Event: Pilkada Serentak

  • Ijazah Jokowi Disebut Dicetak di Pasar Pramuka, Anak Buah Megawati: Jangan Seret PDIP

    Ijazah Jokowi Disebut Dicetak di Pasar Pramuka, Anak Buah Megawati: Jangan Seret PDIP

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Politikus Senior PDI Perjuangan, Prasetyo Edi Marsudi membantah keras pengakuan tentang keterlibatan Beathor Suryadi dalam tim pemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012.

    Bantahan itu sebagai respons atas pernyataan Beathor yang menyebutkan adanya penggunaan ijazah palsu Jokowi dalam pendaftaran Pilkada DKI Jakarta 2012.

    “Informasi yang disampaikan Beathor itu tidak benar. Saya tahu betul proses pendaftaran pada (Pilkada) 2012. Yang mendaftarkan ke KPUD saat itu ada saya sendiri, Marihodna Pinupulu selaku Kepala Sekretariat Tim Pemenangan Jokowi-Ahok, dan Isnaini dari Solo yang membawa fotokopi ijazah Jokowi yang sudah dilegalisasi basah oleh UGM,” ujar Prasetyo di Jakarta, dikutip pada Senin (30/6/2025).

    Prasetyo juga menepis kabar bahwa dirinya memiliki ijazah palsu, seperti yang ditudingkan dalam pernyataan Beathor tersebut.

    “Awalnya saya tidak mau menanggapi. Tapi karena nama saya disebut dan bahkan dikaitkan dengan ijazah palsu, saya harus meluruskan. Jangan asal bicara, apalagi sampai menyeret-nyeret nama PDI Perjuangan,” ungkap mantan ketua DPRD DKI Jakarta itu.

    Prasetyo lantas mempertanyakan sikap Beathor yang tiba-tiba muncul dan menyampaikan informasi yang menurutnya tidak benar.

    Ia mengaku heran karena Beathor tidak pernah terlibat dalam tim pemenangan Jokowi-Ahok 2012, namun kini justru mengaku mengetahui proses internal tim.

    Ia memastikan proses pendaftaran pasangan calon ke KPUD DKI Jakarta sudah sesuai aturan, termasuk soal dokumen administrasi seperti ijazah.

  • Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Dipandang Positif, Peningkatan Kualitas Tetap Bergantung Parpol

    Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Dipandang Positif, Peningkatan Kualitas Tetap Bergantung Parpol

    PIKIRAN RAKYAT – Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, Firman Manan memandang, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menghadirkan efek positif pada penyelenggara dan peserta pemilu maupun pemilih. Namun, dalam hal peningkatan kualitas pemilu, tetap bergantung pada mampu atau tidak partai politik memanfaatkan waktu dua sampai dua setengah tahun di antara pemilu di tingkat nasional dengan tingkat lokal.

    MK menetapkan, pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah atau lokal dipisahkan melalui pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Undang-Undang Pilkada. Menurut Mahkamah, pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah tingkat provinsi, serta anggota DPRD serta kepala daerah tingkat kabupaten maupun kota paling singkat dua tahun, dan paling lama 2 tahun 6 bulan semenjak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD, atau pelantikan presiden dan wakil presiden.

    Menurut Firman, selang waktu 2 tahun hingga 2 tahun 6 bulan semestinya positif bagi penyelenggara, partai politik, maupun pemilih. Penyelenggara bisa lebih siap, partai politik punya waktu memadai dalam merekrut berikut sosialisasi kandidat, sedangkan pemilih dapat waktu cukup untuk membentuk preferensi dan mengevaluasi dinamika yang terjadi.

    “Kemarin, setelah pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD tingkat provinsi, DPRD kabupaten maupun kota, segera masuk tahapan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur serta wali kota dan wakil wali kota atau bupati dan wakil bupati. Bahkan, ada tahapan yang bersinggungan di antara dua pemilihan tersebut. Terdapat kerumitan, penyelenggara dan partai politik mengalami kelelahan,” ucap dia, Minggu (29/6/2025).

    Bagi pemilih, ucap Firman, terjadi first-order election atau anggapan yang memandang pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan hal paling penting. Ketika tahapan pemilihan tingkat lokal berjalan, masyarakat memandang tak lagi begitu penting.

    “Selain itu, informasinya (tiap-tiap tahapan pilkada serentak) pun tertutupi riuh rendah Pilpres. Pada pilkada lalu, bagaimana pun ada presidential coattail effect atau efek ekor jas atas pilpres. Partai politik atau kandidat yang dipandang dekat dengan Prabowo Subianto beroleh efek positif,” tutur Firman.

    Rentang waktu 2 hingga 2,5 tahun, ucap Firman, merupakan waktu memadai bagi pemilih dalam mengevaluasi pasangan presiden dan wakil presiden serta legislator di tingkat pusat. Persepsi akan kinerja presiden dan wakil presiden, serta legislator di tingkat pusat mempengaruhi preferensi pemilih menjatuhkan pilihan ke kandidat di pemilihan di tingkat lokal.

    “Belum tentu partai politik atau koalisi parpol pemenang pemilu presiden dan wakil presiden atau yang mendominasi parlemen di tingkat nasional bisa kembali menang di pemilu lokal. Seumpama kinerja dipandang bagus, bisa positif (ke pemilu tingkat lokal). Sementara itu, ketika kinerja dinilai jelek oleh masyarakat, parpol oposan yang akan beroleh efek positif di pemilu lokal,” ucap dia.

