Event: Pilkada Serentak

  • Bawaslu siapkan 18.972 jajaran ad hoc untuk PSU 

    Bawaslu siapkan 18.972 jajaran ad hoc untuk PSU 

    Evaluasi kami lakukan dengan pendampingan ketat untuk menjaring kualitas jajaran yang terbaik.

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menyiapkan 18.972 jajaran ad hoc dalam pemungutan suara ulang (PSU) dan rekapitulasi Pemilihan Kepala Daerah 2024.

    “Mereka akan bertugas sebagai panitia pengawas (panwas) kecamatan, panwas kelurahan/desa (PKD), dan pengawas tempat pemungutan suara (PTPS). Mudah-mudahan bisa segera kami selesaikan,” kata anggota Bawaslu RI Herwyn J.H. Malonda dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Herwyn menjelaskan bahwa saat ini persiapan jajaran ad hoc sedang dalam tahap evaluasi. Hal itu dimulai dari evaluasi oleh bawaslu provinsi hingga bawaslu kabupaten/kota yang akan gelar PSU.

    “Evaluasi kami lakukan dengan pendampingan ketat untuk menjaring kualitas jajaran yang terbaik. Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) juga menjadi salah satu tolok ukur evaluasi,” ujarnya.

    Koordinator Divisi Sumber Daya Manusia, Diklat, dan Organisasi Bawaslu ini mengingatkan kepada jajaran bawaslu untuk tetap melakukan pengawasan saat bulan puasa sebab ada kekhawatiran kegiatan dari calon-calon peserta PSU Pilkada 2024 melakukan kegiatan terkait dengan pemenangan.

    “Ini sedang kami siapkan. Harus ada aturan yang jelas dan ketat agar tidak ada yang bias terkait dengan kegiatan pada bulan puasa,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan PSU di 24 daerah setelah memutuskan sengketa hasil Pilkada 2024.

    Putusan tersebut diumumkan dalam sidang pleno yang berlangsung pada hari Senin (24/2). Sembilan hakim konstitusi telah menuntaskan pembacaan keputusan atas 40 perkara yang diperiksa secara lanjut.

    Berdasarkan laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, dari seluruh perkara tersebut, MK mengabulkan 26 permohonan, menolak 9 perkara, dan tidak menerima 5 perkara lainnya.

    Dengan berakhirnya sidang ini, MK dinyatakan telah menyelesaikan seluruh 310 permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah 2024.

    Dari 26 permohonan yang dikabulkan, sebanyak 24 perkara menghasilkan keputusan untuk menggelar PSU. KPU di daerah terkait wajib menjalankan putusan ini sesuai dengan instruksi MK.

    Selain itu, MK juga mengeluarkan dua putusan tambahan. Pertama, pada Perkara Nomor 305/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang berkaitan dengan Kabupaten Puncak Jaya, MK memerintahkan KPU untuk melakukan rekapitulasi ulang hasil suara.

    Kedua, pada Perkara Nomor 274/PHPU.BUP-XXIII/2025 terkait Kabupaten Jayapura, MK menginstruksikan adanya perbaikan penulisan pada keputusan KPU mengenai penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2024.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Ada Revisi Tatib, Wakil Ketua DPR Bantah Bisa Pecat Personel DKPP

    Ada Revisi Tatib, Wakil Ketua DPR Bantah Bisa Pecat Personel DKPP

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir membantah DPR RI bisa mencopot atau memecat personel Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2022-2027 setelah adanya evaluasi di Komisi II DPR RI.

    Adies melanjutkan pihaknya hanya memberikan kritikan dan masukan terhadap kinerja DKPP. Adapun, untuk keputusan akhirnya memang diserahkan kembali kepada pemerintah.

    “Jadi tidak ada pencopotan apa segala macam. Kita hanya sebatas itu saja memberikan kritikan, masukan bahwa harus eperti ini loh sebenarnya DKPP,” katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).

