Tentara Masuk Kampus Disebut Inisiatif Lapangan yang Kebablasan!
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Masuknya sejumlah anggota
TNI
ke dalam kampus menjadi perhatian publik. Terbaru, ada peristiwa di
Universitas Indonesia
(UI). Publik diimbau tak khawatir.
Sejumlah anggota TNI diketahui masuk dan memantau kegiatan konsolidasi nasional yang diadakan di Universitas Indonesia (UI), Kota Depok, Jawa barat, Rabu (16/4) lalu.
“Saya melihatnya lebih sebagai indikasi adanya inisiatif lapangan yang kebablasan, bukan kebijakan sistemik,” ujar Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) sekaligus Pengamat Militer,
Khairul Fahmi
, kepada
Kompas.com
, Jumat (18/4/2025).
Fahmi menilai, kejadian di UI beberapa hari lalu bisa jadi merupakan inisiatif dari anggota di lapangan yang diambil berdasarkan penilaian sendiri tanpa mengetahui batasan kewenangan.
Untuk menanggulangi hal ini, menurutnya, pimpinan TNI perlu memberikan penjelasan serta meluruskan isu-isu yang beredar.
“TNI perlu segera menjelaskan apakah kehadiran di UI merupakan bagian dari tugas resmi atau inisiatif satuan lapangan. Jika memang tidak ada landasan hukum atau permintaan sipil, maka perlu dilakukan evaluasi internal agar ke depan tidak terjadi lagi,” lanjut Fahmi.
Meski kehadiran TNI di UI tidak disertai dengan penangkapan atau intimidasi, kejadian tersebut tetap menimbulkan keresahan dan dapat menciptakan suasana psikologis yang tidak sehat di lingkungan kampus.
Untuk itu, pihak kampus diharapkan dapat memperkuat otonomi akademik sekaligus memperkuat komunikasi yang baik dengan pemerintah.
Sementara itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa pedoman pelibatan TNI di ruang sipil dijalankan secara ketat dan tepat, agar batas kewenangan lebih jelas dan tidak mudah ditafsirkan secara longgar di tingkat lapangan.
Fahmi menilai, meningkatnya kehadiran
TNI di kampus
atau di lingkungan sipil tidak sama atau belum mengarah ke otoritarianisme TNI di zaman Orde Baru.
“Saya kira itu analogi yang terlalu jauh. Kita masih berada dalam sistem demokrasi yang sehat, dengan ruang kebebasan sipil yang dijamin dan institusi sipil yang dominan,” lanjutnya.
Tapi, Fahmi tidak menampik bahwa adanya memori dan trauma masa lalu di masyarakat dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap tindakan para aparatur negara.
“Itu sebabnya perlu komunikasi publik yang kuat dan arahan institusional yang tegas agar tidak menimbulkan bias persepsi,” imbuh Fahmi.
Fahmi menilai, sejauh ini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto masih menunjukkan komitmen kuat terhadap demokrasi dan supremasi sipil, serta tidak ada agenda militerisasi ruang sipil secara struktural.
“Pemerintahan Prabowo sendiri saya lihat cukup konsisten menjaga ruang demokrasi. Maka, koreksi terhadap tindakan semacam ini justru menunjukkan bahwa mekanisme demokratis kita masih berjalan, dan bahwa profesionalisme aparat harus tetap menjadi prioritas,” katanya lagi.
Tentara masuk UI
Beredar kabar viral di media sosial bahwa
tentara masuk kampus
Universitas Indonesia (UI) saat ada kegiatan Badan Eksekutif
Mahasiswa
(BEM). Pihak rektorat UI menyatakan tidak mengundang TNI masuk area kampusnya.
Kehadiran sejumlah anggota TNI di area Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, dikabarkan terpantau pada Rabu (16/4) pukul 23.00 WIB malam lalu.
Malam itu,
mahasiswa
sedang menggelar Konsolidasi Nasional Mahasiswa di Pusgiwa UI. Pihak yang hadir adalah perwakilan BEM dari berbagai kampus dan organisasi mahasiswa lain dari seluruh Indonesia.
“Terkait hal tersebut, pihak Rektorat UI tidak pernah mengundang militer untuk hadir dan mengikuti acara konsolidasi mahasiswa yang diadakan di Pusgiwa,” tegas Arie kepada
Kompas.com
, tadi.
Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi menjelaskan tentara yang ke kampus UI pada malam itu adalah Komandan Daerah Militer (Dandim) 0508/Depok.
“Dandim Depok diundang/diajak oleh Seorang Mahasiswa atas nama F dan Kabagpam (Kepala Bagian Pengamanan -red) UI atas nama AR, yang memang dikenal baik oleh Dandim, untuk diskusi, ngobrol,” kata Kristomei saat dihubungi
Kompas.com
.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Event: Rezim Orde Baru
-
/data/photo/2025/04/18/68027061566e2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tentara Masuk Kampus Disebut Inisiatif Lapangan yang Kebablasan! Nasional 18 April 2025
-
/data/photo/2025/03/27/67e478be2d531.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Fenomena Tentara Masuk Kampus Jadi Sorotan, dari Udayana hingga UI Nasional 18 April 2025
Fenomena Tentara Masuk Kampus Jadi Sorotan, dari Udayana hingga UI
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Fenomena
tentara masuk kampus
menjadi perhatian publik akhir-akhir ini. Kini giliran kampus
Universitas Indonesia
(
UI
) yang didatangi “pak tentara”. Namun sebelumnya, sudah ada kampus lain yang lebih dulu merasakan perkembangan kehadiran
TNI
di kampus.
