Event: Rezim Orde Baru

  • Penyebab Mbak Tutut Gugat Menkeu di PTUN, Purbaya Kena Getah Keputusan Sri Mulyani

    Penyebab Mbak Tutut Gugat Menkeu di PTUN, Purbaya Kena Getah Keputusan Sri Mulyani

    GELORA.CO – Gugatan perkara yang dilayangkan Putri Presiden RI ke-2 Soeharto, Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana atau Tutut Soeharto, kepada Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa mencuat. 

    Gugatan tersebut terdaftar di Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN Jakarta pada Jumat (12/9/2025). 

    Penyebab gugatan perkara belakangan terungkap termasuk, Purbaya yang baru saja dilantik kena getah dari keputusan Menkeu sebelumnya, Sri Mulyani. 

    Melansir dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, gugatan Tutut Soeharto teregister dengan nomor perkara 308/G/2025/PTUN.JKT.

    Pada laman SIPP PTUN Jakarta, agenda pemeriksaan persiapan terhadap berkas gugatan Tutut Soeharto akan dibacakan majelis hakim pada Selasa (23/09/2025) pekan depan, sekitar pukul 10.00 WIB. 

    “Status perkara: pemeriksaan persiapan,” tulis PTUN Jakarta pada laman SIPP seperti dikutip, Rabu (17/09/2025).

    Tutut Soeharto diwakili Kuasa Hukumnya, Ibnu Setyo Hastomo yang telah membayarkan uang panjar untuk pengurusan perkara ini sebesar Rp900.000.

    Dari jumlah tersebut, pengadilan sudah menarik dana Rp205.000 untuk biaya pendaftaran, biaya pemberkasan, PNBP surat panggilan kepada penggugat, BNBP surat panggilan kepada tergugat, dan PNBP pendaftaran surat kuasa.

    Baca juga: Potret Mayangsari di Acara Keluarga Cendana, Terlihat Mewah dan Dekat dengan Tutut & Titiek Soeharto

    Namun PTUN Jakarta belum menampilkan daftar nama majelis hakim yang akan memimpin perkara tersebut.

    Termasuk identitas panitera pengganti dan juru sita juga masih belum diunggah pada laman keterbukaan tersebut.

    Satu hal yang pasti dalam perkara ini, Tutut berperan sebagai penggugat, sementara tergugatnya adalah Menteri Keuangan.

    Apa penyebabnya?

    Keputusan Menteri Keuangan yang digugat Tutut yakni Nomor 266/MK/KN/2025 tentang Pencegahan Bepergian ke Luar Wilayah Republik Indonesia terhadap Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara tertanggal 17 Juli 2025.

    Artunya, Tutut Soeharto menggugat Menkeu berkaitan dengan pencegahannya ke luar negeri atau dilarang ke luar negeri yang diajukan oleh Menteri Keuangan.

    Pada tanggal tersebut, diketahui Kemenkeu masih dipimpin Sri Mulyani.

    Belum diketahui detail dari gugatan tersebut.

    Pengadilan juga belum menampilkan petitum atau pun salinan gugatan yang diajukan Tutut kepada Menteri Keuangan. 

    Selain itu, belum ada keterangan resmi yang disampaikan oleh pihak Tutut Soeharto maupun Kementerian Keuangan terkait gugatan di PTUN Jakarta tersebut.

    Berikut Kronologi Gugatan Tutut Soeharto

    17 Juli 2025 – Menteri Keuangan (saat itu Sri Mulyani) menerbitkan SK Nomor 266/MK/KN/2025 tentang pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Tutut Soeharto.

    9 September 2025 – Purbaya Yudhi Sadewa dilantik sebagai Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani.

    12 September 2025 – Gugatan Tutut Soeharto resmi didaftarkan di PTUN Jakarta, teregister dengan nomor perkara 308/G/2025/PTUN.JKT.

    17 September 2025 – Status perkara tercatat “pemeriksaan persiapan” di SIPP PTUN Jakarta.

    23 September 2025 – Sidang persiapan dijadwalkan berlangsung pukul 10.00 WIB di PTUN Jakarta. 

    Tanggapan Kemenkeu Soal Gugatan

    Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum menerima surat terkait gugatan yang dilayangkan putri Soeharto itu.

    Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Deni Surjantoro, mengatakan pihaknya belum mengetahui gugatan Tutut kepada Menteri Keuangan mengenai hal apa.

    “Belum tahu (soal apa). Sampai semalam kita cek, belum ada surat terkait hal tersebut ke Kemenkeu,” ujarnya kepada Kompas.com (grup suryamalang), Kamis (18/9/2025).

    Kompas.com telah mencoba menghubungi kuasa hukum Tutut Soeharto untuk meminta keterangan lebih lanjut terkait detail dari gugatan ini, namun hingga berita ini ditayangkan belum ada keterangan dari pengacara tersebut. 

    Sosok Tutut Soeharto

    Tutut lahir di Jakarta pada tanggal 23 Januari 1949, putri sulung dari Presiden Soeharto.

    Kemudian Tutut menikah dengan Indra Rukmana dan dikaruniai empat orang anak, yaitu Dandy Nugroho Hendro Maryanto (Dandy), Danty Indriastuti Purnamasari (Danty), Danny Bimo Hendro Utomo (Danny), dan Danvy Sekartaji Indri Haryanti Rukmana (Sekar).

    Pada era 80-an, Tutut pernah mempelopori terbentuknya Kirab Remaja yang bertujuan untuk memupuk rasa cinta tanah air di kalangan remaja. 

    Tutut juga memperkenalkan suatu organisasi berbasis agama seperti Rohani Islam atau ROHIS sebagai wadah organisasi yang mencetak generasi yang beriman pada tahun 80-an.

    Selama masa orde baru, Tutut juga pernah menjabat sebagai Menteri Sosial pada Kabinet Pembangunan VII yang merupakan kabinet pemerintahan Soeharto yang terakhir.

    Sebelumnya, Tutut pernah menjabat sebagai Anggota MPR RI Fraksi Golkar sejak 1 Oktober 1992 hingga 14 Maret 1998, namun setelah orde baru tumbang, ia memilih menarik diri dari panggung politik. 

    Baru pada Pemilu 2004, Tutut kembali tampil menjadi calon presiden dan juru kampanye Partai Karya Peduli Bangsa. 

    Partai ini didukung oleh mantan pejabat-pejabat Orde Baru yang dikenal sangat dekat dengan Soeharto, seperti Jenderal (Purn.) R. Hartono.

    Pada tahun 2019, perempuan yang identik dengan jilbab dan cara bicaranya yang halus ini masuk dalam deretan orang terkaya di Indonesia dan menduduki posisi 130.

    Anak tertua Pak Harto ini dikabarkan mengantongi kekayaan mencapai 205 juta dollar Amerika Serikat atau setara dengan Rp 2,9 triliun.

    Kekayaan Mbak Tutut berasal dari PT Citra Lamtoro Gung Persada yang bergerak di bidang proyek properti, pengelolaan jalan tol hingga investasi.

  • Menerka Nasib Kapolri Listyo Sigit saat Prabowo Gencarkan Reformasi Polri

    Menerka Nasib Kapolri Listyo Sigit saat Prabowo Gencarkan Reformasi Polri

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto tengah menggencarkan pembentukan tim reformasi untuk mengevaluasi kinerja kepolisian republik Indonesia alias Polri.