    Politikus Golkar ini menerangkan evaluasi kinerja DKPP ini diamanatkan dari perintah tata tertib (tatib) DPR RI, juga berkaitan dengan banyaknya putusan Mahkaham Konstitusi (MK) yang menyebabkan sejumlah daerah pemilihan (dapil) harus menggelar pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada 2024.

    Kata Adies, dari Pilkada kemarin hampir ada 150 PSU dan bahkan ada satu kabupaten yang diulang semua Pilkadanya. Kemudian, ada juga calon dan syarat-syaratnya yang didiskualifikasi. 

    Melihat itu, Waketum Golkar ini berujar seharusnya ada ketegasan dari DKPP untuk memberikan pengawasan terhadap penyelenggara, khususnya KPU dan Bawaslu.

    “Kalau ini semua berjalan dengan lancar, baik, DKPP, Bawaslu dalam pengawasan dengan baik, saya rasa tidak ada yang didiskualifikasi, kecurangan-kecurangan dan juga PSU yang banyak begitu,” jelasnya.

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Zulfikar Arse Sadikin melaporkan hasil evaluasi DKPP yang dianggap perlu dilakukan banyak perbaikan. Dalam laporan itu, disebut DKPP masih banyak menyisakan kasus aduan terkait penyelenggara Pemilu yang belum terselesaikan.

    Zulfikar menyebut hanya ada 217 kasus dari total 881 aduan yang mampu diselesaikan DKPP pada 2024-2025. Sebab itu, Komisi II DPR RI mendorong DKPP untuk meningkatkan kinerja, terutama dalam hal percepatan penyelesaian kasus aduan pelaporan.

    Selain itu, Komisi II juga meminta DKPP untuk berbenah diri perihal kompetensi hingga integritas. Zulfikar menyarankan agar DKPP menyelenggarakan pelatihan bagi para pegawainya secara dan memberikan sertifikasi secara berkala.

    “Komisi II DPR RI mendorong DKPP RI untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas semperde manusia SDM dan memperbaiki kondisi internal DKPP dalam hal kompetensi, integritas, dan kapasitas,” tuturnya dalam Rapat Paripurna DPR, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/3/2025).

  • Bawaslu siapkan pengawasan Pilkada ulang di 24 daerah

    Bawaslu siapkan pengawasan Pilkada ulang di 24 daerah

    ANTARA – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia mempersiapkan instrumen pengawasan untuk pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ulang. Sebanyak 24 daerah kabupaten dan kota di Indonesia akan melaksanakan pemungutan suara ulang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada sidang sengketa hasil pilkada.
    (Hanifan Ma’ruf/Yovita Amalia/I Gusti Agung Ayu N)

  • Pakar sebut perlu penataan rekrutmen tenaga penyelenggara pemilu

    Pakar sebut perlu penataan rekrutmen tenaga penyelenggara pemilu

    “Jadi kita perlu cari ke depan penataan kembali, jadi bagaimana kita mendapatkan, merekrut mereka, mendapatkan yang betul-betul profesional, berintegritas dan juga mandiri,”

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay mengatakan diperlukan penataan terkait proses rekrutmen tenaga penyelenggara pemilu guna menjaring tenaga yang profesional dan berintegritas dalam perbaikan sistem pemilu di tanah air.

    “Jadi kita perlu cari ke depan penataan kembali, jadi bagaimana kita mendapatkan, merekrut mereka, mendapatkan yang betul-betul profesional, berintegritas dan juga mandiri,” kata Hadar saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).

    Hal itu disampaikannya merespons pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah sebagaimana yang diperintahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

    “PSU kita di dalam keadaan yang jumlahnya demikian banyak dan sebagian besar itu sebetulnya menunjukkan ketidakberesan penyelenggara pemilunya,” ujarnya.

    Dia lantas berkata, “Itu ada biaya besar yang harus ditanggung, harus digunakan, dan seharusnya ini (PSU) tidak terjadi kalau memang kita punya penyelenggara pemilu yang memang baik.”