    Berkenaan dengan konstelasi politik atas pengaruh putusan MK itu, Firman mengatakan, sangat terbuka kemungkinan, koalisi di tingkat pusat berbeda dengan di daerah. Apalagi, terdapat putusan MK tentang ambang batas pencalonan kepala daerah.

    Dalam hal kualitas pemilu setelah terbit putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, menurut Firman, tetap bergantung partai politik. Kualitas pemilu -terutama di tingkat lokal- bisa meningkat saat parpol mampu memanfaatkan waktu lapang untuk melakukan persiapan, di antaranya seleksi atau rekrutmen kandidat, infrastruktur pemenangan, sosialisasi.

    “Positif selama parpol bisa memanfaatkan selang waktu itu,” ucap Firman.***

  • Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dewan Perwakilan Rakyat (
    DPR
    ) RI maupun pemerintah masih terus mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029.
    Sejumlah langkah pun mulai dikaji oleh pihak legislatif, mulai dari usul pembentukan panitia khusus (pansus) hingga revisi undang-undang terkait pemilu secara menyeluruh dengan metode
    omnibus law
    .
    Lalu, apa langkah yang akan diambil DPR?
    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa pimpinan DPR belum dapat memberikan sikap resmi karena kajian terhadap substansi putusan masih berlangsung.
    “Kita akan mengkaji dahulu putusan itu,” ujar Dasco saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (27/6/2025).
    Menurut Dasco, pimpinan DPR baru akan memberikan tanggapan perinci terkait kepastian langkah yang akan diambil setelah kajian dilakukan secara komprehensif.
    “Saya belum bisa jawab karena kita kan belum mengkaji. Kalau sudah kajiannya komprehensif, ya mungkin semua pertanyaan kita bisa jawab. Ini keputusannya baru kemarin, jadi ya kita belum bisa jawab,” kata Dasco.
    Dari pihak pemerintah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga menyatakan tengah mempelajari implikasi
    putusan MK
    Nomor 135/PUU-XXII/2024 terhadap sejumlah aspek teknis dan regulasi.
    “Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, Sabtu (28/6/2025).
    Dia menjelaskan, Kemendagri akan menelaah dampak putusan tersebut terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk skema pembiayaan dan penyesuaian jadwal penyelenggaraan.
    “Komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” ujar Bahtiar.
    Wacana revisi UU Pemilu pun kembali menguak seiring dengan putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
    Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P Aria Bima mengusulkan agar pembahasan revisi UU Pemilu dilakukan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi di parlemen.
    Sebab, pembahasan melalui panitia kerja (panja) di satu komisi atau alat kelengkapan dewan (AKD) saja tidak cukup mengingat kompleksitas dampak putusan MK ke depan.
    “Pembahasan RUU tersebut idealnya tidak cukup hanya melalui panitia kerja (panja), tetapi bisa dipertimbangkan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi mengingat kompleksitas persoalan yang akan timbul ke depan,” ujar Aria Bima dalam siaran pers, Minggu (29/6/2025).
    Bima mengingatkan, salah satu konsekuensi penting dari pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah adalah potensi kekosongan jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD.
    Hal ini disebabkan oleh pemilu di tingkat daerah yang baru bisa digelar paling cepat dua tahun atau lebih setelah pemilu nasional.
    “Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” kata Aria.
    Oleh karena itu, revisi UU Pemilu untuk meningkatkan putusan MK terbaru harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak menimbulkan persoalan lanjutan.
    “Apakah nantinya kita akan menambahkan pasal peralihan atau menyisipkan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini soal desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” kata dia.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai bahwa putusan MK ini berpotensi mendorong dilakukannya revisi UU Pemilu dengan skema omnibus law.
    Menurut dia, cakupan revisi sangat luas dan menyentuh sejumlah undang-undang sekaligus. “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah merevisi UU ini secara omnibus law,” ujar Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menjelaskan, putusan MK tersebut menambah panjang daftar putusan terkait desain keserentakan pemilu.
    Karena itu, penyusunan ulang sistem pemilu perlu menyentuh lebih dari satu regulasi.
    Politikus Golkar itu berpandangan, setidaknya ada empat undang-undang yang perlu direvisi, yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah.
    “Setidaknya paling enggak nanti akan berkosekuensi dengan tentu pasti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yang kedua, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Yang ketiga, UU tentang MD3. Yang keempat UU tentang Pemerintahan Daerah,” kata Doli.
    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden.
    Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
     
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan bahwa MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas

    Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas

    Pemilu Pusat dan Daerah Tak Lagi Serentak: Mengurai Beban, Mencari Napas
    Dikdik Sadikin adalah seorang auditor berpengalaman yang saat ini bertugas di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berperan sebagai quality assurer dalam pengawasan kualitas dan aksesibilitas pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Memiliki minat mendalam terhadap kebijakan publik, Dikdik fokus pada isu-isu transparansi, integritas, serta reformasi pendidikan dan tata kelola pemerintahan. Dikdik telah menulis sejak masa SMP (1977), dengan karya pertama yang dimuat di majalah Kawanku. Beberapa cerpen fiksi dan opini karyanya telah dipublikasikan di media massa, termasuk di tabloid Kontan dan Kompas. Dua artikel yang mencolok antara lain “Soekarno, Mahathir dan Megawati” (3 November 2003) serta “Jumlah Kursi Menteri dan Politik Imbalan” (9 Oktober 2024). Ia juga pernah menjabat sebagai pemimpin redaksi dan pemimpin umum majalah Warta Pengawasan selama periode 1999 hingga 2002, serta merupakan anggota Satupena DKI. Latar belakang pendidikan suami dari Leika Mutiara Jamilah ini adalah Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (lulus 1994) dan Magister Administrasi Publik dari Universitas Gadjah Mada (lulus 2006).

