Besok Dua Pilkada Ulang di Bangka Belitung, 411.598 Warga Jadi Pemilih
Tim Redaksi
KOMPAS.com
– Dua daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Kota Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka, akan melaksanakan pilkada ulang pada Rabu (27/8/2025).
Total tercatat sebanyak 411.598 pemilih yang bakal menggunakan hak suaranya, dengan rincian 242.582 di Kabupaten Bangka dan 169.016 di Pangkalpinang.
Komisioner KPU Bangka Belitung, Deni, mengatakan bahwa persiapan pilkada berjalan lancar dan seluruh logistik telah berada di kantor desa atau kelurahan setempat.
“Malam ini logistik sampai di kantor desa atau kelurahan untuk selanjutnya pukul 05.30 WIB dibawa ke TPS masing-masing,” kata Deni saat dihubungi, Selasa (26/8/2025).
Deni mengungkapkan bahwa tim penyelenggara, termasuk pengawas dan pihak keamanan, terus menjalin komunikasi untuk memastikan tahapan pilkada berjalan sesuai aturan.
Hingga kini, belum ditemukan kendala berarti sehingga dipastikan pilkada ulang berjalan sesuai jadwal yang telah ditentukan.
“Malam ini kami menggelar rapat koordinasi, memastikan semuanya berjalan sesuai aturan,” ujar Deni.
Pilkada ulang Kabupaten Bangka diikuti sebanyak lima pasangan calon, yaitu Andi Kusumah – Budiyono, Aksan Visyawan – Rustam Jasli, Naziarto – Usnen, Fery Insani – Syahbudin, dan Rato Rusdiyanto – Ramadian.
Sementara di Kota Pangkalpinang, diikuti empat pasangan calon, yakni Maulan Aklil – Zeki Yamani, Saparudin – Dessy Ayutrisna, Eka Mulia – Ratmida Dawam, dan Basit Cinda – Dede Purnama.
Pilkada ulang 2025 dibuat imbas kotak kosong menang pada pilkada serentak 2024.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Event: Pilkada Serentak
-
/data/photo/2024/11/11/673221d07f5fa.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Besok Dua Pilkada Ulang di Bangka Belitung, 411.598 Warga Jadi Pemilih Regional 26 Agustus 2025
-
/data/photo/2024/10/16/670f234a3f4c3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ada Pilkada Ulang, Pekerja di Pangkalpinang Diliburkan pada 27 Agustus Regional 24 Agustus 2025
Ada Pilkada Ulang, Pekerja di Pangkalpinang Diliburkan pada 27 Agustus
Tim Redaksi
PANGKALPINANG, KOMPAS.com
– Pemerintah Kota Pangkalpinang menetapkan 27 Agustus 2025 sebagai hari libur karena bertepatan dengan jadwal pemungutan suara ulang Pilkada 2025.
Penjabat Wali Kota Pangkalpinang M Unu Ibnudin mengatakan, hari libur diberlakukan agar para pekerja atau buruh dapat menggunakan hak pilihnya.
“Pimpinan perusahaan harus memberikan kesempatan, dan bagi pekerja yang tetap masuk pada hari dan tanggal pemungutan suara, berhak atas upah kerja lembur,” kata Unu pada awak media, Minggu (24/8/2025).
Unu mengatakan, kebijakan hari libur yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor 22 Tahun 2025 ini bertujuan meningkatkan partisipasi pemilih sekaligus menjamin hak pekerja sesuai ketentuan perundang-undangan.
“Bagi sektor yang dianggap vital terkait pelayanan dasar masyarakat, maka waktunya bisa menyesuaikan dengan kesempatan untuk memberikan hak suaranya,” kata Unu.
Layanan prioritas tersebut mencakup rumah sakit, telekomunikasi, pendidikan, listrik, air minum, dan pemadam kebakaran.
“Pimpinan perangkat daerah BUMN, BUMD, maupun swasta agar dapat mengatur penugasan pegawai, sehingga pemberian pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan,” ujar Unu.
Penetapan hari libur saat masa pencoblosan pilkada merujuk pada Pasal 84 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 yang menegaskan bahwa pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan.
