara berkembang. Pertumbuhan manufaktur ini menunjukkan bahwa transformasi struktur perekonomian Indonesia mulai berjalan.

    Sebagai perbandingan jika pada 1969 peran manufaktur hanya 9,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), pada 1995 kontribusi manufaktur ke PDB melesat ke angka 24,2 persen. Sebaliknya kontribusi sektor pertanian yang semula 49,3 persen pada 1969 hanya tersisa 17,2 persen pada 1995.

    Namun demikian, perubahan struktur perekonomian ini tidak menjadi jaminan, stabilitas ekonomi Indonesia tidak bisa menahan tensi politik dari gerakan anti-Soeharto yang mulai memanas pada tahun 1996-an. Salah satu perisitiwa yang cukup menohok rezim Orde Baru yaitu penyerangan kantor PDI Pro Mega pada tanggal 27 Juli 1996.

    Dokumen APBN 1996/1997 secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa peningkatan tensi politik ikut menjalar ke aktivitas ekonomi. Pada periode tersebut, pemerintah menghadapi overheated economy atau suhu ekonomi yang memanas. Inflasi meroket 8,86 persen pada 1995/1996.

    Sementara itu, defisit transaksi berjalan juga membengkak menjadi US$6,9 miliar dari sebelumnya yang hanya sekitar Rp3 miliar. Kondisi ini semakin parah pada periode-periode setelahnya, apalagi munculnya krisis finansial secara global.

    Seperti banyak diulas oleh para ekonom hingga akademisi, krisis finansial pada 1997 benar-benar menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru cukup rapuh. Pemerintah sampai harus ngutang ke IMF buat stabilisasi ekonomi.

    Sementara bagi “The Old General”, untuk pertama kalinya harus menghadapi tantangan yang cukup serius bagi kelangsungan kekuasaannya yang sudah berumur tiga dasawarsa.

    Persoalan merosotnya kinerja ekonomi ibarat membuka kotak pandora. Masalah lainnya, terutama praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikan orde daripada Soeharto dan kroni-kroninya mulai mengemuka ke publik.

    Puncaknya krisis ekonomi terjadi cukup dalam, inflasi tembus di angka 77,6 persen, ekonomi minus 13,7 persen, rupiah jatuh dari Rp8.000 per dolar menjadi Rp16.650 pada 1998, kerusuhan sosial, demonstrasi dimana-mana dan Soeharto lengser keprabon setelah 32 tahun berkuasa.

    Thee Kian Wie kembali menyinggung bahwa krisis finansial di Asia & terhempasnya ekonomi Indonesia akibat imbas krisis itu menunjukkan betapa pentingnya good governance, yang ironisnya pernah dianggap tidak relevan oleh para ekonom.

    “Indonesia memiliki sistem hukum yang lemah dan ketinggalan zaman, tidak efisien, birokrasi yang korup serta tidak adanya demokrasi,” tulis Thee Kian Wie.

  • Salim Said ungkap risiko kembalinya militer ke politik

    Salim Said ungkap risiko kembalinya militer ke politik

    GELORA.CO – Kenangan akan Dwifungsi di masa Orde Baru kembali mencuat ke publik setelah DPR mengesahkan RUU TNI.

    Isu kembali militer ke urusan sipil telah disuarakan beberapa kali oleh Salim Said di beberapa kesempatan.

    Prof. Dr. Salim Said atau Salim Said adalah salah satu akademisi yang turut mengawal reformasi militer di Indonesia, khususnya dalam penghapusan konsep Dwifungsi ABRI.

    Dalam wawancara 2 tahun yang lalu dengan Fadli Zon, Salim Said mengungkapkan bagaimana transisi peran militer di era reformasi dan tantangan yang dihadapi dalam proses tersebut.

    Menurut Salim Said, penghapusan Dwifungsi ABRI adalah langkah besar dalam sejarah militer Indonesia.

    Salim menekankan bahwa dibandingkan negara lain, seperti Myanmar, reformasi militer di Indonesia berjalan lebih baik karena adanya kesadaran dari dalam tubuh TNI sendiri.

    “Kalau kita bandingkan dengan Myanmar, di sana militernya tetap berkuasa karena tidak ada kesadaran untuk berubah,” ujarnya.

    Sementara di Indonesia, TNI sendiri yang memutuskan keluar dari politik,” tambahnya.

    Salim Said juga menjelaskan bahwa peran militer dalam politik sudah berlangsung sejak era kolonial.

    Pada masa Orde Baru, militer memiliki peran ganda sebagai alat pertahanan dan kekuatan politik.

    Namun, setelah reformasi 1998, paradigma itu mulai berubah.

    “Sejak tahun 2000, TNI benar-benar keluar dari politik praktis. Ini adalah pencapaian besar dalam demokrasi kita,” kata Salim.

    Meski demikian, Salim Said mengingatkan bahwa keberhasilan reformasi militer tidak serta-merta menjamin kualitas pemerintahan sipil.

    “Kalau politisi sipilnya tidak becus, rakyat bisa saja kembali melihat militer sebagai solusi. Itu yang harus diwaspadai,” ujarnya.

    Bagi Salim, demokrasi yang sehat tidak hanya bergantung pada militer yang profesional, tetapi juga pada politisi sipil yang kompeten.

    Pandangan Salim Said menunjukkan bahwa reformasi Dwifungsi ABRI adalah hasil dari dinamika internal TNI dan tekanan publik.

    Namun, Salim Said juga menegaskan bahwa tantangan berikutnya adalah memastikan bahwa pemerintahan sipil mampu menjalankan demokrasi dengan baik agar tidak ada dorongan bagi militer untuk kembali ke ranah politik.***