    Terlalu banyak pilihan membunuh pilihan.
    ” — Alvin Toffler
    MAHKAMAH
    Konstitusi (MK) mengetuk palu dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024: mulai Pemilu 2029, pemilu nasional dan daerah dipisah.
    Putusan itu bukan sekadar urusan teknis atau penghematan logistik, melainkan tanda bahwa kita tengah meninjau ulang cara kita berdemokrasi.
    Apakah ia cukup manusiawi? Apakah ia sungguh-sungguh mewakili kehendak rakyat?
    Padahal, ketika sistem pemilu serentak diberlakukan, ia dilandasi oleh gagasan mulia: sinkronisasi.
    Dalam sistem otonomi daerah, dibayangkan bahwa jika kepala daerah dan pemimpin nasional dipilih bersamaan, maka awal masa jabatan mereka akan serempak, sehingga perencanaan pembangunan pusat dan daerah dapat diharmoniskan sejak awal.
    Presiden dan kepala daerah, ibarat dirigen dan para pemusik, memulai partitur pembangunan pada waktu yang sama, menyanyikan lagu yang sama dalam irama yang utuh.
    Namun, sejarah demokrasi seringkali bergerak zig-zag. Realitas di lapangan tak seindah rancangan kebijakan di atas kertas.
    Alih-alih tercipta sinergi, justru muncul kelelahan, kekacauan teknis, dan penurunan kualitas pemilu. Apa yang semula terlihat rasional, perlahan-lahan berubah menjadi beban kolektif.
    Sejak 2019, rakyat Indonesia diminta memilih presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dalam satu hari yang padat.
    Demokrasi menjadi ujian nasional lima mata pelajaran, dengan soal-soal panjang dan waktu terbatas. Kertas suara membentang seperti kalender dinding, nama-nama calon membingungkan, logo partai mirip-mirip, dan waktu mencoblos terlalu cepat.
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyebut gejala kejenuhan pemilih sebagai ancaman serius. Fokus pemilih terpecah pada calon yang terlalu banyak, sementara waktu mencoblos sangat terbatas.
    Suara rakyat kehilangan ketajaman. Pilihan politik tak lagi ditentukan oleh ide dan gagasan, melainkan oleh kelelahan dan ketidaktahuan.
    Tragedi pun hadir. Data Pemilu 2019 mencatat lebih dari 894 petugas KPPS meninggal karena kelelahan, dengan lebih dari 5.000 lainnya jatuh sakit. Demokrasi tak seharusnya menuntut harga semahal itu.
    Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyebut masa kerja KPU menjadi tidak efisien. Dalam lima tahun masa jabatan, KPU hanya bekerja maksimal selama dua tahun. Selebihnya tenggelam dalam rutinitas administratif.
     
    Negara menyusun pesta politik yang terlalu besar untuk ditelan dalam satu hari. Sistem yang awalnya dianggap efisien ternyata tidak efektif.
    Namun, keputusan memisahkan pemilu nasional dan daerah juga bukan tanpa residu masalah. Pertanyaan mendasar kembali menggema: bagaimana kelak pemerintah pusat mengorkestrasi pembangunan daerah jika kepala daerah tidak lagi dilantik bersamaan dengan presiden?
    Risiko fragmentasi agenda pembangunan menjadi nyata. Pemerintah pusat bisa saja meluncurkan prioritas nasional saat sebagian kepala daerah baru menjabat, sementara sebagian lainnya mendekati akhir masa tugas.
    Sinkronisasi perencanaan bisa menjadi rumit—seperti memainkan lagu yang sama dengan para pemain musik yang masuk ke panggung pada waktu berbeda.
    Namun, di sinilah tantangan baru itu seharusnya dijawab dengan inovasi tata kelola. Harmonisasi tak harus diseragamkan waktunya, tetapi disamakan arah dan visi strategisnya.
    Lewat perencanaan jangka menengah, pembagian peran yang lebih presisi, dan sistem insentif-fiskal yang terukur, pusat dan daerah tetap dapat menyatu dalam satu irama, meski berbeda tempo.
    Negara-negara federal seperti Jerman dan Kanada telah membuktikan bahwa sinkronisasi tak bergantung pada jadwal Pilkada. Yang lebih penting adalah forum dialog antar-pemerintah yang rutin, data bersama yang dapat diakses lintas sektor, dan akuntabilitas program lintas level.
    Dalam konteks Indonesia, penguatan RPJMN dan RPJMD yang terintegrasi dan disupervisi dapat menjadi solusi.
    Menurut International IDEA (2023), hanya 16 dari 200 negara yang melaksanakan pemilu nasional dan lokal secara serentak penuh.
     
