Foto
Tripa Ramadhan – detikNews
Rabu, 20 Agu 2025 13:00 WIB
Meksiko – Waldog, anjing robot AI di Monterrey, Meksiko, hadir untuk menyuarakan hak-hak hewan jalanan, juga mengajarkan kebaikan kepada anak-anak dan warga. Ini aksinya.

Foto
Tripa Ramadhan – detikNews
Rabu, 20 Agu 2025 13:00 WIB
Meksiko – Waldog, anjing robot AI di Monterrey, Meksiko, hadir untuk menyuarakan hak-hak hewan jalanan, juga mengajarkan kebaikan kepada anak-anak dan warga. Ini aksinya.

Foto Health
Tripa Ramadhan – detikHealth
Rabu, 20 Agu 2025 12:00 WIB
Nigeria – Program vaksinasi Mpox di Kaduna, Nigeria, menyasar warga berisiko tinggi. Petugas kesehatan berharap ini bisa menekan penyebaran penyakit mematikan tersebut.

Jakarta: Sejak beberapa pekan terakhir, royalti musik menjadi pembicaraan hangat.
Kisruh soal royalti hak cipta musik bahkan berdampak pada cafe dan restoran yang tidak mau memutar lagu, bahkan transportasi bus juga enggan memutar lagu karena takut ditagih ataupun dibebani royalti.
Fenomena ini bukan tanpa sebab, polemik mengenai royalti musik ini mencuat setelah seorang Direktur Outlet Mie Gacoan cabang Bali ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan memutar lagu komersial tanpa membayar royalti.
Hak cipta dalam hukum positif
Dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Adapun karya yang dilindungi adalah dalam bentuk benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, dan merek dagang dan benda yang berwujud berupa informasi, teknologi, sastra, seni, keterampilan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 9 ayat (2), dijelaskan bahwa penggunaan lagu secara komersial, termasuk diputar di kafe, restoran atau pusat perbelanjaan, harus disertai izin dan pembayaran royalti. Sehingga, penggunakan yang bersifat individu dan tidak ada tujuan komersial tiodak dikenakan kewajiban membayar royalti.
Dua undang-undang di atas merupakan bentuk apresiasi dan afirmasi negara terhadap hak cipta. Dalam hal ini, segala jenis karya, penemuan artau kreativitas yang sudah dipatenkan menjadi hak milik pribadi yang diakui oleh syariat dan negara. Pihak lain tidak boleh menggunakannya untuk tujuan komersial tanpa izin dari pemegang hak paten.
Mereka yang mempergunakan hasil karya tersebut harus membayar royalti kepada pemilik hak melalui lembaga manajemen kolektif nasional (LMKN). LMKN adalah lembaga yang dibuat khusus untuk mengelola royalti hak cipta lagu dan musik. Selanjutnya, LMKN inilah yang akan menyalurkan royalti tersebut kepada pemilik hak.
Namun, Undang-undang yang mengatur masalah tersebut juga harus diatur dengan jelas dan detail. Hal ini untuk menutup kemungkinan simpang siur dan penafsiran berbeda mengenai pasal-pasalnya.
Royalti musik dalam Islam
Melansir dari NU Online, pada dasarnya Islam menjunjung tinggi keadilan dan hak finansial setiap individu.
Hal ini terbukti dari prinsip-prinsip dasar dalam syariat Islam (maqashidus syari’ah) yang salah satu proyeksinya adalah untuk menjaga harta (hifdzul mal). Prinsip ini yang kemudian melandasi seluruh hukum-hukum muamalah dalam Islam sehingga diharapkan tidak ada tindakan semena-mena.
Ketentuan mengenai hak cipta atau royalti memang tidak dijumpa dalam diskursus fiqih klasik. Namun, para ulama telah meletakkan prinsip dasar yang menjadi acuan bagi cendikiawan muslim kontemporer dalam menetapkan hukum-hukum baru yang belum ditemukan di masa lampau.
