PKS: MPR Tak Perlu Turun Gunung Sikapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PKS Mulyanto menilai MPR tidak perlu ikut turun tangan menyikapi polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait
pemisahan pemilu
serentak nasional dan pemilu serentak lokal.
Menurut Mulyanto, keterlibatan MPR dalam menafsirkan
putusan MK
justru dapat menimbulkan persoalan baru, yakni potensi terjadinya dualisme tafsir antarlembaga tinggi negara, yang pada akhirnya bisa menciptakan ketidakpastian hukum.
“MPR RI tidak perlu turun gunung terkait perkara ini. Biarkan DPR dan Pemerintah membahas soal ini dalam kapasitas sebagai pembentuk UU,” kata Mulyanto dalam keterangannya, Kamis (31/7/2025).
“Kita khawatir kalau MPR ikut membahas masalah ini maka dapat menimbulkan masalah baru, yakni dualitas tafsir antarlembaga tinggi negara, yakni antara MK dengan MPR RI, yang dapat berkembang dan memicu ketidakpastian hukum,” tambahnya.
Mulyanto menegaskan bahwa secara konstitusional, kewenangan untuk menafsirkan Undang-Undang Dasar 1945 secara otoritatif berada di tangan MK, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Karena itu, putusan MK bersifat final dan mengikat.
“Hal tersebut dapat juga dipandang sebagai intervensi politik (MPR RI) terhadap kekuasaan kehakiman (MK), dan ini berpotensi melanggar prinsip pemisahan kekuasaan, yang sangat kita jaga,” tegas anggota DPR periode 2019-2024 itu.
Putusan MK
Nomor 135/PUU-XXII/2024 sebelumnya menuai polemik karena mengubah format pemilu serentak menjadi dua bagian: pemilu nasional (presiden, DPR, dan DPD) dan pemilu lokal (kepala daerah dan DPRD).
Sebagian pihak menilai MK telah bertindak sebagai
positive legislator
karena dinilai membentuk norma baru, bukan sekadar menguji konstitusionalitas undang-undang.
Mulyanto menyarankan agar pembahasan teknis terhadap dampak putusan tersebut dilakukan oleh pembentuk undang-undang, yakni DPR bersama pemerintah.
Apalagi, saat ini Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu dan RUU Pilkada telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
“Pimpinan lembaga tinggi perlu menghayati betul soal ini dan membahas serta mencari solusinya secara teknis di tingkat pembentuk UU, yakni DPR RI dan Pemerintah,” ungkapnya.
Ia juga mengingatkan bahwa persoalan pemilu bukan hanya soal teknis pelaksanaan, tetapi juga menyangkut kualitas demokrasi secara keseluruhan.
Karena itu, menurutnya, dibutuhkan sikap kenegarawanan dalam menyusun aturan main politik ke depan.
“Jangan sampai demokrasi kita jalan di tempat, karena pemilu yang ruwet dengan politik uang dan menghasilkan pemimpin yang cenderung populis serta menomorduakan kompetensi,” ujar dia.
“Hampir tiga puluh tahun Reformasi, namun masih dirasakan di sana-sini ketidakpuasan terhadap kualitas demokrasi kita. Kita membutuhkan banyak negarawan dalam pembentukan UU ini,” sambungnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Event: Pilkada Serentak
-
/data/photo/2022/01/14/61e1553f22631.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PKS: MPR Tak Perlu Turun Gunung Sikapi Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional 31 Juli 2025
-

Partai politik dan dilema 135
Harapan tetap terbuka bahwa para wakil rakyat akan mengedepankan kebesaran jiwa dan visi kenegaraan, bukan sekadar kalkulasi elektoral
Jakarta (ANTARA) – Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No 135/PUU-XXI/2023 menetapkan pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal.
Pemilu nasional; Pilpres, DPR, dan DPD, akan digelar pada 2029. Sementara pemilu lokal; pilkada dan pemilihan DPRD, dilaksanakan paling lambat 2,5 tahun setelahnya.
MK menilai model serentak lima kotak seperti 2019 dan 2024 terlalu kompleks: membebani penyelenggara, menghambat kaderisasi partai, menyebabkan kejenuhan pemilih, meningkatkan suara tidak sah, serta menenggelamkan isu lokal akibat dominasi kontestasi nasional.
Mahkamah berpendapat, apabila pemilu borongan seperti ini terus dibiarkan dapat mengancam kualitas demokrasi.