    Di Amerika Serikat, pemilu presiden dan
    midterm elections
    dipisah agar rakyat bisa fokus pada isu berbeda.
    Di Jerman, pemilu Bundestag dan Landtag dilakukan terpisah demi efektivitas partisipasi. Di sana, kualitas lebih penting daripada kecepatan.
    Kita bukan satu-satunya yang merasakan beban serentak. Kita hanya perlu lebih jujur membaca napas demokrasi kita sendiri.
    Putusan MK ini adalah bentuk jeda dalam demokrasi kita yang terengah-engah. Dengan memisahkan pemilu nasional dan daerah, kita memberi kesempatan kepada rakyat untuk kembali memaknai suara mereka.
    Bukan hanya mencoblos, tapi memahami, menimbang, dan mempercayai.
    Tentu, tantangan anggaran akan muncul. Namun, demokrasi yang sehat memang tak pernah murah. Yang murah biasanya adalah populisme murahan, atau otoritarianisme yang menyamar sebagai efisiensi.
    Mungkin dari lima kotak suara yang membingungkan itu, kita sedang membuka jalan menuju satu hal yang lebih penting: kesadaran rakyat yang tidak kelelahan, tapi tercerahkan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu
                        Nasional

    10 MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu Nasional

    MK ala Chef: Bongkar Pasang Pemilu
    Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
    DEMOKRASI
    Indonesia seperti masakan tanpa juru masak atau “chef”. Untuk pertama kali negeri kita menggelar pemilu nasional dan pemilu lokal (pemilihan kepala daerah) secara serentak pada 2024.
    Serentak di sini tidak menunjuk pada hari yang sama, melainkan tahun yang sama–berjarak 9,5 bulanan.
    Ini adalah kelanjutan dari sifat serentak di Pemilu 2019 saat pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota (Pileg) dilaksanakan berbarengan atau di hari yang sama dengan pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres). Sebut saja “Pemilu 5 Kotak”.
    Pemilu serentak tahun 2019 itu menerjemahkan putusan Mahkamah Konstitusi nomor 14/PUU-XI/2013.
    Sebelumnya, mulai dari 2004 hingga 2014, seluruh pemilu dilakukan terpisah dengan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota mendahului pemilihan presiden dan wakil presiden.
    Sekarang, dua pilar dalam “Pemilu 5 Kotak” itu dicopot oleh MK lewat putusan nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
    Mulai 2029 mendatang, pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota akan masuk satu rumpun dengan pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/wali kota).
    Untuk gampangnya ini disebut pemilu lokal atau daerah. Putusan MK ini dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025.
    Yang lebih drastis dan dramatis, MK memutuskan pemilu nasional dan pemilu lokal atau daerah tidak lagi digelar pada yang sama seperti 2024, tapi terpisah.
    MK menetapkan waktu pemungutan suara pemilu lokal paling singkat dua tahun atau paling lama 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR atau DPD atau pelantikan presiden dan wakil presiden.
    Mulai 2029, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, anggota DPD serta presiden dan wakil presiden. Pendek kata susut menjadi “Pemilu 3 Kotak”.
    Kali ini MK menggantikan peran
    chef
    bagi demokrasi Indonesia, setidaknya dalam “masakan” yang bernama pemilihan umum dan bagaimana pemilu nasional dan pemilu lokal harus dilaksanakan.
    Keputusan MK tak pelak mengganti model penyelenggaraan pemilu di level nasional dan lokal, dari serentak dalam tahun yang sama menjadi terpisah dengan jarak waktu paling singkat dua tahun.
    Putusan MK dapat dibilang maju, revolusioner dan agak keluar dari fungsi MK sebagai “negative legislator”.
    I Dewa Gede Palguna saat masih menjadi Hakim Konstitusi (2008) menyatakan, meskipun MK dapat membatalkan undang-undang, tapi MK tidak dapat membuat putusan untuk melakukan perubahan terhadap UU. Itulah “negative legislator” yang melekat pada MK.
    Menurut MK, putusan itu untuk menjaga kualitas pemilu, meningkatkan efisiensi penyelenggaraan, serta memberi ruang yang lebih baik bagi pemilih untuk menggunakan hak pemilih secara cermat dan tidak terburu-buru.
    Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan, partisipasi pemilih di
    Pilkada
    2024 sebesar 68,2 persen. Itu lebih rendah dibandingkan Pemilu 2024 di mana partisipasi pemilih mencapai 81,78 persen.
    Apakah ini menjelaskan jarak waktu antara gelaran pemilu nasional dengan Pilkada (pemilu lokal) yang cuma 9,5 bulan bikin rakyat jenuh?
    Bisa iya, bisa tidak. Dulu, sebelum ada rekayasa sistemik untuk menyelenggarakan Pilkada secara serentak, Pilkada bisa digelar setiap tiga hari sekali.
    Pilkada dimaksud berlangsung di tiga daerah berbeda, bisa tingkat provinsi, kabupaten atau kota. Hal ini bikin jenuh dan bosan rakyat di lapis bawah. Seolah-olah tiada hari tanpa Pilkada.
    Saban tahun ada saja daerah yang menghelat Pilkada. Begitu jika kita menengok sejak Pilkada langsung pertama kali diadaptasi di Pilkada tahun 2005.
    Pemilu serentak rangkap dua, yakni pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun yang sama sesungguhnya adalah ikhtiar untuk memotong “persaingan politik” yang berlangsung maraton dan menyebabkan rakyat bosan dan jenuh dengan politik.
    Pilkada serentak pada 27 November 2024 itu, juga dilatarbelakangi keperluan sinkronisasi antara pusat dan daerah.
    Di masa Presiden Joko Widodo, mencuat isu sinergitas dan koordinasi sehingga mendorong ide pemilu serentak di tahun yang sama untuk mengisi pemimpin di pusat dan daerah.