Dalam fiqih kontemporer, dikenal istilah huquq ma’nawiyah atau huququl ibtikar. Syekh Usman Syabir mendefinisikannya sebagai:
Artinya, “Huquq ma’nawiyah (hak immaterial) adalah wewenang seseorang terhadap sesuatu yang bersifat non materi, baik itu berupa hasil kreatifitas pemikiran seperti hak paten dalam bidang ilmu dan seni, penemuan baru dalam bidang industri, atau buah dari usaha seorang pedagang untuk menarik pelanggan seperti label dan merek dagang.” (Al-Mu’amalatul Maliyah Al-Mu’ashirah, [Yordania, Darun Nafais: 2007], halaman 37).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa segala bentuk kreatifitas atau hasil karya baik di bidang pengetahuan, seni industri dan lain sebagainya, merupakan hak yang mendapat legitimasi. Ini berarti bahwa hasil karya tersebut posisinya sama dengan harta riil pada umumnya.
Para ulama menyebutkan bahwa harta itu ada yang berbentuk barang berwujud, ada pula yang abstrak hanya berupa manfaat. Imam Az-Zarkasyi menjelaskan:
Artinya, “Harta adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan atau berpotensi untuk dimanfaatkan. Adakalanya harta itu berupa benda berwujud atau manfaat (nilai guna).” (Al-Mantsur, [Kuwait, Wizaratul Awqaf Al-Kuwaitiyah: 1985], juz III, halaman 222).
Dalam hal ini, musik merupakan hasil karya yang bernilai komersial. Bukan hanya sekedar hiburan, ia merupakan produk kreativitas, hasil kerja keras antara pencipta lagu, penyanyi, pemusik, hingga produser yang terlibat. Di balik satu lagu yang didengar, ada waktu, tenaga dan pemikiran yang dicurahkan.
Syekh Usman Syabir menjelaskan bahwa setidaknya terjadi perselisihan di kalangan ulama terkait apakah hak cipta ini dilegitimasi secara syara atau tidak. Menurut Dr Ahmad Al-Hajj Al-Kurdi, hasil karya baik dalam ilmu pengetahuan atau kreativitas lain tidak boleh dikomersialkan. Alasannya karena hal tersebut dianggap tindakan menyembunyikan pengetahuan yang itu dilarang dalam syariat.
Namun, mayoritas ulama kontemporer seperti Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Syekh Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syekh Musthafa Az-Zarqa dan lain-lain berpandangan bahwa hak cipta dilegitimasi secara syara’ dan boleh dikomersialkan. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hasil kreativitas dalam bidang apapun termasuk harta dalam kategori manfaat. (Syabir, 43-44).
Jika demikian, maka kreativitas atau hasil karya dalam bidang apapun yang sudah dipatenkan secara syariat sah dianggap sebagai hak milik orang atau pihak yang bersangkutan. Dengan adanya hak paten tersebut, orang atau pihak lain yang ingin menggunakannya harus mendapatkan izin dari pihak yang bersangkutan.
Menukil hasil keputusan Muktamar Fiqih Kuwait, Syekh Wahbah mengatakan:
Artinya, “Hak terhadap sebuah karya tulis, penemuan atau kreativitas dilindungi secara syariat. Pihak yang bersangkutan memiliki hak untuk mengelolanya. Dan pihak lain tidak boleh semena-mena terhadap hasil karya tersebut.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr, t.th.], juz VII, halaman 5077).
Dengan demikian dapat disimpulkan, hak cipta adalah hak yang dilindungi secara syariat. Sehingga pihak yang ingin menggunakan atau mengomersialkannya harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak terkait.
Jakarta: Sejak beberapa pekan terakhir, royalti musik menjadi pembicaraan hangat.
Kisruh soal royalti hak cipta musik bahkan berdampak pada cafe dan restoran yang tidak mau memutar lagu, bahkan transportasi bus juga enggan memutar lagu karena takut ditagih ataupun dibebani royalti.