    Tim reformasi Polri ini mencuat ke publik pasca aksi unjuk rasa berujung ricuh di sejumlah titik di Indonesia. Dalam kericuhan itu, banyak pihak yang mengkritisi tindakan aparat yang dinilai represif.

    Puncaknya, kemarahan publik terhadap institusi Polri muncul setelah kejadian pelindasan pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan oleh mobil Brimob yang berujung tewas pada Kamis (28/9/2025).

    Alhasil, dari yang tadinya aksi demonstrasi yang berfokus terkait tunjangan DPR, namun berbalik arah terhadap Polri yang menjadi target aksi unjuk rasa.

    Markas kepolisian di sejumlah daerah, termasuk markas Brimob di Kwitang, Polda Metro Jaya hingga Mabes Polri tak luput dari target aksi demonstrasi.

    Dalam hal ini, muncul tuntutan agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk melepaskan jabatannya. Kala itu, Sigit tak terlalu ambil pusing terkait tuntutan tersebut. Sigit menyatakan sebagai prajurit, dirinya menyerahkan semuanya kepada Presiden RI. Menurutnya, soal jabatan merupakan hak prerogatif Presiden. 

    Isu Pergantian Kapolri 

    Tak berhenti disitu, sorotan publik tetap tertuju kepada pemegang kursi Tribrata 1 itu. Pasalnya, isu terkait pergantian Kapolri Sigit kemudian mencuat ke publik usai adanya informasi terkait surat presiden (surpres) mengenai pergantian Kapolri.

    Bahkan, dalam isu itu secara eksplisit bahwa pengganti Kapolri Sigit adalah jenderal berinisial S dan D. Namun, kabar tersebut langsung dibantah oleh pejabat di lingkungan Istana Presiden.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa belum ada surpres yang dikirimkan ke DPR mengenai isu tersebut.

    “Berkenaan dengan Surpres, pergantian Kapolri ke DPR bahwa itu tidak benar. Jadi, belum ada Surpres yang dikirimkan ke DPR mengenai pergantian Kapolri,” ujar Prasetyo saat dikonfirmasi melalui pesan teks, Sabtu (13/9/2025).

    Dia juga mengemukakan bahwa informasi tersebut telah selaras dengan pernyataan pimpinan DPR yang sebelumnya telah menyatakan bahwa tidak ada surpres yang masuk terkait pergantian Kapolri.

    Namun demikian, meskipun itu telah dibantah Istana, isu pergantian Kapolri ini masih terus bergulir di media massa. Banyak tebak-tebakan sosok jenderal pengganti Kapolri.

    Komjen Suyudi misalnya. Dia saat ini menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun, mantan Kapolda Banten itu langsung membantah isu terkait dirinya yang disebut akan menggeser Listyo Sigit.

    “Saya sedang fokus melaksanakan tugas di BNN RI, tolong dukung saya. Jadi sekali lagi saya sampaikan bahwa berita itu tidak benar,” ujar Suyudi di kantornya, Senin (15/9/2025).

    Selain Suyudi, setidaknya ada 25 perwira tinggi berpangkat Komjen alias jenderal bintang tiga yang bisa menduduki orang nomor satu di institusi Polri.

    Dari 25 itu mengerucut sejumlah nama yang di gadang-gadang menjadi Kapolri seperti Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo, Kabareskrim Komjen Syahardiantono, Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum), Komjen Wahyu Widada hingga Asisten Utama Bidang Operasi (Astamaops), Kapolri, Komjen Mohammad Fadil Imran.

    Pembentukan Tim Reformasi Polri 

    Di samping isu pemilihan Kapolri, tim pembentukan reformasi Polri juga saat ini tengah menjadi isu hangat. Keseriusan Prabowo dalam pembentukan tim ini tercermin dari pengangkatan Komjen (Purn) Ahmad Dofiri.

    Dofiri yang juga eks Wakapolri, kini telah dilantik menjadi Penasihat Khusus Presiden bidang Keamanan dan Ketertiban Nasional (Kamtibnas) serta Reformasi Kepolisian.

    Usai menghadiri pelantikan itu, Dofiri menyampaikan bahwa dirinya belum menghadap Presiden untuk membicarakan detail langkah maupun struktur tim reformasi polisi. Pasalnya, hal tersebut harus dibicarakan terlebih dahulu dengan Prabowo.

    “Kita kan masih nunggu biar beliau dulu, baru nanti langkah-langkahnya,” kata Dofiri di Istana Presiden, Jakarta, Rabu (17/9/2025).

    Adapun, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi memastikan pembentukan Komite Reformasi Kepolisian segera rampung. 

    Dia menyebut, Presiden Prabowo Subianto telah menugaskan penyusunan tim tersebut dan rencananya akan diumumkan dalam pekan ini.

    “Ditunggu, nanti akan segera diumumkan,” kata Prasetyo usai menghadiri pelantikan Menteri dan Wakil Menteri Kabinet Merah Putih sisa masa jabatan 2024–2029 di Istana Negara, Rabu (17/9/2025).

    Prasetyo menjelaska  gagasan pembentukan komite ini lahir dari keinginan Presiden untuk melakukan evaluasi sekaligus perbaikan di tubuh Polri. Menurutnya, langkah tersebut wajar dilakukan terhadap seluruh institusi negara.

    Sementara itu, Kapolri Sigit menyatakan bahwa saat ini pihaknya masih menunggu kepastian dari pembentukan tim reformasi Polri. Namun demikian, dia menekankan bahwa Polri bakal sejalan dengan arah pemerintahan Prabowo.

    “Kita tunggu saja, pasti Polri akan menindaklanjuti apa yang akan menjadi kebijakan,” ujarnya di Istana Presiden, Jakarta, Rabu (17/9/2025).

    Dia memastikan juga Polri akan selalu menerima masukan atau kritik untuk perbaikan institusi menuju lebih baik. Dengan demikian, masukan tersebut dapat terus mengevaluasi kinerja Polri agar menjadi institusi keamanan yang diharapkan oleh masyarakat.

    Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan reformasi Polri bisa menjadi waktu yang pas untuk memperbaiki fungsi dan peran kepolisian di masyarakat. 

    Rafly menuturkan bahwa saat ini, banyak anggota kepolisian yang menempati banyak jabatan strategis. Menurutnya, urgensi reformasi Polri adalah menempatkan fungsi anggota polri sesuai ketentuannya.

    “Fungsi Polri itu kan ada tiga, pelindung dan pengayom masyarakat, keamanan dan ketertiban masyarakat, lalu penegakan hukum. Fungsi-fungsi itu tidak mesti disatukan di dalam satu naungan. Bisa dipisahkan karena wataknya yang bisa berbeda,” katanya kepada Bisnis, Senin (15/9/2025).

    Misalnya, kata dia, bidang penegakan hukum bisa beririsan dengan Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum. Rafly menilai Polri masih lekat dengan militeristik yang diwariskan saat pemisahan dengan militer di zaman orde baru.

    Dia menyebutkan reformasi Polri juga sebagai upaya melepaskan kesan militeristik di tubuh kepolisian. Pasalnya kedua instansi memiliki doktrin yang berbeda. 