    Pemilu nasional dan pemilu lokal serentak di tahun yang sama baru dipraktikkan di tahun 2024. Rasanya terlampau tergesa-gesa jika harus dirombak, diubah dan dibangun ulang.
    Ibarat kata “masakan” DPR, lewat UU 7/2017 tentang Pemilu dan UU 10/2016 tentang Pilkada, baru saja disajikan kepada rakyat Indonesia, kok cepat-cepat dicap agar disingkirkan dari daftar menu.
    Sembilan hari sebelum MK menerbitkan putusan yang mengubah keserentakan pemilu, Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman mengeluh soal MK.
    “Di DPR ini kadang-kadang kami capek bikin Undang-undang, dengan gampangnya dipatahkan oleh Mahkamah Konstitusi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi),
    Tempo.co
    , 18 Juni 2025.
    Keluhan ini dapat dibaca bermacam-macam. MK dianggap menjadi institusi yang “mentorpedo” produk legislasi DPR atau ia sedang frustrasi dengan putusan-putusan MK?
    Selama MK konsisten dengan fungsi dan peran yang diamanatkan konstitusi, publik pasti akan berada di belakangnya.
    Namun, sebagai institusi, MK pernah tergelincir tatkala memutuskan alias mengubah syarat usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden, tahun 2023 lalu.
    Putusan itu memberi karpet merah kepada Gibran Rakabuming Raka, putra sulung presiden saat itu Joko Widodo, untuk berlaga di pemilu 2024.
    Jadi, putusan nomor 135 ini pun harus ditakar untung dan ruginya, manfaat dan mudharatnya bagi gelaran pemilihan umum serta demokrasi Indonesia.
    Konsekuensi pertama, jika pemilu lokal digelar dua tahun atau 2,5 tahun setelah pelantikan anggota DPR, DPD atau presiden dan wakil presiden, berarti seluruh provinsi, kabupaten dan kota akan mengalami kekosongan pemimpin dari 2029-2031.
    Dan itu kolosal, meliputi 545 daerah, yakni 37 provinsi, 415 kabupaten dan 93 kota. Saat masa jabatan kepala daerah usai, maka pemerintah pusat harus mengisi atau menempatkan orang sebagai penjabat gubernur/bupati/wali kota.
    Selama ini penjabat kepala daerah adalah orang pilihan presiden atau menteri dalam negeri atau kementerian dalam negeri. Keberadaan mereka ditunjuk, ditugaskan, dan bukan dipilih sebagaimana seorang kepala daerah.
    Sudah pasti legitimasi penjabat kepala daerah itu rendah, tapi mengambil keputusan penting, bahkan strategis di daerah mereka bertugas. Ini dilema penjabat yang terbaca di masa Jokowi.
    Konsekuensi kedua, bagaimana dengan kursi anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten dan DPRD kota selama masa transisi menuju pemilu lokal serentak 2031 (jeda dua tahun atau 2,5 tahun dari pelantikan anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden)? Siapa yang akan dan bagaimana mengisinya?
    Total kursi DPRD kabupaten/kota saja menembus 17.510. Belum lagi anggota DPRD tingkat provinsi. Haruskah anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota periode 2024-2029 diperpanjang masa jabatannya hingga pemilu lokal atau Pilkada serentak 2031?
    Apakah model transisi begini sehat untuk menjalankan fungsi
    checks and balances
    ? Tidakkah ini mengurangi kesempatan politikus lain di tingkat lokal atau kader partai di provinsi/kabupaten/kota yang mengincar kursi legislator tadi?
    Konsekuensi terakhir, berkaitan dengan aspek pendanaan. Biaya Pilkada serentak 2024 sekitar Rp 41 triliun. Adapun anggaran pemilu nasional sebesar Rp 71,3 triliun. Total biaya pemilu nasional dan pemilu lokal di tahun 2024 menembus Rp 112,3 triliun.
    Dengan memasukkan pemilihan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota ke rumpun pemilu lokal, apakah biaya total pemilu yang digelar terpisah bakal tetap? Atau sebaliknya kian besar karena faktor inflasi?
    Kini, kerumitan, keruwetan, hingga dilema yang muncul menyusul keputusan MK ini perlu dikaji oleh pemerintah, DPR, KPU, organisasi sipil, peneliti hingga akademisi yang
    concern
    terhadap pemilu dan demokrasi di Tanah Air.
    Momentum merevisi atau mengubah UU Pemilu dan UU Pilkada seyogyanya menjadi “moment of the truth” untuk memasak (baca: melahirkan) penyelenggaraan pemilihan umum yang meningkatkan kualitas demokrasi di negeri kita.
    Bongkar pasang desain atau rancangan gelaran pemilu yang terlalu sering, bukan zamannya lagi. Itu bisa menerbitkan apatisme publik. Percaya dengan proses, jangan reaksioner.
    Dan agar produk legislasi DPR dan pemerintah, tidak kelewat sering diuji-materi (
    judicial review
    ) ke MK, maka dua cabang kekuasaan yang berperan sebagai “positive legislator” itu wajib mengubah pendekatan.
    Belakangan tuntutan “partisipasi yang bermakna” kian nyaring disuarakan masyarakat sipil, terutama setelah revisi Undang-Undang Tentara NasionaI Indonesia (UU TNI) dianggap kurang memperhatikannya.
    Kritik serupa dialamatkan ke DPR dan pemerintah menyangkut revisi UU BUMN serta revisi UU Mineral dan Batu Bara.
    MK lewat putusan nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengartikan
    meaningful participation
    sebagai: hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan hak masyarakat untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (
    hukumonline.com
    , 13 Juli 2022).
    Saya kira panduan MK tadi teramat jelas. Jangan sampai DPR dan pemerintah jatuh di lubang yang sama gara-gara mengangkangi soal partisipasi publik yang bermakna.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dukung Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Ahmad Doli Beber Alasan Ini