    Untuk itu, dia mengatakan agar proses seleksi tenaga penyelenggara pemilu harus dipastikan terbuka, terukur, dan bebas dari kepentingan politik.

    Dia juga memandang penting pula untuk mempertimbangkan tenaga penyelenggara pemilu diisi oleh orang-orang yang memiliki kematangan usia.

    “Kalau mereka adalah orang-orang yang sudah lebih matang, seharusnya mereka dalam bekerja untuk wasit-wasit penyelenggara pemilu itu tidak akan melihat atau memanfaatkan faktor itu,” ucapnya.

    Termasuk, lanjut dia, memastikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan ada di setiap level penyelenggara pemilu.

    Selain itu, Hadar menilai perlu mempertimbangkan ulang keberadaan penyelenggara pemilu yang bersifat permanen. Menurut dia, apabila jarak keserentakan pemilu tidak berjauhan maka tidak perlu memiliki penyelenggara pemilu yang permanen di daerah.

    “Jadi itu bisa dikurangi jumlahnya, dan tidak perlu dibuat permanen kalau memang jarak antara satu kelompok pemilu yang serentak dengan satu kelompok pemilu yang lain atau pilkada itu berdekatan,” tuturnya.

    Dia pun menekankan bahwa kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pemilu akan sangat bergantung pada penyelenggaranya.

    “Bahkan ada banyak yang bilang, sebagian besar atau 50 persen pemilu itu sudah kita bisa dapatkan sebagai satu pemilu yang baik kalau penyelenggaranya itu juga bekerja dengan baik, sesuai dengan aturan yang berlaku,” paparnya.

    Terlebih, ujarnya lagi, Indonesia memiliki lembaga penyelenggara pemilu yang terbilang lengkap, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

    “Kita punya penyelenggara yang sangat lengkap, dan itu sangat besar, otoritasnya juga luar biasa besar. Ada KPU, ada Bawaslu, dan ada DKPP, tetapi pertanyaannya kok pemilu kita ini bermasalah terus? Jadi ini sesuatu yang harus kita cari jawabannya. Jangan-jangan memang ada persoalan dari penyelenggaranya,” ucap dia.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

  • Biaya Pemungutan Suara Ulang dari Mana? Ini Penjelasannya

    Biaya Pemungutan Suara Ulang dari Mana? Ini Penjelasannya

    Jakarta, Beritasatu.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan sebanyak 24 daerah harus melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Keputusan ini diambil setelah ditemukan berbagai permasalahan yang dinilai mempengaruhi hasil suara, sehingga proses demokrasi di daerah-daerah tersebut harus diperbaiki demi menjamin keadilan dan transparansi dalam pemilu.  

    Dengan adanya PSU, tentu membutuhkan biaya untuk pelaksanaanya. Lantas, darimana sebenarnya biaya untuk pemungutan suara ulang ini? Dilansir dari berbagai sumber, berikut penjelasannya!

    Dari Mana Biaya Pemungutan Suara Ulang?

    Wakil Ketua Komisi II DPR RI Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menjelaskan, bahwa dana untuk PSU berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Namun, dalam keadaan tertentu, anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) juga dapat digunakan jika terdapat kebutuhan mendesak.

    Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang. Untuk memastikan kelancaran pendanaan PSU, Komisi II DPR RI juga berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri serta Kementerian Keuangan.

    Tantangan dalam Penganggaran PSU

    Salah satu kendala utama dalam pelaksanaan PSU adalah potensi keterlambatan dalam penganggaran. Jika hal ini terjadi, maka bisa menjadi penghalang dalam pelaksanaan PSU. 

    Oleh karena itu, pemerintah daerah diharapkan memiliki komitmen yang kuat terhadap keputusan MK dengan memberikan dukungan anggaran, terutama bagi daerah yang memiliki keterbatasan dana. Tanpa dukungan dari pemerintah daerah, PSU tidak akan terlaksana dengan optimal.