    Dalam hal ini, fungsi Polri untuk pengamanan sipil, sedangkan militer menjaga keamanan negara yang disiapkan untuk berperang. Adapun, reformasi Polri belum bisa menjadi indikator untuk meningkatkan kualitas kerja dan perbaikan citra di masyarakat, karena hal itu bergantung pada anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya di lapangan.

  • Ketika Generasi Muda Jaga Kelestarian Mothik, Senjata Rahasia Warok Ponorogo yang Miliki Sejarah Kelam
                
                    
                        
                            Surabaya
                        
                        18 September 2025

    Ketika Generasi Muda Jaga Kelestarian Mothik, Senjata Rahasia Warok Ponorogo yang Miliki Sejarah Kelam Surabaya 18 September 2025

    Ketika Generasi Muda Jaga Kelestarian Mothik, Senjata Rahasia Warok Ponorogo yang Miliki Sejarah Kelam
    Tim Redaksi
    PONOROGO, KOMPAS.com
    – Di balik gemerlapnya panggung reog, Ponorogo menyimpan pusaka yang tak banyak dikenal generasi muda, mothik.
    Senjata tradisional ini bukan sekadar bilah baja, melainkan simbol harga diri dan pertahanan diri warok Ponorogo sejak abad ke-19.
    Madan (25), salah satu pemuda Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur menaruh perhatian besar pada senjata rahasia dari para warok tersebut.
    “Awalnya saya tidak tahu. Setelah menjadi anggota Pabuyuban Pramono atau Pangrekso Mothik Ponorogo, lalu dijelaskan apa itu mothik, senjata rahasia dari para warok yang ternyata memiliki kekhasan sendiri dibandingkan dengan senjata lainnya. Sejak itu saya belajar,” ujar Madan ditemui di rumahnya, Rabu (17/9/2025).
    Mothik, menurut catatan sejarah, sudah dikenal sekitar tahun 1800-an di kawasan Geloraan atau Kecamatan Wangkujayan, wilayah Timur Ponorogo.
    Bentuknya bervariasi, ada mothik Irungbuto yang pendek dan besar untuk bacoan jarak dekat, Mothik Ngelarwalang yang digunakan warok saat mengiringi pementasan reog, hingga Mothik Pamong yang hanya boleh dipakai pejabat desa seperti bayan atau kepala desa.
    “Dari sekian senjata mothik itu yang menarik adalah mothik milik warok, karena memiliki perbedaan ciri khas dari setiap pemilik,” imbuhnya.
    Mothik setiap warok menurut Madan memiliki perbedaan karena panjang senjata dipengaruhi oleh panjang lengan dari si pemilik.
    “Panjang bilah mothik ditentukan oleh hasta, dari ujung jari sampai siku pemiliknya. Jadi setiap warok punya ukuran mothik yang berbeda, sesuai panjang lengan pemilik,” jelas Madan.
    Mothik juga bukan sekadar senjata, tetapi lambang kebersamaan.
    Di dalam Pabuyuban Pramono atau Pangrekso Mothik Ponorogo, logo mereka menggambarkan dua bilah mothik yang disilangkan.
    “Ada dua versi. Satu dipakai untuk pamong, satunya lagi untuk ngelar malang,” terang Madan.
    Fungsi mothik juga berbeda dengan parang atau celurit.
    “Kalau parang dipakai untuk menebang pohon, mothik dibuat khusus untuk pertarungan. Bahannya baja murni, ditempa hingga muncul lipatan-lipatan baja sebagai penanda keasliannya,” ujar Madan sambil menunjuk detail ukiran di bilah mothik koleksi milik Kusdian, seorang kolektor pusaka Ponorogo.
    Mothik pada jaman dahulu juga memiliki rancang bangun untuk pertarungan atau dikenal dengan istilah bacokan.
    Ada alur pada bagian tengah senjata mothik yang memang memiliki fungsi tersendiri.
    Pada bagian bilah, terdapat kirian atau jalan darah, yakni alur khusus yang berfungsi agar darah lawan tidak mengenai tangan pemegang.
    “Kalau terkena pun, tidak banyak. Itu sudah dipikirkan para pandai besi zaman dulu,” tambahnya.
    Sementara, Kusdian, salah satu kolektor mothik khas Ponorogo mengaku senjata mothik Ponorogo buatan tahun 1900-an mulai dipengaruhi gaya Eropa.
    Pegangannya menyerupai genggaman pedang milik pejabat kolonial dengan tambahan pelindung tangan.
    Bilah mothik juga lebih panjang dan ujung mothik juga lebih runcing dibandingkan dengan mothik milik para warok.
    “Tapi yang asli tetap baja Jawa murni. Inilah yang membedakan mothik dengan senjata daerah lain seperti kujang dari Jawa Barat atau celurit dari Madura,” jelasnya.
    Sejarah mencatat, mothik erat kaitannya dengan tradisi bacokan atau pertarungan.
    Dalam catatan Thomas Stamford Raffles, disebutkan adanya duel menggunakan senjata tradisional Ponorogo pada abad ke-19.
    “Kalau di Madura orang pakai celurit, di Ponorogo pakainya mothik. Bacoan dulu dianggap cara menyelesaikan masalah, meski akhirnya menimbulkan kesan kelam,” ujar Kusdian.
    Bentuk mothik Irungbuto, misalnya, yang besar dan pendek, memang cocok untuk pertarungan jarak dekat.
    Sekali tebas, bisa langsung melukai lawan.
    Filosofi pada ukirannya pun mengandung pesan, “tundung musuh”, siapa pun yang menghadapi pemegang mothik akan mundur.
    Namun, pemerintah Orde Baru sempat melarang peredaran senjata tradisional ini pada tahun 1970-an.
    Banyak mothik disita, dianggap berbahaya.
    Akibatnya, generasi setelahnya hampir tidak mengenal lagi senjata warisan leluhur ini.
    “Kalau kita tidak lestarikan, bisa jadi hilang seperti reog yang sempat hampir diklaim Malaysia,” kata Madan dengan nada tegas.
    Kini, Madan bersama komunitas Pramono berusaha mengenalkan mothik kepada generasi muda Ponorogo.
    Mereka menggelar pameran, membuat duplikasi, dan mengedukasi lewat kirab budaya.
    “Bagi saya, belajar mothik bukan untuk kekerasan. Justru supaya anak muda tahu, bahwa Ponorogo punya pusaka yang unik dan berbeda. Kalau Madura punya celurit, Jawa Barat punya kujang, kita punya mothik,” ujar Madan.
    Selain itu, mothik juga mulai ditampilkan dalam kirab dan pementasan budaya.
    “Kegiatan HUT Ponorogo kemarin kita ada pameran dan pertunjukan malam penutupan festival. Ini untuk mengingatkan masyarakat bahwa Ponorogo memiliki senjata warisan leluhur sama seperti daerah lain yang memiliki senjata khas mereka,” jelas Madan.
    Kusdian menutup perbincangan dengan sebuah pesan, genrasi muda Ponorogo harus tahu jika di balik senjata mothik ada tanagntanagn trerampil pandai besi yang melahirkan senjata mothik.
    “Setiap lipatan baja di bilah mothik adalah jejak tangan pandai besi Ponorogo. Jika generasi sekarang mau belajar, maka warisan ini akan tetap hidup. Bukan sebagai senjata, tetapi sebagai identitas budaya.” Katanya.
    Madan mengaku tanggung jawab menjaga pusaka peninggalan leluhurnya tak bisa ditunda.
    Bagi dia, belajar mothik adalah cara sederhana untuk mencintai tanah kelahiran, Ponorogo.
    “Kalau kita tidak menjaga, maka jejak peradaban peninggalan leluhur kita itu akan hilang. Thomas Stamford Raffles saja sudah mencatatnya, kita harus menjaga dan melestarikannya sebagai identitas budaya asli Ponorogo,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ruang demonstrasi sebagai kanal minim risiko penyampaian aspirasi

    Ruang demonstrasi sebagai kanal minim risiko penyampaian aspirasi

    Lewat fasilitas itu, negara bukan hanya menghormati hak rakyat, melainkan memenuhi kewajiban menyediakan ruang menyampaikan aspirasi dan dialog bagi masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah

    Bondowoso (ANTARA) – Aksi unjuk rasa di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, akhir Agustus 2025 memberi pelajaran besar mengenai perlunya mengelola aksi protes rakyat agar tidak menimbulkan masalah.