5 Maret 2025, nota kesepahaman diteken antara
Universitas Udayana
(Unud) dan TNI ANgkatan Darat (AD). Tajuk MoU itu adalah “Sinergitas di Bidang Pendidikan, Kebudayaan, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi.
Rektor Unud I Ketut Sudarsana dan Kapendam IX/Udayana Kolonel Agung Udayana sama-sama menepis intervensi militer di ruang akademik.
BEM Udayana merespons keras MoU antara kampusnya dan TNI. Dia menilai MoU itu mengancam independensi institusi pendidikan.
Pemerhati militer dari ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma menilai RUU TNI menjadi justifikasi dan selanjutnya TNI masuk ke ruang sipil lewat pelbagai kerja sama, termasuk dengan kampus. Dia mengkhawtirkan dampak psikologis dari fenomena ini.
“Mereka itu
intimidating
, punya kemampuan untuk mengintimidasi, dan orang Indonesia merasa bahwa militer lebih superior dari orang sipil karena mereka pegang senjata,” kata Made. “Jadi konsekuensi yang paling jelas saya kira adalah bahwa kemudian kampus bisa saja lebih dikendalikan oleh kekuatan kekerasan ketimbang kekuatan berpikir,”
kata Made Supriatma
.
14 April 2025, pria berseragam TNI mendatangi diskusi Kelompok Studi
Mahasiswa
Walisongo (KSMW) bersama Forum Teori dan Praksis Sosial (FTPS) di samping Auditorium 2 Kampus 3
UIN Walisongo
, Semarang, Jawa Tengah.
Diskusi
mahasiswa
itu berjudul “Fasisme Mengancam Kampus: Bayang-bayang Militer bagi Kebebasan Akademik”. Diberitakan Kompas.com, diskusi itu dihadiri pria tak dikenal, duduk, dan mengikuti diskusi.
Rektor KSMW Ryan Wisnal mengungkapkan bahwa kehadiran pria itu membuat peserta kaget. Kemudian, ada lagi dua pria, salah satunya berseragam TNI, muncul di diskusi. Pria berseragam itu menanyakan identitas peserta diskusi dan tema yang dibahas.
Belakangan diketahui, pria berseragam itu adalah Sertu Rokiman, Bintara Pembina Desa (Babinsa) Koramil Ngaliyan Kelurahan Tambak Aji.
Markas Besar (Mabes) TNI memastikan tidak berkepentingan mencampuri urusan internal kampus, termasuk diskusi yang digelar mahasiswa. Hal ini ditegaskan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Kristomei Sianturi.
“TNI sangat menghormati kebebasan akademik di lingkungan pendidikan dan tidak memiliki kepentingan untuk mencampuri urusan internal kampus,” kata Kapuspen, kepada wartawan, Kamis (17/4) kemarin.
Menurut aktivis LBH Semarang, Cornelius Gea, fenomena serupa juga terjadi di Jepara, Pekalongan, dan Tegal. Ia menyebut kasus-kasus pengawasan dan intimidasi meningkat setelah gelombang penolakan terhadap RUU TNI pada Maret 2025.
”Tidak cuma massa aksinya yang didatangi, tetapi juga keluarga mereka. Jadi intel-intel dari kepolisian, TNI, bahkan ormas itu ke rumah massa aksi untuk menanyakan perihal keberadaan para massa aksi ini,” ujar Cornelius.
Kabar terbaru, fenomena tentara masuk kampus terjadi di UI, kampus besar yang terletak di Kota Depok, Jawa Barat, sebelah selatan Jakarta.
Beredar kabar viral di media sosial, kehadiran sejumlah anggota TNI di area Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI, Depok, dikabarkan terpantau pada Rabu, 16 April 2025, pukul 23.00 WIB.
Malam itu, mahasiswa sedang menggelar Konsolidasi Nasional Mahasiswa di Pusgiwa UI. Pihak yang hadir adalah perwakilan BEM pelbagai kampus dan organisasi mahasiswa lain dari seluruh Indonesia. Mereka membahas isu kebangsaan.
Direktur Hubungan Masyarakat UI, Arie Afriansyah, menyatakan bahwa Rektorat UI tidak pernah mengundang militer untuk hadir dalam acara konsolidasi mahasiswa yang tengah berlangsung di Pusgiwa.
“Terkait hal tersebut, pihak Rektorat UI tidak pernah mengundang militer untuk hadir dan mengikuti acara konsolidasi mahasiswa yang diadakan di Pusgiwa,” tegas Arie kepada Kompas.com, Jumat (18/4/2025).
