Event: Rezim Orde Baru

  • Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK Nasional 2 Oktober 2025

    Pernah Ada Larangan Politik Dinasti di Pilkada, tapi Gugur di MK
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Suami menjabat kepala daerah, istri duduk di bangku parlemen Senayan.
    Anak menjadi wakil wali kota, ipar memerintah di daerah tetangga.
    Penguasaan politik di daerah oleh satu garis keturunan atau keluarga tertentu semakin lazim ditemukan di khazanah politik Indonesia.
    Mirisnya, pemandangan ini bukan hanya terjadi dalam satu atau dua periode kepemimpinan.
    Namun, sudah muncul ketika rakyat diberikan kedaulatan untuk memilih pemimpinnya sendiri pasca Orde Baru tumbang pada tahun 1998.
    Politik dinasti yang begitu kental di beberapa daerah membuat sejumlah pihak cemas dan gerah.
    Indonesia pernah memiliki aturan untuk melarang merebaknya politik dinasti.
    Namun, larangan ini tumbang sebelum bisa memberikan jalan bagi rakyat untuk berpolitik dengan lebih sehat.
    Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) periode 2010–2014, Djohermansyah Djohan, merupakan salah satu tokoh yang menggagas larangan politik dinasti.
    Prof Djo, panggilan akrabnya, menceritakan bahwa aturan ini berangkat dari kecemasan akan situasi di Indonesia pada tahun 2011.
    Saat itu, Djo yang masih menjabat sebagai Dirjen Otda Kemendagri mendapatkan paparan data sebaran politik dinasti di Indonesia.
    “Ketika pada tahun 2011, kita ingin menyusun UU Pilkada, maka kita menemukan data lapangan, 61 orang kepala daerah dari 524 kepala daerah atau sama dengan 11 persen itu terindikasi menerapkan politik dinasti yang tidak sehat,” kata Djo, saat dihubungi Kompas.com, Selasa (30/9/2025).
    Berdasarkan data yang dimilikinya, Djo menemukan banyak daerah yang pemimpinnya berputar di satu keluarga.
    Misalnya, setelah suami menjabat kepala daerah selama dua periode, istrinya naik untuk mengisi posisi kepala daerah.
    Hal ini menjadi bermasalah ketika kepala daerah yang naik tidak memiliki latar belakang pendidikan dan kemampuan yang cukup.
     
    Dalam contoh yang disebutkan Djo, istri mantan kepala daerah ini hanya lulusan SLTA dan tidak memiliki pengalaman berorganisasi atau berpolitik.
    “Suaminya dua periode, kemudian (digantikan), istrinya itu cuma Ketua Tim Penggerak PKK, pendidikannya juga terbatas, cuma SLTA. Nah, banyak kasus itu banyak Ketua PKK jadi wali kota,” imbuh Djo.
    Jika bukan sang istri, justru anak kepala daerah yang baru lulus kuliah yang diatur untuk maju pilkada dan menggantikan ayahnya.
    Anak-anak ‘
    fresh graduate
    ’ ini kebanyakan tidak memahami birokrasi dan tata kelola pemerintahan.
    Akhirnya, ayahnya yang sudah menjabat dua periode ikut campur lagi dan menggerakkan roda kemudi di balik nama anaknya.
    Djo mengatakan, politik dinasti ini menjadi ladang subur untuk praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
    Sebab, ketika tidak ada pergantian kekuasaan, pihak-pihak penyokong dan yang dekat dengan pemerintah juga tidak berubah.
    “Semua pejabat itu yang diangkat bapaknya tetap bertahan, hubungan kontraktor bapaknya tetap bertahan. Jadi, anaknya itu hanya namanya saja sebagai kepala daerah, tapi yang menjalankan pemerintahan tetap bapaknya,” kata Djo.
    Atas temuan yang ada, Djo dan sejumlah tokoh berusaha untuk menyusun pembatasan politik dinasti saat merancang undang-undang Pilkada.
    RUU Pilkada ini melarang anggota keluarga aktif untuk estafet tongkat kepemimpinan.
    Mereka boleh kembali mencalonkan diri, tetapi perlu ada jeda satu periode setelah kerabatnya aktif di pemerintahan.
    “Larangan bahwa kalau mau maju pilkada, (kandidat) dari kerabat kepala daerah yang sedang menjabat itu harus dijeda dulu satu periode. Jadi, ketika bapaknya tidak lagi menjadi kepala daerah, boleh silakan maju,” kata Djo.
    Ia menegaskan, jika ada kerabat yang maju Pilkada ketika saudaranya masih memerintah, dapat dipastikan akan terjadi keberpihakan.
    “(Kalau) anaknya maju, bapaknya (yang masih menjabat) kan tolongin anaknya. Mana ada bapak yang enggak nolong anak sama istri di dunia, kecuali hari kiamat,” kata Djo.
    Larangan ini sempat masuk dalam tatanan hukum Indonesia lewat Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi UU.
    Disebutkan pada Pasal 7 huruf r, calon pemimpin daerah dapat mengikuti suatu pemilihan apabila tidak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana.
    Aturan yang sudah dirancang sejak Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat presiden, akhirnya diteken oleh Joko Widodo (Jokowi) di periode pertamanya menduduki kursi RI 1, tepatnya tanggal 18 Maret 2015.
     
    Di hari pengesahannya, pasal ini langsung digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Adnan Purictha Ishan, anak kandung dari Ichsan Yasin Limpo yang saat itu menjabat sebagai Bupati Gowa, Sulawesi Selatan.
    Ketika mengajukan gugatan ke MK, Adnan tengah menjabat sebagai Anggota DPRD Sulawesi Selatan.
    Adnan berdalih, Pasal 7 huruf r ini melanggar hak asasi manusia (HAM).
    Pandangan ini pun diperkuat hakim MK yang mengabulkan permohonan Adnan.
    Menurut Hakim MK Arief Hidayat, Pasal 7 huruf r bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
    Tak hanya itu, Arief juga menyebutkan, pasal tersebut menimbulkan rumusan norma baru yang tidak dapat digunakan karena tidak memiliki kepastian hukum.
    “Pasal 7 huruf r soal syarat pencalonan bertentangan dengan Pasal 28 i ayat 2 yang bebas diskriminatif serta bertentangan dengan hak konstitusional dan hak untuk dipilih dalam pemerintahan,” ujar dia, dikutip dari laman resmi MK.
    Hakim MK lainnya, Patrialis Akbar, berpendapat, pembatasan terhadap anggota keluarga untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk dipilih atau mencalonkan diri merupakan bentuk nyata untuk membatasi kelompok orang tertentu.
    MK menyadari, dengan dilegalkannya calon kepala daerah maju dalam Pilkada tanpa adanya larangan memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana, berpotensi melahirkan dinasti politik.
    Namun, hal ini dinilai tidak dapat digunakan sebagai alasan karena UUD mengatur agar tidak terjadi diskriminasi dan menjadi inkonstitusional bila dipaksakan.
    Usai dikabulkannya gugatan Adnan, aturan larangan politik dinasti resmi tidak bisa digunakan.
    Adnan selaku penggugat berhasil memenangkan Pilkada 2016 dan menggantikan ayahnya untuk menjadi Bupati Gowa.
     
    Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, politik dinasti marak terjadi karena lahir dari fenomena yang ada.
    Ia menilai, orang yang mau maju dan eksis di dunia politik di Indonesia perlu dua modal, yaitu modal politik dan modal ekonomi.
    “Kalau kita bicara dinasti, dia itu punya dua modalitas itu, modalitas politik dan juga modalitas ekonomi,” ujar Armand, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Modal politik adalah relasi atau jaringan yang dimiliki seseorang agar bisa mulus masuk ke dunia politik.
    Sementara, modal ekonomi merujuk pada kemampuan untuk membayar biaya politik.
    “Yang maju sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah itu adalah kalau dia enggak punya relasi politik, pasti dia juga punya modal ekonomi yang cukup,” kata Armand.
    Masih maraknya politik dinasti, menurut Armand, akan membatasi akses bagi orang di luar dinasti untuk masuk dan terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan.
    Armand mengatakan, politik dinasti itu seperti membangun sebuah tembok dan hanya sebagian kalangan yang bisa masuk ke dalam.
    “Dinasti politik kan sebetulnya itu dia membangun tembok ya. Membangun tembok terhadap partisipasi non-dinasti terhadap proses perencanaan, proses penganggaran, bahkan dalam proses penyusunan kebijakan di daerah gitu,” ujar dia.
    Armand menegaskan, meski secara aturan politik dinasti sudah tidak dilarang, keberadaannya kontraproduktif dengan apa yang hendak dicapai Indonesia.
    Terutama, dalam upaya penguatan demokrasi lokal dan upaya peningkatan efektivitas serta efisiensi pelayanan publik.
    Keberadaan politik dinasti juga dinilai dapat menghilangkan fungsi pengawasan atau
    check and balance
    antar lembaga.
    “(Misalnya), salah satu pasangan di (lembaga) eksekutif, pasangannya yang lainnya di DPRD. Itu akan menghambat
    check and balance
    di dalam proses penyelenggaraan pemerintahan itu,” kata dia.
    Armand menilai, akan lebih efektif untuk meningkatkan literasi politik masyarakat demi meminimalkan dampak politik dinasti.
    “Sekarang, dengan diberi peluangnya dinasti itu, sebetulnya yang jadi alat kontrol kita sekarang itu adalah literasi ke publik,” kata Armand.
    Semakin masyarakat lebih mengenal calon pemimpinnya, peluang untuk memperbaiki kualitas politik juga akan meningkat.
    Di sisi lain, Armand mendorong adanya reformasi di internal partai politik, yaitu melalui perbaikan sistem kaderisasi.
    “Bagaimanapun, kalau misalnya sistem kaderisasi atau rekrutmen di politik itu juga berbasis pada kepentingan keluarga tertentu, itu juga kan menyuburkan politik dinasti,” ujar dia.
    Armand menegaskan, jika orientasi partai masih sebatas mendorong sanak keluarga atau kerabatnya untuk terpilih, sebatas untuk melanjutkan kekuasaan, politik dinasti tak ayal akan terus ada.
    Namun, jika yang diprioritaskan adalah kualitas individu, mau berasal dari dinasti atau tidak, semisal ia terpilih, tentu tidak dipersoalkan.
    “Kemudian, yang ketiga (yang perlu diperbaiki) ya terkait dengan pembiayaan politik,” kata Armand.
     
    Ia menilai, salah satu alasan politik dinasti muncul karena mahalnya biaya politik di Indonesia.
    Jika politik dinasti ingin dikurangi, biaya politik ini juga harus turun.
    Mahalanya biaya politik di Indonesia juga menjadi sorotan dari Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati.
    Neni menilai, tingginya biaya politik membuat aksesibilitas politik menjadi sangat terbatas.
    “Politik mahal hanya dapat diakses oleh mereka yang sedang berkuasa. Ini sangat bertentangan dengan nilai demokrasi yang sejatinya mendorong aspek inklusivitas,” ujar Neni, saat dihubungi, Selasa (30/9/2025).
    Selain memperkuat literasi publik hingga menurunkan biaya politik, Neni berharap aturan untuk membatasi politik dinasti bisa dibahas lagi oleh pemerintah.
    “Sebetulnya, saya punya harapan besar RUU Partai Politik masuk juga di prolegnas 2026 bersama dengan RUU Pemilu dan Pilkada,” kata dia.
    Ia menilai, politik dinasti bisa dikurangi jika ada syarat dan ketentuan pencalonan yang diperketat.
    Misalnya, seseorang baru bisa maju setelah tiga tahun menjalani kaderisasi dalam sebuah partai politik.
    Menurut dia, butuh pembekalan yang cukup agar kepala daerah memiliki kapasitas yang baik agar tidak dipertanyakan di muka publik.
    Lebih lanjut, pembatasan masa jabatan di lembaga legislatif juga perlu diatur.
    Terlebih, karena jabatan di lembaga eksekutif juga telah dibatasi hanya bisa dua periode.
    Pembatasan masa jabatan ini dinilai dapat mendorong regenerasi di tubuh partai.
    Sebab, selama ini, tokoh yang masuk ke DPR atau DPRD bisa menjabat hingga 20-30 tahun.
    “Selama ini, batasan periodisasi itu tidak ada sehingga partai menjadi institusi bisnis yang menumbuhsuburkan lahirnya politisi, tapi defisit negarawan,” tegas Neni.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Oktober 2025

    Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR… Nasional 2 Oktober 2025

    Ketika Pembayar Pajak Gugat Uang Pensiun Seumur Hidup Anggota DPR…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Mahkamah Konstitusi (MK) diminta mencoret anggota DPR RI dari kategori daftar penerima pensiun yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan Administrasi Pimpinan dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
    Permohonan uji materi ini diajukan oleh seorang psikiater, Lita Linggayani, bersama mahasiswa Syamsul Jahidin, dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 yang teregistrasi pada 30 September 2025.
    Dalam gugatannya, Lita menilai, pemberian uang pensiun seumur hidup bagi anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun adalah bentuk ketidakadilan.
    “Bahwa, di samping kedudukannya sebagai warga negara, Pemohon I yang juga berprofesi sebagai Akademisi/Praktisi/pengamat Kebijakan Publik dan juga pembayar pajak, tidak rela pajaknya digunakan untuk membayar anggota DPR-RI yang hanya menempati jabatan selama 5 tahun mendapatkan tunjangan pensiun seumur hidup dan dapat diwariskan,” demikian bunyi permohonan itu, dikutip dari laman resmi MK, Rabu (1/10/2025).
    Atas dasar itu, pemohon meminta MK mencoret DPR dari kategori lembaga tinggi negara yang berhak atas pensiun.
    Misalnya, Pasal 1 Huruf A UU 12/1980 hanya memasukkan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga tinggi negara.
    Kemudian Pasal 1 Huruf F menguraikan bahwa anggota lembaga tinggi negara hanya terdiri dari anggota DPA, BPK, dan hakim MA.
    Terakhir, Pasal 12 ayat 1 mengenai anggota lembaga tinggi negara yang mendapatkan pensiun.
    Pemohon pun membandingkan sistem pensiun parlemen di sejumlah negara.
    Anggota Kongres Amerika Serikat, misalnya, baru bisa mengeklaim pensiun pada usia 62 tahun dengan besaran dihitung dari rata-rata gaji selama masa jabatan.
    “Tidak ada pensiun seumur hidup otomatis jika hanya menjabat sebentar,” tulis permohonan tersebut.
    Sementara di Inggris dan Australia, sistemnya serupa dengan pekerja pada umumnya, yakni berbasis tabungan pensiun.
    Hanya India yang cukup mirip dengan Indonesia, yakni memberikan pensiun tetap seumur hidup meski hanya menjabat satu periode.
     
    Hak pensiun anggota DPR diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1980 Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1).
    Aturan itu menyebutkan, pimpinan dan anggota lembaga tinggi negara yang berhenti dengan hormat berhak memperoleh pensiun berdasarkan lama masa jabatan.
    Besaran uang pensiun diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000.
    Anggota DPR yang menjabat dua periode berhak atas pensiun paling tinggi Rp 3,6 juta per bulan.
    Bagi yang menjabat satu periode, nominalnya maksimal Rp 2,9 juta.
    Sementara yang hanya menjabat 1-6 bulan, pensiunnya sekitar Rp 401.000 per bulan.
    Pimpinan DPR RI menegaskan tidak keberatan apabila MK mengabulkan gugatan tersebut.
    Wakil Ketua DPR RI dari fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, pimpinan dan anggota DPR akan tunduk pada apa pun putusan MK.
    “Ya sebenarnya kalau anggota DPR itu kan hanya mengikuti karena itu produk undang-undang yang sudah ada sejak beberapa waktu yang lalu. Nah, apa pun itu kami akan tunduk dan patuh pada putusan Mahkamah Konstitusi. Apa pun yang diputuskan, kita akan ikut,” ujar Dasco, di Kompleks Parlemen, Rabu (1/10/2025).
    Wakil Ketua DPR lainnya, Saan Mustofa dari Fraksi Nasdem, juga menegaskan pihaknya menghormati proses hukum yang berjalan.
    Menurut dia, para pemohon uji materi memiliki hak konstitusional untuk mengajukan gugatan ke MK.
    “Menurut saya, itu hak mereka yang punya
    legal standing
    untuk melakukan uji materi gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Jadi, kita di DPR posisi menghormati apa pun dan apa pun nanti hasilnya putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan soal uang pensiun, kita pasti akan ikuti,” ujar Saan.
    Saan memastikan, DPR tidak merasa keberatan jika putusan MK nanti menghapus tunjangan pensiun anggota dewan.
    “Enggak, enggak ada keberatan,” tegas dia.
     
    Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai, pemberian pensiun seumur hidup kepada anggota DPR mencederai rasa keadilan masyarakat.
    “Masa cuma menjabat lima tahun, seorang anggota diberikan pensiun seumur hidup. Bayangkan kalau seseorang yang menjabat itu selesai di usia 25 tahun. Enak benar dia sejak usia belia sudah dikasih jatah pensiun, walaupun setelah tak lagi menjadi anggota DPR, dia bekerja aktif di tempat lain,” kata Lucius, kepada Kompas.com, Rabu.
    Lucius menilai, aturan soal pensiun anggota DPR yang berasal dari UU 12/1980 sudah ketinggalan zaman.
    “Dasar hukum terkait dana pensiun anggota DPR adalah UU produk rezim Orde Baru. Dari sisi waktu berlakunya, UU ini sudah sangat layak diubah karena ada banyak perkembangan yang perlu disesuaikan. Aneh saja DPR melupakan UU ini untuk direvisi. Giliran UU lain saja, belum setahun dibikin, DPR sudah merevisinya lagi,” ujar dia.
    Dia menegaskan, uang pensiun seharusnya diberikan kepada orang yang sudah tidak mampu bekerja karena faktor usia.
    Sementara anggota DPR umumnya masih segar dan bisa kembali bekerja setelah tidak terpilih lagi.
    “Yang hanya karena gagal memenangi pemilu selanjutnya, masa secara otomatis mendapatkan dana pensiun walaupun usia masih sangat muda? Belum lagi kalau bicara terkait kinerja anggota DPR yang sampai sekarang sulit dikatakan layak diganjar apresiasi,” tutur Lucius.
    Dengan demikian, menurut Lucius, sudah tepat jika kebijakan uang pensiun seumur hidup anggota DPR dievaluasi, apalagi di tengah keterbatasan anggaran pemerintah.
    “Kita jadi sadar bahwa keterbatasan anggaran untuk program pemerintah salah satunya karena pemborosan anggaran untuk hal yang tidak tepat, seperti dana pensiun untuk anggota DPR ini. Jadi sudah tepat jika dievaluasi untuk dihapus,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan

    Refleksi G30S dan Pentingnya Nilai Kemanusiaan
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    akhir September, perdebatan tentang G30S selalu kembali: siapa dalang, versi mana yang benar, film mana yang layak diputar?
    Namun, di tengah hiruk-pikuk tafsir dan propaganda, ada satu hal yang sering tercecer: manusia. Nyawa, martabat, dan akal sehat warga biasa—yang terseret, distigma, ditahan, atau dibunuh—sering hanya jadi catatan kaki.
    Menjaga kemanusiaan sejatinya bukan soal membenarkan satu kubu dan menyalahkan kubu lain. Ini soal standar dasar: hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, proses hukum yang adil, dan kebebasan dari stigma kolektif.
    Ketika negara, media, dan lembaga pendidikan mengajarkan sejarah, pertanyaannya bukan sekadar versi mana yang dipilih, melainkan apakah cara kita bercerita memulihkan martabat korban, membuka ruang kebenaran, dan mendorong pertanggungjawaban.
    Refleksi G30S seharusnya mengajak untuk waspada pada tiga hal: betapa mudahnya kebencian dioperasikan, betapa cepatnya hukum bisa disingkirkan atas nama “stabilitas”, dan betapa lamanya luka sosial bertahan jika kebenaran dan pemulihan ditunda.
    Jika kita sepakat bahwa Pancasila berakar pada kemanusiaan yang adil dan beradab, maka pekerjaan rumahnya jelas: menolak kekerasan sebagai alat politik, merawat ingatan yang jujur, serta memastikan keadilan dan pemulihan bagi mereka yang selama ini dibungkam.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya merupakan salah satu episode paling kelam dalam sejarah Indonesia modern, bukan hanya karena skala kekerasannya, tetapi juga karena cara negara menutupinya selama puluhan tahun.
    Data yang tersedia memang beragam, tetapi semuanya menunjukkan angka yang mengerikan.
    Komnas HAM dalam laporan hasil Penyelidikan Pro Justisia tahun 2012 menyatakan terdapat sembilan bentuk pelanggaran HAM berat dalam peristiwa ini: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan paksa, perampasan kemerdekaan, penyiksaan, pemerkosaan dan kekerasan seksual, penganiayaan, serta penghilangan orang secara paksa.
    Jumlah korban jiwa diperkirakan antara 500.000 hingga lebih dari 1 juta orang (Robinson,
    The Killing Season
    , 2018; Bevins,
    The Jakarta Method
    , 2020).
    Sementara itu, Amnesty International (dalam
    Friend
    , 2005) melaporkan bahwa pada saat itu ada sekitar satu juta kader PKI dan orang-orang yang dituduh terlibat dalam PKI ditahan.
    Tragedi ini bukan hanya pembantaian massal, melainkan juga proses sistematis penghancuran hak-hak sipil.
    Mereka yang selamat dipaksa menjalani kerja paksa, wajib lapor, kehilangan pekerjaan, dilarang mengakses pendidikan tinggi, bahkan hak politiknya dicabut selama puluhan tahun melalui tanda “ET” (eks-tapol) dalam dokumen kependudukan.
    Efek diskriminasi ini menurun hingga ke anak-cucu korban, menjadikannya bentuk
    collective punishment
    yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum HAM internasional.
    John Roosa dalam bukunya
    Dalih Pembunuhan Massal
    (2006) menunjukkan bagaimana peristiwa G30S yang berlangsung singkat kemudian dimanipulasi oleh Orde Baru menjadi dalih pembenaran untuk operasi pembasmian massal.
    Roosa menekankan bahwa tidak ada bukti komando jelas dari PKI sebagai partai, melainkan tindakan kelompok kecil yang kemudian dimanfaatkan oleh militer, khususnya Jenderal Soeharto, untuk merebut legitimasi kekuasaan.
    Hal senada ditegaskan oleh Robinson (2018), yang menunjukkan bahwa Angkatan Darat memainkan peran sentral dalam mengorkestrasi pembantaian, sementara negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris memberikan dukungan politik, logistik, hingga daftar nama target.
    Salah satu propaganda paling efektif adalah fitnah terhadap Gerwani, organisasi perempuan progresif kala itu.
    Seperti dicatat oleh Wieringa, Gerwani dijadikan kambing hitam melalui narasi “kebiadaban seksual” di Lubang Buaya—padahal laporan visum resmi menunjukkan tidak ada bukti penyiksaan seperti pencungkilan mata atau pemotongan alat kelamin.
    Namun, kebohongan yang diproduksi oleh militer itu dibiarkan beredar luas di media, menciptakan histeria moral yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembantaian.
    Laporan
    International People’s Tribunal 1965
    (IPT 65) di Den Haag pada 2015, bahkan menegaskan bahwa negara Indonesia bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini.
    Majelis hakim IPT menilai negara gagal memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk menyampaikan permintaan maaf resmi, membuka akses arsip, melakukan penyidikan, dan memberi reparasi. Namun, hingga kini, rekomendasi tersebut belum direspons serius.
    Luka sejarah ini belum sembuh karena ada tiga alasan mendasar. Pertama, narasi resmi Orde Baru yang menyederhanakan G30S menjadi sekadar “pengkhianatan PKI” masih terus direproduksi, baik melalui buku pelajaran maupun film.
    Kedua, ketiadaan mekanisme akuntabilitas: Kejaksaan Agung berkali-kali menolak menindaklanjuti laporan Komnas HAM dengan alasan “kurang bukti”, padahal bukti-bukti primer dan kesaksian korban berlimpah.
    Ketiga, politik impunitas yang masih kuat: banyak aktor militer dan sipil yang terlibat dalam pembantaian tetap berada dalam lingkaran kekuasaan selama puluhan tahun, membuat pengungkapan kebenaran menjadi tabu.
    Jika refleksi G30S ingin bermakna, maka ini harus berangkat dari nilai kemanusiaan yang universal. Tidak ada ideologi, dalih politik, ataupun alasan stabilitas yang bisa membenarkan pembunuhan massal, penyiksaan, atau diskriminasi lintas generasi.
    Mengakui kebenaran, mendengar suara korban, dan membuka jalan menuju keadilan bukanlah ancaman bagi bangsa ini—justru itu fondasi untuk membangun demokrasi yang sehat.
    Tanpa keberanian menghadapi masa lalu, kita hanya akan terus mewariskan trauma, kebisuan, dan politik kebencian bagi generasi berikutnya.
    Tragedi 1965–1966 sejatinya tidak hanya soal pembunuhan massal, tetapi juga bagaimana sejarah dijadikan instrumen politik untuk mengontrol masyarakat.
    Sejak awal Orde Baru, narasi resmi dibangun dengan satu tujuan: melegitimasi kekuasaan yang lahir dari darah.
    Film Pengkhianatan G30S/PKI yang diwajibkan tayang setiap tahun, buku pelajaran sejarah yang menyederhanakan peristiwa, hingga sensor terhadap karya akademis, semuanya merupakan bagian dari proyek indoktrinasi negara.
    Indoktrinasi sejarah ini juga memelihara stigma. Anak-anak korban, yang bahkan lahir setelah peristiwa, tetap mendapat label “ET” (eks-tapol) dalam KTP orangtuanya. Mereka kesulitan masuk sekolah negeri, dilarang menjadi PNS atau tentara, dan sering diawasi intel.
    Dengan kata lain, sejarah dipakai bukan untuk membangun ingatan kolektif yang sehat, melainkan sebagai senjata diskriminasi lintas generasi.
    Inilah yang disebut Geoffrey Robinson (2018) sebagai “politik kebisuan” (
    politics of silence
    ). Dengan menghapus atau memelintir fakta, negara mencegah masyarakat untuk memahami bahwa tragedi 1965 adalah pelanggaran HAM berat.
    Tanpa kesadaran kritis, publik mudah diarahkan untuk melihat kekerasan massal sebagai sesuatu yang “patriotik” atau “terpaksa”.
    Padahal, justru manipulasi sejarah inilah yang membuat luka kolektif bangsa terus terbuka, karena korban dipaksa bungkam, sementara pelaku tetap bebas tanpa akuntabilitas.
    Maka, refleksi G30S bukan hanya soal membuka fakta kekerasan, melainkan juga membongkar konstruksi sejarah yang menindas.
    Sejarah harus dipulihkan sebagai ruang kebenaran, bukan alat propaganda. Selama narasi resmi dibiarkan mendominasi tanpa koreksi, bangsa ini akan terus hidup dengan warisan ingatan palsu—yang membuat demokrasi rapuh dan nilai kemanusiaan mudah dikorbankan.
    Refleksi atas G30S kehilangan makna apabila nyawa manusia hanya ditempatkan sebagai alat legitimasi politik.
    Di balik jargon ideologi dan klaim stabilitas, terdapat fakta gamblang: ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh tanpa proses hukum, jutaan lainnya dipaksa menjalani penahanan, kerja paksa, penyiksaan, pemerkosaan, hingga pengucilan sosial yang diwariskan lintas generasi.
    Semua ini terjadi bukan karena “kekacauan” semata, melainkan karena negara secara sadar mengabaikan prinsip dasar kemanusiaan.
    Hukum HAM internasional menegaskan hak untuk hidup, bebas dari penyiksaan, dan hak atas pengadilan yang adil adalah hak
    non-derogable
    —hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
    Amnesty International (2012) mengingatkan bahwa penundaan penyidikan hanya memperpanjang penderitaan korban.
    International People’s Tribunal 1965 di Den Haag (2015) menegaskan kegagalan negara dalam memenuhi kewajiban hukumnya: tidak mencegah, tidak menghukum pelaku, dan tidak memulihkan korban.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa impunitas telah menjadi norma, sementara korban terus dipaksa menanggung stigma dan diskriminasi.
    Narasi resmi yang terus direproduksi menunjukkan betapa mudahnya sejarah dipelintir untuk mengaburkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
    Manipulasi semacam ini berfungsi sebagai perpanjangan dari kekerasan itu sendiri: membungkam suara korban, menghapus kesaksian, dan menormalisasi pembantaian sebagai sesuatu yang “wajar”.
     