    Aksi unjuk rasa itu berakhir rusuh yang salah satunya disebabkan oleh begitu banyaknya peserta dan luasnya arena yang digunakan oleh rakyat saat menyampaikan aspirasi, sehingga petugas kepolisian kesulitan untuk mengatur agar kegiatan itu tetap berlangsung damai.

    Melihat eskalasinya yang semakin meningkat, banyak kalangan yang khawatir, kerusuhan itu akan mengulang peristiwa 1998 yang awalnya merupakan unjuk rasa mahasiswa yang menuntut pemimpin Orde Baru untuk mundur, tapi kemudian berakhir dengan kerusuhan, pembakaran sejumlah gedung dan fasilitas umum.

    Apalagi, lokasi unjuk rasa, kala itu bukan hanya di gedung DPR RI, melainkan merembet ke berbagai daerah, seperti Surabaya, Makassar, dan lainnya. Beruntung, pada unjuk rasa di akhir Ahustus 2025 itu, pemerintah berhasil meredakan suasana dan para pengunjuk rasa kembali ke rumahnya masing-masing.

    Melihat situasi itu, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai melontarkan gagasan agar rakyat disediakan ruang demonstrasi di berbagai instansi yang memiliki halaman luas, seperti di halaman gedung DPR RI.

    Gagasan yang bertujuan untuk memperkuat praktik demokrasi secara substantif itu merupakan ide yang perlu mendapat perhatian agar kasus-kasus aksi yang berujung rusuh tidak terulang. Ruang itu akan menjadi arena yang efektif untuk proses dialog elegan dan nyaman antara rakyat dengan pemerintah.

    Dengan menyediakan lokasi khusus berekspresi bagi warga, maka ruang demonstrasi itu akan menjadi kanal bagi rakyat untuk menyampaikan ketidaksetujuan mereka terhadap satu kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah, sekaligus menjadi tempat bagi wakil rakyat untuk mendengarkan hal yang menjadi kehendak dan keluhan pemilik utama negeri ini.

    Dari sisi keamanan, penyediaan ruang demonstrasi ini memudahkan aparat negara untuk betul-betul menjaga agar aksi-aksi unjuk rasa tetap berlangsung aman. Kemungkinan adanya penyusup yang ingin mengeruk keuntungan dari situasi rusuh akan diminalkan, karena ruang gerak semua yang datang akan lebih mudah terpantau.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Baru Dilantik, Menkeu Purbaya Langsung Digugat Tutut Soeharto ke PTUN

    Baru Dilantik, Menkeu Purbaya Langsung Digugat Tutut Soeharto ke PTUN

    GELORA.CO – Putri Presiden ke-2 Soeharto, Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana atau Tutut Soeharto, melayangkan gugatan administrasi negara terhadap Menteri Keuangan (Menkeu).

    Gugatan itu terdaftar di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dengan nomor perkara 308/G/2025/PTUN.JKT pada Jumat, 12 September 2025.

    Langkah hukum Tutut ini terbilang cepat, mengingat gugatan masuk belum genap sepekan setelah Purbaya Yudhi Sadewa resmi dilantik sebagai Menkeu menggantikan Sri Mulyani Indrawati usai reshuffle Kabinet Merah Putih, Senin 8 September 2025.

    Belum Ada Rincian Perkara

    Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, hingga saat ini belum ada klasifikasi perkara yang ditampilkan terkait gugatan Tutut Soeharto.

    “Klasifikasi Perkara: Lain-lain. Gugatan: Belum dapat ditampilkan,” tertulis dalam SIPP PTUN Jakarta, Selasa 16 September 2025.

    Dengan status itu, duduk perkara maupun alasan Tutut menggugat Menkeu masih belum diketahui publik.

    Profil Singkat Tutut Soeharto

    Untuk diketahui, Tutut Soeharto kini berprofesi sebagai pengusaha. Di era pemerintahan Orde Baru, ia pernah menjabat sebagai Menteri Sosial (Mensos).

    Sebagai putri sulung Presiden Soeharto, Tutut masih dikenal luas di ranah politik maupun bisnis.

    Langkahnya menggugat Menkeu baru tentu menjadi sorotan, mengingat posisinya yang punya sejarah erat dengan kekuasaan di masa lalu.

    Menunggu Konfirmasi Pihak Terkait

    Hingga berita ini ditulis, belum ada konfirmasi resmi baik dari pihak Tutut Soeharto maupun dari Kementerian Keuangan terkait substansi gugatan tersebut.

    Publik kini menunggu bagaimana proses hukum di PTUN Jakarta berjalan, dan apa dampaknya terhadap kebijakan di Kementerian Keuangan ke depan.***

  • Ekspansi Peran TNI di Era Prabowo Dinilai Bukan Dwifungsi, tapi Konsolidasi Kekuasaan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 September 2025

    Ekspansi Peran TNI di Era Prabowo Dinilai Bukan Dwifungsi, tapi Konsolidasi Kekuasaan Nasional 16 September 2025