Kemudian, Surat Menteri Dalam Negeri Nomor 100.2.1.3/4263/OTDA tanggal 23 Juli 2025 perihal hari libur pada pelaksanaan Pilkada Ulang.
Pilkada ulang Pangkalpinang diikuti empat pasangan calon, yakni Eka Mulya-Ratmida Dawam, Maulan Aklil-Zeki Yamani, Saparudin-Dessy Ayutrisna, dan Basit Cinda-Dede Purnama.
Selain Kota Pangkalpinang, pilkada ulang juga digelar di Kabupaten Bangka, imbas kotak kosong menang pada pilkada serentak 2024.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

APK ditertibkan, Pilkada Ulang Kota Pangkalpinang menghitung hari
ANTARA – Menjelang hari pemungutan suara yang jatuh pada 27 Agustus mendatang, tim gabungan yang sudah terbentuk mulai melakukan penertiban Alat Peraga Kampanye (APK) Pilkada Ulang Tahun 2025 di Pangkalpinang, pada Minggu (24/8). Proses penertiban APK dilaksanakan selama dua hari, melibatkan KPU, PPK,PPS, Polresta, Satpol PP, hingga Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Pangkalpinang (Chandrika Purnama Dewi/Rizky Bagus Dhermawan/Rinto A Navis)
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Membaca Penjelasan Rektor UGM yang Masih Menyisakan Tanda Tanya
Oleh: Beathor Suryadi, Politisi Senior PDIP
Membaca penjelasan Rektor UGM, saya melihat ada benarnya, tetapi tetap terasa belum lengkap.
Bagi saya, ijazah pada dasarnya adalah milik pribadi seorang alumni, selama dokumen itu hanya digunakan untuk kepentingan pribadi.
Namun, status itu akan berubah ketika seorang alumni mencalonkan diri di ruang publik, misalnya dalam Pilkada atau Pemilihan Presiden.
Contohnya, ijazah Joko Widodo dari tahun 1985 hingga 2005 tentu sepenuhnya menjadi milik pribadinya.
Tetapi ketika beliau mendaftar sebagai calon Wali Kota Solo, ijazah itu otomatis berubah status menjadi dokumen publik.
Prosesnya ditentukan oleh berita acara verifikasi yang dilakukan KPUD Solo bersama pihak UGM.
Dalam tahap ini, dokumen yang dibawa partai politik untuk mendaftarkan kandidat akan dicocokkan dengan arsip yang ada di Fakultas Kehutanan UGM.
Nah, berita acara verifikasi itu sangat penting. Dari situ bisa diketahui apakah dokumen yang dibawa ke KPUD identik dengan yang ada di UGM, atau justru ada perbedaan.
Jika berbeda, berarti ada dua dokumen yang tidak sama.
Boleh saja Ibu Rektor UGM menyatakan bahwa ijazah yang ada di kampus adalah asli.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa dalam Pilkada Solo tahun 2005 dan 2010, nama ijazah UGM tidak pernah terdengar?
Baik ketika Jokowi menjabat Wali Kota maupun saat berkampanye, isu ijazah itu seolah tak pernah muncul.
Baru pada tahun 2012, ketika mendaftar di KPUD DKI sebagai calon gubernur, nama ijazah UGM disebut dan dipublikasikan.
Inilah yang kemudian menimbulkan polemik: apakah ada dua versi ijazah atas nama Joko Widodo, yakni yang diterbitkan UGM dan yang disebut-sebut berasal dari Pasar Pramuka?
Saat ini, menurut informasi, dokumen atas nama Jokowi baik yang ada di UGM, di rumah beliau, maupun di KPUD Solo sudah berada di tangan pihak Polda Metro Jaya.
Bahkan, ada kabar menarik dari Budi, anak almarhum Dumatno. Ia menyebut bahwa foto di salah satu ijazah Jokowi justru menampilkan wajah ayahnya.
Pertanyaan pun muncul: apakah ijazah yang diterbitkan UGM itu sama dengan yang disebut-sebut dari Pasar Pramuka?
Salam juang,
Beathor Suryadi
Klarifikasi Resmi dari UGM
Sebagai catatan penting, pada Jumat, 22 Agustus 2025, Rektor Universitas Gadjah Mada, Ova Emilia, telah menegaskan bahwa ijazah Sarjana Presiden Joko Widodo adalah asli dan sah.