    Dengan cara itu, nilai kemanusiaan tidak hanya diabaikan, tetapi juga diinjak-injak secara sistematis.
    Nilai kemanusiaan menuntut akuntabilitas. Tidak ada ideologi, kepentingan politik, atau alasan stabilitas yang dapat membenarkan pembunuhan massal maupun diskriminasi struktural lintas generasi.
    Selama kebenaran ditutup dan pelaku tidak dimintai pertanggungjawaban, luka sosial akan terus terpelihara.
    Tragedi G30S seharusnya menjadi peringatan keras: begitu negara menanggalkan prinsip kemanusiaan, hukum dan moralitas ikut runtuh, dan yang tersisa hanyalah kekerasan yang dilegalkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?

    Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?

    Mengapa Kebebasan Pers Penting bagi Pembangunan?
    Ketua Komite Eksekutif Indonesian Consortium for Cooperatives Innovation (ICCI), Sekretaris Umum Asosiasi Neo Koperasi Indonesia (ANKI) dan Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED)
    INSIDEN
    pencabutan ID Pers Istana jurnalis
    CNN Indonesia,
    Diana Valencia (28/9) perlu diwaspadai. Setelah diprotes oleh Dewan Pers, AJI, IJTI dan organisasi masyarakat sipil lain, Biro Pers, Media, dan Informasi (BPMI) Setpres, selang sehari mengembalikan kartu itu (29/9).
    BPMI Setpres berdalih karena pertanyaan Diana kepada Presiden Prabowo Subianto, soal keracunan massal Makan Bergizi Gratis (MBG), di luar konteks liputan.
    Peristiwa itu bukan sekadar kesalahpahaman kecil. Namun, peluang tergelincirnya kembali Indonesia ke masa pembatasan kebebasan pers.
    Tanpa pers bebas,
    blind spots
    bisa terjadi. Kasus seperti keracunan massal MBG bisa tak tersampaikan kepada pemimpin negara.
    Di tengah budaya Asal Bapak Senang (ABS), pers yang bebas bisa beri informasi lapangan yang berharga bagi Presiden.
    Dengan cara itu, Presiden dapat ambil langkah perbaikan cepat. Pembangunan, semisal program MBG, bisa secepatnya dievaluasi. Alhasil program pembangunan Pemerintah menjadi lebih baik.
    Bayangkan rumah tanpa jendela. Gelap, tak tahu apa di luar. Pemerintah menjadi buta, krisis tak terdeteksi.
    “The J Curve, A New Way to Understand Why Nations Rise and Fall” (2006) karya Ian Bremmer masih relevan dibaca. Dalam bukunya itu, ia gambarkan hubungan antara tingkat keterbukaan sebuah negara, termasuk kebebasan pers dan akses informasi, dengan stabilitas politiknya.
    Mari bayangkan kurva berbentuk huruf J miring pada sumbu X dan Y. Keterbukaan negara di sumbu X dan stabilitas politik di sumbu Y.
    Di sisi kiri kurva, ada negara tertutup seperti Korea Utara, di mana stabilitas tampak tinggi karena kontrol ketat.
    Lalu naik ke sisi kanan, ada negara seperti Amerika dan Jepang, di mana keterbukaan justru jadi “lem” yang menahan guncangan.
    Di antara sisi kiri dan kanan, ada lembah di huruf J, itulah negara-negara dalam masa transisi. Ketika mereka melewati “lembah”, ketidakstabilan seperti konflik, protes, dan kekacauan muncul karena institusi belum matang.
    Namun, jika berhasil, maka mereka akan berada di sisi kanan seperti negara demokratis lainnya. China masih berada di situ.
    Dalam bukunya, Bremmer tegaskan pers dan informasi bebas akan dorong akuntabilitas. Laporan suatu krisis akan picu evaluasi dan perbaikan. Pemerintah menjadi responsif dan program pembangunan yang sempat tergelincir, bisa secepatnya dikembalikan ke rel.
    Ada dua kasus menarik yang dibedah Bremmer, Korea Utara dan China. Korea Utara adalah contoh paling ekstrem, sangat tertutup, dengan kontrol ketat atas informasi, media, dan interaksi dengan dunia luar.
    Bremmer jelaskan rezim Kim, dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-il, pertahankan stabilitas melalui isolasi total. Namun, itu justru membuat negara rapuh terhadap krisis internal.
    Dalam bukunya, ia gambarkan bagaimana pembatasan pers dan informasi sebabkan malapetaka kelaparan, yang tewaskan antara 240.000 hingga 3,5 juta orang atau 15,9 persen dari total populasi 22 juta jiwa saat itu.
    Mereka meninggal karena kelaparan atau penyakit yang berkaitan dengan kelaparan. Itu terjadi pada 1994-1998 yang dikenal sebagai
    Arduous March.
    Penyebab utamanya adalah pertanian gagal karena banjir, kekeringan, dan kebijakan ekonomi yang buruk.
    Rezim Kim sembunyikan peristiwa kelaparan massal itu dari dunia internasional dan bahkan dari rakyatnya sendiri.
    Rezim menolak bantuan luar karena takut kontaminasi ide asing, yang ancam kontrol mereka. Saat akhirnya menerima bantuan dari PBB, kondisinya sudah terlambat.
    Tanpa pers bebas dan informasi dibatasi, Pemerintah terlambat menyadari kegentingan dan eskalasi suatu masalah. Di Korea Utara isolasi total untuk pertahankan stabilitas rezim, dibayar dengan jutaan korban jiwa.
    Kasus kedua, China. Bremmer menilainya sebagai negara yang sedang bergeser dari sisi kiri kurva J menuju tengah, tapi tetap dengan kontrol politik ketat.
    Dulu di bawah Mao Zedong, China adalah negara tertutup. Mao luncurkan kebijakan industrialisasi paksa dan gagal total. Dampaknya kelaparan terburuk dalam sejarah manusia yang sebabkan 15 juta-55 juta kematian.
    Bencana itu dikenal sebagai
    Great Leap Forward Famine
    yang terjadi pada 1959-1961. Bremmer menyoroti bagaimana pembatasan pers memperburuk keadaan.
    Laporan resmi dipalsukan untuk menyenangkan partai. Kritik dilarang, dan wartawan atau pejabat yang melaporkan kegagalan dihukum dan dicap sebagai “kontra-revolusioner”.
    Padahal, tanpa informasi yang bebas, Pemerintah tidak tahu skala masalah di daerah pedesaan. Di bawah bayangan gelap ABS, mereka merasa kondisi baik-baik saja. Mereka tak sempat mobilisasi bantuan dunia internasional untuk tangani masalah itu.
    Meski China modern lebih terbuka secara ekonomi, sensor pers dan internet masih berlangsung. Bremmer melihat hal itu bisa sebabkan instabilitas jika “lembah” kurva J tidak dikelola dengan baik.
    Sebab suara masyarakat dikontrol oleh rezim panopticon yang memungkinkan benih krisis tersembunyi dan terlambat ditangani.
    Bagaimana dengan kita? Indonesia pasca-Reformasi sudah berada di puncak sisi kanan kurva ini.
    Dari rezim otoriter Orde Baru yang sensor pers dan lakukan pembatasan informasi, bergeser ke demokrasi terbuka. Media bebas, informasi terbuka dan pemilu multipartai adalah penanda.
    Meski kita punya PR. Satu dekade terakhir demokrasi kita tak baik-baik saja. Peneliti ANU seperti Jaffrey dan Warburton dalam “The Jokowi Presidency” (2025), nyatakan sebagai “Indonesia’s Decade of Authoritarian Revival”. Pilar-pilar kelembagaan demokrasi dirusak dengan berbagai manuver otokratis legalisme.
    Patut bagi Presiden Prabowo Subianto lebih berhati-hati dan tidak menambah kerusakan dengan pembatasan pers.
     