“UI menghormati setiap kegiatan mahasiswa yang berlangsung di kampus. Apalagi kegiatan tersebut sudah mendapatkan izin,” kata Arie.
Secara umum, pihak TNI mengatakan tidak ada intimidasi yang dijalankan lembaganya terhadap kegiatan kemahasiswaan kampus-kampus.
Kerja sama antara TNI dan kampus-kampus sudah sejak dulu berlangsung. Tak ada perintah negara kepada TNI untuk mengawasi kampus-kampus.
“Tidak ada perintah. Kerja sama kampus dengan TNI sudah sering dilakukan,” kata Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Brigjen Kristomei Sianturi kepada Kompas.com, Jumat (18/4/2025).
“Tidak ada intimidasi. Kampus itu mitra strategis,” imbuhnya.
Belakangan, isu kembalinya dwifungsi ABRI (sekarang TNI) dari Orde Baru memang menjadi perhatian banyak orang. Momentumnya adalah ketika ramai protes RUU TNI. Kata Brigjen Kristomei, ini tidak ada hubungannya dengan UU TNI.
“Ya nggak dong,” kata dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

UU TNI Hasil Revisi Sudah Diteken, Koalisi Masyarakat Sipil Beri Sejumlah Kritik dan Catatan – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah telah resmi mencatat revisi UU TNI oleh DPR RI melalui UU No. 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan Atas UU No. 34/2004, diundangkan di Jakarta, 26 Maret 2025, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 35.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan memberi sejumlah catatan usai diundangkannya UU TNI hasil revisi tersebut.
Menurut Koalisi, pembahasan UU tersebut dilakukan secara tergesa-gesa oleh DPR RI dan Pemerintah, tanpa membuka ruang partisipasi publik yang memadai serta mengabaikan semangat reformasi militer pasca-Orde Baru.
“Kami menilai, revisi UU TNI ini bukanlah langkah untuk membentuk tentara yang profesional dan modern. Justru sebaliknya, ini merupakan jalan mundur yang membuka kembali ruang dwifungsi TNI,” kata Ardi Manto Adiputra, Direktur Imparsial, mewakili Koalisi Masyarakat Sipil, dalam keterangannya Jumat (18/4/2025).
Selain itu, sorotan utama Koalisi Masyarakat Sipil adalah perubahan mendasar dalam pengaturan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Dalam UU sebelumnya, pelaksanaan OMSP harus melalui keputusan politik negara, yaitu keputusan Presiden dengan persetujuan DPR.
Namun dalam revisi terbaru, hal ini diganti dengan cukupnya “informasi” dari pemerintah kepada DPR.
“Ini membuka ruang militer untuk kembali mengambil peran dalam keamanan dalam negeri dan program pembangunan, sebagaimana terjadi pada era Orde Baru,” ucap Ardi.
Ia juga menyoroti dalam penjelasan UU yang baru, militer bahkan diberi kewenangan untuk membantu pemerintah daerah dalam menangani persoalan infrastruktur, pemogokan, dan konflik.
Koalisi menilai hal ini membahayakan kebebasan sipil.
“Pasal ini berpotensi menempatkan militer kembali berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Aksi mogok, unjuk rasa, atau demonstrasi adalah bagian dari hak konstitusional warga untuk berekspresi. Jika militer dilibatkan dalam pengendaliannya, ini bisa membawa kita kembali ke masa kelam Orde Baru,” kata Ardi.
Lebih lanjut, koalisi menilai bahwa keterlibatan militer dalam OMSP yang luas justru melemahkan profesionalisme TNI sebagai alat pertahanan negara.
Tugas utama TNI dalam menjaga kedaulatan negara akan terganggu karena terseret ke dalam urusan sipil.
“Militer akan lebih sibuk dengan operasi selain perang, daripada fokus pada pertahanan negara. Ini jelas menyimpang dari tujuan reformasi militer,” ujarnya.
Pasal Jabatan Sipil dan Perpanjangan Masa Pensiun Perwira TNI
Pasal lain yang menuai kritik adalah Pasal 47 ayat (1), yang memungkinkan prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil seperti di Sekretariat Presiden dan BNPB.
Menurut Koalisi, ini adalah bentuk sahnya dwifungsi TNI di era reformasi.
“Jabatan sipil seharusnya diisi oleh warga sipil. Ketika TNI aktif duduk di jabatan sipil tanpa melepas status militernya, itu adalah bentuk pembangkangan terhadap prinsip supremasi sipil,” ujar Ardi.
Pasal 53 yang memperpanjang usia pensiun perwira juga dikritik karena dapat menciptakan penumpukan perwira menengah yang tidak tertampung jabatan.
Judicial Review yang Mengancam Demokrasi
Koalisi juga menyampaikan kekhawatiran atas adanya judicial review yang diajukan oleh perwira aktif terhadap larangan TNI berbisnis dan berpolitik.
Jika MK mengabulkan judicial review ini, maka potensi kembalinya praktik dwifungsi akan semakin kuat.