UGM, kata Ova, memiliki dokumen lengkap perjalanan akademik Jokowi, mulai dari penerimaan mahasiswa, masa studi, hingga kelulusan pada 5 November 1985.
Ijazah pun diberikan resmi saat wisuda pada 19 November 1985.
UGM juga menegaskan bahwa tanggung jawab kampus selesai ketika seorang mahasiswa dinyatakan lulus.
Setelah itu, penggunaan dan perlindungan dokumen adalah tanggung jawab alumni.
Dengan pernyataan ini, pihak kampus berharap polemik seputar ijazah Presiden Jokowi bisa diluruskan dan tidak lagi menjadi perdebatan yang berlarut-larut.***
-

DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Kecuali Lewat Jalan Non-Konstitusional: ‘Revolusi’
Belakangan ini ramai di media sosial ajakan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Bahkan, beredar seruan demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR Senayan. Isu ini langsung memicu polemik besar di tengah masyarakat.
Kritik terhadap DPR memang bukan hal baru.
Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, merespons isu tersebut dengan keras dan menyebut ajakan membubarkan DPR sebagai tindakan yang tidak masuk akal.
Pernyataan ini memang terkesan kasar, namun secara konstitusional memiliki dasar.
Landasan Konstitusional: DPR Tidak Bisa Dibubarkan Presiden
UUD 1945 hasil amandemen menutup celah pembubaran DPR oleh Presiden.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.
Prinsip ini lahir dari sistem presidensial yang menempatkan eksekutif dan legislatif sejajar untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.
Meski begitu, politik selalu menyimpan ruang kemungkinan. Ungkapan klasik, “politics is the art of the impossible, made possible”, tetap relevan.
Kekecewaan Publik terhadap DPR
Isu pembubaran DPR muncul tidak lepas dari kekecewaan masyarakat. Kritik publik antara lain:
Besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR.Kebijakan kontroversial seperti revisi UU Pilkada yang dianggap mengakali putusan MK.Kasus dugaan korupsi dan gaya hidup mewah anggota DPR.DPR dianggap kehilangan empati, misalnya ketika berjoget dalam sidang sementara rakyat menghadapi kesulitan ekonomi.Produk legislasi yang tidak berpihak pada rakyat dan lemahnya fungsi pengawasan terhadap pemerintah.
Semua ini seharusnya menjadi bahan introspeksi agar DPR kembali pada jati dirinya sebagai wakil rakyat.
Sejarah Pembubaran DPR di Luar Konstitusi
Sejarah mencatat DPR pernah dibubarkan melalui langkah non-konstitusional.
Pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret untuk membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Sementara pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat mencoba membekukan DPR dan MPR, namun langkah itu justru berakhir dengan pelengserannya.
Dua peristiwa ini membuktikan bahwa pembubaran DPR secara ekstra-konstitusional selalu menimbulkan krisis politik.
Karena itu, reformasi memperkuat posisi DPR agar tidak bisa lagi dibubarkan Presiden.
Jalan Konstitusional: Amandemen dan Pemilu
Secara hukum, cara satu-satunya untuk menghapus DPR adalah melalui amandemen UUD 1945.
Namun, mekanisme ini sangat sulit karena membutuhkan persetujuan MPR, yang sebagian besar anggotanya justru dari DPR.
Alternatif lain adalah boikot total Pemilu oleh rakyat, tetapi skenario ini hampir mustahil terjadi.
Dengan demikian, secara politik dan praktis, upaya membubarkan DPR hampir tidak mungkin dilakukan.
Apakah Revolusi Solusi?
Secara teori, revolusi atau kudeta bisa mengganti seluruh tatanan negara termasuk DPR.
Namun, cara ini jelas berbahaya, tidak sah secara hukum, tidak demokratis, dan berisiko menimbulkan instabilitas politik serta kehancuran ekonomi.
Oleh karena itu, jika publik tidak puas terhadap DPR, solusi terbaik adalah reformasi struktural melalui tekanan publik, advokasi politik, dan mekanisme demokratis.
DPR tidak bisa dibubarkan dalam sistem presidensial Indonesia. Upaya revolusi hanya akan merusak tatanan bangsa.