    Dalam pelaksanaan Pilkada 2021, pemerintah daerah diminta untuk mengalokasikan dana dalam APBD sesuai dengan permintaan dari penyelenggara dan pihak keamanan. 

    Sebelum menganggarkan dana tambahan, pemda perlu meninjau laporan penggunaan hibah dari Pilkada 2020 untuk mengetahui apakah masih terdapat sisa anggaran yang bisa dimanfaatkan. Jika terdapat sisa dana, maka penyelenggara PSU dapat menggunakannya kembali untuk mengurangi beban anggaran baru.

    Opsi Pendanaan jika Anggaran Tidak Mencukupi

    Apabila pemda belum menganggarkan dana PSU sesuai keputusan MK, maka dana tersebut dapat dialokasikan melalui pos belanja tidak terduga (BTT) dalam APBD. Jika dana dalam pos BTT tidak mencukupi, pemda dapat melakukan perencanaan ulang terhadap program-program lain yang tidak mendesak, seperti perjalanan dinas, biaya rapat, serta pengeluaran lainnya yang tidak bersifat prioritas.

    Selain itu, pemda juga dapat menggunakan kas daerah yang tersedia untuk menutupi kebutuhan PSU. Jika semua sumber ini masih belum mencukupi, langkah terakhir adalah koordinasi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat guna mencari solusi terbaik dalam pendanaan PSU.

    Tantangan Lain dalam Pelaksanaan PSU

    Selain masalah anggaran, pelaksanaan PSU juga menghadapi berbagai tantangan lainnya. Beberapa di antaranya adalah kesiapan logistik, distribusi surat suara, serta koordinasi dengan aparat penegak hukum (APH) untuk memastikan keamanan dan kelancaran proses pemungutan suara ulang. Oleh karena itu, Komisi II DPR RI meminta KPU untuk memastikan seluruh detail teknis telah dipersiapkan dengan baik agar PSU tidak menimbulkan permasalahan baru.

    Selain itu, partisipasi masyarakat dalam pemungutan suara ulang juga menjadi faktor penting. KPU dan pihak terkait perlu melakukan sosialisasi secara masif agar masyarakat memahami hak dan kewajiban mereka dalam menggunakan hak pilih.

  • Wamendagri minta pemda laporkan kesiapan anggaran PSU Jumat ini

    Wamendagri minta pemda laporkan kesiapan anggaran PSU Jumat ini

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk meminta pemerintah daerah (pemda) melaporkan kesiapan anggaran pemungutan suara ulang (PSU) ke Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) paling lambat Jumat (7/3) mendatang.

    Hal tersebut disampaikan Ribka saat memimpin Rapat Kesiapan Pendanaan Pilkada pada Daerah yang Melaksanakan PSU secara hybrid dari Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), Jakarta, Rabu (5/3). Hasil laporan itu selanjutnya akan dibahas dalam rapat dengan Komisi II DPR RI pada Senin (10/3) mendatang.

    “Dapat kami sampaikan bahwa kami akan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada hari Senin, sehingga pada hari Senin tersebut, semua daerah harus sudah kami dapatkan kepastian tentang penyediaan APBD atau keuangan daerah untuk persiapan PSU. Yang pertama untuk KPU, kemudian yang kedua Bawaslu, ketiga untuk pihak keamanan dalam hal ini TNI-Polri,” kata Ribka dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Adapun daerah yang akan melaksanakan PSU meliputi provinsi, kabupaten, dan kota. Di tingkat provinsi, ada Provinsi Papua.

    Sementara di tingkat kabupaten, ada Kabupaten Siak, Barito Utara, Bengkulu Selatan, Pasaman, Serang, Tasikmalaya, Magetan, Empat Lawang, Kutai Kartanegara, Gorontalo Utara, Bangka Barat, Buru, Mahakam Ulu, Pesawaran, Banggai, Pulau Taliabu, Kepulauan Talaud, Parigi Moutong, Bungo, dan Boven Digoel. Sedangkan di tingkat kota, ada Kota Sabang, Banjarbaru, dan Palopo.

    Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memerintahkan PSU di 24 daerah setelah memutuskan sengketa hasil Pilkada 2024.

    Putusan tersebut diumumkan dalam sidang pleno yang berlangsung pada hari Senin (24/2), dengan seluruh sembilan hakim konstitusi telah menuntaskan pembacaan keputusan atas 40 perkara yang diperiksa secara lanjut.

    Berdasarkan laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, dari seluruh perkara tersebut, MK mengabulkan 26 permohonan, menolak 9 perkara, dan tidak menerima 5 perkara lainnya.

    Dengan berakhirnya sidang ini, MK dinyatakan telah menyelesaikan seluruh 310 permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah 2024.

    Dari 26 permohonan yang dikabulkan, sebanyak 24 perkara menghasilkan keputusan untuk menggelar PSU. KPU di daerah terkait wajib menjalankan putusan ini sesuai dengan instruksi MK.

    Selain itu, MK juga mengeluarkan dua putusan tambahan. Pertama, pada Perkara Nomor 305/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang berkaitan dengan Kabupaten Puncak Jaya, MK memerintahkan KPU untuk melakukan rekapitulasi ulang hasil suara.

    Kedua, pada Perkara Nomor 274/PHPU.BUP-XXIII/2025 terkait Kabupaten Jayapura, MK menginstruksikan adanya perbaikan penulisan pada keputusan KPU mengenai penetapan hasil Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati 2024.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Wamendagri: Pemda harus optimalkan anggaran PSU pilkada dari APBD

    Wamendagri: Pemda harus optimalkan anggaran PSU pilkada dari APBD

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menegaskan pemerintah daerah harus mengoptimalkan pendanaan pemungutan suara ulang pilkada melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) sehingga tidak langsung membebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

    Hal tersebut disampaikan Ribka saat memimpin Rapat Kesiapan Pendanaan Pilkada pada Daerah yang Melaksanakan Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pilkada 2024 secara hybrid dari Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu.

    Melalui pertemuan ini diharapkan akan diperoleh gambaran mengenai ketersediaan alokasi APBD pada daerah yang akan melaksanakan PSU Pilkada 2024.

    “Kami harapkan koordinasi kerja terus terjalin di daerah dengan forkopimda dan juga terkhusus pemerintah daerahnya. Hari ini, minimal sebentar ini, kami akan mendapatkan laporan atau gambaran tentang ketersediaan pagu tersebut. Ada dasar hukumnya kalau kita lihat sesuai dengan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016,” kata Ribka dalam keterangannya di Jakarta.

    Dia menegaskan perubahan APBD perlu diprioritaskan untuk mendukung pelaksanaan PSU. Pemda dapat mengalokasikan anggaran melalui belanja tidak terduga (BTT).

    Untuk itu, sekretaris daerah diminta agar mengulas alokasi tersebut. Selain itu, pendanaan PSU juga dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran (silpa) dan dana sisa dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya.

    “Pendanaannya dibebankan pada APBD provinsi atau kabupaten/kota. Saya pikir ini akan menjadi acuan dari bapak ibu sekalian di daerah untuk bisa melaksanakan rasionalisasi dan seterusnya,” tegasnya.

    Ribka menekankan pentingnya kerja sama antara pemda dan pemangku kepentingan terkait dalam memastikan kesiapan anggaran PSU.

    Dia juga mengingatkan pemda untuk menyesuaikan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) terkait pendanaan PSU, baik dengan merevisi NPHD yang sudah ada maupun menyusun NPHD baru sesuai kebutuhan.

    “Memastikan NPHD-nya itu ya, nanti teknis penyampaian dari Pak Dirjen Otda, menyampaikan untuk apakah NPHD-nya dibuat baru atau yang sudah ada. Saya pikir ini ada beberapa teman-teman ini juga mantan gubernur sehingga mungkin dapat memberikan gambaran kepada teman-teman,” jelas Ribka.