“Ini adalah ancaman serius bagi demokrasi. Jangan sampai kita kembali ke era militer yang ikut campur dalam politik dan ekonomi,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan revisi UU nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
Pengesahan itu dilakukan pada Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis (20/3/2025), di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Setelah itu, Undang Undang TNI hasil revisi telah diteken oleh Presiden Prabowo Subianto akhir Maret lalu . Hal itu disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Kamis. (17/4/2025).
“Sudah sudah, sebelum lebaran, (sekitar) tanggal 27 atau 28 (Maret),” kata Prasetyo saat dihubungi.
Dalam RUU TNI, terdapat penambahan dua tugas pokok bagi TNI, yaitu membantu menanggulangi ancaman siber serta membantu melindungi dan menyelamatkan Warga Negara Indonesia (WNI) serta kepentingan nasional di luar negeri.
-

Larang Wartawan Foto Ijazah, Jokowi Mirip Rezim Orba
GELORA.CO – Organisasi wartawan diserukan memprotes keras perlakuan Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi yang melarang awak media mengambil gambar dan mempublikasikan ijazah yang ditunjukkannya.
Demikian dikatakan aktivis Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Roy Suryo kepada RMOL, Kamis 17 April 2025.
“Pelarangan mengambil gambar ijazah tersebut tidak manusiawi, juga membuat kualitas berita yang dihasilkan sangat jauh dari prinsip jurnalisme modern dan menjadi kental unsur subjektifnya karena hanya mengandalkan persepsi dan opini belaka,” kata Roy Suryo.
Saat bertemu wartawan di kediaman pribadinya di kawasan Sumber Solo, Jawa Tengah, pada Rabu 16 April 2025, Jokowi menunjukkan ijazahnya dari SD, SMP, SMA, hingga ijazah dari Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM).
“Informasi wartawan di lokasi, sebelum bertemu Jokowi, para wartawan diwajibkan untuk mengumpulkan semua kamera, handphone dan segala jenis alat perekam elektronik terlebih dahulu,” kata Roy Suryo.
Menurut Roy Suryo, prosedur yang dilakukan Jokowi itu sangat menyedihkan di era keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi komunikasi sekarang ini.
“Mosok wartawan kembali disuruh hanya melihat, menghafal dan menceritakan apa yang sangat terbatas diketahui hanya melalui panca indranya,” kata Roy Suryo.
Kata Roy Suryo, perlakuan Jokowi tersebut seperti rezim Orde Baru, dimana era itu media mengalami banyak pembatasan dan kontrol.
“Wartawan sering kali harus mengikuti prosedur ketat dan mendapatkan izin khusus untuk meliput acara tertentu. Tidak jarang setelah terbit atau disiarkan pun masih ada tindakan pembredelan bilamana pemberitaannya tidak sesuai dengan selera penguasa,” pungkas Roy Suryo.
-
/data/photo/2024/12/13/675c09816cd62.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Tafsir Hukum Mahfud MD di Tengah Riuh Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi… Nasional
Tafsir Hukum Mahfud MD di Tengah Riuh Tuduhan Ijazah Palsu Jokowi…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Isu soal
ijazah palsu
Presiden ke-7
Joko Widodo
rupanya belum kunjung selesai.
Isu ini kembali mencuat ke media sosial setelah seorang mantan dosen dari Universitas Mataram, Rismon Hasiholan Sianipar, menyangsikan keaslian ijazah Jokowi sebagai lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sejumlah pihak turut berkomentar, tak terkecuali Pakar Hukum Tata Negara
Mahfud MD
.
Menurut Mahfud MD, masyarakat berhak mempertanyakan keabsahan ijazah Jokowi.
Sebab, publik hanya meminta keterbukaan informasi yang telah diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, di tengah isu dugaan
ijazah palsu Jokowi
.
Penjelasan itu disampaikan Mahfud saat menjawab pertanyaan host Rizal Mustary dalam siniar Terus Terang.
“Enggak salah. Karena ada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Di mana di situ dikatakan masyarakat berhak sepenuhnya untuk mengetahui dokumen-dokumen dan meminta dokumen-dokumen itu dibuka kepada publik demi transparansi,” ujar Mahfud, Rabu (16/4/2025), seperti dilansir dari kanal YouTube Mahfud MD Official.
Kendati begitu, Mahfud menekankan bahwa keputusan Jokowi selama menjadi presiden tetap sah dan tidak batal secara hukum, meski jika ijazahnya nanti terbukti palsu.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan itu mengungkapkan bahwa Jokowi boleh saja tidak memenuhi syarat saat mencalonkan diri sebagai presiden di Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, jika ijazah yang digunakan adalah palsu.
Namun, keputusannya selama menjadi Presiden tetap sah, sebab dalam hukum administrasi negara terdapat asas kepastian hukum.
“Yang lebih gila lagi kan katanya, ini kalau terbukti ijazah Jokowi ini palsu, seluruh keputusannya selama menjadi Presiden batal, itu salah. Kalau di dalam hukum tata negara tidak begitu. Di dalam hukum administrasi negara tidak begitu,” kata Mahfud.
Ia lantas mencontohkan langkah yang diambil Presiden RI ke-1 Soekarno saat melawan penjajahan Belanda.