Jalan terbaik adalah mendorong DPR melakukan introspeksi, memperbaiki citra, menghindari kemewahan dan korupsi, serta berani menggunakan hak konstitusional seperti interpelasi, angket, dan pernyataan pendapat.
Hanya dengan cara demikian DPR dapat kembali dipercaya rakyat dan menjadi pilar demokrasi yang kuat.
Jakarta, Minggu 24 Agustus 2025
-

Tim verifikasi Kongres PWI tolak berkas dukungan bentuk PDF
Jakarta (ANTARA) – Ketua Steering Committee Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat 2025 Zulkifli Gani Ottoh menegaskan pihaknya tidak menerima berkas dukungan bakal calon ketua umum dan calon ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat periode 2025–2030 dalam bentuk PDF atau format dokumen digital.
Keputusan tersebut merupakan hasil rapat tim penjaringan atau tim verifikasi yang terdiri dari seluruh anggota Steering Committee (SC) dan tiga perwakilan Organizing Committee (OC) di Jakarta, Jumat.
“Tim verifikasi atau tim penjaringan yang terdiri dari SC dan OC sudah sepakat tidak menerima (berkas dukungan) PDF karena di dalam undangan edaran atau formulir dukungan jelas disebut harus tanda tangan basah dan stempel. Kalau PDF itu masih harus diklarifikasi lagi, sementara aturannya sudah tegas,” ujar Zulkifli dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat malam.
Dengan adanya aturan tersebut maka setiap bakal calon ketua umum tetap diberi kesempatan untuk melengkapi dukungan hingga batas waktu yang ditentukan.
Pria yang akrab disapa Zugito itu mengatakan batas akhir pengumpulan dokumen dukungan resmi dari PWI provinsi adalah Senin malam, 25 Agustus 2025, pukul 24.00 WIB.
“Jadi, masih ada kesempatan untuk melengkapi dukungan hingga waktu itu,” imbuhnya.
Sebagai contoh, Zugito menyebut Bakal Calon Ketua Umum PWI Pusat Akhmad Munir yang sudah mengantongi 15 dukungan dari PWI provinsi.
Menurut ia, dukungan tambahan masih bisa masuk sebelum tenggat waktu. “Yang utama adalah surat dukungan dari PWI provinsi karena itu syarat pendaftaran utama. Jadi, jika masih ada tambahan, bisa dimasukkan hingga Senin (25/8) malam,” jelasnya.
Sebelumnya, duet Akhmad Munir dan Atal S. Depari menjadi paket pertama yang mendaftar untuk pemilihan ketua umum dan ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat periode 2025–2030.
Pasangan tersebut menyerahkan seluruh berkas dukungan pencalonannya kepada tim penjaringan pada Jumat pagi, dengan didampingi sejumlah tim sukses dan pendukungnya, di antaranya Zulmansyah Sekedang, Kesit B. Handoyo, Mirza Zulhadi, Aurijaya, Johny Hardjojo, dan Dar Edi Yoga.
Berikut persyaratan resmi bakal calon Ketua Umum dan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat sebagaimana diatur dalam ketentuan kongres:
1. WNI Pria/Wanita
2. Sehat jasmani dan rohani, dibuktikan dengan surat keterangan dokter
3. Memiliki Kartu Tanda Anggota (KTA-B) PWI sekurang-kurangnya telah berjalan 5 (lima) tahun
4. Pernah menjadi Pengurus Harian PWI Pusat, Provinsi dan atau Dewan Kehormatan
5. Bersertifikat Wartawan Utama
6. Berusia minimal 40 tahun
7. Belum pernah menduduki jabatan yang sama lebih dari 2 (dua) kali masa bakti
8. Tidak boleh menduduki jabatan rangkap dalam organisasi kewartawanan dan/atau organisasi perusahaan media pers lainnya, baik di tingkat provinsi, maupun nasional
9. Tidak menjadi pengurus, anggota dan partisan/afiliasi partai politik, termasuk sebagai tim sukses dalam pilkada, pileg, dan pilpres
10. Tidak sedang menduduki jabatan politik dan Pemerintahan
11. Bukan Pegawai Negeri Sipil/Aparat Sipil Negara, dikecualikan untuk TVRI, RRI dan LKBN ANTARA
12. Mendapat dukungan tertulis, minimal 20 persen dari jumlah PWI Provinsi atau sebanyak 8 Provinsi
13. Tidak sedang menjalani proses hukum (tersangka dan terdakwa), dan/atau pernah dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah)Pewarta: Walda Marison
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/03/18/67d8dc385519f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Noel, dari Ojol ke Wamenaker, lalu Jatuh di Tikungan Kekuasaan Nasional 22 Agustus 2025
Noel, dari Ojol ke Wamenaker, lalu Jatuh di Tikungan Kekuasaan
Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
KABAR
penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer atau Noel oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terasa pahit. Bagi publik, mungkin ini sekadar cerita pejabat yang lagi-lagi terseret kasus hukum.