Keputusan MK tersebut kemudian menimbulkan perbincangan ramai di publik. Paling tidak terdapat tiga persoalan dari keputusan tersebut.
Pertama ialah legalitas keputusan MK, yang dipandang telah melebihi ruang yudikatif sebab teknis pelaksanaan pemilu bersifat open legal policy, yang menjadi ranah pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah.
Kedua, pemisahan pemilu nasional dan lokal akan melanggar Pasal 22E UUD 1945 tentang siklus pemilu lima tahunan.
Kemudian yang ketiga ialah masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD. Jika keputusan MK dilaksanakan, maka akan terjadi kekosongan di seluruh daerah, sebab kepala daerah dan anggota DPRD terpilih hasil pemilu 2024 sudah habis masa jabatannya pada 2029, sementara pemilu lokal baru akan dilakukan pada 2031.
Lantas bagaimana semestinya memaknai putusan terbaru MK tersebut? Para ahli dan pakar hukum mungkin memiliki pandangannya tersendiri, namun pada akhirnya semua akan bersepakat bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh karenanya, mematuhi keputusan mahkamah bukan sesuatu yang bisa ditawar.
Perlu ditambahkan pula di sini bahwa praktek pelaksanaan pemilihan yang keluar dari siklus lima tahunan pernah terjadi. Pengalaman beberapa daerah yang seharusnya melaksanakan Pilkada pada tahun 2022 dan 2023 misalnya, baru melaksanakan pemilihan pada 2024. Begitu juga dengan masa jabatan, ada kepala daerah yang menjabat kurang dari lima tahun namun ada juga yang lebih.
Praktek seperti ini dimungkinkan dan tetap konstitusional selama dalam koridor masa peralihan dan diatur dalam undang-undang.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Pesan Penting Puan Maharani untuk Kader PDIP
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) bidang Politik, Puan Maharani memberi pesan penting.
Pesan penting yang disampaikan Bimbingan teknis (bimtek) anggota DPR RI hingga DPRD provinsi dan kabupaten/kota fraksi PDIP dari seluruh Indonesia.
Puan Maharani menyampaikan pesannya ini melalui cuitan di akun media sosial X pribadinya.
Ia mengingatkan agar kapal yang berlayar tidak diubah arah mata anginnya. Namun, masih ada layar yang bisa diarahkan.
“Ibarat sedang berlayar, arah angin tidak dapat diubah,” tulisnya dikutip Kamis (31/7/2025).
“Tapi kita bisa mengarahkan layar agar dapat sampai di tujuan… 💪🏼,” sebutnya.
Puan juga menyampaikan pesan ke seluruh anggota legislatif PDI Perjuangan se-Indonesia di Bali.
Ia mengingatkan agar tetap solid, terus menyatukan gagasan, semangat dan terus melangkah.
Serta yang paling penting menurutnya adalah komitmen serta bekerja semaksimal mungkin untuk kepentingan rakyat.
“Saya menyampaikan pesan kepada seluruh anggota legislatif PDI Perjuangan se-Indonesia di Bali, kita harus solid menyatukan gagasan, semangat, dan langkah,” sebutnya.
“Serta berkomitmen dan bekerja sekuat-kuatnya untuk kepentingan rakyat… 🇮🇩,” terangnya.
Acara Bimtek ini menjadi ajang konsolidasi nasional yang digelar setelah Pemilu 2024, dengan tujuan utama meningkatkan kapasitas anggota legislatif PDIP dalam menjalankan fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.
Selain itu, kegiatan ini juga digunakan untuk menyatukan visi dan strategi menyongsong Pilkada 2024 dan Pemilu 2029.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3212301/original/066323700_1597741160-DPRD_MEdan.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Respons Mulai Pengamat, Parpol hingga Mnedari Terkait Kepala Daerah Dipilih DPRD, Tuai Pro Kontra – Page 3
Sekretaris Jenderal Partai Golkar DPR RI M. Sarmuji menegaskan bahwa keterlibatan rakyat tetap harus menjadi unsur penting dalam setiap proses demokrasi, termasuk jika skema pilkada melalui DPRD akan dipertimbangkan.
“Kami tertarik untuk membahas pilkada melalui DPRD tapi dengan keterlibatan masyarakat,” ujar Sarmuji.