Mahfud bilang, langkah Bung Karno yang mengambil kekuasaan dari tangan Belanda sejatinya melanggar konstitusi.
Sebab, Belanda saat itu memiliki konstitusi yang telah disetujui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menyatakan bahwa Indonesia bagian dari Netherland.
“Tapi Bung Karno melawan konstitusi itu. Satu, Bung Karno mengeluarkan Dekrit itu melanggar konstitusi. Tapi Bung Karno pada waktu itu mendapat dukungan bahwa saya didukung rakyat,” ucap Mahfud.
“Dan Mahkamah Agung (MA) menyatakan iya demi kepentingan rakyat, enggak apa-apa melanggar konstitusi. Maka Dekrit Presiden itu dianggap sah. Orde Baru juga begitu,” imbuh Mahfud.
Mahfud kembali mengingatkan bahwa ada asas kepastian hukum dalam hukum administrasi negara.
Asas kepastian hukum maksudnya adalah keputusan yang sudah dikeluarkan secara sah, tetap mengikat dan tidak boleh dibatalkan.
“Asas kepastian hukum itu keputusan yang sudah (mengikat). Nanti ada perhitungan ganti rugi. Bukan ke orang yang misalnya ya Pak Jokowi terbukti ijazahnya tidak sah. Lalu kontrak-kontrak dengan luar negeri, dengan perusahaan-perusahaan apa itu dan sebagainya, itu batal, tidak bisa. Bisa dituntut kita secara internasional,” jelas Mahfud.
Adapun rumor ijazah palsu ini sudah berkembang dan diperkarakan selama beberapa tahun terakhir.
Tercatat, ada tiga gugatan yang dilayangkan dan selalu dimenangkan oleh pihak Jokowi.
Terbaru, keabsahannya kembali dipertanyakan karena perbedaan font dalam lembar pengesahan dan sampul skripsi yang menggunakan font Times New Roman, yang menurutnya belum ada di era tahun 1980-an hingga 1990-an.
Hal ini lantas memicu perdebatan publik, ada yang percaya dan ada yang sebaliknya.
Terlebih, Jokowi maupun pihak kuasa hukum tidak pernah menunjukkan ijazah aslinya kepada publik, meski sudah beberapa kali memenangkan gugatan.
Rumor ini segera dibantah oleh pihak universitas dan kuasa hukum.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Sigit Sunarta, memastikan bahwa ijazah eks Gubernur DKI Jakarta itu asli.
Menurut Sigit, teman satu angkatan mantan Kepala Negara mengenal baik sosok Jokowi.
Eks Wali Kota Solo ini aktif di kegiatan mahasiswa (Silvagama) dan tercatat menempuh banyak mata kuliah serta mengerjakan skripsi.
“Perlu diketahui ijazah dan skripsi dari Joko Widodo adalah asli. Ia pernah kuliah di sini,” tutur Sigit dalam siaran pers UGM.
Soal penggunaan font Times New Roman di sampul skripsi dan ijazah, Sigit menegaskan bahwa di tahun itu sudah jamak mahasiswa menggunakan font atau huruf yang hampir mirip dengannya, utamanya untuk mencetak sampul dan lembar pengesahan di tempat percetakan.
Bahkan, di sekitaran kampus UGM, sudah terdapat percetakan seperti Prima dan Sanur yang menyediakan jasa cetak sampul skripsi.
“Fakta adanya mesin percetakan di Sanur dan Prima juga seharusnya diketahui yang bersangkutan karena yang bersangkutan juga kuliah di UGM,” tegasnya dalam keterangan pers.
Sementara soal penyebab nomor seri ijazah hanya memakai angka dan tidak menggunakan klaster, universitas kala itu belum memiliki kebijakan penyeragaman.
Fakultas Kehutanan pada akhirnya memiliki kebijakan sendiri.
“Nomor tersebut berdasarkan urutan nomor induk mahasiswa yang diluluskan dan ditambahkan FKT, singkatan dari nama fakultas,” katanya.
Di sisi lain, pihak kuasa hukum Jokowi menantang para pembuat berita bohong itu untuk membuktikan ucapannya.
Sebab, berdasarkan asas hukum, beban pembuktian ada pada yang mendalilkan maupun menggugat.
“Kami sampaikan dengan tegas tuduhan-tuduhan mengenai ijazah palsu Bapak Joko Widodo adalah tidak benar dan itu sangat menyesatkan. Ayo kita putar kembali kepada asas-asas hukum itu bahwa siapapun yang mendalilkan, siapapun yang menuduh, dialah yang membuktikan,” kata Kuasa Hukum Jokowi, Yakup Hasibuan, dalam konferensi pers di Senayan, Jakarta Pusat, Senin (14/4/2025).
Tim kuasa hukum hanya akan menunjukkan ijazah asli Jokowi jika memang diminta secara hukum.
Kuasa hukum Jokowi lainnya, Rivai Kusumanegara, mengungkapkan bahwa tim pengacara merasa tidak memiliki kewajiban secara hukum untuk menunjukkan fisik ijazah tersebut kepada publik.