    Sebaliknya, perlu baginya sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, merestorasi bangunan demokrasi kita yang cacat ini (
    flawed democracy
    ). Penguatan peran pers salah satunya.
    Dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2025, Indonesia di peringkat 127, turun 16 peringkat dari tahun sebelumnya.
    Lalu The Economist Intelligence Unit (EIU) 2025 mencatat skor demokrasi Indonesia tahun 2024 pada 6,44 dari skala tertinggi 10.
    Padahal satu dekade lalu, skor kita pernah mencapai 7,03 (2015). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, meski berlatar belakang militer, nampaknya justru mafhum ihwal demokrasi dan supremasi sipil.
    Kasus Korea Utara dan China perlu jadi
    lesson learned
    bagi kita. Insiden Diana Valencia juga perlu Presiden perhatikan. Jangan sampai orang-orang di sekelilingnya batasi informasi.
    Di ekonomi, informasi yang asimetris bisa ciptakan inefisiensi, biaya tinggi dan pemasok atau konsumen potensial rugi.
    Sedang di pemerintahan, yang kelola anggaran ribuan triliun rupiah, informasi asimetris bisa lebih jauh fatal. Terjadi jarak pemahaman antara Pemerintah dengan masyarakat yang pada ujungnya rugikan masyarakat.
    Masyarakat kehilangan peluang terhadap dampak suatu program pembangunan. Atau Pemerintah kehilangan
    sense of crisis.
    Gejala informasi asimetris atau bahkan misinformasi terlihat ketika Presiden menyatakan keracunan massal yang terjadi hanya 0,00017 persen saja (
    Kompas.com
    , 29/9).
    Padahal, angkanya mencapai 0,000865 persen atau 8,65 insiden per 1 juta penyajian. Di mana

    Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat korban keracunan sebanyak 8.649 jiwa (
    CNN Indonesia
    , 29/9).
    Angka yang dinyatakan Presiden lebih kecil lima kali daripada data terkini. Artinya lembaga terkait seperti Badan Gizi Nasional (BGN) telat melakukan pengkinian data.
    Klaim 0,00017 persen itu sama dengan 1,7 insiden per 1 juta penyajian atau sebanyak 1.700 korban. Apakah kekeliruan itu disengaja atau tidak, Presiden perlu cek bawahannya.
    Contoh informasi timpang di atas hanya mungkin diketahui dan dikoreksi karena informasi yang disediakan media massa.
    Makin bebas pers dan informasi, masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan. Umpan balik demi perbaikan dapat Pemerintah lakukan.
    Sebaliknya, bagaimana bila pers dan informasi dibatasi? Bayangkan kapal tanpa radar. Ombak besar tak terlihat. Pers bebas adalah radar itu. Tanpa itu, kapal bisa karam di tengah badai. Itulah mengapa kebebasan pers penting bagi pembangunan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pancasila dan politik tanpa dendam

    Pancasila dan politik tanpa dendam

    Dengan landasan pada Pancasila, politik memang harus disikapi secara dewasa

    Bondowoso (ANTARA) – Bangsa Indonesia pernah larut dalam trauma berkepanjangan terkait pengkhianatan terhadap Pancasila. Puncaknya adalah Gerakan 30 September (G30S)/ PKI pada tahun 1965.

    Setelah peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah jenderal TNI oleh PKI yang ingin mengganti dasar negara Pancasila dengan paham komunis, bangsa kita kemudian terseret pada dendam politik yang nyaris tak berkesudahan.

    Pemerintahan Orde Baru, demi menjaga kesetiaan pada Pancasila, memberangus semua anggota PKI, bahkan hingga ke anak turunannya yang tidak tahu menahu dengan pilihan dan perilaku politik orang tua atau kakek neneknya, juga kena getahnya.

    Para anak turun PKI itu harus menghadapi konsekuensi dari pilihan ideologinya, sehingga hidupnya serba dibatasi. Se-Pancalais apapun perilaku anak turunan dari PKI itu, tetap akan dicap sebagai kelompok yang anti-Pancasila.

    Dengan landasan demi menjaga Pancasila, gerakan mereka yang terkait dengan PKI dibatasi. Pembatasan itu, bukan hanya kiprah di politik, tapi juga untuk urusan ekonomi dan sosial. Bahkan, segala tindakan mereka selalu diwaspadai.

    Pancasila tetap menjadi pegangan bersama, meskipun situasi dan keadaan terus berubah. Sistem politik bangsa ini memasuki babak lanjutan, setelah Era Reformasi lahir menggantikan Orde Baru. Indonesia memasuki etape hidup bernegara, dengan menerapkan sistem demokrasi yang lebih terbuka.

    Pedoman pada ideologi Pancasila yang mengalami hantaman gelombang situasi politik dan keamanan, bahkan hingga titik paling kritis, telah membuktikan bahwa Pancasila memang sakti. Bangsa Indonesia tetap teguh berpegangan pada dasar Pancasila, meskipun praktiknya, terus menerus perlu disempurnakan.

    Pada akhirnya, sikap politik yang didasari oleh dendam, yang dalam falsafah Pancasila tidak memiliki tempat untuk tumbuh dan berkembang, sudah tidak berlaku.

    Pancasila kembali menghadapi ujian kesaktian ketika pilihan bangsa ini jatuh pada sistem demokrasi terbuka, salah satunya dengan pemilihan langsung oleh rakyat untuk menentukan presiden dan wakil presiden, termasuk kepala daerah.

    Sebagai pendatang baru dalam praktik sistem politik dengan pemilihan umum langsung, bangsa ini menghadapi riak-riak yang sempat mengkhawatirkan. Pada pemilihan presiden, kubu yang satu dengan kubu lainnya saling adu argumen dan strategi untuk memenangkan calon.

    Bahkan, tidak jarang, para pendukung calon itu saling menyerang, hingga muncul istilah kelompok cebong dan kadrun. Muncul kekhawatiran bangsa ini akan terpecah belah.

    Meskipun demikian, Pancasila kembali menunjukkan kesaktiannya. Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, meskipun tidak sepanas pilpres sebelumnya, juga terjadi riak-riak terkait dengan dukung mendukung calon.

    Satu hari menjelang peringatan peringatan Hari G30S PKI, Presiden Prabowo Subianto menegaskan sikap politiknya yang tidak menyimpan dendam pada pesaingnya di ajang pesta demokrasi itu.