    Dukung Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Ahmad Doli Beber Alasan Ini

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah, menjadi perbincangan menarik beberapa hari belakangan ini.

    Merespons hal itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tandjung mendukung penuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Menurutnya, pemilu akan lebih ideal jika pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg) juga dipisah, seperti yang pernah diterapkan pada Pemilu 2004.

    “Saya dalam posisi secara pribadi mendukung putusan MK itu. Bahkan sebenarnya, kalau bicara tentang keserentakan, lebih ideal lagi juga kalau pilpres dan pilegnya dipisah. Kalau saya, seperti 2004,” kata Doli dalam diskusi Politics & Colleagues Breakfast di Sekretariat PCB, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6).

    Doli menilai skema pemilu serentak justru memperkuat praktik politik pragmatis. Dia menyebut kampanye kepala daerah yang seharusnya fokus pada isu lokal seringkali tenggelam karena bersaing dengan isu nasional.

    “Kampanye yang dilakukan kepala daerah berkaitan dengan apa yang harus dilakukan dalam 5 tahun ke depan menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat. Bahayanya, dampaknya adalah memperkuat praktik pragmatisme pemilu,” jelasnya.

    Doli mengingatkan bahwa putusan MK tersebut membawa konsekuensi serius terhadap berbagai regulasi.

    Menurutnya, diperlukan revisi menyeluruh terhadap sejumlah undang-undang, termasuk UU Pemilu, UU Pilkada, hingga UU Partai Politik.

  • Pilkada Ulang Kabupaten Bangka, 5 Paslon Resmi Mendaftar di KPU
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        29 Juni 2025

    Pilkada Ulang Kabupaten Bangka, 5 Paslon Resmi Mendaftar di KPU Regional 29 Juni 2025

    Pilkada Ulang Kabupaten Bangka, 5 Paslon Resmi Mendaftar di KPU
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Sebanyak lima
    pasangan calon
    resmi mendaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk Pilkada Ulang Kabupaten Bangka 2025.
    Pada hari pertama pendaftaran,
    KPU Bangka
    menerima pasangan calon Andi Kusuma dan Budiyono yang didukung oleh 10 partai politik, antara lain PKB, Perindo, PBB, dan Hanura.
    Total suara gabungan partai politik pendukung sebanyak 28.179 suara.
    Selanjutnya, pasangan Fery Insani – Syahbudin didukung oleh koalisi Gerindra dan PDI Perjuangan dengan akumulasi suara pemilu sebanyak 70.835.
    Kemudian, pasangan Rato Rusdiyanto – Ramadian didukung oleh Partai Golkar dan Partai Nasdem dengan perolehan 42.660 suara.
    Pasangan selanjutnya adalah Aksan Visyawan – Rustam Jaseli yang didukung oleh PKS dan PPP dengan akumulasi suara pileg sebanyak 24.536.
    Berikutnya, pasangan calon Naziarto dan H Usnen didukung oleh koalisi Demokrat dan PAN dengan total perolehan suara 20.135 pada Pemilu 2024.
    Ketua KPU Kabupaten Bangka, Sinarto, mengatakan proses pendaftaran yang dilakukan di kantor KPU selama tiga hari berlangsung lancar sesuai prosedur.
    “Seluruh tahapan Pilkada Ulang 2025 akan terus dijalankan secara transparan, akuntabel, dan profesional,” ujar Sinarto dalam pers rilis, Minggu (29/6/2025).
    Selanjutnya, lima pasangan calon tersebut menjalani tahapan pemeriksaan kesehatan di RSPAD GS, Jakarta.
    Tercatat sebanyak 242.582 pemilih akan menggunakan hak suaranya pada Pilkada Kabupaten Bangka yang harus diulang imbas kotak kosong menang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pilkada Ulang Pangkalpinang, 4 Paslon Resmi Mendaftar di KPU
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        29 Juni 2025

    Pilkada Ulang Pangkalpinang, 4 Paslon Resmi Mendaftar di KPU Regional 29 Juni 2025