Namun bagi saya, kabar itu punya makna berbeda: ironi hidup dari seorang yang pernah saya kenal —meski tak begitu dekat, sekaligus potret getir perjalanan seorang aktivis yang menembus kekuasaan, tapi tersandung di jalan berliku.
Saya mengenal Noel ketika sama-sama terlibat atau menginisiasi Muda-Mudi Ahok, inisiatif anak mendorong Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) maju lewat jalur independen dalam perhelatan Pilkada DKI Jakarta 2017.
Gerakan itu akhirnya bubar karena Ahok lebih memilih maju lewat jalur koalisi partai politik. Namun dari situ saya melihat Noel tampil dengan semangat berapi-api, berani ikut melawan arus politik mapan.
Ia vokal, bahkan kadang kontroversial. Namun, di balik itu saya melihat idealisme yang kuat.
Saya juga tahu, seperti juga aktivis lainnya di Ibu Kota, jalan hidup Noel tak pernah mudah. Jakarta adalah kota yang keras. Ia pernah jatuh, merasakan getirnya hidup sampai harus menjadi pengemudi ojek online untuk sekadar bertahan.
Itu adalah fase hidup yang mestinya menumbuhkan empati lebih dalam, sekaligus mengingatkan betapa beratnya perjuangan menapaki jalan menuju posisi terhormat di negeri ini, menjadi pejabat negara.
Ketika Noel akhirnya masuk atau mendapat tempat di lingkaran kekuasaan, menjabat Wakil Menteri Ketenagakerjaan, saya bayangkan itu sebagai buah perjalanan dan perjuangan panjang penuh liku.
Dari seorang aktivis jalanan, yang sempat hidup pas-pasan, hingga akhirnya masuk kabinet. Namun, justru di situlah jebakan sesungguhnya. Jabatan membawa fasilitas, protokoler, dan kuasa yang kadang membuat orang lupa daratan.
Kini Noel ditangkap KPK. Apakah benar ia melakukan pemerasan, ataukah ada operasi politik di balik OTT ini, akan kita lihat bersama. Prinsip praduga tak bersalah harus tetap dikedepankan.
Apapun hasilnya nanti, kasus ini memberi pelajaran penting—bukan hanya untuk Noel, tetapi untuk seluruh aktivis yang kini berada di lingkaran kekuasaan, maupun yang bakal masuk kekuasaan.
Banyak kita saksikan, aktivis yang setelah mendapat jabatan justru berubah. Mereka lupa akar perjuangan, lupa hari-hari sederhana yang dulu mereka jalani. Padahal, identitas aktivis bukan bisa dicopot atau dipakai sesuka hati.
Menjadi aktivis itu sesungguhnya adalah panggilan moral, yang seharusnya tetap hidup dan melekat, meski sudah duduk di kursi empuk kekuasaan.
Menjadi pejabat seharusnya tidak membuat seorang berlatar aktivis kehilangan orientasi. Justru pengalaman di jalanan, bersama rakyat kecil, mestinya menjadi kompas moral untuk memandu diri dalam menjalankan jabatan.
Namun, justru yang seringkali terjadi adalah sebaliknya: jabatan malah menjauhkan mereka dari rakyat, membuat mereka larut dalam fasilitas, lupa darimana mereka berasal. Seakan mereka balas dendam atas kesulitan hidup di masa lalu.