“Sekurang-kurangnya rakyat bisa mendengar secara langsung visi dan misi kandidat melalui kampanye dan debat terbuka. Kalau ada hal lain yang bisa dilakukan untuk melibatkan rakyat dalam pilkada melalui DPRD, kami akan rumuskan dengan baik,” sambung dia.
Menurut Sarmuji, pemilihan langsung selama ini diakui memiliki keunggulan utama berupa partisipasi publik yang tinggi. Rakyat merasa memiliki akses langsung untuk memilih pemimpinnya.
Namun, ia juga mencatat bahwa sistem ini tidak lepas dari persoalan serius, seperti maraknya politik uang (money politics) dan terjadinya fragmentasi sosial akibat polarisasi politik yang berkepanjangan.
Sebaliknya, mekanisme pemilihan melalui DPRD, meskipun lebih efisien dari sisi anggaran dan potensi konflik, kerap dikritik karena dinilai menjauhkan rakyat dari proses demokrasi.
“Rakyat tidak bisa mendengar langsung visi-misi calon, tidak menyaksikan adu gagasan, dan akhirnya merasa tidak punya andil dalam memilih pemimpinnya,” kata Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI itu.
Karena itu, menurutnya, perlu dirancang sebuah mekanisme baru yang menggabungkan efisiensi pemilihan melalui DPRD dengan tetap membuka ruang partisipasi rakyat secara bermakna.
Salah satu bentuknya adalah dengan menghadirkan kampanye dan debat terbuka sebagai bagian dari proses penyaringan calon kepala daerah, sebelum akhirnya DPRD melakukan pemilihan.
“Jika ada usulan keterlibatan masyarakat yang lebih intens dalam pemilukada melalui DPRD, kami siap merumuskan,” tambahnya.
Sarmuji menekankan pentingnya mencari titik temu antara efisiensi dan partisipasi. Menurutnya, jika pilkada melalui DPRD dianggap sebagai opsi yang lebih stabil dan hemat biaya, maka harus diimbangi dengan mekanisme partisipatif yang menjamin rakyat tetap dapat menilai dan memberi masukan terhadap calon pemimpinnya.
“Partisipasi rakyat tidak harus semata-mata melalui pencoblosan. Rakyat bisa dilibatkan dalam forum kampanye, debat terbuka, atau uji publik yang bisa disiarkan secara luas. Dengan begitu, proses seleksi oleh DPRD tetap transparan dan akuntabel,” ujar legislator dari Daerah Pemilihan Jawa Timur VI tersebut.
Partai Golkar, katanya, akan mengkaji berbagai alternatif format yang memungkinkan adanya keterlibatan publik dalam skema pilkada melalui DPRD.
“Demokrasi kita harus terus berkembang dengan memperhatikan konteks dan kebutuhan zaman. Tidak ada sistem yang sempurna, tapi kita bisa merancang sistem yang lebih bijak, efisien, dan tetap melibatkan rakyat secara nyata,” tandas Sarmuji.
Sementara itu, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mengatakan, partainya yang lebih dahulu mengusulkan pemilihan kepala daerah lewat DPRD dibandingkan dengan PKB.
Bahlil mengatakan, Golkar sudah menyuarakan ide itu saat perayaan hari ulang tahun ke-60 Partai Golkar pada Desember 2024.
“Bukan ide saya yang sama dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, (tapi) Golkar sudah bicara itu duluan sejak HUT Golkar. Bahwa kami punya pandangan sama karena memang rasionalitas berpikirnya,” kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada Senin, (28/7/2025).
Bahlil mengatakan, penataan sistem demokrasi perlu dilakukan melalui perubahan undang-undang paket politik. Penataan sistem demokrasi harus dilakukan terhadap sistem politik nasional secara menyeluruh, termasuk pemilihan anggota legislatif dan pemilihan kepala daerah.
Salah satu opsi penataan yang ditawarkan Golkar adalah pemilihan kepala daerah lewat DPRD.
Kata Bahlil, pemilihan langsung menyebabkan biaya politik yang besar. Pilkada langsung juga sering menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
“Yang menang saja sakit hati, apalagi yang kalah. Setiap pilkada, tetangga jadi musuh, saudara tidak saling sapa, bahkan ada yang bercerai gara-gara beda pilihan,” kata dia.
Ketua Fraksi Golkar MPR Melchias Markus Mekeng menilai, lebih baik kepala daerah dipilih oleh DPRD. Mekeng menyebut, mekanisme ini baik seperti di zaman Presiden ke-2 RI, Soeharto.