Apalagi dalam persidangan yang lalu, hakim juga tidak mengabulkan kuasa hukum penggugat untuk menunjukkan ijazah asli.
Oleh karenanya, keputusan untuk tidak menunjukkan ijazah asli sudah menjadi kesepakatan tim pengacara sejak dua tahun lalu.
“Memang sejak 2 tahun lalu, kami tim hukum sudah mengkaji dan sepakat untuk tidak menunjukkan ijazah aslinya, sekalipun kami semua sudah melihat langsung secara fisik ijazah aslinya tersebut,” kata Rivai.
Di sisi lain, tim kuasa hukum melihat bahwa permintaan untuk menunjukkan ijazah ini bukan untuk menguji kebenaran, melainkan untuk memojokkan dan kepentingan-kepentingan lainnya.
Hal ini makin terbukti ketika pihak rektor dan dekan Universitas Gadjah Mada (UGM) menunjukkan salinannya.
Bukannya selesai, masalah ijazah Jokowi justru menimbulkan isu baru dan ramai di media sosial.
Kendati begitu, ia memahami bahwa UGM melakukannya dengan iktikad baik agar tidak ada lagi perdebatan panjang.
“Yang terjadi bukan selesai, tapi yang terjadi adalah muncul isu baru. Font lah, foto lah, jadi ini sudah sesuai dengan dugaan kami, sehingga kami melihat ini hanya sekadar jebakan Batman,” ucap Rivai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5189990/original/072026300_1744829653-Budiman_Sudjatmiko.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Budiman Sujatmiko Target Petani Miskin Ekstrem Hilang dalam 2 Tahun
Budiman Sujatmiko mengakui paham betul akan perjuangan warga 5 desa di Kecamatan Cipari, Cilacap untuk mendapatkan lahan. Sebab, dia sudah menjadi aktivis reforma agraria sejak Orde Baru.
Aktivitas ini berlanjut hingga saat dirinya menjadi anggota DPR RI. Kala itu, agenda reforma agraria dan redistribusi lahan mulai menuai hasil.
Dia menegaskan, setelah menjabat sebagai Kepala BP Taskin, program ini akan diteruskan. Yakni menjadikan desa yang menjadi tempat konflik agraria lebih sejahtera.
“Desa-desa yang menjadi sumber konflik agraria, seperti di sini, itu diolah jadi desa pertanian modern. Nanti setelah lahan dikuasai, dikelola sebagai pertanian modern dan hasilnya di ekspor melalui perusahaan modern,” terangnya.
Dia menambahkan, konsep ini sudah diterapkan di Indramayu dan sudah memperlihatkan hasil. Nantinya BP Taskin akan menerapkannya di seluruh Indonesia.
“Karena redistribusi lahan, tidak sekedar bagi-bagi lahan,” kata dia.
Dia menambahkan, BP Taskin pada April mulai membagikan bantuan tunai kepada warga miskin ekstrem. Namun setelah itu, akan ada evaluasi lanjutan dari bantuan ini.
BP Taskin akan mulai melakukan pembenahan dengan target di sektor pertanian. Warga yang masih kuat, nantinya akan dilibatkan dalam pekerjaan dan program pangan.
-

Isu Politik-Hukum Terkini: Wacana Pangkalan Militer Rusia di Indonesia
Jakarta, Beritasatu.com – Sejumlah isu politik dan hukum pada Selasa (15/4/2025) menarik perhatian pembaca. Berita terkait wacana pendirian pangkalan militer Rusia di Indonesia menjadi perbincangan hangat pembaca.
Berita politik dan hukum lainnya, yakni terkait UU TNI yang belum diteken Presiden Prabowo Subianto, Kejagung yang mendalami aliran dana dalam kasus suap vonis lepas korupsi CPO, RUU Perampasan Aset yang terhambat, hingga sidang hakim Ronald Tannur yang ditunda.
Isu Politik dan Hukum Terkini Beritasatu.com
1. DPR Tolak Wacana Pendirian Pangkalan Militer Rusia di Indonesia
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin menolak wacana pendirian pangkalan militer Rusia di Pulau Biak, Papua, seperti dilaporkan media asing. Hasanuddin menyebut wacana menjadikan Lanud Manuhua di Biak sebagai pangkalan bagi pesawat-pesawat militer Rusia merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Menurutnya, Indonesia menganut prinsip politik luar negeri bebas aktif. Artinya, bebas dari pengaruh blok mana pun dan aktif menjaga perdamaian dunia. Membuka peluang bagi kehadiran kekuatan militer asing di Indonesia, lanjut Hasanuddin, justru bertentangan dengan semangat tersebut.
2. UU TNI Belum Diteken Prabowo, Menkum: Tak Ada Dwifungsi ABRI!
Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menegaskan, Presiden Prabowo Subianto belum menandatangani draf hasil revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu. Meskipun demikian, Menkumham menjamin bahwa revisi UU TNI ini tidak akan memicu kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti pada era Orde Baru.
Supratman Andi Agtas menjelaskan, draf UU TNI saat ini sedang berada di meja Presiden Prabowo Subianto untuk ditandatangani dan diundangkan ke dalam lembaran negara.