Noel mungkin hanya salah satu contoh. Kasusnya harus menjadi alarm keras bagi aktivis-aktivis lain. Jangan sampai mereka terseret pola yang sama: idealisme tinggi ketika di luar, tapi rapuh begitu berada di dalam.
Di sisi lain, publik juga berhak mengkritisi KPK. Lembaga antirasuah ini lahir dengan harapan besar sebagai benteng melawan korupsi. Namun, kini kerap dipersepsikan lemah, tidak lagi sekuat dulu.
Karena itu, setiap langkah dan upaya KPK harus benar-benar transparan dan akuntabel.
OTT terhadap Noel harus dipastikan berjalan dalam koridor dan skema penegakan hukum yang jelas, sehingga tak dipersepsikan sebagai alat politik.
Sesuatu yang beralasan, apalagi bila melihat ada pejabat sekelas menteri yang sudah bolak-balik diperiksa aparat penegak hukum malah mandek kasusnya. Kasus Firli Bahuri mantan Ketua KPK yang sudah jadi tersangka pun hilang ditelan bumi.
Itu artinya, bila KPK hanya dianggap instrumen kekuasaan atau kompatriot oligarki untuk menyingkirkan lawan atau mengendalikan sekutu, kepercayaan publik akan semakin runtuh.
Noel mungkin salah langkah, khilaf karena terlena, atau barangkali ia adalah korban. Namun, apapun kebenarannya nanti, kisah ini adalah pengingat pahit bahwa politik Indonesia masih penuh jebakan.
Bahwa garis antara idealisme dan pragmatisme sangat tipis. Bahwa siapapun, bahkan seorang aktivis yang pernah hidup sederhana dan berjuang keras, bisa jatuh bila kehilangan pegangan moral.
Saya tidak menulis ini untuk membela Noel. Saya ingin menekankan bahwa kasus ini adalah refleksi kolektif. Bagi publik, agar tidak cepat melupakan bahwa para pejabat kita adalah manusia dengan segala keterbatasannya.
Bagi aktivis, agar tetap sadar dari mana mereka berasal, dan tidak membiarkan kekuasaan menggerus idealisme.
Dan bagi KPK, dan aparat penegak hukum lainnya agar bekerja dengan penuh integritas, sehingga tidak dipersepsikan sebagai tangan kekuasaan dan oligarki.
Noel mungkin akan dikenang dengan kontroversinya, dengan keberaniannya, juga dengan kejatuhannya.
Namun, setidaknya kisahnya memberi kita pelajaran: bahwa perjuangan (aktivis) tidak berhenti di jalanan, dan ujian sesungguhnya justru datang ketika seseorang sudah diberi atau berada di dalam lingkaran kekuasaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Tok! Daftar Nama-nama Pengurus DPTD PKS se-Sulsel
“Apalagi, PKS di Sulsel sebenarnya punya basis kader yang luar biasa, tetapi belum secara signifikan mendapatkan perolehan suara dan kursi di beberapa kabupaten/kota. Hal ini membutuhkan regenerasi kepemimpinan yang bisa melahirkan cara pendekatan baru dalam menggaet kelompok pemilih,” jelasnya.
Kemudian, proses peremajaan dalam partai politik juga bertujuan agar tidak tercipta stagnasi politik. Sebab, jika kader-kader lama terus memproduksi kegiatan partai dengan pendekatan yang tidak sesuai dengan konteks dan kebutuhan pemilih masa kini, maka partai bisa tertinggal.
“Regenerasi ini juga mempertimbangkan faktor kelompok pemilih, di mana dominasi terbesar ada pada kelompok muda. Pengurus yang masih berusia muda, apalagi di posisi pengurus inti, akan lebih mudah memahami kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi para pemilih. Hal ini akan membantu meningkatkan nilai elektoral dan citra partai,” ungkapnya.
Namun begitu, PKS juga harus tetap memiliki mekanisme internal untuk mengevaluasi capaian pengurus sebelumnya, baik di kontestasi Pileg maupun pilkada 2024 lalu. Evaluasi ini bisa dijadikan dasar pertimbangan dalam proses regenerasi. Sebab dalam partai politik, perlu ada mekanisme punishment and reward.
Model punishment and reward ini, kata dia, bisa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada kader-kader militan yang punya kemampuan, kapasitas, dan kinerja baik, untuk menjadi pengurus inti di tingkat organisasi, misalnya di kabupaten/kota.