Fenomena ini bukan tanpa sebab, polemik mengenai royalti musik ini mencuat setelah seorang Direktur Outlet Mie Gacoan cabang Bali ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan memutar lagu komersial tanpa membayar royalti.
Dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002, Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan suatu peraturan kepada seseorang atau sekelompok orang atas karya ciptanya. Adapun karya yang dilindungi adalah dalam bentuk benda tak berwujud seperti hak cipta, paten, dan merek dagang dan benda yang berwujud berupa informasi, teknologi, sastra, seni, keterampilan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya.
Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, Hak Cipta didefinisikan sebagai hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pada pasal 9 ayat (2), dijelaskan bahwa penggunaan lagu secara komersial, termasuk diputar di kafe, restoran atau pusat perbelanjaan, harus disertai izin dan pembayaran royalti. Sehingga, penggunakan yang bersifat individu dan tidak ada tujuan komersial tiodak dikenakan kewajiban membayar royalti.
Dua undang-undang di atas merupakan bentuk apresiasi dan afirmasi negara terhadap hak cipta. Dalam hal ini, segala jenis karya, penemuan artau kreativitas yang sudah dipatenkan menjadi hak milik pribadi yang diakui oleh syariat dan negara. Pihak lain tidak boleh menggunakannya untuk tujuan komersial tanpa izin dari pemegang hak paten.
Mereka yang mempergunakan hasil karya tersebut harus membayar royalti kepada pemilik hak melalui lembaga manajemen kolektif nasional (LMKN). LMKN adalah lembaga yang dibuat khusus untuk mengelola royalti hak cipta lagu dan musik. Selanjutnya, LMKN inilah yang akan menyalurkan royalti tersebut kepada pemilik hak.
Namun, Undang-undang yang mengatur masalah tersebut juga harus diatur dengan jelas dan detail. Hal ini untuk menutup kemungkinan simpang siur dan penafsiran berbeda mengenai pasal-pasalnya.
Melansir dari NU Online, pada dasarnya Islam menjunjung tinggi keadilan dan hak finansial setiap individu.
Hal ini terbukti dari prinsip-prinsip dasar dalam syariat Islam (maqashidus syari’ah) yang salah satu proyeksinya adalah untuk menjaga harta (hifdzul mal). Prinsip ini yang kemudian melandasi seluruh hukum-hukum muamalah dalam Islam sehingga diharapkan tidak ada tindakan semena-mena.
Ketentuan mengenai hak cipta atau royalti memang tidak dijumpa dalam diskursus fiqih klasik. Namun, para ulama telah meletakkan prinsip dasar yang menjadi acuan bagi cendikiawan muslim kontemporer dalam menetapkan hukum-hukum baru yang belum ditemukan di masa lampau.
Dalam fiqih kontemporer, dikenal istilah huquq ma’nawiyah atau huququl ibtikar. Syekh Usman Syabir mendefinisikannya sebagai:
Artinya, “Huquq ma’nawiyah (hak immaterial) adalah wewenang seseorang terhadap sesuatu yang bersifat non materi, baik itu berupa hasil kreatifitas pemikiran seperti hak paten dalam bidang ilmu dan seni, penemuan baru dalam bidang industri, atau buah dari usaha seorang pedagang untuk menarik pelanggan seperti label dan merek dagang.” (Al-Mu’amalatul Maliyah Al-Mu’ashirah, [Yordania, Darun Nafais: 2007], halaman 37).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa segala bentuk kreatifitas atau hasil karya baik di bidang pengetahuan, seni industri dan lain sebagainya, merupakan hak yang mendapat legitimasi. Ini berarti bahwa hasil karya tersebut posisinya sama dengan harta riil pada umumnya.
Para ulama menyebutkan bahwa harta itu ada yang berbentuk barang berwujud, ada pula yang abstrak hanya berupa manfaat. Imam Az-Zarkasyi menjelaskan:
Artinya, “Harta adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan atau berpotensi untuk dimanfaatkan. Adakalanya harta itu berupa benda berwujud atau manfaat (nilai guna).” (Al-Mantsur, [Kuwait, Wizaratul Awqaf Al-Kuwaitiyah: 1985], juz III, halaman 222).