Menkumham juga menjelaskan bahwa UU TNI dapat berlaku secara otomatis apabila presiden tidak menandatanganinya dalam waktu 30 hari dan wajib diundangkan dalam lembaran negara, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945.
3. Kejagung Telusuri Aliran Dana Rp 60 Miliar dalam Kasus Suap Ekspor CPO
Selain berita terkait wacana pendirian pangkalan militer Rusia di Indonesia, berita lainnya, yakni Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah menelusuri dugaan aliran dana sebesar Rp 60 miliar dari pengacara Ariyanto Bakri (AR) dalam kasus suap terkait putusan perkara ekspor crude palm oil (CPO). Kasus suap ekspor CPO ini melibatkan sejumlah pihak, termasuk aparat peradilan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa pihaknya masih menyelidiki secara mendalam untuk memastikan asal dana tersebut.
Menurut keterangan sementara, uang tersebut diduga berasal dari Ariyanto Bakri dan diserahkan oleh Wahyu Gunawan (WG) kepada pihak-pihak lain, termasuk Djumyanto, Agam Syarif Baharudin, dan Ali Muhtarom.
4. RUU Perampasan Aset Mandek karena Politik, Pemerintah Lobi Parpol
Menkum Supratman Andi Agtas mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana terhambat karena dinamika politik. Padahal RUU ini penting untuk memerangi koruptor.
Menurutnya, pemerintah akan segera berkomunikasi dengan semua partai politik untuk menentukan nasib RUU Perampasan Aset yang sudah lama diwacanakan. Supratman berharap RUU Perampasan Aset bisa segera dibahas secara komprehensif dengan DPR dalam waktu dekat. Pemerintah akan mengajukan kembali RUU itu dalam program legislasi nasional (prolegnas) yang akan datang.
5. Jaksa Belum Siap, Sidang Hakim Ronald Tannur Ditunda
Sidang pembacaan tuntutan terhadap tiga hakim yang sebelumnya memvonis bebas Ronald Tannur terpaksa ditunda di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Penundaan hingga Selasa 22 April 2025 ini disebabkan jaksa penuntut umum (JPU) masih memerlukan waktu untuk merapikan berkas materi tuntutan.
Ketiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo, seharusnya menghadapi tuntutan pada hari ini terkait dakwaan suap yang diduga mereka terima untuk membebaskan Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan Dini Sera Afrianti.
Demikian isu politik dan hukum Beritasatu.com, di antaranya wacana pendirian pangkalan militer Rusia di Indonesia.
-

GP Ansor dan DPR Sebut Tak Ada Potensi Dwifungsi dalam UU TNI
Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Addin Jauharudin mengatakan tidak ada potensi dwifungsi ABRI dalam Undang-Undang (UU) TNI yang sudah disahkan DPR. Ia mengaku telah membaca pasal-pasal dalam UU tersebut.
“Ketakutan terhadap dwifungsi ABRI perlu ditinjau ulang, perlu dibaca pasal itu secara keseluruhan, bahwa ini bukan seperti Orde Baru. Orde Baru tentara punya parlemen, sekarang tidak. Saya kira kan kalau diatur lebih baik,” kata Addin kepada wartawan, Selasa (15/4/2025) .
Menurutnya, GP Ansor sejak awal mendukung revisi UU TNI. “Memang satu hari sebelum keputusan sidang DPR, kita menyatakan sikap mendukung revisi Undang-Undang TNI,” tutur Addin.
GP Ansor tidak mempermasalahkan apabila sampai sekarang masih ada demo penolakan terhadap revisi UU TNI, karena itu merupakan hak warga negara menyampaikan pendapat.
Wakil Ketua DPR Adies Kadir mengatakan revisi UU TNI bukan produk legislasi yang gegabah. Menurutnya, DPR tidak menutup mata terhadap aspirasi publik yang menginginkan TNI tetap profesional dan tidak kembali ke era dwifungsi.
“Ini tentu bukan bentuk mengembalikan semangat dwifungsi atau politisasi militer, tetapi merupakan refleksi dari kebutuhan riil di lapangan,” tegas Adies.
Ia menambahkan, tantangan pertahanan dan keamanan saat ini menuntut kesiapan maksimal dari semua elemen bangsa, termasuk institusi militer.
Senada, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga menilai revisi UU TNI yang baru disahkan DPR tidak akan membawa Indonesia menuju era dwifungsi ABRI layaknya Orde Baru.
“Tidak benar kalau kemudian ini akan mengembalikan ke masa Orde Baru dwifungsi ABRI. Memang simpang siur narasi yang beredar di masyarakat luas dan sebetulnya kita harus bisa melihat dengan sabar dan detail apa saja yang menjadi perbedaan dari UU sebelumnya,” ucap AHY.
Di satu sisi, AHY memahami masih banyak orang yang salah persepsi dalam mengartikan seluruh pasal dalam UU TNI. Karenanya, dia berharap UU TNI ini dapat disosialisasikan dengan maksimal sehingga masyarakat tahu tujuan utama dari UU tersebut.