“Begitu juga sebaliknya, kader yang tidak menjalankan amanat partai atau berkontribusi secara maksimal perlu dikenakan sanksi. Mekanisme ini akan memacu kerja pengurus karena mereka merasa ada evaluasi yang dilakukan secara terbuka,” terangnya.
-

Tahun Pertama Penuh Gejolak, Prabowo Beruntung Punya ‘Tangan Kanan’ Dasco
GELORA.CO – Situasi politik, ekonomi, maupun sosial pada setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, bukannya sepi dari gejolak. Namun, hal itu bisa diredam berkat komunikasi yang baik.
Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul satu nama yang dinilai menjadi aktor kunci: Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad.
Politisi senior Gerindra ini disebut-sebagai ‘tangan kanan’ dan komunikator andalan yang menerjemahkan visi politik Prabowo ke panggung legislatif dan publik.
Pengamat dari Swarna Dwipa Institute (SDI), Frans Immanuel Saragih, menilai Dasco telah menjelma menjadi figur sentral.
Dasco, kata dia, adalah sosok yang memastikan kebijakan strategis presiden dapat diimplementasikan dengan resistensi minimal.
Kehadirannya di berbagai momen krusial pemerintahan Prabowo-Gibran memperkuat citranya sebagai jembatan politik yang efektif.
“Kita bisa melihat banyak peristiwa di mana Dasco mampu menerjemahkan keinginan Presiden secara tepat. Prabowo adalah sosok terbuka, demokratis, dan tidak anti kritik,” kata Frans, Rabu (20/8/2025).
Menurut Frans, peran Dasco tidak hanya terbatas pada tugas-tugas legislatif formal.
Ia menjadi representasi simbolik dari gaya kepemimpinan Prabowo yang akomodatif.
Hal ini tercermin dari manuver-manuver politik penting, seperti perannya dalam mengawal dinamika pilkada Serentak.
Lalu, Dasco menjadi fasilitator pertemuan strategis antara Prabowo dengan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Ketua DPR RI, Puan Maharani.
Pertemuan ini dianggap sebagai langkah besar dalam mencairkan ketegangan politik pasca-Pilpres.
Lebih jauh, Frans menyoroti peran kunci Dasco dalam isu-isu sensitif yang berpotensi menimbulkan polemik besar.
Misalnya, dalam proses pemberian abolisi kepada Tom Lembong serta amnesti bagi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
“Keterlibatan Dasco dalam momen-momen ini menunjukkan kematangan Prabowo dalam mendelegasikan tugas lobi politik kepada orang kepercayaannya,” kata dia.
Banyak pihak, kata Frans, sempat mempertanyakan mengapa sosok sekuat Dasco tidak masuk dalam jajaran Kabinet Merah Putih.
Namun, ia berpendapat bahwa Prabowo secara sadar menempatkan Dasco di luar lingkaran eksekutif untuk menjalankan misi-misi khusus.
Terutama tugas-tugas yang membutuhkan fleksibilitas dan jaringan politik luas di parlemen maupun di luar pemerintahan.
Perannya sebagai Ketua Harian Partai Gerindra juga memberinya otoritas lebih untuk bergerak lincah.
“Kehadiran Dasco mampu mengubah dinamika politik nasional. Prabowo pintar menilai orang dekatnya untuk mengemban tugas penting. Langkah ini terbukti efektif menjaga iklim demokrasi di Indonesia,” tegasnya.
Sebagai jembatan antara Istana dan parlemen, Dasco kerap menjadi juru runding utama, terutama saat Prabowo menjabat sebagai Ketua Gugus Transisi Pemerintahan pasca-kemenangan di Pilpres 2024.
Ia juga sering tampil ke publik untuk meredam isu-isu kebijakan yang kontroversial, seperti penyesuaian tarif PPN dan distribusi gas elpiji 3 kg, memastikan aspirasi masyarakat didengar oleh pemerintah.
Kemampuannya membangun dialog dengan berbagai kelompok, termasuk kalangan aktivis yang kritis terhadap pemerintah, dinilai turut menciptakan stabilitas politik yang lebih kondusif.