    Pilkada Ulang Pangkalpinang, 4 Paslon Resmi Mendaftar di KPU
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com
    – Sebanyak empat
    pasangan calon
    mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (
    KPU
    ) untuk
    Pilkada Ulang
    Kota
    Pangkalpinang
    2025.
    Komisioner KPU Pangkalpinang M. Maarif mengatakan, pendaftaran resmi ditutup pada Sabtu (28/6/2025) pukul 23.59 WIB setelah dibuka selama tiga hari.
    “Sampai penutupan pendaftaran, ada empat pasangan calon yang mendaftar, terdiri dari satu pasang dari jalur perseorangan dan tiga pasang dari parpol,” kata Maarif saat dikonfirmasi, Minggu (29/6/2025).
    Maarif menjelaskan, pasangan bakal calon yang telah mendaftar ialah Eka Mulya – Ratmida Dawam (perseorangan/independen) dan Maulan Aklil – Zeki Yamani (Gerindra).
    Kemudian pasangan Saparudin – Dessy Ayutrisna (PDI-P, PPP, PAN, Demokrat, PKB, PKN) dan Basit Cinda – Dede Purnama (Golkar, NasDem, PKS, Ummat, Buruh).
    “Selanjutnya paslon melakukan pemeriksaan kesehatan di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Hari ini sudah berada di Jakarta karena besok pagi sudah dimulai, diperkirakan dua hari di RSPAD,” ujar Maarif.
    Bakal pasangan calon yang memenuhi persyaratan akan ditetapkan sebagai pasangan calon resmi pada 22 Juli 2025, kemudian pada 23 Juli 2025 akan dilakukan pengundian nomor urut, dilanjutkan dengan tahapan kampanye selama 30 hari.
    Pemda mengalokasikan anggaran Rp 24,8 miliar untuk membiayai seluruh tahapan
    pilkada ulang
    yang digelar imbas kotak kosong menang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Setelah Ada Putusan MK, Komisi II Bicara Opsi Pemisahan Pemilu Eksekutif-Legislatif
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Juni 2025

    Setelah Ada Putusan MK, Komisi II Bicara Opsi Pemisahan Pemilu Eksekutif-Legislatif Nasional 29 Juni 2025

    Setelah Ada Putusan MK, Komisi II Bicara Opsi Pemisahan Pemilu Eksekutif-Legislatif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi II
    DPR RI

    Aria Bima
    mengungkapkan, pihaknya tengah mengkaji opsi pemisahan antara pemilu eksekutif dan legislatif sebagai bagian dari evaluasi pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
    Menurut Bima, Komisi II sebetulnya sudah mulai menjaring berbagai masukan publik hingga melakukan kajian dan simulasi, sebelum MK memutuskan
    pemisahan pemilu
    nasional dan daerah.
    “Pemisahan secara horizontal misalnya, membagi antara pemilu eksekutif dan legislatif. Pemilu eksekutif bisa dilakukan serentak mencakup pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan Pilkada Provinsi serta Kabupaten/Kota,” ujar Bima dikutip dari siaran pers, Minggu (29/6/2025).
    “Sedangkan pemilu legislatif meliputi pemilihan DPR, DPD, dan DPRD, dilakukan dalam waktu yang juga serentak tapi berbeda tahunnya,” sambungnya.
    Selain pemisahan secara horizontal, Bima mengatakan bahwa Komisi II juga mengkaji opsi pemisahan pemilu secara vertikal, yang mirip dengan perintah putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Adapun pemisahan vertikal yang dimaksud adalah pemilu nasional, yakni Presiden, DPR, DPD, digelar lebih dulu secara serentak.
    Setelah itu, barulah pemilu daerah yang mencakup Pilkada dan DPRD dilaksanakan secara serentak pada tahun berbeda.
    “Kami terus mengkaji mana skema yang paling tepat dan paling realistis. Karena pengalaman kemarin, tumpang tindih antara Pilkada dengan Pileg dan Pilpres menghasilkan ekses yang cukup besar, bahkan muncul istilah Pilkada rasa Pilpres. Dampak kemenangan di Pilpres pun turut memengaruhi koalisi politik dalam Pilkada,” ungkap Aria.
    Politikus PDI-P itu menambahkan, Komisi II bahkan sempat mempertimbangkan wacana mendahulukan Pilkada dan pemilihan DPRD sebelum pemilu nasional.
    “Semua opsi sedang kita kaji agar ke depan pemilu lebih efektif, efisien, dan tetap demokratis,” jelas Bima.
    Bima menegaskan kajian atas sejumlah skema pemilu tetap akan dilanjutkan Komisi II, di samping pembahasan mengenai tindak lanjut putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan daerah.
    “Komisi II DPR RI terus melakukan belanja informasi dari berbagai kalangan seperti cendekiawan, politisi, akademisi, hingga budayawan. Ini untuk mengevaluasi pelaksanaan Pemilu sebelumnya, baik Pilpres, Pileg, maupun Pilkada yang bahkan hingga kini belum seluruhnya selesai,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya,
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden.
    Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Lanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan, MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 Juni 2025

    Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu? Nasional 29 Juni 2025

    Putusan MK Pisahkan Pemilihan Nasional dan Daerah, Buka Jalan Omnibus Law UU Pemilu?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memerintahkan pemisahan antara pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029 dinilai sebagai momentum penting untuk memperbaiki tata kelola pemilu.
    Putusan ini dinilai bisa meringankan beban penyelenggara pemilu, dan berpotensi meningkatkan kualitas
    partisipasi rakyat
    dalam pesta demokrasi.
    Lebih jauh, putusan MK tersebut juga dianggap membuka jalan dilaksanakannya revisi besar-besaran terhadap undang-undang kepemiluan melalui pendekatan
    omnibus law
    .
    Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa pemilu nasional dan daerah tidak lagi dilakukan secara serentak.
    Pemilu nasional akan difokuskan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, serta DPD.
    Sementara itu, pemilu daerah yang mencakup pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota, serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, dilakukan pada waktu berbeda.
    Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan, Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (
    UU Pemilu
    ) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selain itu, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Meski begitu, MK tidak menentukan secara pasti tenggat waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah. Namun, MK mengusulkan agar pemilu daerah digelar paling cepat dua tahun dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” kata Saldi Isra. 
     
    Putusan MK tersebut disambut baik oleh penyelenggara pemilu dan kelompok masyarakat pegiat demokrasi.
    Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin mengatakan, pemisahan waktu pemilu akan mengurangi beban kerja teknis lembaganya.
    “Memang tahapan yang beririsan bahkan bersamaan secara teknis lumayan membuat KPU harus bekerja ekstra,” kata Afifuddin, Jumat (27/6/2025).
    Afif menambahkan, KPU akan mempelajari secara detail isi putusan tersebut dan menyesuaikan tahapan ke depan.
    Dari sisi masyarakat sipil, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (
    Perludem
    ) menilai putusan MK ini menjawab persoalan mendasar dalam keserentakan pemilu yang selama ini hanya formalitas.
    “Keserentakan pemilu itu mesti betul-betul menjaga kualitas kedaulatan rakyat, tidak hanya formalitas datang ke TPS, dapat surat suara, nyoblos, selesai,” ujar Program Manajer Perludem, Fadli Ramadhanil.
    Fadli menilai desain keserentakan sangat menentukan kualitas pilihan rakyat dalam bilik suara. Ia menyebut bahwa sejak awal, Perludem telah lama mengusulkan pemisahan tersebut.
    Dari sisi legislatif, putusan ini direspons positif oleh Komisi II
    DPR RI
    yang membidangi urusan pemerintahan dan kepemiluan.
    Wakil Ketua Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menilai putusan MK telah menegaskan bahwa struktur politik Indonesia terdiri dari dua entitas: nasional dan daerah.
    Oleh karena itu, penyesuaian regulasi diperlukan agar selaras dengan konstitusi.
    “Karena putusan MK bersifat final dan mengikat, sebagai pembentuk UU, kami siap menyelaraskan dengan putusan MK tersebut,” kata Zulfikar.
    Dia juga menilai pemisahan jadwal pemilu akan memperkuat kelembagaan penyelenggara pemilu, memudahkan pemilih menggunakan haknya, serta berpotensi melahirkan budaya politik baru yang lebih efektif di daerah.
    Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan, pelaksanaan pemilu serentak selama ini justru memperkuat praktik pragmatisme, termasuk politik uang, dan mengaburkan isu-isu lokal dalam hiruk-pikuk pemilu nasional.
    “(Isu-isu) menjadi tidak ditanggapi serius oleh masyarakat, jadi nggak penting. Nah, bahayanya, dampaknya adalah itu adalah bagian yang memperkuat praktik pragmatisme Pemilu,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
    Doli juga menyinggung soal kejenuhan masyarakat terhadap pemilu yang terlalu berdekatan, serta waktu yang terlalu sempit bagi partai politik menyiapkan kader-kadernya.
     
    “Jadi masyarakat (beranggapan), ‘ah, ngapain lagi kita? Kita sudah datang kemarin waktu pemilihan presiden, sudah lah cukup itu aja, kita serahkan aja. Presiden kan bisa ngatur semuanya’, itu ada juga terjadi di masyarakat kita di bawah ini,” tutur Doli.
    “Termasuk partai politik, partai politik kemudian tidak punya waktu yang leluasa, lebih maksimal mengatakan siapa yang menjadi kader atau orang yang kuat dalam waktu yang sesingkat itu. Nah, Jadi saya dalam posisi secara pribadi, mendukung putusan Mahkamah Konstitusi itu,” jelas Doli.
    Kendati demikian, ada konsekuensi lebih jauh dengan adanya putusan tersebut, yakni perlunya penyusunan ulang seluruh arsitektur hukum kepemiluan.
    Doli berpandangan bahwa putusan tersebut seolah memerintahkan revisi UU Pemilu menggunakan omnibus law.
    Sebab, membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat UU harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan.
    “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah, merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
    Doli merinci, ada sejumlah undang-undang yang perlu diubah.
    Mulai dari UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), hingga UU tentang Pemerintahan Daerah.
    Oleh karena itu, omnibus law dianggap bisa menjadi solusi cepat dan menyeluruh agar semua UU terkait dapat direvisi sekaligus secara sistematis, walaupun masih harus dikaji secara mendalam oleh DPR bersama pemerintah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.