    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Menanti Reforma Agraria Sejati
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        25 September 2025

    Menanti Reforma Agraria Sejati Nasional 25 September 2025

    Menanti Reforma Agraria Sejati
    Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UNNES, Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, dan Penulis
    SETIAP
    24 September, Hari Tani Nasional selalu hadir dengan pelbagai seremoni, slogan, dan janji-janji yang terdengar heroik. Namun, di balik semua itu, kenyataan di lapangan tetap pahit: petani masih terpinggirkan, akses terhadap tanah semakin sempit, sementara penguasaan lahan justru terkonsentrasi pada korporasi besar dan elite politik.
    UUPA 1960 pernah diproyeksikan sebagai tonggak lahirnya tatanan agraria yang adil. Amanat tentang tanah sebagai sumber kemakmuran rakyat dan fungsi sosial hak atas tanah seharusnya menjadi pijakan utama pembangunan. Namun, setelah lebih dari enam dekade, implementasi reforma agraria masih berjalan di tempat, bahkan sering dipelintir menjadi sekadar legalisasi ketimpangan melalui program sertifikasi massal tanpa menyentuh akar persoalan.
    Reforma agraria sejati menuntut keberanian politik untuk merombak struktur penguasaan tanah yang timpang. Selama negara masih menempatkan modal besar sebagai prioritas utama, petani akan terus menjadi korban—terpinggirkan di tanahnya sendiri, sementara keadilan agraria hanya menjadi jargon yang diperdagangkan di ruang-ruang kekuasaan.
    Lonjakan konflik agraria dalam beberapa tahun terakhir menyingkap wajah buram reforma agraria di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2024 saja terjadi hampir tiga ratus kasus konflik agraria dengan cakupan lahan lebih dari satu juta hektare. Puluhan ribu keluarga di ratusan desa menjadi korban, mayoritas dari mereka adalah petani kecil, masyarakat miskin kota, dan komunitas adat yang kehilangan ruang hidupnya.
    Sektor perkebunan menempati posisi teratas sebagai penyumbang konflik, dengan lebih dari seratus kasus, dua pertiganya berasal dari ekspansi sawit. Perkebunan sawit yang diklaim menyerap tenaga kerja dan mendatangkan devisa, justru menjadi sumber perampasan tanah terbesar, mengusir hampir 15 ribu keluarga dari lahan garapannya.
    Di belakangnya, proyek infrastruktur yang dibungkus label Proyek Strategis Nasional turut menyumbang puluhan kasus, sementara pertambangan batubara dan nikel menambah daftar luka di wilayah agraria.
    Konflik agraria kini menjangkau hampir seluruh provinsi di Indonesia, dengan angka tertinggi di Sulawesi Selatan, Sumatra Utara, Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Dari kota besar hingga desa terpencil, petani dan warga kecil sama-sama menghadapi ancaman penggusuran dan kriminalisasi. Catatan KPA menunjukkan ratusan orang dikriminalisasi, puluhan mengalami kekerasan, bahkan ada yang tewas di tangan aparat yang seharusnya melindungi.
    Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa konflik agraria bukan sekadar sengketa tanah biasa, melainkan krisis struktural yang berakar pada ketimpangan penguasaan lahan. Negara justru hadir sebagai fasilitator modal besar, baik lewat kebijakan perkebunan, proyek infrastruktur, maupun regulasi yang memberi ruang bagi badan usaha swasta hingga Bank Tanah untuk menguasai lahan rakyat.
    Reforma agraria yang seharusnya menjadi jalan keluar, tereduksi menjadi program sertifikasi, sementara akar ketidakadilan terus dibiarkan menyebar.
    Lonjakan konflik agraria bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata kegagalan negara dalam menjalankan amanat UUPA 1960. Alih-alih menata struktur penguasaan tanah, kebijakan agraria justru menormalisasi praktik perampasan.
    Proyek strategis nasional, ekspansi perkebunan, hingga tambang mineral dibentangkan sebagai simbol pembangunan, padahal di baliknya ribuan keluarga terusir dari tanah garapan, dipaksa hengkang dari kampung halaman, bahkan kehilangan status hukum atas tanah yang telah mereka kelola turun-temurun.
    Keterlibatan aparat dalam melindungi kepentingan modal besar semakin memperlebar jurang ketidakadilan.
    Tahun 2024 KPA mencatat sedikitnya 556 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi di wilayah konflik agraria. Dari jumlah itu, 399 orang dikriminalisasi, 149 orang mengalami kekerasan fisik, sementara 4 orang ditembak dan 4 orang tewas akibat tindakan aparat. Korban-korban tersebut mayoritas berasal dari kelompok petani, masyarakat adat, dan warga miskin kota yang mempertahankan ruang hidupnya.
    Negara tampil bukan sebagai penengah, melainkan sebagai tangan represif yang memastikan kepentingan korporasi berjalan mulus. Reforma agraria pun kehilangan makna: bukan lagi tentang pemerataan dan fungsi sosial tanah, melainkan instrumen legalisasi ketimpangan. Petani, yang semestinya diposisikan sebagai tulang punggung ketahanan pangan, justru terus digusur.
    Kontradiksi ini menyingkap wajah sesungguhnya dari pembangunan agraria di Indonesia: sebuah pembangunan yang berdiri di atas pengorbanan rakyat kecil.
    Reforma agraria di Indonesia sejak awal dimaksudkan sebagai agenda perubahan struktural, yakni merombak ketimpangan penguasaan tanah melalui
    landreform
    . Konsep ini sejalan dengan pandangan agraria klasik ala Marx tentang pentingnya distribusi ulang alat produksi agar tidak terkonsentrasi di tangan segelintir elite (Marx, 1867).
    Dalam hukum Indonesia, UUPA 1960 mengafirmasi prinsip tersebut melalui pasal-pasal mengenai pembatasan luas tanah dan fungsi sosial hak atas tanah. Akan tetapi, dalam praktik, arah kebijakan agraria justru mengalami distorsi. Harsono (2008) menegaskan bahwa UUPA 1960 sejatinya merupakan instrumen hukum progresif untuk mewujudkan keadilan sosial, tetapi pelaksanaannya sering kali diselewengkan menjadi sekadar administrasi pertanahan, bukan redistribusi struktural.
    Hal ini terbukti dari program sertifikasi massal yang dikampanyekan pemerintah sejak era Orde Baru hingga sekarang. Sertifikasi tanah yang dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, justru kerap menjadi instrumen legalisasi
    status quo
    dan melanggengkan ketimpangan.
    Dalam perspektif teori akses ala Ribot dan Peluso, ketidakadilan bukan hanya persoalan kepemilikan formal, tetapi juga akses aktual terhadap tanah, sumber daya, dan keuntungan ekonomi.
    Negara yang berpihak pada modal besar memperkuat akses korporasi terhadap tanah, sementara masyarakat kecil kehilangan akses meski memiliki klaim historis. Di sinilah reforma agraria kehilangan esensinya: redistribusi digantikan dengan legalisasi, dan keadilan agraria direduksi menjadi sekadar kepastian administrasi.
    Sejatinya, reforma agraria di Indonesia telah terjebak dalam “reforma agraria administratif”—yakni fokus pada sertifikat, pendaftaran tanah, dan data teknis, tanpa menyentuh akar ketimpangan struktur agraria. Padahal, tujuan awal reforma agraria adalah membongkar konsentrasi penguasaan tanah yang timpang.
    Dengan kerangka teori dan pandangan para ahli tersebut, jelas bahwa problem agraria hari ini bukan sekadar konflik horizontal atau sengketa lokal, melainkan kegagalan negara dalam mengembalikan reforma agraria pada esensi sejatinya: redistribusi tanah yang adil sebagai basis keadilan sosial dan kedaulatan pangan.
    Mewujudkan reforma agraria sejati membutuhkan keberanian politik yang lebih dari sekadar program sertifikasi dan jargon pembangunan. Negara harus kembali pada mandat UUPA 1960 dan Pasal 33 UUD NRI 1945: tanah bukan komoditas belaka, melainkan sumber kehidupan yang harus digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tanpa penataan ulang struktur penguasaan tanah, setiap janji kedaulatan pangan hanya akan menjadi mitos yang terus diproduksi dari panggung kekuasaan.
    Agenda redistribusi tanah harus dipulihkan sebagai inti reforma agraria, bukan digeser menjadi proyek administratif. Tanah-tanah yang selama ini terkonsentrasi di tangan korporasi besar, badan usaha negara, hingga bank tanah perlu didistribusikan kembali kepada petani kecil dan masyarakat adat. Dengan cara itu, ketimpangan struktural bisa dipangkas dan potensi konflik dapat ditekan.
    Reforma agraria bukanlah hadiah dari negara kepada rakyat, melainkan prasyarat bagi demokrasi ekonomi yang berkeadilan. Selain itu, pelindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi prioritas. Catatan ratusan korban kriminalisasi sepanjang 2024 menunjukkan bahwa aparat negara kerap digunakan sebagai instrumen represi. Pola ini harus diputus. Aparat semestinya hadir melindungi rakyat, bukan memfasilitasi perampasan tanah.
    Penegakan hukum yang berpihak pada keadilan agraria, bukan pada modal besar, menjadi fondasi penting agar reforma agraria tidak lagi terjebak dalam pusaran kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.
    Reforma agraria sejati tidak mungkin terwujud tanpa keberpihakan jelas: berpihak pada petani, masyarakat adat, dan kelompok kurang mampu yang selama ini dikorbankan atas nama pembangunan. Hanya dengan keberanian politik seperti itu, cita-cita UUPA 1960 untuk menghadirkan keadilan sosial dapat benar-benar hidup, bukan sekadar diulang dalam seremoni Hari Tani Nasional.
    Tanpa langkah itu, reforma agraria akan terus menyimpang arah, dan keadilan agraria hanya akan menjadi retorika kosong di tengah luka rakyat yang tidak kunjung sembuh.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rocky Gerung: Gus Dur Tinggalkan Kemajemukan, Jokowi Tinggalkan Pinokio