    Rapat ini dihadiri pejabat dan pemangku kepentingan dari 24 daerah yang akan melaksanakan PSU, di antaranya sekda, pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan unsur TNI-Polri di masing-masing daerah.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • BTS Palsu Dulu Kirim SMS Pilkada dan Pilpres, Komdigi Bongkar Modusnya

    BTS Palsu Dulu Kirim SMS Pilkada dan Pilpres, Komdigi Bongkar Modusnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Penipuan yang menggunakan Fake BTS ternyata bukan baru tahun 2025 saja terjadi. Sebelumnya pernah terjadi pada periode Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) beberapa waktu lalu.

    “Ancaman fake BTS ini telah terjadi pada tahun 2019 dan 2023. Pada saat periode Pilkada maupun Pilpres. Namun terjadi hanya sesekali,” kata Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Denny Setiawan dalam Profit CNBC Indonesia, Rabu (6/3/2025).

    Namun pada awal 2025, penipuan itu berkembang dan menyasar perbankan. Denny menjelaskan beberapa wilayah yang disasar seperti Jakarta, Bandung hingga Denpasar.

    Denny mengatakan berdasarkan monitoring pihak Balai Monitor kementerian, pemancar yang dilakukan sifatnya intermittent. Alatnya bisa sangat kecil ataupun menggunakan HP dengan power yang kecil serta berpindah-pindah.

    “Kurang lebih 2 menit dan intermittent sehingga sulit sekali untuk melakukan pelacakan sumber pancaran,” ungkap dia.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif Angga menjelaskan alat Fake BTS yang digunakan mudah didapatkan. Untuk itu dia meminta agar bisa menertibkan peredaran alat tersebut.

    “Mungkin alat-alat ini kalau kita pelajari bukan alat-alat yang susah juga didapat di market ya. Dan teknologinya juga bukan teknologi yang sebenarnya enggak canggih-canggih banget dan memang ini butuh kerja keras juga saya yakin dari pihak komdigi maupun pihak penegak hukum untuk benar-benar menertibkan ini,” jelas Arif.

    “Tapi mungkin satu langkah yang mungkin bisa saya usulkan adalah bagaimana ya mungkin penegak hukum sweeping mungkin toko-toko atau apapun yang memang dianggap punya alat yang berpotensi dapat disalahgunakan menjadi alat yang seperti ini untuk menyebarkan informasi yang salah,” ujar dia menambahkan.

    Pernah dilarang

    Mengutip Detik.com pada 2019, Agung Harsoyo yang saat itu menjabat sebagai Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengungkapkan fake BTS ini pernah dipergunakan sejak pilkada DKI Jakarta namun dengan jumlah yang belum terlalu banyak. Jumlahnya kian banyak saat pemilu 17 April tahun tersebut.

    Agung menjelaskan alat Fake BTS bisa melakukan intersepsi jaringan operator tertentu di sekitar BTS terdekat. Alat ilegal itu akan memancarkan frekuensi seperti BTS operator.

    “Jadi, fake BTS ini memancarkan frekuensi seolah-olah BTS operator. Padahal sesungguhnya ini murni tanpa melalui core atau billing sistem operator. Mereka melakukan intersepsi di antara BTS dan pelanggan telepon selular,” jelasnya.

    Kasus yang mencuat pada 2019 juga membuat BRTI meminta menyetop penjualan perangkat untuk penyebar SMS palsu. Hal ini diungkapkan dalam Siaran Pers No. 84/HM/KOMINFO/04/2019 berjudul Tangkal Penyebaran Konten Negatif, BRTI Larang Jual Beli dan Penggunaan Perangkat Penyebar SMS Palsu.

    Saat itu, BRTI menemukan adanya penggunaan perangkat yang disebut fake BTS untuk menyebarluaskan konten negatif dengan SMS. Mulai dari penyebarluasan konten negatif seperti hoaks, berita palsu, provokasi, ujaran kebencian dan pelanggaran konten informasi negatif lainnya dengan menggunakan SMS.