    Ekspansi Peran TNI di Era Prabowo Dinilai Bukan Dwifungsi, tapi Konsolidasi Kekuasaan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Peneliti politik dari Australian National University (ANU), Marcus Mietzner, menilai ekspansi peran TNI di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tidak bisa disamakan dengan konsep dwifungsi ABRI pada era Orde Baru.
    Menurutnya, langkah Prabowo lebih tepat dipahami sebagai bagian dari upaya konsolidasi kekuasaan politik.
    “Menurut saya yang lebih canggih, ini suatu konsep yang baru itu disesuaikan dengan zaman abad ke-21, di mana TNI bukan lagi ditempatkan paling depan seperti dwifungsi, tapi diberikan peran untuk memperkuat peran seorang Presiden yang punya agenda untuk konsolidasi kekuasaan, itu kira-kira,” kata Marcus dalam peluncuran Jurnal Prisma edisi khusus “Hubungan Sipil-Militer di Tengah Krisis Demokrasi”, Selasa (16/9/2025).
    Ia menjelaskan, dwifungsi yang lahir pada 1966 menempatkan ABRI sebagai aktor utama pemerintahan.
    Pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an, menurut Marcus, pemerintah pada dasarnya dijalankan oleh ABRI secara kelembagaan, bukan hanya sekadar memberi posisi atau peran tertentu.
    Namun, situasi tersebut berubah sejak akhir 1970-an ketika Soeharto mulai memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri sebagai otokrat personal. Bahkan, menjelang akhir pemerintahannya di 1990-an, Soeharto sempat membatasi ruang gerak ABRI.
    “Nah, itu (dwifungsi ABRI) bukan tujuannya Prabowo saat ini. Dia akan pilih-pilih beberapa orang dari militer yang dia percaya dan dia mau memberikan terang dalam pemerintahannya. Tapi dia tidak punya kepentingan untuk menghidupkan kembali dwifungsi sebagai konsep seperti dipakaikan pada awal pemerintahan,” jelas Marcus.
    Meski demikian, ia mengingatkan ekspansi peran TNI di era Prabowo tetap berpotensi membahayakan demokrasi dan profesionalisme militer.
    Menurutnya, praktik politik yang dijalankan saat ini lebih modern dan sesuai dengan pola rezim abad ke-21, yakni menempatkan militer sebagai instrumen untuk memperkuat posisi presiden.
    “Nah itu yang sebenarnya intinya dwifungsi dan yang saya maksudkan dengan perbandingan dengan saat ini, kita jangan berfokus terlalu obsesif terhadap semacam agenda pembangkitan kembali dwifungsi, itu terlalu kasar begitu,” pungkas dia.
    Catatan Kompas.com, pembicaraan soal bangkitnya kembali dwifungsi ABRI muncul pada Maret 2025 di mana DPR dan Pemerintah hendak mengesahkan revisi Undang-Undang (RUU) TNI.
    RUU yang kemudian disahkan menjadi UU itu, salah satu poinnya adalah perluasan penempatan jabatan sipil bagi militer aktif.
    Poin ini tercantum dalam draf RUU TNI pasal 47. Lewat poin itu, prajurit TNI aktif kini dapat menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga, naik dari 10 lembaga sebelumnya.
    Keputusan ini menuai kekhawatiran karena berpotensi mengembalikan dwifungsi ABRI.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pakar Hukum Yakin Reformasi Polri Bisa Perbaiki Fungsi Kepolisian

    Pakar Hukum Yakin Reformasi Polri Bisa Perbaiki Fungsi Kepolisian

    Bisnis.com, JAKARTA – Pakar Hukum Tata Negara, Rafly Harun mengatakan reformasi Polri bisa menjadi waktu yang pas untuk memperbaiki fungsi dan peran kepolisian di masyarakat. 

    Rafly menuturkan bahwa saat ini, banyak anggota kepolisian yang menempati banyak jabatan strategis. Menurutnya, urgensi reformasi Polri adalah menempatkan fungsi anggota polri sesuai ketentuannya.

    “Fungsi Polri itu kan ada tiga, pelindung dan pengayom masyarakat, keamanan dan ketertiban masyarakat, lalu penegakan hukum. Fungsi-fungsi itu tidak mesti disatukan di dalam satu naungan. Bisa dipisahkan karena wataknya yang bisa berbeda. Fungsi penegakan hukum itu bisa berbeda dengan fungsi pelindung dan pengayoman masyarakat,” katanya kepada Bisnis, Senin (15/9/2025).

    Misalnya, kata dia, bidang penegakan hukum bisa beririsan dengan Kejaksaan Agung dan Kementerian Hukum. Rafly menilai Polri masih lekat dengan militeristik yang diwariskan saat pemisahan dengan militer di zaman orde baru.

    Lebih lanjut, dia menegaskan mengganti Kapolri adalah salah satu kunci untuk menjalankan reformasi Polri.

    “Menurut saya ganti Kapolri itu adalah kunci untuk melakukan reformasi Polri ini,” tuturnya.

    Dia menyebutkan reformasi Polri juga sebagai upaya melepaskan kesan militeristik di tubuh kepolisian. Pasalnya kedua instansi memiliki doktrin yang berbeda.

    “Di satu sisi mereka berwadah militer, dan di sisi lain mereka punya privilege sipil yaitu pemegang hukum. Jadi seperti tentara tetapi juga sekaligus pemegang hukum. Sebenarnya itu berbahaya, tidak boleh karena beda doktrin tentara sama doktrin kepolisian itu,” jelasnya.

    Dia menekankan fungsi Polri untuk  pengamanan sipil, sedangkan militer menjaga keamanan negara yang disiapkan untuk berperang.

    Menurutnya reformasi Polri belum menjadi indikator untuk meningkatkan kualitas kerja dan perbaikan citra di masyarakat, karena hal itu bergantung pada anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya.

  • Desakan-desakan dan Dukungan DPR terhadap Reformasi Polri
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 September 2025

    Desakan-desakan dan Dukungan DPR terhadap Reformasi Polri Nasional 15 September 2025

    Desakan-desakan dan Dukungan DPR terhadap Reformasi Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Peristiwa demonstrasi dan kerusuhan Agustus 2025 yang diwarnai kekerasan menjadi momentum munculnya desakan reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
    Mobil lapis baja Brimob yang melindas pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan bukan hanya meninggalkan duka, tetapi juga menyulut amarah publik.
    Sejak saat itu, gelombang tuntutan perubahan terus mengalir. Dari organisasi mahasiswa, ormas Islam, tokoh lintas agama, masyarakat sipil, hingga parlemen, suara yang menggaung sama: Polri harus direformasi agar kembali memperoleh kepercayaan rakyat.
    Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) Handy Muharam menyuarakan hal itu usai bertemu Menteri Sekretaris Negara bersama lebih dari 30 organisasi mahasiswa di Istana, Jakarta, Kamis (4/9/2025) malam.
    “Kami menyampaikan agar pemerintah segera melakukan reformasi Polri sebagai komitmen penegakan supremasi sipil,” kata Handy, dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (5/9/2025).
    Seruan serupa datang dari Muhammadiyah. Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) serta Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai peristiwa di Senayan menegaskan bahwa reformasi Polri pasca-Orde Baru gagal.
    “Tragedi ini menegaskan bahwa reformasi Polri pasca Orde Baru telah gagal. Presiden harus segera memerintahkan investigasi independen terhadap seluruh pelanggaran,” tegas pernyataan pers yang ditandatangani Ketua PP Muhammadiyah Busyro Muqoddas, Sabtu (30/8/2025).
    Busyro juga meminta adanya audit menyeluruh terhadap penggunaan kewenangan dan persenjataan Polri.
    “Mekanisme etik internal Propam tidak cukup dan hanya akan menutupi akuntabilitas. Pelibatan penyelidikan independen seperti Komnas HAM dan juga representasi masyarakat sipil perlu dilakukan,” katanya.
    Gelombang tuntutan semakin besar ketika tokoh-tokoh lintas agama dan masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mendatangi Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
    Bagi mereka, Polri harus direformasi menyeluruh—dari struktur organisasi, budaya kerja, hingga perilaku anggotanya. Aspirasi utama yang dibawa adalah pembentukan tim khusus atau komisi reformasi Polri.
    Menteri Agama Nasaruddin Umar yang ikut hadir menyebut, aspirasi itu sejalan dengan gagasan Presiden.
    “Ini gayung bersambut ya, apa yang ada dalam (Gerakan) Nurani Bangsa itu juga dalam nurani saya, kata Bapak Presiden. Jadi, harapan-harapan yang diminta oleh teman-teman itu juga malah sudah dalam konsepnya Bapak Presiden,” ujarnya.
    “Jadi, istilahnya tadi itu gayung bersambut ya apa yang dirumuskan teman-teman ini justru itu yang sudah akan dilakukan oleh Bapak Presiden terutama menyangkut masalah reformasi dalam bidang kepolisian,” tambahnya.
    Desakan reformasi Polri yang dibawa GNB ke Presiden Prabowo Subianto adalah tuntutan yang berisi pembenahan menyeluruh kepolisian, agar kekerasan aparat kepolisian terhadap masyarakat tak terjadi lagi.
    “Kami mengusulkan pembenahan utuh terutama kebijakannya agar tidak ada ruang tindakan kekerasan eksesif yang dilakukan kepada rakyat,” kata salah satu tokoh dari GNB, Allisa Wahid, kepada Kompas.com, Sabtu (13/9/2025).
    Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menilai desakan itu tak berlebihan. Menurut mereka, praktik represif aparat memang sudah mendesak untuk dibenahi.
    “Tindakan represif ini bagian kebudayaan atau tidak? Kalau itu masih dipandang sebagai budaya, harus kita bereskan,” kata Komisioner Kompolnas Choirul Anam, Sabtu (13/9/2025).
    Anam menekankan perubahan mesti dimulai dari pendidikan.
    “Salah satunya adalah bagaimana membentuk kepolisian yang jauh lebih
    civilized
    . Oleh karenanya, bisa dicek di level kurikulum pendidikan, pentingnya mempertebal soal isu-isu hak asasi manusia dalam pendidikan di level kepolisian,” ujarnya.
    Senada, Komisioner Kompolnas Gufron menilai reformasi Polri harus disertai penguatan pengawasan.
    “Kritik masyarakat menyoroti masih kuatnya budaya kekerasan, penanganan unjuk rasa yang kerap dianggap represif, layanan publik yang belum optimal, hingga perilaku sebagian anggota yang menyalahi kode etik profesi,” kata Gufron.
    Menurutnya, standar operasional prosedur (SOP) Polri juga perlu diperbarui.
    “Dalam pandangan masyarakat, implementasi kerap dianggap represif, perlu evaluasi, dan koreksi. Apakah problemnya di instrumen, kapasitas anggota, atau dalam penerapannya,” ujarnya.
     