“Ini bukan keputusan Golkar ya, ini pendapat pribadi saya. Saya lebih suka dipilih oleh DPRD. Karena terus terang dengan dipilih langsung oleh rakyat juga tidak membuat daerah-daerah tambah maju,” kata Mekeng di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa 29 Juli 2025.
-

Komisi II DPR: Pemerintah siapkan RUU BUMD untuk bawa BUMD “naik kelas”
Jakarta (ANTARA) – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda mengatakan bahwa pemerintah tengah menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk diserahkan kepada DPR guna membawa BUMD yang ada di tanah air “naik kelas”.
“Rancangan Undang-Undang BUMD akan segera diserahkan kepada DPR oleh pemerintah. Dengan ini, pemerintah meyakini bahwa BUMD akan bisa ‘naik kelas’,” kata Rifqinizamy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Rifqi mengatakan inisiasi pemerintah untuk menyusun RUU BUMD disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam rapat dengar pendapat yang digelar Komisi II DPR pada dua pekan lalu.
Dia menyebut langkah itu diambil menyusul data yang diperoleh pemerintah bahwa dari total 1.571 BUMD yang ada di Indonesia dengan total aset mencapai lebih dari Rp1.200 triliun, sekitar 70 persennya berada dalam kondisi tidak sehat.
Rifqi menuturkan bahwa sebagian besar BUMD yang sakit tersebut ditengarai karena tata kelola yang serampangan, sarat intervensi politik, dan diisi oleh manajemen yang tidak kompeten.
“Bahkan, kami temui juga pengurus atau manajemen BUMD, baik dewan pengawas, komisaris, maupun direksi, itu adalah mereka-mereka yang tidak kompeten, yang diletakkan oleh para kepala daerah hasil pilkada langsung,” ucapnya.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah berencana membentuk Direktorat Jenderal Pembinaan dan Pengawasan BUMD setingkat Eselon I di Kementerian Dalam Negeri karena selama ini fungsi pengawasan dan pembinaan hanya ditangani pejabat setingkat eselon III yang dinilai tidak memadai untuk mengelola kompleksitas BUMD di tingkat daerah.
“Pertama, peningkatan struktur kelembagaan. Mereka akan menghadirkan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan BUMD Eselon I di Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.
Selain “naik kelas”, dia pun berharap RUU BUMD yang nantinya diajukan pemerintah mampu mendorong konsolidasi antar-BUMD lintas kota maupun provinsi.
“Jika di BUMN ada Danantara maka BUMD juga bisa melakukannya untuk kemudian menjadi financing bagi berbagai macam proyek-proyek strategis nasional yang ada di daerah, maupun berbagai macam proyek-proyek strategis daerah yang tidak perlu kemudian didanai seluruhnya oleh APBN,” tuturnya.
Komisi II DPR, sambung Rifqi, menyiapkan pula sejumlah catatan untuk dimasukkan pembahasan RUU BUMD bersama pemerintah, di antaranya perlunya standardisasi kompetensi untuk manajemen BUMD, baik itu calon direksi, komisaris, hingga dewan pengawas.
“Selama ini, itu belum ada, kesannya BUMD itu menjadi tempat bagi para tim sukses, para kepala daerah yang menang, yang kemudian tidak di-upgrade kompetensinya,” katanya.
Komisi II DPR juga mendorong agar pemerintah pusat diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengevaluasi keberadaan BUMD, mulai dari pendirian, proses manajemen, hingga proses evaluasi dan pembinaan, termasuk evaluasi dan pembinaan untuk kemudian membekukan ataupun membubarkan jika suatu BUMD terbukti gagal berkontribusi terhadap perekonomian daerah.
“Maka undang-undang ini harus memberikan mandatori kepada pemerintah agar kondisi BUMD kita bisa kemudian menjadi bagian dari penopang ekonomi nasional yang ada di daerah,” katanya.
Sebelumnya, pada Rabu (16/7), Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda meminta Kementerian Dalam Negeri mengajukan usulan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Daerah (RUU BUMD) untuk mengintegrasikan berbagai regulasi soal BUMD.
“Komisi II DPR RI mendorong kepada pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri mengusulkan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Daerah,” kata Rifqinizamy dalam kesimpulan rapat kerja dengan Mendagri Tito Karnavian di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.
Rifqinizamy mengatakan regulasi soal BUMD masih belum terintegrasi sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan tumpang tindih kewenangan, yang berpotensi menghambat kinerja BUMD dalam menjalankan berbagai program pemerintah.