    Ismail yang kala itu menjabat sebagai Ketua BRTI mengatakan penggunaan perangkat telah melanggar UU Telekomunikasi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pihaknya telah meminta para vendor perangkat idak lagi menjual perangkat itu, termasuk meminta e-commerce dan toko online untuk menutup iklan yang menawarkan perangkat fake BTS.

    “Kami minta semua pihak terkait untuk berhenti menggunakan perangkat yang tanpa Sertifikat Kominfo semacam itu,” ujar Ismail.

    (dem/dem)

  • Komisi II soroti politik uang dalam perbaikan sistem pemilu Indonesia

    Komisi II soroti politik uang dalam perbaikan sistem pemilu Indonesia

    tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf menyoroti rumusan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum perlu memberikan perhatian kepada masalah politik uang, selain persoalan teknis dalam perbaikan sistem kepemiluan di tanah air.

    “Kami harus melakukan revisi Undang-Undang Pemilu bukan hanya pada sistem metode penghitungannya, bukan hanya masalah per dapil (daerah pemilihan), bukan hanya masalah threshold atau lain-lainnya, tetapi juga masalah-masalah lain, seperti money politics-nya,” kata Dede saat memimpin jalannya rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    Hal itu disampaikan Dede Yusuf saat memimpin jalannya rapat dengar pendapat umum bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu untuk revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.

    Dede mengatakan bahwa di sejumlah wilayah terjadi hal-hal transaksional demi memenangkan pesta demokrasi.

    “Cost of money-nya kami menganggap itu semakin lama semakin membesar,” ucapnya.

    Bahkan, pelaksanaan Pemilu Serentak Tahun 2024 yang baru saja dilaksanakan menjadi preseden terburuk dari jalannya pemilihan umum secara langsung di tanah air.

    “Karena hampir semua mengatakan pemilu kemarin adalah pemilu yang paling brutal dan paling transaksional,” ujarnya.

    Senada dengan Dede, anggota Komisi II DPR RI Edi Oloan Pasaribu mengatakan ada dua isu besar yang perlu mendapatkan perhatian dalam merevisi undang-undang kepemiluan, yakni politik uang dan netralitas.

    “Untuk money politics dan netralitas, bagaimanapun sistemnya kita bangun, kita bentuk, itu tidak akan terjadi perubahan yang radikal kalau tidak (ada perubahan) perilakunya,” katanya.

    Dia memandang desain sistem pemilu sebaik apa pun pada akhirnya akan menjadi percuma sebab bergantung pada perilaku penyelenggara pemilu hingga peserta pemilu itu sendiri.

    “Karena saya percaya betul peribahasa yang bilang the right system will produce the right result, sistem yang baik (akan) menghasilkan hasil yang baik, tetapi kalau yang menjalankan sistemnya juga enggak baik, susah ini,” tuturnya.

    Edi menambahkan, “Jadi, kita lahir dari rahim demokrasi yang brutal (Pemilu) 2024, kita sepakat, karena diskusi juga gini kalau kita tidak setop money politics akan ada namanya istilah saya sebut inflasi demokrasi, 2029 semakin besar nanti.”

    Anggota Komisi II DPR RI Deddy Sitorus menyoroti pula aspek moralitas lembaga penyelenggara pemilu.

    Dia menekankan pentingnya perbaikan perilaku penyelenggara dan pengawas pemilu yang disebutnya sebagai faktor internal, di atas pembenahan sistem kepemiluan di tanah.

    “Ketika penyelenggara dan pengawas yang menjadi bagian dari kerusakan itu, gimana sih ngatasin itu, kalau kita mau bicara memperbaiki pemilu? Karena tidak ada sistem pemilu apa pun yang bisa dikatakan sempurna bahkan mendekati sempurna, tidak akan ada,” kata Deddy.

    Selain faktor internal, dia mencatat pula pentingnya memberi perhatian terhadap faktor eksternal dalam memperbaiki sistem kepemiluan di tanah air, yakni “cawe-cawe” kekuasaan demi memenangkan kontestasi.