Dalam hal ini, musik merupakan hasil karya yang bernilai komersial. Bukan hanya sekedar hiburan, ia merupakan produk kreativitas, hasil kerja keras antara pencipta lagu, penyanyi, pemusik, hingga produser yang terlibat. Di balik satu lagu yang didengar, ada waktu, tenaga dan pemikiran yang dicurahkan.
Syekh Usman Syabir menjelaskan bahwa setidaknya terjadi perselisihan di kalangan ulama terkait apakah hak cipta ini dilegitimasi secara syara atau tidak. Menurut Dr Ahmad Al-Hajj Al-Kurdi, hasil karya baik dalam ilmu pengetahuan atau kreativitas lain tidak boleh dikomersialkan. Alasannya karena hal tersebut dianggap tindakan menyembunyikan pengetahuan yang itu dilarang dalam syariat.
Namun, mayoritas ulama kontemporer seperti Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Syekh Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Syekh Musthafa Az-Zarqa dan lain-lain berpandangan bahwa hak cipta dilegitimasi secara syara’ dan boleh dikomersialkan. Hal ini didasarkan kepada pemahaman bahwa hasil kreativitas dalam bidang apapun termasuk harta dalam kategori manfaat. (Syabir, 43-44).
Jika demikian, maka kreativitas atau hasil karya dalam bidang apapun yang sudah dipatenkan secara syariat sah dianggap sebagai hak milik orang atau pihak yang bersangkutan. Dengan adanya hak paten tersebut, orang atau pihak lain yang ingin menggunakannya harus mendapatkan izin dari pihak yang bersangkutan.
Menukil hasil keputusan Muktamar Fiqih Kuwait, Syekh Wahbah mengatakan:
Artinya, “Hak terhadap sebuah karya tulis, penemuan atau kreativitas dilindungi secara syariat. Pihak yang bersangkutan memiliki hak untuk mengelolanya. Dan pihak lain tidak boleh semena-mena terhadap hasil karya tersebut.” (Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr, t.th.], juz VII, halaman 5077).
Dengan demikian dapat disimpulkan, hak cipta adalah hak yang dilindungi secara syariat. Sehingga pihak yang ingin menggunakan atau mengomersialkannya harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pihak terkait.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(PRI)

Foto Bisnis
Tripa Ramadhan – detikFinance
Minggu, 17 Agu 2025 08:30 WIB
Semarang – Perayaan HUT ke-80 RI, permintaan busana adat di Semarang meningkat pesat. Ratusan set pakaian tradisional disewa untuk meramaikan momen kemerdekaan.
/data/photo/2025/08/16/68a045f82605c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pemerintah Akan Bangun Gedung 40 Lantai, Kelola Dana Umat Rp 500 T per Tahun
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah akan membangun gedung 40 lantai di lahan bekas Kedutaan Besar Inggris, di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat.
Hal ini diungkapkan Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam peluncuran Gerakan Wakaf Pendidikan Islam Ditjen Pendidikan Islam Kemenag, di Gambir, Jakarta Pusat, Sabtu (16/8/2025).
Awalnya, Nasaruddin menceritakan potensi pengelolaan dana umat mencapai Rp 500 triliun jika dikelola dan diorganisir secara profesional dan akuntabel kepada Presiden Prabowo Subianto.
“Wah, luar biasa itu, Pak Nasaruddin,” kata Nasaruddin, menirukan ucapan Prabowo.
Prabowo kemudian bertanya mengapa pengelolaan dengan anggaran besar itu tidak bisa terealisasi hingga saat ini.
Nasaruddin mengatakan ada beberapa penyebabnya.
Pertama, pemerintah tidak mengorganisir dengan baik.
Kedua, literasi umat beragama di Indonesia terkait dengan wakaf masih kurang.
Kemudian, tata kelola wakafnya sangat lemah.