Adapun dalam rapat tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian meminta Komisi II DPR mendukung pembentukan Undang-Undang BUMD.
“Kami mohon kiranya kepada Komisi II DPR RI dapat mendukung terbentuknya undang-undang tentang BUMD agar lebih tegas untuk mengatur pengelolaan masalah BUMD atas inisiatif pemerintah. Draftnya akan kami siapkan,” kata Tito.
Dalam kesempatan itu, Tito juga menyampaikan beberapa hal soal regulasi BUMD antara lain kedudukan Menteri Dalam Negeri selaku pembina dan pengawas BUMD belum diatur secara tegas dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/1061576/original/009951900_1448003536-Gedung_DPRD_DKI_Jakarta.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Wacana Kepala Daerah Dipilih DPRD, Pengamat: Jabatan Publik Harus Dipilih Langsung Masyarakat – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – Partai-partai koalisi pemerintah memunculkan wacana pemilihan kepala daerah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Semula, ini pertama kali digaungkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) saat acara puncak hari ulang tahun (harlah) PKB ke-27, di JCC Senayan, Jakarta, Rabu malam 23 Juli 2025.
Belakangan, mayoritas fraksi partai politik di DPR, terutama anggota koalisi Prabowo mulai melakukan simulasi model Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) lewat DPRD. Informasi ini dibocorkan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menyatakan, kepala daerah adalah jabatan publik sehingga harus dipilih juga oleh publik.
“Kepala daerah itu jabatan publik dan mengurusi isu publik, harusnya publik punya hak untuk memilih siapa yang punya kompetisi mengurusnya, seperti presiden yang mengurusi urusan publik, nah begitu juga kepala daerah,” ujar Arya saat dihubungi, Kamis (31/7/2025).
Dia menegaskan, dengan memilih langsung kepala daerah, maka masyarakat bisa menentukan mana calon yang sesuai dengan keperluan publik.
“Dengan publik memilih kepala daerah secara langsung publik dapat menentukan sesuai keperluan publik. Dari sisi kepala daerah, maka mereka menyampaikan program yang sesuai dengan masyarat,” terang Arya.
Arya menegaskan, meski DPRD adalah perwakilan masyarakat, namun, memilih kepala rakyat adalah hak dan tidak bisa diwakilkan.
“DPRD itu kan badan perwakilan, tapi kesempatan masyarakat memilih kepala darrah tidak dapat diwakilkan badan perwakilan. Anggota legilstaif saja dipilih langsung masyarakat. Pemilihan langsung jalan terbaik untuk memilih pemimpinnya,” papar dia.
Menurut Arya, berbagai masalah yang muncul dari Pemilu kepala daerah bisa diatasi bila hulunya yakni Parpol berbenah.
“Hulunya itu di parpol, bila Parpol bisa memperbaiki calon misal dengan memilih calon berkualitas. Apalagi syarat pencalonan sudah diturunkan ambangnya,” kata dia.
“Biaya (Pilkada) besar tergantung parpol. Misal parpol tidak menarget biaya pencalonan, misal tidak ada mahar politik,” sambung Arya.
Parkir liar masih jadi persoalan di Jakarta, selain mengurangi pendapatan asli daerah, kehadiran juru parkir juga kerap meresahkan masyarakat. Pemprov Jakarta diminta segera membentuk BUMD Parkir.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/3172404/original/075530800_1594106029-WhatsApp_Image_2020-07-07_at_13.41.33.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Deddy PDIP Tolak Pilkada Lewat DPRD: Jangan Ambil Kedaulatan Rakyat – Page 3
Liputan6.com, Jakarta PDIP menolak wacana pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD. Selama ini, gubernur, bupati dan walikota dipilih langsung rakyat melalui Pilkada. Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP, Deddy Yevri Sitorus mengingatkan, jangan membuat aturan yang mengambil hak dan kedaulatan rakyat.
“Sikap kita jelas. Jangan ambil kedaulatan rakyat, dibagi dengan elite DPRD. Itu enggak benar,” kata Deddy saat dijumpai di sela-sela Bimtek di Bali, Rabu 30 Juli 2025.
Menurut Deddy, Pilkada lewat DPRD langkah mundur dalam peradaban demokrasi. “Karena tidak ada partisipasi publik, rakyat dalam pemimpin daerahnya,” tutur dia.