    “Jadi, akan menjadi sangat sia-sia kita berbicara berbagai macam skenario pemilu, skenario perbaikan partai politik, penyelenggara pemilu, kalau pemilu itu sendiri sangat rentan terhadap kekuasaan, terhadap institusi-institusi yang memiliki kekuatan untuk menekan, mempengaruhi hasil, memanipulasi dan sebagainya,” ujarnya.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Besok, Hari Terakhir Pendaftaran Calon Bupati Tasikmalaya untuk PSU 2025
                
                    
                        
                            Bandung
                        
                        5 Maret 2025

    Besok, Hari Terakhir Pendaftaran Calon Bupati Tasikmalaya untuk PSU 2025 Bandung 5 Maret 2025

    Besok, Hari Terakhir Sosialisasi Pendaftaran Calon Bupati Tasikmalaya untuk PSU 2025
    Tim Redaksi
    TASIKMALAYA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Tasikmalaya akan menutup sosialisasi pendaftaran pasangan calon bupati dalam pemungutan suara ulang (PSU) atau Pilkada Ulang pada Kamis (6/3/2025).
    Pendaftaran resmi akan dibuka mulai 7 hingga 9 Maret 2025 sesuai instruksi KPU Jawa Barat, mengingat tenggat waktu pelaksanaan PSU sesuai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersisa 50 hari.
    Langkah itu dilakukan meski belum adanya ketersediaan anggaran dan belum adanya petunjuk pelaksanaan resmi buat PSU.
    Ketua KPU Kabupaten Tasikmalaya, Ami Imron Tamami, mengatakan langkah ini diambil meski belum ada ketersediaan anggaran serta petunjuk pelaksanaan resmi PSU.
    “Karena waktunya semakin mepet, kami langsung membuka pendaftaran bagi ketiga pasangan calon Pilkada 2024, tentunya tanpa calon yang didiskualifikasi,” ujar Ami di kantornya, Rabu (5/3/2025).
    Ami menambahkan, KPU telah menggelar rapat dengan Komisi 1 DPRD Kabupaten Tasikmalaya untuk menentukan mekanisme dan teknis pelaksanaan PSU. Targetnya, petunjuk pelaksanaan teknis segera disahkan dalam waktu dekat.
    “Mudah-mudahan dalam satu atau dua hari ke depan akan segera keluar surat dinas terkait teknis pelaksanaan PSU,” tambahnya.
    Meski pendaftaran tetap berjalan, KPU masih menunggu petunjuk resmi terkait teknis penerimaan pasangan calon dari KPU RI. Saat ini, hanya satu calon bupati yang berubah, yakni Ade Sugianto, yang didiskualifikasi sesuai putusan MK.
    “Kami mendapat informasi bahwa partai koalisi yang mendukung calon didiskualifikasi masih menunggu surat rekomendasi sosok penggantinya. Jadi, secara keseluruhan kami masih menunggu surat dinas KPU RI,” kata Ami.
    Sebelumnya, MK dalam sidang pada Senin (24/2/2025) memutuskan mendiskualifikasi pasangan calon petahana, Ade Sugianto dan Iip Miptahul Paoz, sehingga Ade tidak bisa mencalonkan diri dalam PSU.
    Ade Sugianto, yang juga Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Tasikmalaya, mengaku menerima keputusan MK yang menggagalkan pelantikannya kembali sebagai kepala daerah.
    “Kita warga negara dan harus taat serta patuh terhadap hukum. Jadi kita taati, tidak ada apa-apa. (Melawan?) Walah, kan namanya juga taat hukum, masa kita melawan,” ujarnya di Makam Pahlawan Nasional KH Zaenal Mustofa, Sukamanah, Tasikmalaya, Selasa (25/2/2025).
    Ade menegaskan keputusan MK bersifat final dan mengikat bagi seluruh warga negara. Ia mengaku menerima dengan ikhlas kegagalannya menjadi Bupati Tasikmalaya kembali meski memenangkan Pilkada 2024.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.