    Parlemen pun ikut menanggapi. Anggota Komisi III DPR RI Rudianto Lallo menyebut Presiden Prabowo sebagai sosok yang paling memahami kebutuhan reformasi kepolisian.
    “Saya kira presiden lah yang paling mengerti, paling paham apa yang dibutuhkan karena bagaimanapun Polri ini kan, TNI-Polri adalah alat negara ya,” kata Rudi, Jumat (12/9/2025).
    Rudi menekankan, semangat reformasi tidak boleh hanya berhenti di kepolisian. “Kalau reformasi, bukan hanya Polri, tapi semua lembaga tinggi negara, apakah itu legislatif, eksekutif, termasuk yudikatif. Kalau reformasi, saya kira itu dalam rangka koreksi, perbaikan kinerja,” tuturnya.
    Anggota Komisi III DPR dari PKS, Nasir Djamil, bahkan meminta Presiden turun langsung.
    “Saran saya Presiden Prabowo agar langsung memimpin reformasi kepolisian,” katanya.
    Menurut Nasir, upaya reformasi sejatinya sudah berjalan sejak era Kapolri Jenderal (Purn) Sutanto hingga kini di bawah Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Namun, ia mengakui masih ada perilaku aparat yang melenceng dari harapan publik.
    “Bahwa masih ada perilaku yang belum sesuai dengan harapan masyarakat, tentu bisa kita pahami,” kata Nasir.
    Ia menambahkan, setiap lima tahun Polri menyusun rencana strategis yang harus diawasi pemerintah. “Presiden dan pembantu bisa membantu kepolisian dengan cara mengevaluasi dan memfasilitasi agar rencana strategis itu bisa dicapai dan dirasakan oleh masyarakat Indonesia,” ujarnya.
    Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, mendukung pembentukan komisi reformasi kepolisian yang diusulkan GNB.
    “Kita mendukung rencana bapak presiden untuk melakukan reformasi institusi Kepolisian,” ujar Benny Kabur Harman seusai pertemuan bersama pihak Kejaksaan dan Kepolisian dan unsur lainnya di Mapolda Sulsel, Makassar, dilansir ANTARA, Jumat(12/9/2025).
    Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, menyebut Presiden Prabowo Subianto sebagai sosok yang paling mengerti untuk memperbaiki kondisi Polri.
    “Saya kira presiden lah yang paling mengerti, paling paham apa yang dibutuhkan karena bagaimanapun Polri ini kan, TNI-Polri adalah alat negara ya,” kata Rudi saat dihubungi, Jumat (12/9/2025).
    Di tengah derasnya desakan reformasi, isu pergantian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sempat mencuat. Namun, Istana memastikan kabar itu tidak benar.
    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan, Presiden Prabowo belum pernah mengirim Surat Presiden (Surpres) ke DPR terkait pergantian Kapolri.
    “Berkenaan dengan Surpres pergantian Kapolri ke DPR bahwa itu tidak benar,” kata Prasetyo, Sabtu (13/9/2025).
    Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad. “Belum ada,” ujarnya.
    Meski dibantah, isu tersebut telanjur berkembang pasca-demonstrasi besar pada 28 Agustus 2025. Tragedi meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang dilindas mobil lapis baja Brimob, membuat publik mempertanyakan kepemimpinan Polri dan menuntut perubahan nyata.
    Dari pihak buruh, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea menegaskan bahwa organisasinya mendukung Polri dalam menegakkan hukum, khususnya terkait aksi pembakaran fasilitas umum, Gedung DPRD, dan berbagai sarana publik lainnya.
    Dia juga menegaskan bahwa pihaknya akan berada di garis terdepan untuk mempertahankan supremasi sipil sebagai amanah reformasi.
    Senada dengan Andi Gani, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal juga menyoroti isu reformasi di tubuh Polri yang belakangan ramai diperbincangkan. Menurut dia, langkah perbaikan lembaga kepolisian memang perlu dilakukan.
    Namun, dia mengingatkan agar upaya tersebut tidak diarahkan untuk menyerang atau membidik Kapolri, apalagi jika ada agenda tersembunyi untuk menjatuhkan pimpinan Polri tersebut.
    “Terlihat ada yang ingin menyerang institusi Kepolisian dengan menyerang pemimpinnya. Jika ingin mereformasi kepolisian agar menjadi alat keamanan dan ketertiban yang berwibawa, Kapolri saat ini terbukti sangat setia dengan Presiden Prabowo Subianto,” katanya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 8
                    
                        Mengenang Ervan Hardoko, Canda Tawa dan Warna di Perjalanan 30 Tahun Kompas.com
                        Megapolitan