Deddy meyakini, usulan itu akan ditentang oleh banyak masyarakat. Di mana bertentangan dengan semangat otonomi daerah yang merupakan hasil dari Reformasi.
Ketua DPP PDIP Ini juga memandang banyak risiko dan ruginya jika itu diterapkan. Misalnya soal potensi terjadinya jual beli suara di DPRD, intervensi kekuasaan, hilangnya legitimasi dan hubungan psikologis kepala daerah dengan masyarakat.
“Kepala daerah akan cenderung ngurusi elite yang memilihnya, uji publik terhadap rekam jejak dan kapabilitas calon rendah, partisipasi politik rakyat melemah,” ungkap Deddy.
Deddy menilai, lebih banyak mudaratnya jika Pilkada melalui DPRD.
“Apalagi ketika instrumen hukum dan kekuasaan bersifat abusif dan mengintervensi politik,” kata dia lagi.
Seperti diketahui, wacana Pilkada lewat DPRD kembali dihembuskan Ketum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Dia menilai, Pilkada langsung yang dilakukan saat ini terlalu memakan banyak anggaran negara.
Parpol-parpol di parlemen pun bereaksi. NasDem dan Golkar yang tegas mendukung. Sisanya, merasa wacana tersebut masih harus dikaji.
Sementara itu, Ketua Bidang Politik PDIP Puan Maharani mengatakan, usulan kepala daerah dipilih lewat DPRD bisa ditindaklanjuti oleh partai-partai politik.
“Apa yang disampaikan oleh Cak Imin Itu masih merupakan wacana, tentu saja semua partai harus berkumpul, berunding untuk mendiskusikan hal tersebut,” ujar Puan di kompleks parlemen, Kamis, (24/7/2025).
Ketua DPR itu mengatakan, pembahasan tentang penghapusan pilkada langsung harus dilakukan sesuai mekanisme yang ada. Namun dia belum memerinci apa yang dimaksud dengan mekanisme tersebut.
-

Dukung pilkada tak langsung, Imin: Kami ingin demokrasi lebih murah
Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengatakan partainya mendukung perubahan metode pemilihan kepala daerah (pilkada) dari langsung dipilih rakyat menjadi tidak langsung karena ingin ongkos pesta demokrasi menjadi lebih murah.
“PKB mendukung itu karena banyak pilkada yang high cost (mahal), banyak pilkada yang menyisakan beban politik. Kita ingin demokrasi kita lebih murah,” kata Cak Imin, sapaan akrabnya, saat ditemui di Jakarta, Rabu.
Mengenai formula pilkada tidak langsung itu, Cak Imin menyerahkannya kepada DPR.
“Kita serahkan DPR, diskusi; dan sekarang ini sedang inventarisasi masalah, supaya seluruh paket undang-undang politik betul-betul menjamin percepatan pembangunan,” tuturnya.
Cak Imin pun menepis anggapan bahwa usulan pilkada tidak langsung itu hanya untuk menyenangkan pihak tertentu, termasuk Presiden Prabowo Subianto. Menurut dia, PKB sudah sejak lama mengusulkan ide tersebut.
“PKB ini sudah lama, kan, ngusulin. Hanya saya mengulang saja. Dulu keputusan PBNU, Muktamar NU memutuskan evaluasi total pemilihan kepala daerah langsung. Itu kira-kira enam tahun yang lalu, ya. Terus disusul berbagai musyawarah alim ulama, kemudian kita pengalaman lapangan yang begitu tidak kondusif,” katanya.
“Pak Prabowo malah enggak setuju kalau pemilihannya tidak melalui demokrasi, DPRD minimal, tapi, ya, kita lihat nanti,” sambung dia.
Sebelumnya, Cak Imin mengusulkan kepada Presiden Prabowo Subianto agar kepala daerah dapat ditunjuk pusat atau dipilih DPRD.
“Kalau tidak ditunjuk oleh pusat, maksimal pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD di seluruh tanah air,” ujar Cak Imin dalam acara Harlah Ke-27 PKB di Jakarta, Rabu (23/7) malam.
Cak Imin mengusulkan hal tersebut sebagai salah satu langkah dari penyempurnaan tata kelola politik nasional.
Dia juga menjelaskan usulan tersebut didasarkan pada pengalaman sejumlah kepala daerah yang mengatakan harus mengalami konsolidasi yang cukup lamban akibat proses politik yang terlalu panjang.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