Masalah lainnya adalah kapasitas kepastian hukum tanah wakaf yang tidak bisa diberdayakan secara ekonomi karena aktanya belum selesai, wakafnya belum selesai, dan juga minimnya profesionalisme para Nazir.
“Nah, kalau ini semua kita berdayakan, Bapak Presiden, kita mengumpulkan dana umat itu Rp 500 triliun per tahun,” kata Nasaruddin.
Mendengar penjelasan Nasaruddin, Prabowo disebut menanyakan kantor para pengelola dana umat yang tersedia saat ini, misalnya Badan Amil Zakat Infak Sedekah Nasional (Baznas).
Nasaruddin menuturkan bahwa saat ini Baznas, kemudian Badan Wakaf Indonesia (BWI), dan lembaga terkait pengelolaan dana umat masih terpencar-pencar.
Dia menjabarkan model pengelolaan yang sudah matang seperti di Malaysia, yang memiliki satu gedung khusus untuk kantor badan pengelola dana umat.
“Bagaimana kalau kita cari satu tempat yang strategis untuk mengumpulkan dana umat yang sebanyak itu,” kata Nasaruddin, menirukan Prabowo.
Saat itu Nasaruddin menjawab, “Terserah, Bapak Presiden”.
Prabowo kemudian mengharapkan ada tempat strategis dan ikonik untuk membangun gedung yang nantinya digunakan oleh lembaga pemberdayaan dana umat tersebut.
Eks Kedutaan Besar Inggris yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri kemudian dipilih.
Tanah itu berada persis di sisi timur Bundaran Hotel Indonesia, di sisi utara Hotel Mandarin Oriental.
“Begini, kita harus cari tempat yang strategis biar ikonik,” kata Nasaruddin, menirukan Presiden.
Maka dia ingat bekas kedutaan Inggris di depan Hotel Indonesia, di sebelah utaranya ada, antara Mandarin Hotel dengan di sebelahnya.
“Ya sudah, Pak Nasar, coba konsep 27 lantai, karena tanggal ini 27 Ramadhan,” ujar Nasaruddin kembali menirukan Prabowo.
Mendengar angka 27 lantai, Nasaruddin menilai itu belum cukup, karena akan ada Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), hingga Majelis Ulama Indonesia juga akan hadir di gedung tersebut.
Karena Prabowo juga sempat menanyakan apakah MUI saat ini memiliki kantor yang representatif.
“Enggak ada, Bapak. Nanti juga ada lembaga produk halal juga enggak ada tempatnya, kemudian BPKH juga nyewa. Kalau kita bikin 40 gimana, Pak? Angka berkah itu, Arbain,” kata Nasaruddin.
“Oh ya, 40,” kata Prabowo diucapkan Nasaruddin.
Nasaruddin kemudian memerintahkan Sekretaris Jenderal Kemenag untuk membuat gambaran gedung 40 lantai yang akan dibangun di Bundaran HI tersebut.
Gambar rancangan ini, kata Nasaruddin, sudah berada di tangan Presiden Prabowo Subianto.
“Jadi, sebentar lagi kita akan menyaksikan (pembangunan gedung) lembaga pemberdayaan dana umat. Di situ akan berkantor semua lembaga-lembaga keuangan seperti yang tadi saya sampaikan, Baznas, BWI, JPH, kemudian yang berkaitan dengan pundi-pundi umat,” ujar dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/08/15/689ef387b7272.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Fakta Kasus Tamu Diusir dari Hotel di Pekalongan, Pintu Diketuk Malam Lalu Diiusir
Penulis
KOMPAS.com –
Kasus Muhammad Sahid Ramadhan atau Rama yang mengaku diusir dari Hotel Indonesia Pekalongan, Jawa Tengah, menjadi viral setelah Rama membagikan pengalamannya melalui video di TikTok.
Awal mula kasus ini bermula saat Rama menggunakan tiket promo Rp 10.244. Namun, pihak hotel bersikeras bahwa terdapat aturan tarif minimal sebesar Rp 150.000 per malam.