    Rocky Gerung: Gus Dur Tinggalkan Kemajemukan, Jokowi Tinggalkan Pinokio

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik, Rocky Gerung, kembali blak-blakan terkait para presiden Indonesia sejak masa Orde Baru hingga pemerintahan Jokowi.

    Ia secara terang-terangan menilai setiap presiden memiliki sisi positif, namun tetap meninggalkan catatan kritis.

    Rocky mengaku sejak dulu tidak pernah memberikan dukungan penuh kepada presiden yang berkuasa, termasuk Soeharto.

    “Nda ada, Soeharto (yang mendekati sempurna) gua demo dulu,” ujar Rocky dikutip pada Rabu (24/9/2025).

    Hal serupa juga dilakukan kepada B.J. Habibie. Rocky mengatakan, Habibie saat itu dinilai terlalu berfokus menghabiskan APBN untuk proyek industri strategis.

    “Habibie juga kita demo dulu. Karena dia ngabisin APBN dipakai buat industri strategis. Buat kita itu nggak rasional,” sebutnya.

    “Dalam keadaan ekonomi bangkrut, investasi terlalu besar di bidang teknologi. Tapi idenya bagus, pilihan kebijakan waktu itu keliru,” tambahnya.

    Sementara tentang Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Rocky menyebut awalnya ia mendukung.

    “Gus Dur yah gue dukung waktu itu, karena teman segala macam. Tapi Gus Dur kemudian kehilangan kemampuan untuk memainkan politik parlemen,” imbuhnya.

    Namun, kepemimpinan Gus Dur menurutnya kehilangan kendali dalam memainkan politik parlemen.

    “Tapi kita udah tahu yah Gus Dur melakukan drastis. Bahkan mengeluarkan Perpu untuk membubarkan parlemen,” ungkap Rocky.

    Meski begitu, Rocky mengatakan bahwa Gus Dur tetap meninggalkan warisan berharga.

    “Tapi Gus Dur ninggalin sesuatu, kemajemukan itu,” katanya.

    Berbeda dengan Soeharto, Rocky menganggap presiden ke-2 RI itu meninggalkan infrastruktur. Sedangkan Habibie, kata dia, mewariskan gagasan besar tentang teknologi.

  • Purbaya Sebut Ekonomi RI Berbasis Soemitronomics, Berkaca ke Singapura hingga China

    Purbaya Sebut Ekonomi RI Berbasis Soemitronomics, Berkaca ke Singapura hingga China

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menjelaskan bahwa strategi pembangunan ekonomi Indonesia berdasarkan konsep yang diperkenalkan oleh tokoh ekonomi Indonesia, Soemitro Djojohadikusumo.

    Sebagaimana diketahui, Soemitro dikenal sebagai tokoh yang membangun konsep perekonomian Indonesia setelah kemerdekaan. Dia pernah menjabat di sejumlah pos menteri baik di zaman Orde Lama dan Orde Baru. Ekonom legendaris itu juga dikenal sebagai ayah dari Presiden Prabowo Subianto.

    Pada rapat paripurna DPR hari ini, usai Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RUU APBN) 2026 disahkan menjadi Undang-Undang (UU), Purbaya mengatakan bahwa Indonesia menerapkan strategi berbasis pada konsep Soemitronomics untuk menjadi negara maju.

    “Untuk menjadi negara maju, strategi pembangunan ekonomi Indonesia berbasis pada konsep Soemitronomics yang difokuskan pada tiga pilar utama,” jelas Purbaya di hadapan DPR, di ruang rapat paripurna DPR, Selasa (23/9/2025).

    Tiga konsep Soemitronomics yang disebut Purbaya meliputi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, serta stabilitas nasional yang dinamis.

    Untuk menjalankan tiga pilar tersebut, lanjutnya, mesin-mesin pertumbuhan harus dihidupkan dan dipastikan berjalan selaras.

    “Fiskal, sektor keuangan, dan perbaikan ekonomi investasi harus sinergis menggerakkan perekonomian Indonesia agar dapat tumbuh melampaui 6% dalam waktu tidak terlalu lama,” paparnya.

    Adapun Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8% (year on year/YoY) dalam jangka menengah. Pada tahun ini, ekonomi ditargetkan tumbuh 5,2% (YoY), dan melesat lebih tinggi sebesar 5,4% (YoY) pada 2026.

    Indonesia, kata Purbaya, berkaca pada Korea Selatan dan Singapura yang ekonominya tumbuh di atas rata-rata 7,5% selama 10 tahun sebelum menjadi negara maju. RI juga berkaca kepada China sebagai benchmark, yang ekonominya bisa tumbuh melampaui 10% (YoY) selama periode 2003—2007 serta 2010. 

    “Target ini tidak mudah, namun tidak berarti tidak bisa diwujudkan Indonesia. Sejarah menunjukkan, sebelum krisis keuangan Asia pada 1997—1998, ekonomi Indonesia tumbuh di atas rata-rata 6%,” kata mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu.

    Untuk mencapai target tersebut, Purbaya menyebut pemerintah tidak hanya mengandalkan fiskal atau keuangan negara. Mantan ekonom di Danareksa itu mengatakan, APBN akan berperan sebagai katalis dalam mendukung sektor swasta sebagai motor utama penggerak pertumbuhan.

    Sektor-sektor usaha yang menjadi fokus yakni pertanian, industri manufaktur, serta padat karya.

    Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/2025 untuk mereformasi sistem perizinan berusaha berbasis risiko dengan menyederhanakan proses dan mempercepat layanan yang terintegrasi.

    Tidak hanya itu, ungkap Purbaya, pemerintah akan membentuk Satgas Percepatan Program Strategis Pemerintah. Tugasnya yakni untuk memonitor, mengevaluasi, dan menangani debottlenecking dunia usaha secara lintas sektor.

    “Satgas itu juga akan menerima pengaduan dari masyarakat dan pelaku bisnis untuk mengatasi kendala bisnis riil,” jelasnya. 

  • OPINI: Menimbang Ulang HET Beras

    OPINI: Menimbang Ulang HET Beras

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) akhirnya menyesuaikan harga eceran tertinggi (HET) beras. Melalui Keputusan Kepala Bapanas No. 299 Tahun 2025 tentang Penetapan HET Beras, 22 Agustus 2025, HET beras medium zona I naik dari Rp12.500/kg menjadi Rp13.500/kg (naik 8%), zona II naik dari Rp13.100/kg jadi Rp14.000/kg (6,9%) dan zona III naik dari Rp13.500/kg jadi Rp15.500/kg (14,8%).

    Langkah ini membuat penggilingan kecil yang ‘sesak napas’ sejak Januari lalu mulai lega. ‘Sesak napas’ penggilingan terjadi ketika Bapanas, 12 Januari 2025, menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah di petani dari Rp6.000/kg menjadi Rp6.500/kg.

    HPP yang semula disertai syarat kualitas dan rafaksi harga itu di kemudian hari diubah tanpa syarat kualitas dan rafaksi harga. Anehnya, ketika HPP gabah dinaikkan, HET beras tak dikoreksi. Padahal gabah adalah bahan baku beras. Kala harga bahan baku naik, hasil olahan juga naik. Penafikan golden rules ini membuat pasar beras mengalami regresi: pedagang dan penggilingan harus bisa berproduksi di tengah margin kecil, bahkan rugi.

    Sebagai regulator pemerintah tentu paham hal ini. Bukannya mengoreksi, otoritas penguasa justru melontarkan tudingan tak masuk akal: ‘mafia beras’, ‘beras oplos’, dan kalkulasi (potensi) kerugian bombastis: Rp99 triliun. Bahkan, belakangan pedagang dan penggilingan besar dicap ‘musuh negara’. Kini, setelah HET disesuaikan, apakah situasi membaik? Tidak. Karena penyesuaian HET hanya pada beras medium. Penggilingan menengah-besar produsen beras premium tetap sulit bernapas.