-

Belum Ditandatangani Presiden, Menkum Tegaskan Revisi UU TNI Tak Hidupkan Dwifungsi ABRI
FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, menyampaikan bahwa Presiden Prabowo Subianto hingga saat ini belum menandatangani draf revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang sebelumnya telah disahkan oleh DPR.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa revisi tersebut tidak akan membuka jalan bagi kembalinya praktik dwifungsi ABRI seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
Supratman menjelaskan bahwa draf revisi UU TNI kini masih menunggu proses penandatanganan oleh Presiden. Proses tersebut, menurutnya, membutuhkan waktu karena ada sejumlah rancangan undang-undang lain yang juga menanti tanda tangan.
“Ada banyak undang-undang yang akan ditandatangani presiden sehingga membutuhkan waktu. Bukan hanya satu. Untuk kepastian lebih lanjut nanti bisa ditanyakan ke Sekretariat Negara ya,” ujar Supratman dalam konferensi pers kinerja Kemenkumham triwulan pertama tahun 2025 yang digelar di Jakarta pada Selasa (15/4/2025).
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa jika dalam waktu 30 hari Presiden tidak menandatangani UU tersebut, maka secara otomatis undang-undang tersebut tetap berlaku dan wajib diundangkan dalam lembaran negara. Ketentuan ini mengacu pada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.
Meski demikian, Supratman tetap optimistis bahwa Presiden Prabowo akan menandatangani revisi UU TNI tersebut.
“Semua pasti prosesnya normal. Karena itu tinggal menunggu waktu saja, apalagi jadwal beliau kan kita tidak tahu,” ujarnya.
Ia juga mengimbau masyarakat untuk tidak khawatir soal potensi kebangkitan kembali peran ganda militer. Supratman menegaskan bahwa dalam revisi UU TNI sudah diatur secara tegas batasan peran anggota militer aktif dalam jabatan sipil.
-

Berlaku 5 Hari Lagi, Prabowo Ternyata Belum Teken UU TNI
Bisnis.com, JAKARTA — Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan berlaku lima hari lagi, atau 20 April 2025. Revisi UU tersebut sebelumnya sudah disahkan oleh DPR sejak 20 Maret 2025 lalu.
Sebagaimana diketahui, RUU yang telah disahkan oleh DPR akan berlaku sejak ditandatangani oleh Presiden dalam kurun waktu 30 hari setelah dibawa ke sidang paripurna. Apabila belum ditandatangani setelah 30 hari, maka UU dimaksud otomatis sah dan wajib diundangkan.
UU TNI disahkan oleh DPR pada 20 Maret 2025 lalu. Namun, hingga saat ini, UU tersebut belum kunjung ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto. Berdasarkan informasi di JDIH Sekretariat Negara (Setneg), draf UU TNI final yang berlaku pun belum diunggah sampai dengan saat ini.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, UU TNI bukan satu-satunya payung hukum yang belum ditandatangani Prabowo. Dia mengatakan bahwa banyak produk hukum yang harus diteken oleh Kepala Negara.
“Kan bukan hanya satu, itu kan banyak undang-undang semua yang mau ditandatangani Presiden, itu kan banyak ya. Bukan hanya satu, jadi ya tentu berdasarkan, nanti ditanyakan ke Setneg ya,” ungkapnya kepada wartawan saat ditemui di Kantor Kementerian Hukum, Jakarta, Selasa (15/4/2025).
Supratman pun mengaku tak masalah apabila pada akhirnya nanti UU TNI sah dengan sendirinya pada 20 April 2025. Namun, dia memastikan Prabowo akan menandatangani UU tersebut sebagaimana proses seperti biasa.
Politisi Partai Gerindra itu menilai, Prabowo belum menandatangani UU TNI mengingat jadwalnya yang padat.
“Semua pasti prosesnya normal. Karena itu tinggal menunggu waktu, apalagi jadwal beliau kan kita tidak tahu,” tuturnya.
Di sisi lain, Supratman turut memastikan tidak ada isi UU TNI yang berubah dari draf versi paripurna. Dia menyoroti kekhawatiran publik soal potensi UU TNI yang baru akan mendorong kembalinya dwifungsi TNI seperti pemerintahan Orde Baru.
Mantan Ketua Baleg DPR itu menuturkan, perubahan pada UU TNI baru hanya terletak pada penambahan dua tugas TNI di luar tugas pokoknya setelah 12 pos jabatan yang sudah ada.
“Yakni yang ada di Mahkamah Agung karena ada Hakim Militer dan ada Kamar Pidana Militernya, juga di Kejaksaan Agung yang kebetulan memang sudah sebelum Pak Presiden Prabowo [menjabat, red] juga, Jaksa Agung Pidana Militer kan sudah ada. Dan itu memberi legitimasinya terhadapnya,” terangnya.
Untuk diketahui, revisi UU TNI sebelumnya dibahas oleh Komisi I DPR. Penolakan besar-besaran dari publik berbentuk demo di sejumlah daerah mewarnai proses pembahasan, pengesahan bahkan setelah UU itu dibawa ke paripurna DPR.