Berikut 10 fakta lengkap kasus tamu diusir dari hotel gara-gara tiket promo murah:
1. Video Pertama Ceritakan Pengalaman Buruk
Akun TikTok @ramasahid mengunggah video pada 13 Agustus 2025, menceritakan pengalaman tidak menyenangkan saat menginap di Hotel Indonesia Pekalongan.
“Saya merasa diperlakukan tidak adil dan diminta membayar biaya tambahan padahal sudah bayar penuh di aplikasi,” keluh Rama dalam video tersebut.
Video ini langsung viral dan menjadi bahan perdebatan hangat warganet.
2. Pesan Hotel dengan Harga Promo dari Traveloka
Rama mengaku memesan kamar melalui aplikasi Traveloka dengan harga promo sekitar Rp 130 ribuan per malam.
Ia memilih hotel ini karena label “syariah” yang membuatnya merasa lebih aman dan sesuai prinsip. Rama juga menyebut telah beberapa kali menginap di hotel lain tanpa masalah serupa.
3. Diminta Bayar Tambahan Saat Check-in
Setibanya di hotel, Rama diminta menambah biaya sebesar Rp 10.224 oleh pihak front office. Alasannya karena tarif yang dibayarnya di aplikasi tidak memenuhi tarif minimal hotel, yang ditetapkan sebesar Rp150.000 per malam.
4. Rama Menolak Membayar Biaya Tambahan
Rama menolak membayar biaya tambahan tersebut karena merasa akad pembelian sudah sah dilakukan di aplikasi.
“Saya sudah sering menginap dan tidak pernah ada biaya tambahan saat check-in. Apalagi ini hotel syariah, harusnya akad jelas dari awal,” tegas Rama.
5. Diketuk Tengah Malam dan Diusir
Dalam video lanjutan, Rama merekam momen seorang pegawai hotel mengetuk pintu kamarnya sekitar pukul 23.00 WIB.
“Astaghfirullah, saya diusir jam 11 malam. Padahal saya sudah lelah setelah perjalanan jauh,” ungkap Rama dengan nada kecewa.
6. Pihak Hotel Jelaskan Ada Kebijakan Tarif Minimal
Ariyesti, perwakilan manajemen Hotel Indonesia Pekalongan, menyatakan bahwa hotel memiliki kebijakan tarif minimal Rp150.000 yang berlaku untuk semua tamu.
“Kebijakan tarif minimal berlaku meski pemesanan lewat aplikasi pihak ketiga,” jelas Ariyesti.
7. Harga Promo Picu Selisih Biaya
Harga promo yang diterapkan oleh aplikasi berada di bawah tarif minimal hotel. Selisih inilah yang kemudian menyebabkan permintaan penambahan biaya kepada Rama.
8. Status Check-in Belum Resmi
Menurut Ariyesti, status check-in Rama belum tercatat resmi dalam sistem, meskipun sudah diberi kunci kamar.
Petugas front office disebut merasa tertekan saat itu, sehingga memberikan kunci kamar sebelum proses resmi selesai.
9. Permintaan Refund Tunai Ditolak
Rama sempat meminta pengembalian uang secara tunai. Namun, pihak hotel menolak karena transaksi dilakukan melalui aplikasi Traveloka.
“Beliau juga meminta pengembalian uang secara tunai, padahal pemesanan lewat aplikasi. Kami tidak bisa mengembalikan uang cash,” jelas Ariyesti.
10. Netizen Terbelah Tanggapi Kasus Ini
Setelah video viral, warganet terbagi dua. Sebagian membela Rama, menyebut hotel harus menghormati harga promo.
Sebagian lagi mendukung pihak hotel dengan alasan bahwa kebijakan tarif minimal adalah hak manajemen demi menjaga standar layanan.
Kasus ini memunculkan perdebatan tentang transparansi harga, kejelasan akad, dan sinergi antara hotel dan platform online.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.