    Jangan salahkan jika ada yang berpikir nakal: ini wujud kebijakan penggilingan menengah-besar musuh negara? Bukti riil bahwa produsen beras premium sulit bernafas kasat mata dari raibnya aneka merek beras premium di retail-retail modern di berbagai kota. Mereka tak mampu menanggung kerugian bertubi-tubi. Sebagian menyiasati dengan menjual kemasan 50 kg tanpa merek di jejaring pasar tradisional yang tak pernah patuh HET. Sebagian lagi mulai menggarap pasar beras khusus, yang harganya tak diatur.

    Beras khusus inilah yang hari-hari ini meng-isi sebagian retail modern. Harganya bisa Rp18.000—Rp20.000/kg. Sebagian sisa-nya berhenti berproduksi dengan konsekuensi cicilan bank macet dan PHK karyawan. Apakah HET beras medium tercapai setelah dinaikan pada 22 Agustus? Merujuk panel data Bapanas, 1 September 2025, harga beras medium masih di atas HET di semua zona. Demikian pula beras premium.

    Padahal, untuk membuktikan harga beras segera turun seperti dijanjikan ke publik otoritas kuasa kini menempuh cara-cara tak elok, termasuk cara intimidatif dengan meminta penggilingan tak membeli gabah petani di atas Rp6.500/kg. Ini melukai petani. Ini harus dihentikan. Satgas Pangan yang intens masuk ke pasar harus menahan diri. Aura ketakutan di industri perberasan harus dipulihkan. Pada titik ini, pertanyaan yang relevan diajukan adalah: Apa perlu HET beras? HET mulai diterapkan pada September 2017.

    Alasan saat itu: ada mafia beras. Mafia ini menangguk keuntungan berlebih. Sampai sekarang mafia beras yang dituduhkan tidak pernah terbukti. Akan tetapi, narasi itu selalu diulang sebagai kambing hitam manakala tata kelola perberasan nasional acakadut dan tidak mampu dikelola otoritas penguasa, seperti saat ini. HET beras, hemat saya, adalah salah satu biang acakadut perberasan kita.

    Pertama, mustahil mematok harga tetap, seperti HET, di hilir manakala harga bahan baku fluktuatif. HET akan lebih mudah dipatuhi apabila harga gabah sebagai input produksi tidak potensial melonjak. Namun, mematok harga gabah secara tetap seperti HET tentu tidak adil bagi petani karena input produksi pertanian (tenaga kerja, bibit, sewa lahan, pupuk, dan yang lain) harganya tidak tetap. Kalau harga bahan baku tak tetap, mengapa harga jual dibuat tetap? Bukankah harga jual tetap itu juga membatasi inovasi?

    Kedua, sampai saat ini HET tidak efektif. Buktinya sampai sekarang pedagang di pasar tradisional tak pernah patuh HET. Kalau 8 tahun berlalu tak efektif kenapa HET beras masih tetap dipertahankan? Apakah masih perlu trial and error lagi? Bukankah sudah banyak penggilingan gulung tikar? Bukankah penggilingan dan pedagang beras terus dihantui traumatik kehadiran Satgas Pangan saat mengamankan HET? Diakui atau tidak, hemat saya beleid HET telah mengirim banyak penggilingan ke jurang maut.

    Ketiga, HET (dan HPP) hanya mengikat pemerintah. Pasal 56 ayat a dan b UU Pangan No. 18/2012 mengatur bahwa stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok dilakukan melalui penetapan harga di tingkat produsen sebagai pedoman pembelian pemerintah dan penetapan harga di konsumen sebagai pedoman penjualan pemerintah. Rumusan UU ini jelas: HPP sebagai penetapan harga di produsen dan HET sebagai penetapan harga di konsumen hanya berlaku bagi pemerintah. Kekacauan muncul karena HET yang kini diatur lewat Peraturan Kepala Bapanas mengikat publik dan ada sanksi.

    Merujuk sejarah perberasan, HET adalah jelmaan ‘harga langit-langit’ (ceiling price) saat Orde Baru. Beleid ini tak mengikat publik dan berapa level harga tak pernah diumumkan. Seperti ‘harga langit-langit’, dalam konteks stabilisasi harga sejatinya HET adalah instrumen pemerintah. Bukan piranti mengatur pelaku usaha. HET adalah batas perlu-tidaknya pemerintah mengintervensi pasar. Kala harga beras melampaui persentase tertentu dari HET, ini sinyal bagi pemerintah turun ke pasar mengintervensi harga. Golden rules ini harus kembali ke rel. Jangan sampai pemerintah dituduh melanggar UU.

  • Gaya Hidup Sosialita Ala Menteri Pariwisata, Diduga Minta Air Galon untuk Mandi Setiap Kunjungan ke Daerah

    Gaya Hidup Sosialita Ala Menteri Pariwisata, Diduga Minta Air Galon untuk Mandi Setiap Kunjungan ke Daerah

    GELORA.CO –  Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana tengah ramai diperbincangkan publik, lantaran ada kabar menyebut gaya hidupnya terlalu berlebihan.

    Dalam story yang diunggah oleh akun media sosial @cabinetcouture, menampilkan pesan singkat dari orang yang mengaku ASN yang bekerja untuk Menteri Pariwisata.

    Pesan singkat tersebut berisi curahan hati tentang pekerjaannya yang menjadi lebih capek karena mengurusi hal-hal tak masuk akal dari Menteri Pariwisata Widiyanti.

    Dikatakan bahwa ketika melakukan kunjungan kerja ke Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Widiyanti meminta disediakan air galon untuk mandi.

    “Gosip dari staf beliau, kalau beliau ke pelosok seperti Bajo, beliau minta siapin air galon buat mandi,” ungkapnya, dikutip dari story Instagram @cavinetcouture_idn.

    Selain itu, keluhan juga datang dari ASN di pemda ketika ada jadwal kunjungan dari Menteri Pariwisata.

    Widiyanti dikatakan meminta sejumlah persyaratan yang menyusahkan ASN di daerah ketika hendak melakukan kunjungan.

    Akan tetapi, ujung-ujungnya ia tak datang dan hanya diwakili oleh pejabat lain yang jabatannya berada di bawahnya.

    Bahkan ada ASN dari Kementerian Pariwisata yang membandingkan lebih enak ketika Sandiaga Uno menjadi Menteri Pariwisata.

    Kinerja Widiyanti juga jadi sorotan, pasalnya belum terdengar kabar mengenai gebrakannya tentang pariwisata di Indonesia.

    Wanita berusia 55 tahun ini dikatakan seolah tak peduli dengan pariwisata Indonesia, ia hanya sibuk mengurus diri sendiri dan gaya hidupnya yang mewah.

    Ditunjuknya Widiyanti sebagai Menteri Pariwisata sempat menjadi tanda tanya besar, pasalnya gaya hidupnya lebih mirip sosialita dibanding pejabat publik.

    Terlihat saat dirinya berpidato, ia hanya membaca teks yang sudah disediakan, tanpa improvisasi agar kalimatnya lebih mudah dipahami masyarakat.

    Walaupun sudah beberapa kali dikritik, tapi istri dari pengusaha kaya raya ini tetap berpidato sambil menunduk dan membaca teks.

    Gaya hidupnya yang mewah ternyata sejalan dengan harta kekayaannya yang melimpah, hingga dinobatkan sebagai menteri terkaya di Kabinet Merah Putih.

    Total harta kekayaannya mencapai Rp5,4 triliun, mengalahkan Erick Thohir dan pengusaha lainnya yang jadi pejabat.

    Ternyata orang tuanya merupakan taipan yang sudah memiliki bisnis di sektor tambang sejak era Orde Baru.

    Ayahnya yang bernama Wiwoho Basuki Tjokronegoro, bukan orang sembarangan, namanya tercatat sebagai jajaran orang paling kaya di Indonesia.

    Sudah lebih dari setengah abad menjadi pengusaha di Indonesia, ada banyak perusahaan yang dipegangnya, terutama di sektor tambang dan energi.

    Bukan hanya di dunia bisnis, ayah dari Widiyanti juga pernah mengisi jabatan penting di lingkungan pemerintah, seperti jadi penasehat khusus presiden di bidang ekonomi.

    Tak heran, jika Widiyanti bisa dengan mudah mengembangkan usaha di sektor tambang hingga properti.

    Tercatat Widiyanti merupakan pengusaha batu bara, kelapa sawit, apartemen, hingga bisnis jaringan televisi PT Net Visi Media Tbk alias NET TV.***