    8 Mengenang Ervan Hardoko, Canda Tawa dan Warna di Perjalanan 30 Tahun Kompas.com Megapolitan

    Mengenang Ervan Hardoko, Canda Tawa dan Warna di Perjalanan 30 Tahun Kompas.com
    Penulis
    SERATUS
    tiga puluh tahun berlalu sejak HG Wells memperkenalkan mesin waktu lewat novelnya,
    The Time Machine
    (1895). Namun, hingga detik ini tidak ada satu pun manusia yang mampu melintasi waktu, pun sekadar lintang pukang tanpa kurun tertentu.
    Meski begitu, mengutip Wells, tiap kita menyimpan mesin waktunya masing-masing. Memori dan kenangan bisa membawa kita ke masa lalu, serta impian yang mengarung ke masa depan.
    Sebuah posting di Facebook pun bisa berubah jadi mesin waktu. Ini terjadi saat saya melihat foto anak laki-laki yang terakhir bertemu beberapa tahun lalu, berpose dalam jas dan dasi saat mengikuti pelepasan atau wisuda SMK.
    Saya pun menghitung, ternyata sudah enam tahun berlalu sejak kami kehilangan rekan dan teman baik di ruang redaksi
    Kompas.com.
    Enam tahun sudah Ervan Hardoko, bapak dari anak laki-laki yang wisuda SMK itu, tutup usia.
    Ervan Hardoko, yang biasa saya panggil Mas Koko, meninggal dunia 8 Agustus 2019 saat berusia 45 tahun. Dia meninggalkan istri dan seorang anak yang saat itu baru masuk SMP. Empat puluh lima tahun, usia yang terbilang muda bagi manusia.
    Mas Koko meninggal setelah berjuang melawan penyakit ginjal yang baru disadari delapan bulan terakhir dalam hidupnya.
    Setelah libur Natal dan Tahun Baru, dia dirawat di rumah sakit. Dia tidak berpikir sakitnya serius karena masih berpikir bisa mengubah jadwal kereta dan segera berkantor di Solo seperti biasa.
    Kabar buruk pun datang. Dokter mengindikasikan ginjalnya bermasalah dan perlu pemeriksaan laboratorium.
    Saya agak lupa seperti apa hasilnya, tetapi fungsi ginjalnya tidak baik. Kalau enggak salah ingat, fungsi ginjal Mas Koko di bawah 10 persen. Ini berarti Mas Koko harus rutin cuci darah, membatasi makan dan minum karena ginjalnya tidak lagi bisa bekerja keras seperti biasa.
    Pada masa-masa awal menjalani cuci darah, Mas Koko belum bisa balik ke Solo. Saat
    Kompas.com
    membentuk tim redaksi yang berkantor di Solo, dia memang ditunjuk sebagai kepala kantor.
    Mas Koko cukup antusias menerima penugasan itu karena orangtuanya tinggal di Salatiga. Jarak Solo ke Salatiga yang bisa ditempuh dengan perjalanan 1 jam bermotor salah satu alasan dia menerima penugasan ini.
    Dia bahkan berpikir untuk memindahkan anak dan istrinya ke Solo. Namun, rencana ini ditunda hingga Avinko, anak laki-lakinya, lulus SD. Banyak sekolah bagus di Solo yang biayanya terjangkau, apalagi jika dibandingkan sekolah-sekolah di Kelapa Gading, tempat dia tinggal di Jakarta.
    Dalam banyak obrolan tentang masa depan, Avinko memang selalu dalam perencanaannya.
    He was a true family man.
    Kami yang berkantor di Solo sudah paham kalau
    handphone-
    nya berdering saat sore atau malam, itu adalah waktu bagi Mas Koko membantu Avinko mengerjakan PR.
    Urusan sekolah merupakan hal penting, dan Mas Koko tidak ingin absen mendampingi anaknya, meskipun terpaut jarak lebih dari 500 kilometer.
    Mas Koko juga seorang suami penyayang. Ada kejadian yang saya ingat dalam suatu rapat kerja redaksi
    Kompas.com,
    setelah jadwal
    meeting
    yang panjang kami melepas penat dengan bernyanyi dan bermain gitar layaknya di tongkrongan.
    Setelah tiga atau empat lagu The Beatles kami nyanyikan, celetuknya membuat kami terdiam: “Duh, gue kangen bini gue nih”.
    Saat dunia rumah tangga penuh drama perselingkuhan, orang-orang seperti Mas Koko yang akan membuat kita sadar bahwa kesetiaan itu masih ada.
    Setelah dinyatakan ginjalnya bermasalah, yang dia pikirkan juga soal keluarga.
    Saya masih ingat, semangatnya muncul untuk terus bertahan hidup termasuk bergabung dengan grup WhatsApp para penyintas cuci darah.
    “Di situ (grup WhatsApp) ada juga yang sudah belasan tahun masih bertahan. Meskipun tetap rutin cuci darah ya. Kalau belasan tahun gue masih hidup, berarti gue masih bisa lihat anak gue lulus kuliah,” kata Mas Koko, sewaktu saya menjenguknya di rumah Kelapa Gading.
    Masa awal bekerja di
    Kompas.com,
    meja kerja saya berhadap-hadapan dengan Mas Koko. Karakternya yang
    easy going
    memang membuat dia gampang berteman dengan siapa saja.
    Meski usia terpaut lebih dari lima tahun, mungkin karena
    joke-joke
    lawas dan perbincangan bergaya “mati ketawa ala Orba”-lah yang membuat kami akrab.
    Entah dari mana munculnya inspirasi itu, tetapi selalu terselip nama-nama pejabat Orde Baru dalam guyonan kami. Nama-nama seperti Radius Prawiro, Syarwan Hamid, juga Joop Ave kerap terselip dalam perbincangan, yang tentunya tidak pernah terlalu serius.
    Nama Ervan Hardoko juga dikenal sebagai jurnalis yang bergelut di berbagai bidang, terutama isu internasional. Pengalamannya bekerja di
    BBC Indonesia
    membuatnya mumpuni saat ditunjuk menjadi pengampu desk internasional.
    Akan tetapi, tentu saja karakter Mas Koko yang menganut paham
    “why so serious?”
    ala Joker membuat desk internasional di
    Kompas.com
    penuh warna.
    Dari sekian banyak peristiwa yang terjadi di dunia, selalu ada saja artikel yang membuat kita tersenyum saat membaca.
    Atau hal menarik lain, entah mengapa dia sangat tertarik dengan Zimbabwe atau mantan presidennya, Robert Mugabe. Ada saja berita Robert Mugabe yang dia temukan, lalu ditulisnya, dan membuat kita yang membaca jadi tersenyum.
    Saking tertariknya dengan Zimbabwe, dia bahkan menyimpan uang kertas Zimbabwe senilai 20 milliar dollar. Uang kertas itu memang ada karena Zimbabwe mengalami hiperinflasi yang membuat nilai mata uangnya sangat jatuh.
    Satu lagi yang menjadi karakter desk internasional saat diampu Mas Koko adalah “Hari Ini dalam Sejarah”. Dia selalu konsisten menulis peristiwa menarik yang ada dalam sejarah dunia.
    Karakternya memang menyenangkan dan membuat kita yang berada di dekatnya tertawa. Saat saya kemudian diminta untuk menenami Mas Koko bertugas di Solo untuk memegang rubrik viral di media sosial dan cek fakta, kami sepakat untuk membuat suasana kantor menyenangkan.
    “Kami” di sini tidak hanya saya dan Mas Koko, tetapi juga Inggried yang juga ditunjuk kantor untuk mengembangkan tim
    Kompas.com
     di Solo.
    Dalam hal pekerjaan, kami meminta para reporter untuk serius dan teguh dalam memegang prinsip dan kode etik jurnalistik. Kami tegas dalam hal verifikasi, serta menerapkan disiplin dan bertanggung jawab terhadap tugas yang dikerjakan.
    Meski begitu, kami tidak berupaya membatasi obrolan atau aktivitas kami di kantor sekadar urusan pekerjaan.
    Sebab, ide-ide tulisan atau program kerja yang berbasis kreativitas tidak akan bisa hadir dari rutinitas. Kreativitas tidak akan muncul dari suasana pekerjaan yang tidak menyenangkan, apalagi jika hanya dipaksa untuk memburu angka.
    Mas Koko mengingatkan kami bahwa kreativitas di ruang redaksi bisa muncul dari obrolan guyon di meja panjang kantin atau bangku bundar di taman, bukan cuma dari ruang rapat.
    Ide segar akan hadir dalam suasana menyenangkan, dan tidak akan pernah lahir dalam keadaan tertekan.
    Selamat beristirahat, Mas Koko. Terima kasih telah menjadi bagian dari 30 tahun perjalanan
    Kompas.com.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Awalnya Dihujat, Pejabat RI Ini Justru Bawa Perubahan Besar

    Awalnya Dihujat, Pejabat RI Ini Justru Bawa Perubahan Besar

    Jakarta, CNBC Indonesia — Kepemimpinan tidak melulu soal jabatan tinggi atau kursi politik. Lebih sekadar itu, para pemimpin adalah tentang bagaimana seseorang menggerakkan orang lain menuju tujuan bersama.

    Sayangnya, tidak jarang publik bersikap skeptis atau meragukan kinerja pejabat yang baru dilantik. Rekam jejak dan sikap di masa lalu sering kali membuat sebagian orang meremehkan kapasitas mereka. Namun, ternyata waktu kerap membuktikan penilaian tersebut keliru.

    Salah satu contohnya dialami Presiden ke-3 RI, B.J. Habibie. Saat awal menjabat, banyak pihak meragukan kemampuannya memimpin Indonesia. Dia dianggap tidak kompeten dan hanya menjadi pelengkap. Namun, sejarah kemudian mencatat sebaliknya. Habibie berhasil membawa Indonesia keluar dari masa-masa sulit dan kini dikenang serta dipuja bak pahlawan.

    Dianggap Tak Bisa Memimpin

    Semula tak ada yang menyangka B.J. Habibie bisa menjadi Presiden ke-3 Indonesia. Habibie lama dikenal sebagai seorang teknokrat yang cerdas dan inovatif. Akibat kemampuan itulah Presiden Soeharto (1968-1998) memintanya pulang ke Indonesia, lalu menempatkannya sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Jabatan itu dia emban selama empat periode (1978-1998).

    Posisi itu membuat Habibie kian populer dan disebut-sebut menjadi Wakil Presiden (Wapres) ke-6 pada 1993. Namun, Soeharto berkomentar kalau Habibie belum cocok mendampinginya.

    “Tempat Habibie di bidang teknologi,” ungkap Soeharto, dikutip dari kesaksian Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016).

    Akhirnya, Habibie memang tidak dipilih sebagai Wapres kala itu. Soeharto justru menunjuk Try Sutrisno sebagai Wapres ke-6. Namun, lima tahun kemudian, pada 1998, Habibie akhirnya terpilih menjadi Wapres ke-7, tepat ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi yang mengguncang pemerintahan. Sosok yang biasanya hanya berkutat di bidang teknologi kini turut berjibaku menghadapi badai ekonomi 1997-1998.

    Namun, Habibie hanya 2 bulan menjadi Wapres. Pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri. Habibie pun langsung dilantik menjadi Presiden ke-3 RI. Momentum inilah yang membuat sebagian pihak meremehkannya, menganggap dia tak kompeten untuk memimpin negara di masa sulit.

    Emha Ainun Nadjib dalam memoarnya Saat-Saat Terakhir Bersama Soeharto (2016) menuturkan, tampilnya B.J. Habibie sebagai presiden memunculkan kontroversi besar. Pro dan kontra hadir di berbagai level. Mulai dari tokoh reformasi, mahasiswa, hingga masyarakat luas yang meremehkan dan skeptis terhadap pria asal Sulawesi ini.

    “(Sebab ini) tidak hanya menyangkut figur Habibie dan posisinya dalam peta kekuatan nasional, tetapi juga menyangkut kadar sikap pemerintahan baru ini terhadap gagasan reformasi,” ujar Cak Nun.

    Koran Bali Post (23 Mei 1998) mencatat, penolakan publik terhadap Habibie dilandasi anggapan dia masih menjadi bagian dari Orde Baru, sehingga tidak sejalan dengan semangat reformasi.

    Selain itu, latar belakangnya yang puluhan tahun berkutat di dunia teknologi dianggap tidak cocok untuk menghadapi krisis ekonomi. Banyak yang menilai Indonesia saat itu membutuhkan sosok dengan kapasitas ekonomi, bukan teknokrat pesawat terbang.

    Kelompok masyarakat yang menolak Habibie kemudian menamakan dirinya “anti-Habibie”. Mereka bahkan menggelar demonstrasi dan kerap bentrok dengan kelompok pendukung Habibie.

    Berhasil & Dipuja

    Dalam konferensi pers tak lama setelah dilantik, Presiden Habibie menyadari betul tugas yang dia emban tidaklah mudah. Dia tahu ada kelompok masyarakat yang menolak kehadirannya di kursi presiden.

    “Aspirasi saudara-saudara dalam memperjuangkan reformasi secara menyeluruh yang saudara telah tunjukkan selama ini sudah bergulir. Usaha-usaha tersebut akan segera ditindaklanjuti dengan menyusun pemerintahan yang sesuai dengan kita kehendaki bersama,” ungkap Habibie dalam memoarnya Detik-Detik yang Menentukan (2006).

    Waktu kemudian membuktikan kualitas kepemimpinannya. Habibie melahirkan kebijakan reformasi, yakni dasar demokrasi, kebebasan pers, pembebasan tahanan politik, reformasi militer dan kepolisian, serta otonomi daerah. Di bidang ekonomi, dia sukses menaikkan pertumbuhan ekonomi, menstabilkan rupiah dari Rp16.000 menjadi Rp7.000-8.000 per dolar AS, menggagas lahirnya Bank Mandiri, serta memberi independensi pada Bank Indonesia.

    Namun, kiprahnya singkat. Setelah 1,5 tahun memimpin, pidato pertanggungjawabannya ditolak MPR pada 14 Oktober 1999, antara lain karena keputusan menggelar referendum di Timor Timur yang berujung pada lepasnya provinsi tersebut.

    Meski begitu, waktu mengubah penilaian publik. Setelah wafat pada 11 September 2019, tepat hari ini enam tahun lalu, Habibie dikenang sebagai sosok yang dulu diragukan, tetapi akhirnya dipuja bak pahlawan. Namanya harum sebagai seorang teknokrat sekaligus figur transisi yang membawa Indonesia dari rezim represif menuju era reformasi yang lebih terbuka dan demokratis.

    ( Lynda Hasibuan/mkh)

    [Gambas:Video CNBC]